Kebijakan Manajemen Demand

B. Kebijakan Manajemen Demand

Tipologi kedua adalah kebijakan ‘demand-management’. 15 Ti- pologi ini berbasis pada teori-teori aliran Keynesian dan Neo-

Keynesian, seperti yang dulu pernah dikembangkan terkait mekanisme transmisi antara pekerja dan produk pasar. Mekanisme ini melibatkan pegawai pemerintahan dan kebijakan makroekonomi dengan tujuan agar terjadi perubahan pada permintaan produk pasar. Tipologi ini setidaknya dapat dikategorikan lagi pada dua kategori: (i) kebijakan pemerintah yang langsung merekrut masyarakat pada sektor publik; dan (ii) kebijakan permintaan produk, dengan menstimulasi ketenagakerjaan dengan meningkat- kan agregat permintaan produk.

Untuk jangka pendek, di mana respon harga dan upah melemah terhadap fluktuasi permintaan, maka tiang peyokong utama dari

kebijakan ini adalah Teori dari ekonom aliran Keynesian. 16 Di sini, resesi dikarakterkan dengan angka pekerja yang tidak sempurna

dan permintaan produk yang menguatkan satu sama lain: para pekerja menganggur karena perusahaan tidak sedang memproduksi produk atau jasa yang cukup; perusahaan tidak memproduksi se-

15 Charles R.Bean, “The Role in Demand tangManagement Policies in Reducing Unemployment” Centre of Economics and Performance LSE Discus-

sion Paper, 222 (1994). 16 J. M. Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money

(London:MacMillan, 1936); R. J. Barro & H. Grossman, Money, Employment and Inflation (Cambridge: Cambridge University Press, 1976).

bagaimana semestinya karena permintaan produk sedikit; dan per- mintaan produk menurun karena masyarakat banyak yang menganggur. Singkatnya: tidak sempurnanya permintaan pada pasar pekerja berasal dari pasar produk dan tidak sempurnanya permintaan pada pasar produk bermula dari pasar pekerja. Mekanisme yang merangkai keduanya adalah kelempeman upah- harga (wage-price sluggishness).

Teori rasional kuantitas ala Keynesian nampaknya tidak dapat menyediakan pencerahan dalam hal ini, karena dianggap melulu

mengasumsikan harga dan upah dalam identifikasi yang rigid. 17 Un- tungnya, beberapa teori Neo-Keynesian terkait kelempeman nomi-

nal bergerak menembus “asumsi primitif” ini. Teori-teori ini selan- jutnya mencari penjelasan kenapa harga dan upah tidak berubah secukupnya untuk meniadakan kalangan yang memerlukan demi output substansial—adanya penyesuaian tingkat pekerja sebagai respon terhadap perubahan dalam permintaan.

Dengan demikian, pendekatan ini bertujuan untuk menerangkan (li tabyi>n) tingkat kelempeman harga-upah yang konsekuensinya membantu untuk menentukan jarak perjalanan waktu di mana efek kebijakan ala Keynesian ini berjalan operatif. Setidaknya ada tiga teori Neo-Keynesian yang cukup dominan dalam ranah ini:

1). Teori ‘harga menu’ (menu cost theory) yang menyatakan bahwa biaya yang kecil dari perubahan harga dapat memperngaruhi perusahaaan untuk menyesuaikan kuantitas sebagai ganti harga. Inilah bentuk respon dari perubahan kecil yang tidak sempurna pa-

da agregat permintaan. 18 Namun demikian, setidaknya ada dua ken- dala dalam menggunakan teori ini untuk memperoleh tingkat

kelempeman harga-upah. Yang pertama, model “menu cost” menunjukkan bagaimana variasi permintaan produk mempengaruhi tingkat pekerja sementara biaya-biaya perubahan harga adalah biaya penyesuaian satu-satunya. Pada kenyataannya, biaya

17 Lihat misalnya: R. J. Barro & H. Grossman, Money, Employment and Inflation (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), E. Malinvaud, the

Theory of Unemployed Reconsidered (Oxford: Oxford University Press, 1977), J. Muellbauer & R. Portes, “Macroeconomic Models with Quantity Rationing,” Economic Journal, vol. 88 (1978): 788-821.

18 N. G. Mankiw, “Small Menu Costs and Large Business Cycles: A Mac- roeconomic Model of Monopoly,” Quarterly Journal of Economics,vol.100, is-

sue 2 (1985): 529-538.

penyesuaian tingkat pekerja (seperti, rekrutmen, pelatihan, dan biaya pemecatan) pada umumnya melebihi biaya penyesuaian har-

ga dengan margin yang cukup besar. Lalu tidak jelas lagi mengapa perubahan-perubahan pada permintaan produk mesti memiliki dampak Keynesian atas tingkat pekerja.

Yang kedua, teori menu cost mengimplikasi bahwa harga baik yang kaku atau yang responsif terhadap guncangan permintaan, untuk biaya kecil biasanya tidak berbeda dengan biaya perubahan harga yang besar. Implikasi ini membuat teori menjadi tidak mam- pu menjelaskan fitur penting dari kelempeman harga-upah secara praktis. Dua kendala ini dianggap sebagai penghalang teori untuk memprediksi tingkat kelempeman harga-upah dan efektivitas ke- bijakan manajemen demand ala Keynesian.

2). Teori ‘rasionalitas-dekat’ (near rationality theory) yang menjadi subyek dari dua kendala di atas. Letak problematisnya ada- lah untuk menjelaskan efektivitas kebijakan manajemen demand ala Keynesian, bahwa deviasi dari rasionalitas lengkap harus cukup besar untuk melebihi biaya penyesuaian tingkat pekerja dan tingkat produksi. Namun problemnya, karena agak sulit mengukur deviasi ini secara empiris, maka teori ini belum dapat memberikan prediksi

kuantitatif terkait tingkat kelempeman harga-upah. 19 3). Teori kejutan harga-upah (wage-price staggering theory).

Teori ini sendiri mendemonstrasikan bila upah dan harga sudah sekali diatur, maka akan tetap sama selama periode kontrak sub- stansial dan harga-upahnya yang berbeda menjadi terhuyung- huyung, lalu perubahan yang terjadi pada agregat permintaan produk akan mempengaruhi produksi, dan tingkat pekerja dan

pengangguran akan melampaui batas kontrak tertentu. 20 Namun demikian, ditemukan beberapa celah dalam teori ini

yang membuatnya tidak dapat menyediakan prediksi kepada perus-

19 G. A. Akerlof dan J. L. Yellen, “A Near Rational Model of the Busi- ness Cycle with Wage and Price Inertia,” Quarterly Journal of Economics,

vol.100 (1985): 823-838. 20 Contohnya: O. Blanchard, “Price Asynchronization and Price Level In-

ertia,” dalam Inflation, Debt, and Indexation (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), G. A. Calvo, Staggered Prices in A Utility-Maximizing Framework,” Journal of Monetary Economics, vol. 12 (1983): 83-98; dan J. B. Tay- lor,”Staggered Wage Setting in A Macro Model,” American Economic Review, vol. 69, no. 2 (1979): 108-113.

ahaan terkait kelempenan harga-upah. Yang pertama, teori ini tidak mengindentifikasi biaya penyesuaian harga-upah yang membuat upah dan harga kaku selama masa selang substansial. Tidak me- nangani biaya ini, sama berarti tidak dapat memperoleh berapa pan- jangnya periode kontrak yang memiliki pengaruh penting terhadap tingkat kelempeman harga-upah. Yang kedua, teori ini bertumpu pada asumsi bahwa harga dan upah itu ditetapkan di muka secara nominal; ini tidak dapat menjelaskan mengapa pengaturan setting

harga-upah umumnya tidak melibatkan indeksasi. 21 Yang ketiga, teori ini tidak memberitahu kita apa yang mempengaruhi tingkat

pada “pengaturan” upah dan harga yang bergantung waktu (time dependent) versus yang bergantung pada pemerintah (state- dependent—berubah

fungsi kontinjensi nal). 22 Yang keempat, beberapa studi terkait sinkronisasi atau tidak

seuai

dengan

sinkronnya keputusan harga-upah menyiratkan bahwa timbulnya efek itu berasal dari beberapa hal. Ball dan Cecchetti 23 misalnya

melihat bahwa ketidak sinkronan itu dapat timbul dari insentif pe- rusahaan yang dimaksudkan untuk mengatur harga mereka. Insentif ini dikeluarkan setelah mereka memperoleh peubahan harga rival perusahaan mereka. Namun penelitian Ball dan Romer berikutnya, misalnya, justru menemukan bahwa implikasi itu berhubungan

21 Makanya bila masyarakat tidak memiliki ilusi uang dan jika skema in- deksasi sederhana (seperti membuat upah bergantung pada suatu indeks agregat

harga) mudah untuk dibuat dan dimonitor, maka ini membukapertanyaan: men- gapa kebanyakan upah dan harga diset pada angka nominalnya (Lihat: D. Carl- ton, “The Rigidity of Prices,” American Economics Review, vol. 76, no. 4 [1986]: 637-658; R. Gordon, “What is New-Keynesian Economics?,” Journal of Economics Literature, vol. 28, no. 3 [1990]: 1115-1171).

22 Pada praktiknya, beberapa aturan penetapan harga-upah muncul untuk melibatkan dua hal itu, faktor waktu dan pemerintah. Hal ini misalnya dapat

dilihat dari ketentuan pada kontrak upah, bahwa renegosiasi dapat dilakukan pada interval tertentu dan kondisi tertentu, seperi saat inflasi, dst. Dapat dibandingkan misalnya, antara diskursus terkait ketidaknetralan uang dibawah kontrak yang bersifat tergantung pada waktu (J. B. Taylor, “Staggered Wage Setting in a Macro Model,” American Economic Review, vol. 69, 108-113) dan kenetralan uang di bawah kontrak yang bersifat tergantung pada negara (A. Cap- lin & D. Spulber, “Menu Costs and the Neutrality of Money,” Quarterly Journal of Economics, no. 102 [1986]: 703-725).

23 L. Ball & S. G. Cecchetti, “Imperfect Information and Staggered Price Setting,” American Economics Review, vol. 78 (1988): 999-1018.

dengan guncangan-guncangan perusahaan yang spesifik (firm- spesific shocks). 24

Harus diakui secara obyektif bahwa banyak ekonom yang set- uju bahwa perspektif Keynesian memberi sumbangan yang berarti terkait karakter pengangguran pada masa resesi ekonomi. Ketika perekonomian diguncang oleh tingkat pengangguran yang tinggi dan rendahnya pemanfaatan modal, peningkatan agregat per- mintaan umumnya mengarah pada peningkatan lapangan kerja, dan pengurangan permintaan biasanya mengarah pada penurunan pada tingkat pekerjaan.

Namun dasawarsa tertentu dari 1980-an telah membuka suatu kelemahan penting dari teori Keynes: pada dekade itu pasar tenaga kerja dan produk Eropa tidak bergerak secara simultan sama sekali! Permintaan produk mulai menggeliat pada akhir 1982, tetapi ting- kat pekerja tidak meningkat sampai tahun 1986 di Inggris dan bahkan di sebagian besar negara EC lainnya. Gap ini terlalu luas bila dijelaskan dengan dinamika persediaan (inventory dynamics) atau ketertinggalan yang terjadi pada input-output proses pada produksi (lags between inputs and outputs in production process). Visi Keynesian terkait eratnya hubungan permintaan pekerja dan produk dipertanyakan di sini. Dibandingkan dengan apa yang ter- jadi di sebagian besar wilayah Eropa, hubungan ketat ini justru hanya terjadi di Amerika Serikat.

Sementara untuk memahami efektivitas manajemen demand dalam jangka panjang maka ada baiknya bila melihat equilbrium pasar pekerja dalam konteks persimpangan antara kurva per- mintaan pekerja yang miring ke bawah dan kurva pengaturan upah yang miring ke atas. Dalam hal ini, peningkatan permintaan produk dapat merangsang tingkat pekerja, dengan menggeser baik kurva pengaturan upah atau kurva permintaan pekerja keluar dalam space upah kerja riil. Jika yang bergeser hanya fungsi pengaturan upah (sepanjang kurva permintaan tenaga kerja tidak berubah), maka upah riil akan bergerak secara kontra terhadap siklus. Namun kare- na pergerakan upah riil sering asiklus bahkan pro-siklus (khususnya di AS), maka menjadi penting untuk menjelajahi bagaimana ke- bijakan manajemen permintaan produk dapat menggeser kurva

24 L. Ball & D. Rommer, “The Equilbrium and Optional Timing of Price Changes,” Review of Economic Studies, vol. 56 (1989): 179-198.

permintaan pekerja, sehingga memberi kemungkinan pergerakan upah riil yang pro-siklus. 25

Karena kurva permintaan pekerja adalah himpunan kombinasi upah kerja riil di mana nilai riil marginal produk pekerja adalah sama dengan upah riil, maka adanya perubahan pada permintaan dapat menggeser kurva permintaan pekerja hanya saat ia mempengaruhi nilai riil marginal dari produk pekerja pada tiap lev- el tertentu dari pekerja. Hal ini dapat terlihat setiap kali perubahan permintaan produk mempengaruhi: (i)

Elastisitas harga permintaan produk. Dalam hal ini beberapa peneliti 26 meyebut bahwa perubahan dalam belanja

pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pekerja dengan mengubah komposisi permintaan produk sehingga juga mengubah elastisitas harga dari agregat permintaan. Namun demikian, ada beberapa alasan untuk percaya bahwa ini akan menjadi dasar yang lemah bagi kebijakan pemerintah. Pertama, meningkatnya belanja pemerintah akan mengge- ser kurva permintaan pekerja keluar lewat saluran ini hanya ketika elastisitas harga sektor-publik dari permintaan melebihi elastisitas sektor-privat. Tapi sayangnya belum ada bukti terkait ini secara konsisten di semua kasus dan waktu. Kedua, mekanisme transmisi ini memiliki implikasi

25 Terdapat cara lain di mana perubahan dalam produk permintaan dapat mempengaruhi tingkat pekerja seperti efek pendapatan terhadap terhadap pena-

waran tenaga kerja (misalnya: Huw Dixon, “A Simple Model of Imperpect Competition with Walrasian Features,” Oxford Economic Papers, vol. 39 [1987]: 134-160; N. G. Mankiw, “Imperpect Competition and the Keynesian Cross,” Economics Letters, vol. 26 [1988]: 7-13), atau peningkatan return (misalnya: R. Cooper & A. John, “Coordinating Coordination Failures in Keynesian Models,” Quarterly Journal of Economics, vol. 103 [1988]: 441-463; S. Chatterij & R. Cooper, “Multiplicity of Equilibria and Fluctuations in Dynamic Imperfectly Competitive Economies,” American Economic Review, vol. 79 [1989]: 353-357), pencarian dengan pelengkap strategis (misalnya: P. Howitt, “Transactions Costs in the Theory of Unemployment,” American Economics Review, vol. 75 [1985]: 88-100; C. Pissarides, “Short Run Equilibrium Dynamics of Unemployment, Vacancies, and Real Wages,” American Economic Review, vol. 75 [1985]: 676- 690).

26 Lihat misalnya H. Dixon & N. Rankin, “Imperfect Competition and Macroeconomics: A Survey,” Oxford Economic Papers, vol. 46 (1994): 171-

yang tidak masuk akal: bahwa setiap kali terjadi pening- katan pada belanja pemerintah yang kemudian menggeser keluar kurva permintaan pekerja, maka pengurangan pajak harus menggeser ke dalam kurva tersebut.

(ii) Interaksi kompetitif yang tidak sempurna antar perusahaan. Dalam konteks ini, beberapa tulisan menyarankan bahwa oligopoli cenderung lebih kompetitif dalam booming, se- hingga peningkatan pada permintaan barang dapat mengge- ser kurva permintaan pekerja ke luar, melalui pengaruh ter- hadap kompetisi. Malah Rotemborg dan Saloner menunjuk- kan bahwa efek ini dapat bertahan bila perusahaan cender- ung kolutif-oligopolis. Ini berarti bahwa saluran ini mem- iliki fondasi yang lemah untuk kebijakan manajemen per-

mintaan. 27

(iii) Biaya pengguna modal. Terkait ini, bahwa telah diketahui bahwa peningkatan permintaan produk mengurangi tingkat bunga riil dan dengan demikian mengurangi biaya pengguna modal, meningkatkan ukuran modal saham dan menggeser keluar kurva permintaan kerja sebagai Edge- worth Complement atau independen dalam produksi (se- hingga produk marjinal tenaga kerja bergantung secara pos- itif pada modal saham). Hal ini bisa terjadi baik melalui ke- bijakan moneter ekspansif atau penurunan premi resiko pa-

da investasi 28 24. yang dibawa oleh ekspansi permintaan. (iv) 29 Tingkat utilitas modal. Ini dapat dilihat ketika terdapat

kelebihan kapasitas modal, kebijakan manajemen de- manddapat mempengaruhi produk marjinal pekerja dengan mempengaruhi tingkat pemanfaatan modal. Untuk men- gokohkan ide ini, maka perlu dipertimbangkan urutan pengambilan keputusan di suatu perusahaan. 1. Setiap pe- rusahaan menetapkan penyediaan modal fisik dan menen- tukan dari kisaran teknologi yang tersedia, apa yang dapat

27 J. Rotemborg & G. Soloner, “A Supergame-Theoretic Model of Price Wars During Booms,” American Economic Review, vol. 76 (1986): 390-407.

28 B. Greenwald, & J. E. Stiglitz, “Examining Alternative Macroeconom- ic Theories,” Brookings Papers on Economic Activity, no. 1 (1988): 207.

29 A. Lindbeck & D. J. Snower, “How Are Product Demand Changes Transmitted to the Labor Market?,” Economic Journal, vol. 104 (1994): 386-

diakses melalui persediaan modalnya. 2. Upah minimal ditentukan (katakanlah melalui proses bargaining antara pe-

rusahaan dan pekerja) 30 3. Perusahaan mengobservasi posisi kurva permintaan produk mereka, lalu mengambil kepu-

tusan kerja. Dalam atsmosfer yang tidak terantisipasi seperti ini, kejutan permintaan produk yang merugikan tentu dapat membuat perusahaan tidak profitabel. Berikutnya, kejutan menguntungkan dari permintaan barang akan mendorong perusahaan untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja pa-

da level di mana modal tersedia. Di sisi lain ini berarti meningkatkan tingkat utilitas modal. Ketika perekonomian keluar dari resesi dengan cara seperti ini: pekerja dipanggil untuk mengoperasikan mesin dan memulai perakitan, maka sebenarnya modal dibawa kepada fungsi yang melengkapi tenaga kerja. Melalui jalur inilah, kebijakan ekspansif terkait manajemen demand yang dapat meningkatkan nilai marginal produk pekerja yang selanjutnya menggiring pada pergerakan pro-siklus dari upah riil.

(v) Jumlah perusahaan yang beroperasi atau entry dan exit sua- tu perusahaan. Dalam hal ini, peningkatan pada permintaan produk dapat menyebabkan munculnya perusahaan baru dan menggeser kurva permintaan pekerja ke luar—baik langsung atau secara tidak langsung dengan menggelem-

bungkan tingkat kompetisi dari pasar produk. 31 Terutama bi- la upah nominal kaku untuk sementara, permintaan produk

dapat menekan upah riil dengan menaikkan harga, maka ini dapat membawa pada lahirnya perusahaan-perusahaan baru.

30 Salah seorang nobelis ekonomi 2010, Christoper A. Pissarides memiliki dua konsep sentral yaitu matching dan bargaining. Matching maksudnya adalah

pasar pekerja bersifat desentralisasi dan merupakan aktivitas yang tidak dapat dikoordinasi. Sementara bargaining maksudnya adalah upah bersifat dapat dine- gosiasikan antara perusahaan dan pekerja (Christoper A. Pissarides, Equalibrium Unemployment Theory, 2th Editon [Cambridge: MIT Press, 2000] Bandingkan dengan Peter A. Diamond, “Aggregate Demand Management in Search Equilib- rium,” The Journal of Political Economy, vol. 90 [1982]: 881).

31 Marco Pagano, “Imperfect Competition, Underemployment Equilibria and Fiscal Policy,” The Economic Journal, vol. 100, (1990): 440-463; Dennis J.

Snower, “Imperfect Competition, Underemployment and Crowding-Out,” Ox- ford Economic Papers, vol. 35 (1983): 245-270.

Bilapun upah itu menyesuaikan dan entri perusahaan baru berhenti, namun perusahaan yang kadung dibuat kadung tetap beroperasi. Inilah yang dapat menjelaskan rigiditas sementara dari upah nominal yang dapat berpengaruh secara jangka panjang terhadap kebijakan manajemen de-

mand. 32 (vi) Produk marginal tenaga kerja. Dalam konteks ini, jika bel-

anja pemerintah (government spending) dalam bentuk bel- anja infrastruktur industri, maka jelas akan ada stimulus langsung pada produk marjinal tenaga kerja. Dalam kasus ini, kebijakan manajemen demand yang ekspansif mengge- ser kurva permintaan pekerja keluar melalui efeknya pada persediaan modal.

Empat saluran terakhir—yang dalam bahasa D. J. Snower merupakan interaksi dua sisi kebijakan yaitu supply-demand 33 —

memiliki implikasi kebijakan yang penting: pengaruh jangka pan- jang dari kebijakan manajemen permintaan produk terhadap tenaga kerja tergantung pada ketersedian jumlah terbatas dari transmisi jalur penawaran.

Kebijakan sisi penawaran—seperti kebijakan untuk mengurangi hambatan tumbuhnya perusahaan baru 34 atau atau kebijakan pen-

32 A. Lindbeck & D. J. Snower, “Transmission Mechanism from the Product to the Labour Market,” Discussion Paper IIES University of Stockholm

(1989). 33 Ia menilai bahwa implikasi terhadap kebijakan manajemen demand ter-

gantung pada efek empat jalur ini terhadap sisi penawaran. (Lihat: D. J. Snower, “Evaluating Unemployment Policies: What do the Underlying Theories Tell Us?” dalam Unemployment Policy: Government Options for the Labour Market,

ed. D. J. Snower & Guillermo De La Dehesa, 25). 34 Kebijakan ini melibatkan langkah-langkah untuk membongkar peraturan

pemerintah yang membatasi penciptaan perusahaan baru, reformasi sistem keun- tungan, pendapatan, modal, dan pajak kekayaan untuk menempatkan perusahaan baru minim dari kerugian dalam komparasi (disadvantage in comparison) dengan perusahaan-perusahaan mapan, meningkatkan kompetsisi antar institusi finansial, mengurangi kendala kredit perusahaan baru, dan mengurangi cakupan kesepakatan kolektif dalam tawar-menawar upah hingga mengizinkan perus- ahaan baru itu untuk merekrut karyawan dengan ketentuan kompetitif (Lihat: D. J. Snower, “Evaluating Unemployment Policies: What do the Underlying Theo- ries Tell Us?” dalam Unemployment Policy: Government Options for the Labour Market, ed. D. J. Snower & Guillermo De La Dehesa, 47.

ingkatan infrstruktur industri—dapat membuka jalur-jalur sisi penawaran ini. Dengan demikian, ini dapat meningkatkan efektivi- tas manajemen permintaan dalam jangka panjang. Oleh karenanya, wajar bila dalam konteks jangka panjang, kebijakan supply dan demand saling bergantung satu sama lain (interdependent).

N. Meager mencatat bahwa kebijakan aktif pada sisi supply (penawaran) pada pasar pekerja itu terdiri atas lima tipe (1) adanya skema pelatihan; (2) informasi dan aktivitas pembuka kerja (job broking); (3) informasi, nasehat (advice), dan bimbingan; (4) sanksi dan insentif; (5) subsidi untuk menyokong isian (entry) terhadap program mempekerjakan diri sendiri (self-employment). Sementara pada sisi demand (permintaan), terdiri atas dua tipe: (1) subsidi kepada para pegawai untuk menyewa “pencari kerja” (job seekers);

(2) skema pengadaan pekerjaan. 35