Penanda Pertumbuhan

B. Penanda Pertumbuhan

Sementara peneliti sejarah, di antaranya Louis Baeck, mendeskripsikan bahwa mulai tahun 750 hingga 1250 Masehi, Is- lam merupakan kekuatan hegemonik paling tidak di kawasan Med-

iterania. 10 Klaim Baeck boleh jadi faktual, karena paling tidak ada tiga pemerintahan superpower yang dipimpin oleh muslim pada

rentang dekade tersebut, menguasai kawasan. Tiga superpower ini adalah rezim Ummayah, Abbasiyah, dan Fatimiyah.

Pada jaman keemasan Dinasti Abbasiyah, penetrasi hegemoni setidaknya ditandai dengan kuatnya pengaruh pemerintah saat itu,

luas-nya wilayah Negara 11 dan pertumbuhan ekonomi. Dalam be- berapa catatan sejarah, rentang keemasan rezim Abba>siyah bi-

asanya disebut terjadi di antara tahun 775-842 Masehi (masa

9 Bandingkan dengan: George Zaydan, Ta>ri>kh al-Tamaddun al- Isla>mi>, vol. 1, 70-71; Philip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam (Minneap-

olis: University of Minnesota Press, 1973), 91; Khayr al-Di>n ibn Mah}mu>d al- Zirikli>, al-A‘ala>m, 15 th Edition, vol. 4, 142; al-T{abari>, Ta>ri>kh al-

T{abari>, vol. 10, 293; al-Ya‘qu>bi>, Ta>ri>kh al-Ya’qu>bi>, vol. 3, 172; Muh}ammad ibn Sha>kir al-Kutbi, Fawa>t al-Wafaya>t, vol. 1, 239.

10 Louis Baeck, The Mediterranean Tradition in Economic Thought (New York: Routledge, 1994), 95.

11 George Zayda>n menghitung bahwa luas Negara Abbasiyah era keemasaannya mencapai 3.328.014 km persegi (George Zaydan, Ta>rikh al-

Tamaddun al-Isla>mi>, vol.2 (Cairo: Mat}bA’at al-Hila>l,1921 ), 71-71.

pemerintahan al-Mahdi> sampai pemerintahan al-Wa>thiq). Na- mun puncak popularitas rezim yang sering dijadikan contoh ideal bagi pemerintahan setelahnya adalah pemerintahan Ha>ru>n al-

Rashi>d. 12 Secara geografis, pertumbuhan ekonomi negara Abbasiyah

dimotori oleh tiga basis wilayah ekonomi utama (seperti ‘Special Economic Zone’). Selain dianggap motor penggerak, tiga daerah ini—yang masing-masing memiliki jenis mata uang tertentu— umumnya dijadikan patokan pencapaian ekonomi negara Abbas-

iyah. Wilayah pertama yaitu Baghdad. 13 Yang kedua, Turiz, basis

(ibukota Azerbaijan). 15 Yang ketiga, Naisabur, ibukota Khurasan.

12 Bandingkan dengan keterangan J.J. Saunders, A History of Medieval Is- lam (London: Routledge, 1965), 107; Ibra>hi>m ‘Ali> Sha’u>t}, Ab}a>t}i>l

Yajib An Tumh{a> min al-Ta>ri>kh (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1988), 289. 13 Dinar sebagai mata uang di Baghdad setidaknya terbagi kepada 2 (dua)

jenis: (1) al-‘awwa>l: senilai 12 dirham atau 406.692 Rupiah. Sementara 1 dir- ham adalah 1 qi>ra>t} (menurut H{anafiyyah: 0,2125 gram atau menurut mayoritas ahli hukum Islam: 0,1771 gram) dan 2 h{abbah (menurut H{anafiyyah: 0,0425 gram atau menurut mayoritas ahli hukum Islam: 0,59 gram). Sedangkan setiap 1 dinar itu 20 qi>ra>t} dan 1 qi>ra>t} itu senilai dengan 3 h}abbah. Setiap 1 h}abbah adalah 4 filu>s ( per 1 fils = 0,00059616 gram [menurut sebagian peneliti] atau 0,521 gram [menurut H{anafiyyah] atau 0,496 gram [mayoritas ahli hukum Islam]) dari jenis dirham naqirah; (2) al- mursal: senilai 10 dirham atau sekitar 338.910 Rupiah. Jenis kedua inilah yang umumnya digunakan masyarakat. Untuk berat, yang paling berat satuannya ada- lah kurr (Tiap 1 kurr = 2340 kg [menurut H{anafiyyah] atau 1468,8 kg [menurut mayoritas ulama]). Tiap 1 ka>rrah sama dengan 2 quafiz (1 quafiz = 98 kg [menurut Ma>likiyyah] atau 24,480 kg [Sha>fi’iyyah]) Namun untuk al-ghila>l, berbeda beda ukurannya. Al-qumh} per satu ka>rrah-nya adalah 240 rit}l (1 rit}l ira>qi>= 406,25 gram menurut H{anafiyyah atau 382,5 gram menurut mayoritas ulama), sementara 1 ka>rrah gandum (al-sha‘i>r, al-himsh, al-ads, dan al- hirt}ama>n yaitu 100 rit}l (al-Qalaqshandi>, Subh} al-A’asha>, vol. 2, 192).

14 Mata uang yang digunakan di daerah ini disebut dinar al-ra>bih}, yai- tu senilai 6 dirham atau sekitar 203.346 Rupiah (al-Qalaqshandi>, Subh} al-

A’asha>, vol. 2, 192). 15 1 (satu) dirham di daerah Naysabur senilai 4 dirham, meskipun dinar al-

ra>bih} juga beredar di sebagian daerah ini. Untuk bahan pokok seperti al- sha’i>r dan al-qumh} digunakan satuan “mann”. Di Turiz ini, 1 mann diukur dengan 2 rit}l baghda>di> yaitu 260 dirham atau 773,5 gram (1 dirham = 2,975 gram). Dengan ukuran dirham sult}a>niyyah, 1 mann itu 600 dirham atau 1,785 kilogram (al-Qalaqshandi, Subh} al-A’asha>, vol. 2, 192).

Namun demikian, secara khusus, pertumbuhan ekonomi ini dorong oleh beberapa pendulum berupa sektor-sektor ekonomi ter- tentu. Beberapa peneliti seperti K. N. Chaudhuri menyebutkan bah- wa terdapat tiga sektor penentu perkembangan ekonomi negara Abbasiyah yang sebelumnya telah dirintis juga oleh rezim Umay- yah. Tiga faktor ini yaitu: (1) sektor agrikultur; (2) perdagangan internasional; dan (3) penyebaran penduduk desa ke kota (urban- isasi). 16 Namun bila melihat beberapa narasi sejarah yang realibel lainnya, 17 nampaknya sektor industri, baik mikro ataupun makro,

memiliki peran yang cukup signifikan. Singkatnya, nampaknya perlu ditambahkan sektor keempat sebagai penentu perkembangan ekonomi masyarakat saat itu, yaitu sektor industri yang dari persfektif human resources management, bermula dari pola pikir wirausaha.

Untuk sektor agrikultur/pertanian, perkembangannya pada masa pemerintahan Abbasiyah cukup signifikan. Beberapa sumber sejarah mendeskripsikan perkembangan ini dimulai sejak awal berdirinya pemerintahan Abbasiyah. Hal itu terutama dikarenakan letak geografis ibukota Abbasiyah pertama terletak di daerah tepian

sungai ke selatan, al-Sawa>d. 18 Paradigma terkait pemanfaatan la- han kemudian mencuat dengan berbagai kebijakan untuk

menopang pemasukan Negara. 19 Kebijakan ini nampaknya berhasil dengan muculnya Irak bersama Khurasa>n dan Mesir sebagai dae-

rah pertanian terkaya dan menyumbang pajak terbesar. Beberapa catatan-catatan sejarah menuntun kita pada kesimpulan bahwa pemasukan tahunan Negara tak kurang dari dua ratus juta dirham.

16 K. N. Chaudhuri, “the Economy in Muslim Societies,” Cambridge Il- lustrated History, ed. Francis Robinson, vol. 2 (Cambridge: Cambridge Universi-

ty Press, 1996), 124. 17 Misalnya: al-Mas‘u>di>, Muru>j al-Dhahab wa Ma‘a>din al-Jawhar,

vol. 4; al-Tha‘a>labi>, Lat}a>if al-Z{urafa>, ed. Adna>n Kari>m Rajab; Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abi> Bakr al-Banna> al-Maqdisi>, Ah}san al- Taqa>si>m fi> Ma‘rifat al-Aqa>li>m (Leiden: Bril, 1908).

18 Lihat: Ibra>hi>m ibn Muh}ammad al-Fa>risi> al-Is}takhri>, Masa>lik al-Mama>lik>, 85; Ibn H{awqal, al-Masa>lik wa al-Mama>lik, 166.

19 Bandingkan: Ibn Khaldu>n, Ta>ri>kh ibn Khaldu>n, vol. 1, 150-151; ‘Ubayd Alla>h ibn Ah}mad ibn Khurda>dhbuh /ibn Khurda>dhibbah, al-

Masa>lik wa al-Mama>lik, 5.

Di antaranya, sub-sektor agribisnis yang biasanya menyumbang minimal 70 juta dirham. 20

Perlu dicatat di sini, seperti ditulis pada bab pertama, orang Arab pada umumnya cenderung kurang menyukai profesi sebagai petani. Bagi mereka, melakukan perniagaan atau kerja industri cenderung lebih prestisius dan erat dengan tradisi leluhur. Sejara- wan-antropolog Jawwa>d ‘Ali> mengatakan bahwa pandangan ini

bertransformasi menjadi karakter bangsa Arab pada umumnya. 21 Namun demikian, dengan kebijakan yang cukup mendukung

pertanian, terdapat juga sejumlah masyarakat asli yang tidak segan melakukan pekerjaan tani. Dukungan pemerintah (government as- sistance) menyebabkan perkembangan yang cukup baik di sektor agribisnis yang mencakup berbagai varietas hortikultura, hingga sari bunga-bunga (‘ut}u>r). Dikisahkan, bahwa air bunga mawar merah dari Ju>r atau Fi>ru>za>ba>d, dijual hingga ke negeri

Cina di sebelah timur dan Maroko di sebelah barat. 22 Dukungan pemerintah dalam kasus ini berdampak positif terhadap tumbuhnya

ekspansi pasar, sekaligus membantah kesimpulan beberapa peneliti terkait hal ini. 23

Demikianlah, perkembangan ekonomi ini sekaligus membuka lebar kesempatan ekspansi dagang ke negeri-negeri luar Negara Abbasiyah. Tersedianya fasilitas fisik (physical facilities) yang memadai juga kemudian berimbas pada adanya efek domino ekonomi, berupa hubungan ekspor dan impor. Tercatat saat itu pasar impor-ekspor perdagangan baik dari sektor agribisnis, indus- tri, dan yang lainnya telah merambah kawasan Afrika, Eropa, hing-

ga Asia. Sejarawan sekaligus pedagang, al-Maqdisi> (+ 990 M./380 H.) mendeskripsikan dengan cukup baik terkait perkembangan in-

20 Ibn Khaldu>n, Ta>ri>kh ibn Khaldu>n, vol. 1, 150-151; ‘Ubayd Al- la>h ibn Ah}mad ibn Khurda>dhbuh /ibn Khurda>dhibbah, al-Masa>lik wa al-

Mama>lik, 5. 21 Jawwa>d ‘Ali>, al-Mufas}s}al fi> Ta>ri>kh al-‘Arab qabl al-Isla>m,

vol. 1 (Cairo: Da>r al-Hadi>th, t.t.), 312. 22 Ibn H{awqal, al-Masa>lik wa al-Mama>lik, 213; Ibra>hi>m ibn

Muh}ammad al-Fa>risi> al-Is}takhri>, Masa>lik al-Mama>lik >, 152-153. 23 Lihat misalnya: Jianwen Liao, Harold P. Welsch, & David Pistrui, “En-

trepreneurial Expansion Plans: An Empirical Investigation of Infrastructure Pre- dictors,” New England Journal of Entrepreneurship, 29.

dustri dan perdagangan di kawasan Transoxiana. 24 Ia menyebutkan daftar barang ekspor dari berbagai daerah: sabun, lampu, pedang,

panah, rompi wol, karpet, gunting, jarum, pedang, budak Turki dan Slavia, dan sebagainya. Industri penting lain yang perlu ditulis di sini adalah industri kaca yang berkualitas dari Sidon, Tyre, dan ko- ta-kota di Suriah. Sejarawan lain seperti al-Tha‘a>libi> mencatat bahwa hasil industri ini menjadi pilihan utama untuk menghiasi katedral-katedral di Eropa. Demikian halnya dengan industri kertas di Samarkan yang diduduki oleh orang Islam pada tahun 704 M.

dianggap tidak ada tandingannya pada saat itu. 25 Sementara itu seni mengolah perhiasan juga mengalami masa

kejayaannya. Dikisahkan bahwa istri Haru>n al-Rashi>d mengenakan sebuah rubi besar dengan harga mencapai 40 ribu di-

nar 26 untuk menghias sepatu-nya, sebagaimana saudara perempuan- nya yang memakai batu berharga sebagai perhiasan di kepala. Istri

Haru>n ini bernama Zubaydah, seorang dengan cita rasa modis tingkat tinggi. Dengan sokongan harta dan kedudukan, kreasi fash- ion yang dibuatnya dapat disebut menjadi trend setter. Sampai- sampai sejarawan al-Mas’u>di> menyebutnya sebagai “orang per-

tama” yang menghias sepatu dengan batu-batu berharga. 27 Ibnu Khaldu>n, seperti juga dikutip oleh Khusraw, mencatat

bahwa pemegang kebijakan pada abad pertengahan ini banyak di- pengaruhi oleh diktum kaisar Iran Anushirwan: “bahwa otoritas kerajaan tergantung pada kekuatan militer, sementara kekuatan mi- liter dibangun di atas kekuatan uang; uang didapatkan melalui pa- jak; pajak didapat dari kultivasi; kultivasi tumbuh melalui keadilan,

24 Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abi> Bakr al-Banna> al-Maqdisi>, Ah}san al-Taqa>si>m fi> Ma‘rifat al-Aqa>li>m (1908). Transoxiana dalam

tradisi Arab sering disebut “Bila>d ma> wara> al-Nahr”. Dibantu penduduk Tibet, Qutaybah ibn Muslim berhasil menaklukkannya pada tahun 86 H. (Ami>n Wa>shif Bek, Mu’jam al-Khari>t}ah al-Ta>ri>khiyyah li al-Mama>li>k al- Isla>miyyah, ed. Ah}mad Dhaki> Basha> [Cairo: Maktabat al-Thaqa>fah al- Isla>miyyah, 1998], 33.)

25 Al-Tha‘a>libi>, 126; al-Maqdisi>, 326. 26 Menggunakan metode ‘natural value’ dan ‘purchasing power’, nilai 1 dinar diperkirakan berada di kisaran 32, 5-36,5 USD (Lihat: M. Zarra Nezhad, “A Brief History of Money in Islam and Estimating the Value of Dirham and Dinar,” Review of Islamic Economics, vol. 8, no. 2 (2004): 51-65.

27 Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn al-H{usayn al-Mas’u>di>, Muru>j al- Dhahab wa MA’a>din al-Jawhar, vol. 8, 298-299.

aparat yang baik, dan kebijakan yang berkualitas. 28 Oleh karena itu, instrumen pajak yang dalam hal ini biasa disebut “al-khara>j”, di-

jadikan instrumen ekonomi strategis sebagai sumber pemasukan Negara.

Dalam teori pertumbuhan ekonomi, agaknya cukup relevan bila kita menggunakan kerangka kerja yang digunakan peraih No- bel Memorial Prize in Economic Sciences pada tahun 1971, Simon Kuznets (1966) untuk mengukur ciri-ciri pertumbuhan ekonomi Abbasiyah masa Harun> al-Rashi>d. Kuznet setidaknya menyebut enam ciri: (1) laju pertumbuhan penduduk dan produk per kapita; (2) peningkatan produktifitas; (3) laju perubahan struktural yang tinggi; (4) adanya urbanisasi; (5) ekspansi negara maju; (6) arus

barang, kapital dan migrasi. 29 Dalam perspektif sejarah, pertum- buhan (growth) ekonomi akan diakui ketika suatu negara dapat

mengurangi kelaparan, meningkatkan standar tempat tinggal, memperbaiki kesehatan, mengimprovisasi pendidikan, mengurangi

(diminish) kemiskinan, dan mengurangi pengangguran. 30

1. Laju Pertumbuhan Penduduk dan Pendapatan per Kapita

Dalam tradisi Islam, tugas sensus penduduk sebenarnya dite- gaskan oleh Muh}ammad ibn Idri>s al-Sha>fi>‘i> sebagai salah

satu tugas pemerintah. 31 Dalam hal ini, sensus sejatinya diklasifi- kasikan kepada beberapa kelompok umur. Meski terkait dengan

kesejahteraan angkatan perang, namun gagasan al-Sha>fi‘i> ini logis dan relevan dengan kebutuhan jamannya. Meski begitu, hub- ungan al-Sha>fi’i> dengan pemerintah nampaknya tidak membuat idenya ini diterapkan dengan baik di tataran pemerintah. Inilah nampaknya salah satu alasan mengapa data-data terkait populasi masyarakat di masa awal Abbasiyah—pada khususnya—cukup terbatas.

28 K. N. Chaudhuri, “the Economy in Muslim Societies,” Cambridge Il- lustrated History, ed. Francis Robinson, vol. 2, 127.

29 Simon Kuznets, Modern Economic Growth (CT: Yale University Press, 1966).

30 Carlos Sabillon, World Economic Historical Statistics (New York: Al- gora Publishing, 2005), 13.

31 Muh}ammad ibn Idri>s al-Sha>fi‘i>, al-Umm, vol. 4, 162.

Terkait dengan laju pertumbuhan penduduk, beberapa sumber sejarah mengindikasikan bahwa tidak ada sensus populasi yang pasti. Beberapa estimasi yang tersedia pada prinsipnya mendasar- kan kalkulasi pada luas cakupan wilayah Negara yang membentang dari Afrika Utara hingga Asia Selatan. Oleh karena itu, terdapat beberapa perbedaan estimasi populasi penduduk Negara Abbas- iyah. Sebagian sumber menyebut bahwa jumlah penduduk Negara Abbasiyah mencapai sekitar 50 juta orang. 32 Pada tahun 800, atau

akhir pemerintahan al-Rashi>d, diperkirakan populasi masyarakat yang hidup di Negara Abbasiyah mencapai 30 juta orang. 33 Sumber

yang lain menyebut angka 40 juta penduduk pada masa Haru>n al- Rashi>d (786-809). 34 Reportasi Ikhwa>n al-S{afa> dapat memberi

kesimpulan bahwa komposisi penduduk kota-kota saat itu multi ras dan multi kultur (umamiyyah). 35

Meski keterangan di atas nampaknya tidak menyebut sumber- sumber primer, bila dianggap bahwa angka 50 juta sebagai estimasi populasi terakhir, maka ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk sekitar 10 juta (sekitar 25%) bersamaan dengan semakin besarnya cakupan luas Negara. Pertumbuhan penduduk Abbasiyah sekitar 25 persen dalam kurun 9 tahun menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk mencapai 2,7 persen per tahunnya. Data ini dapat menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk tidak terlalu tinggi.

Sementara pendapatan per-kapita Negara Abbasiyah dapat di- indikasikan dengan besaran kas Negara (Bayt al-Ma>l) yang

32 Lihat: http://www.worldlingo.com/ma/enwiki/fr/Abbasid. Diakses pada 13 April 2011.

33 Dengan argumentasi yang lemah, G. Zaydan berasumsi dengan mem- bandingkan dengan jumlah populasi dan luas wilayah pada awal abad ke-20,

bahwa jumlah populasi penduduk negara Abbasiyah dapat mencapai 250-300 juta orang (Bandingkan: George Zaydan, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 81; Craig A. Lockard, Societies, Networks, and Transitions: a Global History, vol. 1 [Boston: Houghton Mifflin Company, 2008], 280; Craig A. Lock- ard, World: Volume 1-1500 (Boston, MA: Wadsworth, 2011), 241; Anggus Maddison, Countours of World Economy, 1-2030 AD: Essays in Macro- Economic History (New York: Oxford University Press, 2007), 192.

34 Valarie Hansen & Kenneth R. Curtis, Voyages in World History, vol. 1 (Boston: Wadsworth, 2010), 240.

35 Ikhwa>n al-Shafa>, Rasa>il Ikhwa>n al-Shafa>, vol. 1 (Cairo: Da>r al-Sha>dir, 1928), 149.

menunjukkan beberapa data. Pada akhir pemerintahan Haru>n al- Rashi>d, kas Negara mencapai 900 juta dirham 36 atau sekitar 30

triliyun Rupiah. Hal ini mengingat bahwa berat koin dirham masa itu adalah sekitar 2,79-3,125 gram, sementara harga perak dunia

mencapai 47-48 USD per Oz. 37 Nilai intrinsik dan historis 1 Dirham masa khalifah al-Mahdi> di situs spesialis koin kuno bahkan men-

capai kisaran 100-175 USD. 38 Dengan demikian, pendapatan per kapita Negara Abbasiyah

saat itu adalah sekitar 30 Dirham atau sekitar 1.016.730 Rupiah. Angka ini relatif rendah bila dibandingkan dengan pendapatan perkapita negara-negara modern saat ini—terlepas dari konteks

inflasi, populasi dunia 39 , dan harga pasar Abad Pertengahan saat itu.

Dengan analisis pendapatan per kapita ini, kita dapat menga- takan bahwa hipotesis terkait adanya paradoks tingkat output ekonomi pada masyarakat Abbasiyah memang terjadi, namun tidak signifikan. Dengan kata lain, fenomena itu terjadi pada kelas masyarakat kelas bawah dan bersifat kasuistik. Dengan kerangka ini, sejumlah informasi terkait fenomena “ketimpangan ekonomi” seperti yang didedahkan oleh Abu> al-‘Ata>hiyah dapat dipandang

36 Muh}ammad ibn Jari>r ibn Yazi>d al-T{abari>, Akhba>r al-Rusul wa al-Mulu>k, vol.3 (Cairo:t.p.), 764. Hal ini berbeda dengan keterangan Hitti da-

lam Capital Cities of Arab Islam bahwa kas negara mencapai 900 juta dinar (Lihat: Philip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam [Minneapolis: University of Minnesota Press, 1973], 93).

37 Lihat: Stephen Album, Stephen Album Catalouges. Bandingkan dengan: ‘Ali Jum’ah Muh{ammad, al-Maka>yi>l wa al-Mawa>zi>n al-

Shar’iyyah (Cairo: al-Quds, 2001), 19. Nilai tukar 1 Dirham, menurut Wa- kalanusantara.com, senilai 64 ribu Rupiah (28/4/11). Bila dikonversikan dengan harga perak dunia 1 oz/31,1 gr = 40,63 USD dan nilai kurs 1 IDR terhadap USD = 8.720 IDR (tanggal 14/9/2011 jam 22.30 WIB) maka 900 juta dirham setara dengan 30.501.900.000.000 Rupiah. Nilai konversi per satu dirham terhadap Rupiah dalam konteks tesis ini adalah 33.891 Rupiah. Demikian seterusnya.

38 http://www.vcoins.com/stevealbum/store/listCategoriesAndProducts.asp ?idCategory=132. Diakses pada 28-4-2011.

39 Diperkirakan populasi penduduk dunia pada awal abad Masehi sekitar 150 juta orang dan pada awal pertengahan abad ke-17 mencapai 550 juta (Alan

B.Mountjoy, Industrialization and Developing Countries [London: Hutchinson, 1975], 34). Ini berarti secara asumtif, terdapat pertambahan penduduk dunia sekitar 323.529/tahun. Dengan demikian, populasi dunia pada abad ke-9 adalah sekitar 258.823.529 jiwa.

sebagai protes dari kelompok masyarakat tertentu, sebagaimana kritik al-Shayba>ni> yang secara implisit mewakili kepentingan ekonomi kelas bawah masyarakat. Semua ini ini terlepas dari asumsi bahwa analisis data di atas tidak realibel.

Pada saat pemerintahan al-Ma’mu>n, sumber primer yang terbatas menyebut bahwa pendapatan Negara mencapai angka 390.855.000 Dirham atau setara dengan sekitar 13.246.466.805.000 Rupiah. Angka ini berasal dari keterangan Ibn Khaldu>n yang di- anggap sebagai informasi primer yang dapat diandalkan (realibel),

meskipun sebenarnya tidak. 40 Nominal ini, bila dibandingkan data pada masa al-Rashi>d, mengindikasikan bahwa terjadi penurunan

dalam pendapatan Negara sebesar 509.145.000 Dirham atau setara 17.255.433.195.000 Rupiah. 41 Penyusutan sekitar 57 persen ini ter-

jadi lantaran adanya berbagai faktor, di antaranya yang paling uta- ma adalah perang saudara antara al-Ma’mu>n dan al-Ami>n. 42 Al-

Ami>n yang memerintah sekitar lima tahun, disinyalir banyak menghabiskan kas Bayt al-Ma>l dan warisan pribadi ayahanda-nya, Haru>n al-Rashi>d untuk keperluan perang dan gaya hidup. 43 Se-

mentara itu, populasi penduduk disinyalir tidak meningkat signif- ikan, apalagi melihat kondisi perang saudara dan krisis politik-

40 Dalam hal ini, begawan sejarawan Goerge Zayda>n menjawab kritik sejarawan Jerman Baron Von Kremer tentang keterangan Ibn Khaldu>n terkait

sejarah daftar kekayaan Abbasiyah masa al-Ma’mu>n (Lihat: George Zayda>n, al-Tamaddun al-Isla>mi>,49; B. von Kremer, Cult, Gesch, des Orients I, 356; Ibn Khaldu>n, Ta>rikh ibn Khaldu>n, vol. 1, 151). Penelitian lain, seperti oleh Muh}ammad D}iya> al-Di>n al-Rays, menyebut bahwa data paling valid terkait dengan posisi pemasukan negara masa al-Ma’mu>n adalah daftar (qa>imah) yang dirilis oleh Quda>mah ibn Ja’far dalam bukunya “al-Khara<j wa S{un’at al-Kita>bah” yang bila dikalkulasi jumlah totalnya mencapai 393.231.350 dir- ham (Muh}ammad D}iya> al-Di>n al-Rays, al-Khara>j wa al-Nuzhum al- Ma>liyah li al-Dawlah al-Isla>miyyah, Edisi ke-5 (Cairo: Maktabah Da>r al- Tura>th, 1985)

41 Hal ini berbeda dengan tesis George Zayda>n bahwa kekayaan Negara pada masa al-Ma’mu>n berekspansi luas, yang berarti pemasukan Negara ber-

tambah (George Zayda>n, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 35). 42 Perang nampaknya lebih disebabkan oleh alasan politis sebagian pejab-

at yang dekat al-Ami>n seperti al-Fad}l ibn al-Rabi>’, Bakr ibn al-Mu’tamir, dan Sanadi> ibn Sha>hik (Lihat perkataan al-Ma’mu>n dalam Ibn Tayfu>r, Ta>ri>kh Baghda>d, vol.6, [Leifzig, 1908], 27).

43 Lihat misalnya keterangan Abu> al-Fida> al-T{abari>, Akhba>r al- Rusul wa al-Mulu>k, vol. 2, 20-22.

ekonomi jangka pendek. Maka, dengan asumsi bahwa jumlah penduduk yang tidak jauh berbeda dengan akhir masa al-Rashi>d, pendapatan per kapita Negara Abbasiyah saat itu ialah sekitar 13.028,5 Dirham atau sekitar 833.824 Rupiah.

2. Peningkatan Produktivitas

Adapun terkait indikator peningkatan produktivitas, hal ini dapat dilihat dari narasi-narasi sejarawan terkait cukup bergairah dan massifnya gerak ekonomi pada masa al-Ma’mu>n hingga ma- sa pemerintahan al-Wa>thiq. Indikator peningkatan produktivitas ini biasanya dapat dilihat dari efisiensi penggunaan tenaga kerja

dan kapital. 44 Terkait dengan ini, dalam beberapa narasi sejarah di- indikasikan adanya efisiensi penggunaan tenaga kerja dan kapital.

Namun demikian, tak mudah untuk mengungkap indikator kuali- tas per unit input sebagai pendulum meningkatnya laju produk per kapita. Jalan keluar yang paling realistis nampaknya lewat analisis stabilitas rasio pekerja dan jumlah penduduk.

3. Laju Perubahan Struktural yang Tinggi

Sementara indikator modern ketiga terkait pertumbuhan ekonomi yaitu perubahan struktural yang mencakup peralihan ak- tivitas pertanian ke non pertanian, dari industri ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit produktif, peralihan perusahaan perseorangan menjadi perusahaan berbadan hukum, dan perubahan status kerja buruh nampaknya tidak terjadi. Hal ini dapat disimpulkan dari in- formasi sejarah bahwa mayoritas penduduk Negara Abbasiyah ada-

lah para petani. 45 Informasi ini dapat dikonfirmasi dengan data sebelumnya, bahwa kuantitas pajak terbesar Negara berasal dari

44 Simon Kuznets, “Economic Growth and Income Inequality,” The American Economic Review, vol. XLV, no. 1 (March, 1955), 8; Moshe Syrquin,

Kuznet and Modern Economic Growth Fifty Years Later (Helnski, WIDER, 2005), 7; Yundi Hafizrianda, Teori Pertumbuhan Ekonomi (t.t.p.), 2.

45 George Zayda>n,Ta>rikh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 5, 51. Bandingkan dengan keterangan Maya Shatzmiller yang menyatakan bahwa

mayoritas pekerjaan masyarakat muslim (47%) abad ke-8 hingga abad ke-11 Masehi adalah pada bidang perindustrian (Maya Shatzmiller, Labour in the Me- dieval Islamic World [Leiden: Brill, 1994], 258).

tanah pertanian. 46 Demikian halnya dengan sektor jasa yang tidak merupakan sektor utama bila dibandingkan dengan sektor pertanian

dan perdagangan. Pun, penulis belum menemukan data yang mengungkap adanya perubahan signifikan dalam unit-unit produksi baik itu perusahaan ataupun pasar pekerja.

Malah suatu ketika terdapat petaka pemberontakan pekerja berkulit hitam pada tahun 868-883 M. (terjadi pada masa pemerintahan al-Mu‘tazz [866-869] dan pemerintahan al-Mu‘tamid [870-892]) yang menewaskan sekitar 2,5 juta penduduk. Meski ber-

tunggangan politis, 47 pemberontakan ini dapat dijadikan sinyalemen bahwa pada awalnya kesejahteraan pekerja tidak begitu dihiraukan.

Secara psikologi sosial, hal ini dapat dilihat sebagai efek komunal yang memuncak dari rentetan ketidakpuasan. Dengan ini dapat dikatakan, unit-unit produksi berjalan cukup lama secara konserva- tif dan tradisional. Hipotesisnya adalah unit-unit produksi baik pa-

da jaman al-Ma’mu>n hingga al-Wa>thiq tidak mengalami trans- formasi ke arah yang lebih teratur dan berkeadilan.

4. Urbanisasi

Ciri keempat pertumbuhan ekonomi yang diintroduksi Kuz- nets adalah urbanisasi. Dalam hal ini, indikasi terjadinya urbanisasi dapat terbaca dari banyaknya pergerakan masyarakat yang datang ke pusat pemerintahan Abbasiyah, Baghdad. Dalam suatu sumber disebut bahwa jumlah penduduk Baghdad mencapai satu juta

orang. 48 Martin Bosker, Eltjo Buringh, J. L. van Zanden bahkan menghitung rasio urbanisasi yang tejadi di wilayah Abbasiyah pada

tahun 800 M. yang tertinggi di dunia, dengan Baghdad di posisi puncak yaitu dengan rasio 26,0 dari total populasi dunia yang men-

capai sekitar 46.050.000 orang 49 Di satu sisi, secara teoritis, pada umumnya urbanisasi me-

nyebabkan adanya perubahan pada tingkat dan struktur konsumsi

46 Bandingkan dengan keterangan Philip K.Hitti, History of the Arabs, 399.

47 Ibn al-Jari>r al-T{abari>, Akhba>r al-Rusul wa al-Mulu>k, vol. 3, 1742.

48 George Zaydan, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 2, 119.

49 Martin Bosker, Eltjo Buringh, J. L. van Zanden, “From Baghdad to London: the Dynamics of Urban Growth in Europe and the Arab World, 800-

1800,” CEPR Discussion Paper, no. DP6833 (2008): 40-41.

melalui pembagian kerja dan spesialisasi. Data-data sejarah awal nampaknya dapat mengkonfirmasi kebenaran teori ini, meski tidak

secara komprehensif. 50 Pembagian kerja ini juga didedah oleh al- Shayba>ni> dalam al-Kasb. Di sisi lain, tingkat dan struktur kon-

sumsi berubah yang terlihat dari mahalnya biaya pemenuhan sejumlah kebutuhan, 51 sebagaimana juga dapat dikatakan terjadinya

peningkatan pengeluaran konsumsi pada kelompok urbanisasi aki- bat adanya demonstration effect.

Sementara itu mobilitas barang dan kapital serta penduduk yang cukup tinggi, sejatinya didukung oleh tersedianya infra- struktur yang baik. Transportasi yang berkembang dan pem- bangunan jalur-lajur untuk memudahkan pergerakan barang, uang, dan penduduk cukup gencar dilakukan. Sejarawan al-Mas‘u>di> turut mendeskripsikan bahwa kota-kota pelabuhan di Teluk Persia berkembang dengan cukup pesat dan memiliki fasilitas yang cukup memadai. Ia bernarasi bahwa sejak Haru>n al-Rashi>d telah menyampaikan gagasan untuk menggali kanal di sepanjang Isth-

muz di Suez, 52 demi mengembangkan sektor perdagangan. Salah satu implikasi dari pembangunan infrastruktur ini ada-

lah mudahnya akses pergerakan penduduk yang kemudian dengan berbagai faktor sosial-ekonomi, berdomisili ke daerah-daerah perkotaan.

5. “Ekspansi” Negara

Ciri lain perkembangan ekonomi adalah ekspansi Negara, baik secara wilayah kekuasaan 53 maupun secara ekonomi. Sesuai dengan

50 Al-Mas’u>di>, Muru>j al-Dhahab wa Ma’a>din al-Jawhar, vol. 1, 54. Pada saat Muh}ammad ibn Ish}a>q Ibn al-Nadi>m menulis al-Fihrist, semacam

katalog karya-karya Arab (988), sudah ada banyak manuskrif yang berbicara topik-topik seperti menyair, dokter, hipnotisme, mengulum pedang, lempar kaca, dan lain-lain (Lihat: Ibn al-Nadi>m, al-Fihrist [Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1978]).

51 Seperti digambarkan oleh penyair Abu> al-‘Ata>hiyah (748-826 M.) dalam bait puisinya yang berbunyi: “Inni> ara> al-as‘a>r as‘a>ra al-ra’iyyah

gha>liyah” (“saya melihat sendiri mahalnya harga kebutuhan [pokok] masyarakat”) (Lihat: Anonim, al-Anwa>r al-Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al- ‘Ata>hiyah [Beirut: Mat}ba‘at al-A<ba> al-Yasu>‘iyyi>n, 1886], 304).

52 Al-Mas‘u>di>, Muru>j al-Dhahab wa Ma‘a>din al-Jawhar , vol. 4, 94-99.

53 Pada masa pemerintahan Abbasiyah, jumlah daerah kekuasaan ber- tambah keseluruhannya menjadi 13 dan berkembang hingga mencapai 44 wila- 53 Pada masa pemerintahan Abbasiyah, jumlah daerah kekuasaan ber- tambah keseluruhannya menjadi 13 dan berkembang hingga mencapai 44 wila-

mengalir dari gerak aktif perdagangan internasional. 54 Dapatlah disebutkan beberapa potret ekspansi ekonomi ini

lewat hubungan perdagangan antar negara. Dalam hal ini, misal- nya, lewat Jalur Sutera yang terkenal itu, di sebelah timur, bangsa Arab dan China telah melakukan hubungan dagang. Berbeda

dengan narasi Philip K. Hitti, 55 hubungan ini terutama sangat berkembang pada rentang tahun 200 hingga 1500 Masehi. 56 Terkait

dengan ini, denyut perdagangan juga ikut bergairah dan memiliki peran signifikan dalam penetrasi hegemoni rezim. Ibn Khur- da>dhbuh (w. + 893 M./250 H.) menginformasikan bahwa lingkup perdagangan sangat luas dan pada mulanya melibatkan non muslim

yang terdiri atas Yahudi dan Kristen. 57 Di samping itu terdapat pasar-pasar yang menjual barang-barang lintas negeri, seperti pasar

yah kekuasaan. Sebelumnya, pada masa pemerintahan ‘Umawiyah, hanya ada 10 wilayah. Namun hal ini sebenarnya bukan berarti negara Abbasiyah berhasil melakukan ekspansi wilayah baru karena menurut Mahmu>d, Abbasiyah hanya menjaga dan mempertahankan kekuasaan warisan dari pemerintahan Umayyah sebelumnya. Perpecahan negara Abbasiyah dapat dikatakan terjadi setelah pemerintahan Abu> Ja‘far al-Wa>thiq Ha>ru>n ibn Abi Ish}a>q Muh}ammad al-Mu‘tas}im. (George Zaydan, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 1, 77- 78; Husayn Mu’nis, At}las Ta>ri>kh al-Isla>m, [Cairo: al-Zahraa for Arab Mass Media, 1987],151).

54 Pergerakan ini sejatinya ikut dilahirkan dari tradisi berniaga bangsa Ar- ab yang sangat didukung oleh postur geografis dan gestur sosial. Alquran se-

bagai karya kesusastraaan terbesar berbahasa Arab, seringkali menggunakan terma-terma perdagangan demi tujuan kontekstualisasi dan pendekatan kultural (cultural approach). Pada kasus tertentu, umumnya pendekatan ini cukup ber- hasil. Lihat misalnya: Q.S. Fa>t}ir: 29; Q.S. al-S{aff: 10.

55 Philip K. Hitti, History of the Arabs: from the Earliest Times to the Present, 7 th Edition (New York: Palgrave Macmillan, 1974), 428. 56 Morris Rossabi, “The Decline of the Central Asian Caravan Trade,”

The Rise of Merchant Empires (Cambridge: Cambridge University Press, 1990). Dalam bukunya, Rossabi berargumen bahwa perdagangan kedua belah pihak telah berkembang sejak Dinasti Han (206 BC/200 M.); seperti dikutip kembali secara singkat oleh Ben Simpfendorfer dalam The New Silk Road, How a Rising Arab World is Turning Away from the West and Discovering China (London: Palgrave Macmillan, 2009), 14.

57 ‘Ubayd Alla>h ibn Ah}mad ibn Khurda>dhbuh /ibn Khurda>dhibbah, al-Masa>lik wa al-Mama>lik (Leipzig: 1870), 153-154.

al-Khat} yang terkenal dengan komoditas dari India. 58 Juga terdapat pasar al-Mishqar yang biasanya ramai dikunjungi dari pedagang-

pedagang lintas negara seperti dari Persia dan yang lainnya. Pasar ini diselenggarakan pada setiap bulan Jumadi al-Akhir setiap ta-

hunnya. 59 Gambar pada (Lampiran 1) dapat menggambarkan rekon-

struksi wilayah kekuasaan terluas rezim Abbasiyah yaitu pada masa al-Ma’mu>n berdasarkan karya al-Maqdisi> “Ah}san al-

Taqa>si>m”. 60

6. Arus Barang, Kapital dan Migrasi

Pergerakan arus barang yang keluar dan masuk yang disertai dengan sirkulasi kapital bergerak dengan cukup cepat sering per- tumbuhan lima faktor di atas. Efek kependudukan yang ditim- bulkan adalah pergerakan masyarakat ke titik-titik di mana ditemukan akumulasi barang dan modal. Migrasi pun terjadi. Dengan sistem kependudukan yang sangat tradisional, yang pada umumnya bersifat longgar, masyarakat dengan relatif mudah ber- migrasi ke daerah tertentu seperti Baghdad. Bahkan secara statistik, dapat dikalkulasi bahwa Baghdad pada masa keemasan al-Rashi>d

menjadi kota terpadat dan terbesar di kawasan itu, 61 dengan penduduk sekitar satu juta orang. 62

Data lain yang dapat menunjukkan besarnya migrasi penduduk yaitu bahwa pada masa pemerintahan al-Mu‘tas}im (218 H.) jumlah orang Turki yang bekerja di pemerintahan diperkirakan

hampir mencapai 30 ribu orang. 63

58 Al-Qalaqshandi>, Subh} al-A’asha>, vol. 5, 140; Ibn Manz}u>r, Li- sa>n al-‘Arab, vol. 2, 1199.

59 Muh}ammad al-H{asan ibn Ya‘qu>b al-Hamda>ni>, S{ifat Jazi>rat al- ‘Arab, Muh}ammad ibn ‘Abd Alla>h al-Nejdi>, ed. (Cairo: Mat}ba‘at al-

Sa‘a>dah, 1953), 136; Sa‘i>d al-Afgha>ni>, Aswa>q al-‘Arab fi> al- Ja>hiliyyah wa al-Isla>m, Edisi ke-2 (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1960), 241.

60 Husayn Mu’nis, At}las Ta>ri>kh al-Isla>m, 147. 61 Martin Bosker, Eltjo Buringh, J.L. van Zanden, “From Baghdad to Lon-

don: the Dynamics of Urban Growth in Europe and the Arab World, 800-1800,” CEPR Discussion Paper, no. DP6833, 1-59.

62 George Zaydan, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 2, 119. 63 George Zaydan, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol.1, 71.

Dengan kerangka lain, 64 berikut beberapa indikator mak- roekonomi negara Abbasiyah yang dapat penulis rekonstruksi.

Estimasi Indikator Makro Ekonomi Abbasiyah

Tahun Pemerintahan Indikator Al-Rashi>d

Al-Ami>n Al-Ma’mu>n

Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan PDB

Sisi Pengeluaran (Dirham

gram perak)

Konsumsi

- Masyarakat 65 29.488.000 - 66 10.000

67 68 Pemerintah 69 1.502.820.000 262.100.00 86.540.000

64 Kerangka makroekonomi yang digunakan BPS Indonesia. 65 29.488.000 dirham atau setara dengan 999.377.808.000 Rupiah. Ini

hasil kalkulasi dari: (1) Belanja seseorang yang bernama Ibra>hi>m al- Maws}ili> untuk membeli asset di samping tanah pribadinya yang berjumlah 1.200.000 dirham (Al-Jihshaya>ri>, al-Wuzara> wa al-Kutta>b [Cairo: Mat}ba‘at ‘Abd al-H{ami>d Ahmad H{anafi>, 1938],180-183); (2) Konsumsi dalam bentuk derma sosial atas nama anak bungsu Yah}ya> ibn Kha>lid al- Barmaki> sebesar 500 ribu dirham (al-Jihshaya>ri>, al-Wuzara’> wa al- Kutta>b, 180); (3) Biaya pembangunan dan perlengkapan istana pribadi Ja’far ibn Yah}ya> al-Barmaki> sebesar 20 juta dirham (al-T{abari>, Ta>ri>kh al- Umam wa al-Mulu>k, vol. 10, 82); (4) Masa pemerintahan al-Rashi>d dari pertengahan R. Awal 170 H. hingga 3 Rabiul Akhir 193 H./809 M. Sehingga bila benar al-Rashi>d berderma 1000 dirham setiap hari—di luar zakat yang dikeluarkannya—maka dengan asumsi masa pemerintahannya saja (sekitar 22 tahun atau 78 hari [jumlah minimal hari per 1 tahun hijriyah adalah 354 hari]), maka jumlah total konsumsi untuk derma yang dikeluarkan adalah sebanyak 7.788.000 dirham atau sekitar 263.943.108.000 Rupiah (Lihat: al-T{abari, Ta>ri>kh al-Umam wal al-Mulu>k, vol. 10, 113).

66 Uang yang dibelanjakan keluarga pejabat bernama ‘Ali> ibn Abi> Sa‘i>d sebagai hadiah kepada sastrawan al-As{ma’i> (al-Jihshaya>ri>, al-

Wuzara> wa al-Kutta>b, 250). 67 Kalkulasi dari : (1) 7 juta dirham untuk biaya operasional pemerintahan

di daerah Kabul dan Sijistan (al-Jihshaya>ri>, al-Wuzara> wa al-Kutta>b, 191); (2) 100 ribu dirham sebagai award yang diberikan pada bidang seni sastra, tepat- di daerah Kabul dan Sijistan (al-Jihshaya>ri>, al-Wuzara> wa al-Kutta>b, 191); (2) 100 ribu dirham sebagai award yang diberikan pada bidang seni sastra, tepat-

da tahun 190 H. Dengan asumsi: (i) bahwa gaji (al-rawa>tib) mereka tidak jauh dari gaji standar yang dikeluarkan pada sekitar 1 dekade berikutnya yaitu sekitar 40 dirham untuk infantri dan 100 dirham untuk kaveleri, (ii) melihat kasus pen- jagaan perbatasan tertentu, perbandingan jumlah kavaleri terhadap infantri ada- lah 4:6 atau 54.000 kavileri dan 81.000 infantri. Mengingat gaji prajurit pada umumnya diberikan setiap 45 hari sekali dan tahun hijriyah menggunakan siklus sinodik (sekitar 354 hari/tahun), maka jumlah pengeluaran rutin untuk gaji sela- ma 22 tahun adalah 173 kali. Total gaji kedua jenis prajurit di atas per 45 hari adalah 8.640.000 dirham atau sekitar 292.818.240.000 Rupiah/45 hari. Sehingga jika dikalikan selama 22 tahun (173 kali) maka jumlahnya adalah 1.494.720.000 Dirham atau sekitar 50.657.555.520.000 Rupiah (Lihat: al-T{abari, Ta>ri>kh al- Umam wa al-Mulu>k, vol. 10, 69, 98-99; Ibn Wahb al-Ka>tib, al-Burha>n fi> Wuju>h al-Baya>n, Ah}mad Mat}lu>b & Khadi>jah al-H{adi>thi>, ed. [Bagh- dad: Maktabat al-‘A<ni>, 1967], 294; Hugh N. Kennedy, The Armies of the Ca- liphs: Military and Soceity in the Early Islamic State [Oxford: Routledge, 2001], 78-79; Quda>mah ibn Ja‘far al-Ka>tib, Kita>b al-Khara>j wa S{ina>‘at al- Kita>bah, ed. Muh}ammad Husayn al-Zabi>di> [Baghdad: al-Zabi>di>, 1981],

3, 10; Ibn Qutaybah, Adab al-Ka>tib, ed. Muh}ammad Muh}y al-Di>n ‘Abd al- H{amid [Cairo: Maktabat al-Sa‘a>dah, 1963], 110-114).

68 Kalkulasi dari: (1) 102 juta dirham sebagai insentif 24 bulan yang di- janjikan al-Ami>n sebesar 80 dirham/24 bulan gaji kepada 50 ribu pasukannya

yang hendak menyerang al-Ma’mu>n. Perdana menteri al-Fad}l ibn al-Rabi>‘ menegaskan untuk mengucurkan dana sebesar 3 juta dirham kepada prajurit yang berada di daerah kekuasaan al-Ma’mu>n (Khurasan) yang mau membelot. Ini termasuk 200 ribu dinar untuk panglima perang, Ali> ibn ‘I<sa> ibn Ma>ha>n dan 50 ribu dinar untuk putra ‘Ali> ibn ‘I<sa> ibn Ma>ha>n yang ikut memban- tu. Momen kekalahan perang justru menyebabkan bargaining position prajurit jadi lebih dominan. Mereka tetap meminta agar gaji dinaikkan menjadi 80 dir- ham dan insentif dicairkan. Karena membuat kekacauan di ibukota, akhirnya oleh pemerintah al-Ami>n, mereka yang bergaji di bawah 80 dirham dinaikkan menjadi 80 dirham, dan insentif 4 bulan dicairkan (al-T{abari>, Ta>ri>kh al- Umam wa al-Mulu>k, vol. 10, 124, 139, 149, 155, 153; Abu> al-Fida>, al- Mukhtas}ar fi> Akba>r al-Bashar, vol. 1, 160; al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al- Isla>m wa Wafaya>t al-Masha>hi>r wa al-A’ala>m, vol. 4, 1033). Dengan demikian, gaji semua pasukan infanteri adalah 80 dirham/45 hari—di luar insen- tif (arza>q) dan pasukan kaveleri 100 dirham/45 hari. Dengan perbandingan 4:6 yang hendak menyerang al-Ma’mu>n. Perdana menteri al-Fad}l ibn al-Rabi>‘ menegaskan untuk mengucurkan dana sebesar 3 juta dirham kepada prajurit yang berada di daerah kekuasaan al-Ma’mu>n (Khurasan) yang mau membelot. Ini termasuk 200 ribu dinar untuk panglima perang, Ali> ibn ‘I<sa> ibn Ma>ha>n dan 50 ribu dinar untuk putra ‘Ali> ibn ‘I<sa> ibn Ma>ha>n yang ikut memban- tu. Momen kekalahan perang justru menyebabkan bargaining position prajurit jadi lebih dominan. Mereka tetap meminta agar gaji dinaikkan menjadi 80 dir- ham dan insentif dicairkan. Karena membuat kekacauan di ibukota, akhirnya oleh pemerintah al-Ami>n, mereka yang bergaji di bawah 80 dirham dinaikkan menjadi 80 dirham, dan insentif 4 bulan dicairkan (al-T{abari>, Ta>ri>kh al- Umam wa al-Mulu>k, vol. 10, 124, 139, 149, 155, 153; Abu> al-Fida>, al- Mukhtas}ar fi> Akba>r al-Bashar, vol. 1, 160; al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al- Isla>m wa Wafaya>t al-Masha>hi>r wa al-A’ala>m, vol. 4, 1033). Dengan demikian, gaji semua pasukan infanteri adalah 80 dirham/45 hari—di luar insen- tif (arza>q) dan pasukan kaveleri 100 dirham/45 hari. Dengan perbandingan 4:6

69 Kalkulasi dari: (1) Uang modal awal shirkat (kongsi) dagang yang diberikan pemerintah kepada seseorang bernama Khudha>bu>dh sebagai imba-

lan atas jasanya kepada pemerintah sebesar 750 ribu dirham (al-Jihshaya>ri>, al- Wuzara’> wa al-Kutta>b, 262); (2) Fase transisi ditandai oleh adanya instabili- tas politik. Hal ini misalnya dapat dilihat dari pertengahan tahun 199 hingga ta- hun 200 H. yang dipenuhi oleh beberapa pemberontakan. Setidaknya biaya min- imal untuk operasi militer yang dikeluarkan al-Ma’mu>n untuk meredam pem- berontakan bermotif politis yang digalang oleh Muh}ammad ibn Ibra>hi>m ibn T{ab}a>t}aba> di sekitar Kufah adalah mencapai 240 ribu dirham. Hal ini ber- dasarkan estimasi pasukan yang dibentuk oleh kaki tangan al-Ma’mu>n, al- H{asan ibn Sahl yaitu sekitar 4.000 kavileri dan 6.000 infantri. Estimasi ini be- lum termasuk operasi militer untuk melawan pemberontakan di Yaman yang digawangi Ibra>hi>m ibn Mu>sa al-Rid}a>; pemberontakan di Basrah dipimpin oleh Zayd ibn Mu>sa> ibn Ja’far; pemberontakan di Mekkah di bawah ketuanya Husayn ibn H{asan ibn al-Aft}as. Pemberontakan di atas ini seluruhnya bermotif misi politik kalangan al-T{a>libiyyi>n (partai yang berafiliasi kepada ‘Ali> ibn Abi> T{a>lib dan keluarganya). Di sisi lain, terdapat ‘instabilitas’ internal pemerintah. Sebagai contoh, demonstrasi militer terhadap al-H{asan ibn Sahl terkait kenaikan gaji pada tahun 200 H. di Baghdad; juga kudeta terhadap al- Ma’mu>n dari kalangan keturunan al-‘Abbas disebabkan penetapan ‘Ali> ibn Mu>sa> al-Rid}a> sebagai putra mahkota. Beberapa operasi militer di atas setid- aknya menurut yang tercatat menghabiskan dana sekitar 640 ribu dirham (al- Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa Wafaya>t al-Masha>hi>r wa al-A’ala>m, vol. 4, 1056, 1059; al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m, vol. 5, 7; M. R. Qal’aji>, Mu’jam Lughat al-Fuqaha>, vol. 1, 320); (3) 150 ribu dirham jumlah uang yang berikan oleh al-Ma’mu>n kepada al-‘Abbas ibn al-Haytham karena berhasil me- nangkap tiga orang yang menganiaya al-Fad}l ibn Sahl (al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa Wafaya>t al-Masha>hi>r wa al-A’ala>m, vol. 5, 8); (4) 10 juta dirham untuk biaya pemerintahan wilayah Khurasan dan kawasan timur lainnya (al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa Wafaya>t al-Masha>hi>r wa al- A’ala>m, vol. 5, 15); (5) 60 juta dirham Biaya untuk militer dan dana untuk kota

70 Investasi 71 30.000.000 15.000.000 ∞ 72 Ekspor

Impor

Pertumbuhan PDB

Sisi Produksi (dirham)

Fam al-S{ulh} yang dicairkan pada tahun 210 H. (al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al- Isla>m wa Wafaya>t al-Masha>hi>r wa al-A’ala>m, vol. 5, 19); (6) 15 juta dirham untuk dana operasional pemerintahan baru yang diberikan kepada al- Mu’tas}im, gubernur Mesir dan Sha>m dan al-‘Abba>s yang mengepalai daerah al-Jazi>rah. Masing-masing menerima 500 ribu dinar atau sekitar 7,5 juta dirham (al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa Wafaya>t al-Masha>hi>r wa al- A‘ala>m, vol. 5, 244).

70 Kalkulasi dari: (1) Biaya yang dikeluarkan oleh Perdana menteri (wa- zi>r al-tanfi>dh) Yah}ya> ibn Kha>lid untuk melaksanakan proyek pem-

bangunan sungai al-Qa>tu>r dan kanalisasi Abu> al-Jund adalah sebesar 20 juta dirham (al-Jihshaya>ri, al-Wuzara’> wa al-Kutta>b, 190); (2) Tahun 178 H., asisten perdana menteri, al-Fad}l ibn Yah}ya> menghabiskan dana 10 juta dir- ham untuk membangun “layanan air umum terintegrasi” (al-h}ayad}a>t), be- berapa mesjid, lembaga-lembaga pendidikan (al-riba>t}a>t), merekrut angkatan perang, memutihkan utang pajak lama (manajemen fiskal), memberi beasiswa (was}ala) di bidang pendidikan (al-Jihshaya>ri, al-Wuzara’> wa al- Kutta>b, 191).

71 Biaya membuat 5 kapal besar yang diestimasi dari perkataan seorang saksi mata bernama al-Husayn ibn al-D{ah}h}a>k (w. 250 H./864 M.) yang me-

nyebut bahwa biaya pembuatan per satu kapal adalah sekitar 3 juta dirham (al- Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa Wafaya>t al-Masha>hi>r wa al-A‘ala>m, vol. 4, 1048).

72 Dana tak terhingga untuk membangun dan membentengi kota Tu- wa>nah. Beberapa sejarawan menyebut jumlah dana itu dengan ungkapan “han-

ya Allah yang tahu besarannya” (la> yuh}s}i>hi> illa> Alla>h) (al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa Wafaya>t al-Masha>hi>r wa al-A‘ala>m, vol. 5, 247).

73 Pemasukan dari Abwa>b al-Ma>l (Pos-pos Harta/’The Treasure Hous- es’) di daerah pertanian al-Sawa>d (al-Jihshaya>ri>, al-Wuzara’> wa al-

Kutta>b, 281-288). Setidaknya ada “enam wilayah utama” pertanian gandum dan buah-buahan negara Abbasiyah periode al-Rashi>d: (1) al-Sawa>d, Irak; (2) Utara Shiria>, (3) Mosul; (4) al-Jazi>rah; dan (5) Mesir (Hugh Kennedy, The Early Abbasid Caliphate: A Political History [Kent: Croom Helm, 1981], 21;

Robin S. Doak, Great Empires of the Past: Empire of the Islamic World [New York: Chelsea House, 2010], 43; D. E. Streusand, Islamic Gunpowder Empires: Ottomans, Safavids, and Mughals [Boulder: Westview Press, 2011], 17; R. S. Chaurasia, History of Middle East [New Delhi: Atlantic, 2005], 171).

74 Penghasilan pajak (jiba>yah) dari harga hasil panen daerah al-Sawa>d (Al-Jihshaya>ri>, al-Wuzara’> wa al-Kutta>b, 281).

75 47.027.215 dirham atau sekitar 1.593.799.343.565 Rupiah. Nominal ini diambil dari pemasukan (jiba>yah) berupa komoditas pilihan. Dari Isfahan: 20

ribu rit}l madu: 500 ribu dirham (25 dirham/1 rit}l) ; 20 ribu rit}l madu al- urundi>: 600 ribu dirham (30 dirham/rit}l); dari kota satelit Basrah dan Kufah:

20 ribu rit}l madu putih: 600 ribu dirham (30 dirham/rit}l); dari daerah Shahr- zu>r, Mosul, al-Jazi>rah, Azerbaijan, Mu>qa>n, Karkh, dan Ji>la>n: 12 pundi (ziqq) madu : 60 ribu dirham (25 dirham/ziqq [1 ziqq adalah sekitar 200 rit}l]). Sub sektor perkebunan menyumbang komoditi berupa: gula 30 ribu rit}l dari daerah al-Ahwa>z yang diuangkan menjadi sekitar 45 ribu dirham (1,5 dirham/ rit}l. Bagian atas tebu satu fida>n seharga 5 dinar, bagian bawah per 1 fida>n dihargai 2 dinar 5 qira>t}). Komoditas perkebunan dari Persia: 20 ribu air kismis hitam: - ; 250 ribu buah delima: 207.500 dirham (0,83 dirham/1 delima) ; 250 ribu srikaya (safarjal): 250 ribu dirham (1 dirham/1 srikaya); 30 ribu botol minyak astiri mawar: - ; 15 ribu rit}l mangga: - ; dan 3 kurr hashimi> kismis: 7.200 dirham (2.400 dirham/1 kurr [1 kurr sekitar 200 rit}l]). Dari Karman: 20 ribu rit}l/3846 s}a>’ tamar (kurma): 3.846 dirham (1 dirham/1 s}a’[1 rit}l = + 0,19 s}a>’]), 100 rit}l adas: 66 dirham (0,33 dirham/1 rit}l). Dari kawasan Sanad: 150 mann gaharu: 2.100 dirham (14 dirham/1 mann); 150 mann gaharu berbagai jenis: sekitar 2.100 dirham. Dari Khurasan: 300 rit}l buah zaq- qum/Balanites Aegyptiaca (al-ihli>j): - . Dari Jurja>n: 1.000 mann sutera Ibrisi>m: 260.000 dirham (260 dirham/ 1 mann). Dari daerah Rhages: 100 juta delima: 830 ribu dirham; 1.000 rit}l buah persik (khu>kh): 2.500 dirham (2,5 dirham/1 rit}l). Dari daerah Isfahan: 1000 mann Ceratonia siliqua (rub): - . Dari seluruh penjuru Sha>m: 300 ribu rit}l anggur kering (zabi>b) atau 1.500 kurr: 3.600.000 dirham (2.400 dirham/1 kurr [1 kurr sekitar 200 rit}l]). Sementara dari sub sektor peternakan adalah: Sanad menyumbang berupa 3 ekor gajah (al- fi>lah) senilai 17.703 dirham (sekitar 5.901 dirham/1 ekor gajah betina dewasa). Dari Khurasan: 4 ribu kuda terbaik (al-bardhu>n): 40 juta dirham (10 ribu dir- ham/1 bardhu>n). Dari Qu>ms: 40 ribu delima: 33.200 dirham. Dari Armenia: 200 keledai (bigha>l): 6000 dirham (2 dinar/1 keledai) (Lihat: Muh}ammad ibn ‘Ali> ibn Ibra>hi>m, al-A’ala>q al-Khat}i>rah fi> Dhikr Umara> al-Sha>m wa al-Jazi>rah, vol. 1, ed. Yah}ya> Zakariya> [Damaskus: Waza>rat al- Thaqa>fah, 1991], 68, Badr al-Di>n al-‘Ayni>, ‘Aqd al-Juma>n fi> Ta>ri>kh Ahl al-Zama>n, vol. 1, ed. M. M. Ami>n [Cairo: Da>r al-Kutub, 1987), 192; al- Qalaqshandi>, Subh} al-A’asha>, vol. 1, 495, vol. 3, 530; Ibn Qutaybah, ‘Uyu>n al-Akhba>r, vol. 1 [Beirut: Da>r al-Fikr, 2005], 112; al-Zamakhshari>, Rabi>’ al-Abra>r wa Nus}u>s} al-Akhba>r, vol. 1 [Beirut: Muassasat al-A‘ala> li al- Mat}bu>‘a>t, 1992], 485; Abu> al-Nu‘aym al-As}faha>ni>, H{ilyat al- Awliya>’, vol. 6 [Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, 1405 H.], 212; Ibn Taymi- 20 ribu rit}l madu putih: 600 ribu dirham (30 dirham/rit}l); dari daerah Shahr- zu>r, Mosul, al-Jazi>rah, Azerbaijan, Mu>qa>n, Karkh, dan Ji>la>n: 12 pundi (ziqq) madu : 60 ribu dirham (25 dirham/ziqq [1 ziqq adalah sekitar 200 rit}l]). Sub sektor perkebunan menyumbang komoditi berupa: gula 30 ribu rit}l dari daerah al-Ahwa>z yang diuangkan menjadi sekitar 45 ribu dirham (1,5 dirham/ rit}l. Bagian atas tebu satu fida>n seharga 5 dinar, bagian bawah per 1 fida>n dihargai 2 dinar 5 qira>t}). Komoditas perkebunan dari Persia: 20 ribu air kismis hitam: - ; 250 ribu buah delima: 207.500 dirham (0,83 dirham/1 delima) ; 250 ribu srikaya (safarjal): 250 ribu dirham (1 dirham/1 srikaya); 30 ribu botol minyak astiri mawar: - ; 15 ribu rit}l mangga: - ; dan 3 kurr hashimi> kismis: 7.200 dirham (2.400 dirham/1 kurr [1 kurr sekitar 200 rit}l]). Dari Karman: 20 ribu rit}l/3846 s}a>’ tamar (kurma): 3.846 dirham (1 dirham/1 s}a’[1 rit}l = + 0,19 s}a>’]), 100 rit}l adas: 66 dirham (0,33 dirham/1 rit}l). Dari kawasan Sanad: 150 mann gaharu: 2.100 dirham (14 dirham/1 mann); 150 mann gaharu berbagai jenis: sekitar 2.100 dirham. Dari Khurasan: 300 rit}l buah zaq- qum/Balanites Aegyptiaca (al-ihli>j): - . Dari Jurja>n: 1.000 mann sutera Ibrisi>m: 260.000 dirham (260 dirham/ 1 mann). Dari daerah Rhages: 100 juta delima: 830 ribu dirham; 1.000 rit}l buah persik (khu>kh): 2.500 dirham (2,5 dirham/1 rit}l). Dari daerah Isfahan: 1000 mann Ceratonia siliqua (rub): - . Dari seluruh penjuru Sha>m: 300 ribu rit}l anggur kering (zabi>b) atau 1.500 kurr: 3.600.000 dirham (2.400 dirham/1 kurr [1 kurr sekitar 200 rit}l]). Sementara dari sub sektor peternakan adalah: Sanad menyumbang berupa 3 ekor gajah (al- fi>lah) senilai 17.703 dirham (sekitar 5.901 dirham/1 ekor gajah betina dewasa). Dari Khurasan: 4 ribu kuda terbaik (al-bardhu>n): 40 juta dirham (10 ribu dir- ham/1 bardhu>n). Dari Qu>ms: 40 ribu delima: 33.200 dirham. Dari Armenia: 200 keledai (bigha>l): 6000 dirham (2 dinar/1 keledai) (Lihat: Muh}ammad ibn ‘Ali> ibn Ibra>hi>m, al-A’ala>q al-Khat}i>rah fi> Dhikr Umara> al-Sha>m wa al-Jazi>rah, vol. 1, ed. Yah}ya> Zakariya> [Damaskus: Waza>rat al- Thaqa>fah, 1991], 68, Badr al-Di>n al-‘Ayni>, ‘Aqd al-Juma>n fi> Ta>ri>kh Ahl al-Zama>n, vol. 1, ed. M. M. Ami>n [Cairo: Da>r al-Kutub, 1987), 192; al- Qalaqshandi>, Subh} al-A’asha>, vol. 1, 495, vol. 3, 530; Ibn Qutaybah, ‘Uyu>n al-Akhba>r, vol. 1 [Beirut: Da>r al-Fikr, 2005], 112; al-Zamakhshari>, Rabi>’ al-Abra>r wa Nus}u>s} al-Akhba>r, vol. 1 [Beirut: Muassasat al-A‘ala> li al- Mat}bu>‘a>t, 1992], 485; Abu> al-Nu‘aym al-As}faha>ni>, H{ilyat al- Awliya>’, vol. 6 [Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, 1405 H.], 212; Ibn Taymi-

76 Total hasil pertanian biji gandum kasar (al-sha’i>r): 99731 kurr dan bi- ji gandum halus (al-h{int}ah) 177.200 kurr dari kawasan al-Sawa>d yang dikon-

versi oleh Quda>mah ibn Ja’far senilai 100.361.850 dirham (Koda>ma ibn Dja‘far, Et Excerpta E Kita>b al-Khara>dj, dalam Abu>’l-Ka>sim Obaidallah ibn Abdallah Ibn Khoruda>bhbeh, Kita>b al-Masa>lik wa’l-Mama>lik [Liber Viarum Et Regnorum], M. J. De Goeje, ed. [Leiden: E. J. Brill, 1889], 339).

Industri 77 pen- 50.108.240 -

golahan

77 50.108.240 dirham atau sekitar 1.698.218.361.840 Rupiah. Estimasi ini adalah kalkulasi dari: 50 ribu plaster sayrafi (al-t}i>n al-s}ayra>fi>) kualitas

nomor satu dari Persia: - . Dari Karman: 500 baju yamani dan khus}aybi>: 600 ribu dirham (sekitar 1200 dirham atau 80 dinar/potong). Dari kawasan Sanad berupa 2000 pakaian kerja (al-khashbiyyah): 210 ribu dirham (105 dirham atau sekitar 7 dinar/potong); celemek (fu>t}ah) 4000 lembar: 320 ribu dirham (80 dirham/potong); 2000 pasang sandal: 4000 dirham (2 dirham/pasang) dan ma- kanan olahan (al-t}a‘a>m) sebanyak 1 juta quafiz: 1 juta dirham (1dirham/quafiz). Dari Sijistan: pakaian jadi kualitas terbaik (al-mu’ayyanah) 300 potong: 360 ribu dirham (1200 dirham atau 80 dinar/potong); 100 rit}l per- men Va>ni>dh: 500 dirham (5 dirham/rit}l); 2 ribu takar (naqrah) perak: 200 ribu dirham (100 dirham/naqrah); 27 ribu pakaian (al-thawb): 2.430.000 dirham (90 dirham/potong). Dari Qu>ms: 1000 takar perak: 100.000 dirham (100 dir- ham/takar); 70 kain (kisa>): 140 dirham (7 dirham/potong). Dari T{ibristan, Dinbawand dan Ruyan: 100 potong permadani: 25 juta dirham (250 ribu dir- ham/potong); 200 pakaian tebal (aksiyah): 200 ribu dirham (1000 dir- ham/potong); 200 pakaian (al-thiya>b): 240 ribu dirham (1.200 dirham/potong); 300 saputangan (mana>di>l): 3.600 dirham (12 dirham/potong) dan 600 kaca hias (al-ja>ma>t): 18 juta dirham (3000 dirham/kaca hias). Dari Isfahan: 30 ribu rit}l lilin: 450 ribu dirham (1 dinar/lilin). Dari daerah Shahrzur, Mosul, al- Jazi>rah, Azerbaijan, Mu>qa>n, Karkh dan Jilan: 20 kopiah (taylasa>n): 30 ribu dirham (1500 dirham atau 100 dinar/kopiah). Dari Armenia: 20 karpet berukir (al-bisa>t} al-mah}fu>r): 600 ribu dirham (2 ribu dinar/potong); 850 kain brokat (al-raqm): -; 10 ribu rit}l garam (al-ma>lih}): -; 10 ribu ikan T{ari>kh dari Ar- menia: -. Dari Mesir: 12 permadani: 360 ribu dirham (2 ribu dinar/potong) (Lihat: Ibnu ‘Asa>kir, Ta>ri>kh Dimashq, vol. 43, 126, vol. 7, 178; al- Maqri>zi>, al-Sulu>k li Ma‘rifat Duwal al-Mulu>k, vol. 2, 214; Ibn al- Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, vol. 3, 503; Ma>lik ibn Anas, al-Mudawwanah al- Kubra>, vol. 4 [Cairo: Maktabat Da>r al-Sa‘a>dah, 1333 H.], 95; Oliver Kahl, Sābūr ibn Sahl's Dispensatory in the Recension of the ʿAḍudī Hospital [Amster- dam: Brill, 1993], 32; al-Husayn ibn ‘Ali> ibn Si>na>, al-Qa>nu>n fi> al- T{i>bb, vol. 4, ed. Edward al-Qish [Beirut: Muassasat ‘Izz al-Di>n, 1993], 146; Abu Bakr Muh}ammad al-Sarakhsi>, al-Mabsu>t{, vol. 16 [Cairo: Mat}ba‘at al- Sa‘a>dah, 1331 H.], 491; Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Rushd al-Qurt}ubi>, al- Baya>n wa al-Tah}s}i>l wa al-Sharh} wa al-Tawji>h wa al-Ta‘li>l li Masa>il al-Mustakhrajah, vol. 17, ed. Muh}ammad Haji>, et al. [Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1988], 56; al-T{abari>, Ta>ri>kh al-T{abari>, vol. 5, 438; al- Tanu>khi>, al-Faraj ba’da al-Shiddah, vol. 1, 222; Ibn Manz}u>r, Mukhtas}ar T>a>ri>kh Dimasqh, vol. 2, 295; Ayat Alla>h al-Sayyid Muh}ammad al- Husayni> al-Shi>ra>zi>, Min al-Tamaddun al-Isla>mi> [Karbala: t.p., 1977], 76; Mah}mu>d ibn Ah}mad ibn al-S{adr, al-Muh}i>t} al-Burha>ni>,vol. 9 [Cairo: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-Isla>mi>, t.t.], 574; ‘Amr ibn Bah}r al- Ja>hiz}, al-Ta>j fi> Akhla>q al-Mulu>k, vol. 1, ed. Ah}mad Zaki> Ba>sha> [Cairo: Maktabat al-Ami>riyyah, 1914], 7; al-Khali>l ibn Ah}mad, al-‘Ayn, vol.

Nonmigas Lainnya

PDB per Kapita

(Dirham) Riil

Harga

Konstan

Stabilitas Ekonomi

Laju Inflasi,

Indeks Harga Konsumen (dirham) Nilai

Tukar

Nominal (Di- nar/Dirham) Suku Bunga

- Neraca Pem-

bayaran

Pertumbuhan

Ekspor Pertumbuhan

Impor

78 Cadangan De- 79 900.000.000 - 400.000.000

1, ed. Mahdi al-Makhzu>mi>, et al. [Beirut: Da>r al-Hila>l, t.t,], 312; al- S{a>h}ib ibn ‘Abba>d, al-Muh}i>t} fi> al-Lughah, vol. 1, ed. Muh}ammad H{asan A<l Ya>si>n [Baghdad: Da>r al-Ma‘a>rif, 1975], 352).

78 Al-T{abari> menyebut bahwa saat meninggal, al-Rashi>d meninggal- kan total kas negara (Bayt al-Ma>l) sebanyak 900 juta dirham. Termasuk di da-

lamnya uang dan asset yang disita dari keluarga al-Barmaki> pada tahun 187 H. yang mencapai 30.676.000 Dirham dan upeti yang diserahkan kaisar Romawi sebanyak 350 ribu dinar pada sekitar tahun 190 H. Juga asset sitaan dari pejabat despotis, ‘Ali> ibn ‘I<sa> ibn Ma>ha>n senilai 80 juta dirham. Tiga item tera- khir penulis masukkan dalam cadangan karena tidak tertera dalam masing- masing Daftar Pendapatan Pajak (al-Qa>imah) baik yang dirilis oleh al- Jihshaya>ri> atau Ibn Khaldu>n (Lihat: al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Rusul wa al- Mulu>k, vol. 10, 99, 124; al-Jihshaya>ri>, al-Wuzara’> wa al-Kutta>b, 135; Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Fari>d, vol. 3, 260-261).

79 Ini proyeksi kas negara masa al-Ma’mu>n yang dapat dipahami dari keterangan al-Rays berdasarkan pendapatan pajak ditambah dengan asset-asset

lain (al-‘uru>d} wa al-amti‘ah) milik negara. Sayang al-Reys tidak merekon- lain (al-‘uru>d} wa al-amti‘ah) milik negara. Sayang al-Reys tidak merekon-

Keuangan Negara

Surplus/Defisit

APBN/PDB (dirham) Penerimaan

80 11.666.864.000 81 - 393.231.351

Pajak (dirham) Stok

Utang

Pemerintah

Penganggu- ran dan Kem- iskinan

0,42 Pengangguran (persen)

struksi bentuk asset tersebut secara detil (M. D{iya> al-Di>n al-Rays, al- Khara>j wa al-Nuz}um al-Ma>liyyah li al-Dawlah al-Isla>miyyah, 498).

80 Hasil komparasi Daftar Pendapatan Pajak (Qa>imah) masing-masing dari transmisi Ibn al-Jihshaya>ri> dan Ibn Khaldu>n ternyata identik satu sama

yang lain. Dengan bantuan data primer lain, disimpulkan bahwa kedua daftar ini sama-sama merujuk pada masa al-Rashi>d bahkan (sebagai gambaran) masa awal pemerintahan Abbasiyah. Yang krusial dijelaskan—karena jarang atau be- lum pernah diungkap sebelumnya—adalah bahwa DPP yang mencapai 530.312.000 dirham ini adalah hasil per tahun, sehingga bila dikalikan masa pemerintahan al-Rashid selama 22 tahun (530.312.000 x 22), maka jumlah total DPP mencapai 11.666.864.000 Dirham atau 395.401.687.824.000 Rupiah. Hipotesis ini didukung oleh alasan utama: dengan pengeluaran rutin untuk gaji rutin militer saja, uang 530.312.000 tidak akan cukup/balance menutupi penge- luaran tersebut selama 22 tahun, belum pengeluaran yang lain (Bandingkan: Ibn Khaldu>n, al-Muqaddimah, 149-151; al-Jihshaya>ri>, al-Wuzara>’ wa al- Kutta>b, ed. Mus}t}afa> al-Saqa> et al., 284; M. D{iya> al-Di>n al-Rays, al- Khara>j wa al-Nuz}um al-Ma>liyyah li al-Dawlah al-Isla>miyyah, 475-493; Philip K. Hitti, History of the Arabs; George Zayda>n, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, vol. 2, 36; C. Pellat, Ibn al-Muqaffa': "Conseilleur" du calife [Paris: Maisonneuve, 1976]; Eliyahu Ashtor, Histoire des Prix et des Salaires Dans l'Orient Médiéval [Paris: S.E.V.P.E.N., 1969], 71).

81 Quda>mah ibn Ja’far menyebut DPP (al-qa>imah) yang dari konteks “awwal sanah yu>jad h}isa>buha> fi> al-dawa>wi>n bi al-had}rah,” dapat

dipahami merujuk pada masa pemerintahan al-Ma’mu>n hingga sekitar awal pemerintahan al-Mu’tas}im (Quda>mah ibn Ja‘far, al-Khara>j wa S{un’at al- Kita>bah, 236; M. D{iya> al-Di>n al-Rays, al-Khara>j wa al-Nuz}um al- Ma>liyyah li al-Dawlah al-Isla>miyyah, 494).

Tingkat Kem-

iskinan

C. Paradoks Perekonomian Dalam batas tertentu, pertumbuhan ekonomi nampaknya tidak selalu berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan. Beberapa fakta justru membuktikan hipotesis bahwa secara kasat mata, per- tumbuhan ekonomi yang disokong, misalnya oleh pendapatan per- kapita yang besar, tidak berakibat pada terciptanya tingkat kese- jahteraan yang tinggi.

Terkait paradoks ini, terdapat beberapa tulisan yang membin- cang adanya fenomena paradoks. Dari beberapa penelusuran penu- lis, nampaknya Thomas R. Malthus (w. 1834 M.) adalah cendikia pertama yang mempopulerkan fenomena seperti ini dan menyebut-

nya dalam salah satu masterpiece-nya. 82 Pada tahun 1993, Harvey Levenstein menulis buku “Paradox of Plenty”, yang menggunakan

analisis sejarah sosial terhadap fenomena makanan dan gaya hidup masyarakat Amerika modern. 83

Dalam ranah ekonomi, ada sementara penelitian, di antaranya oleh Howard F. Chang 84 yang menjelaskan realitas paradoksial da-

lam hal imigrasi terutama dalam kaitannya dengan keadilan distri- busi. Chang, secara gamblang mengangkat kembali teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawls (1971) terkait prinsip keadi- lan distribusi. Demikian halnya dengan penelitian Gerald F. Davis, Marina v. N. Whitman, dan Mayer N. Zald, terkait adanya fenome- na global mengenai paradoks pada tanggungjawab sosial perus-

ahaan multinasional. 85 Begitu pula ada yang dilakukan oleh Ananya Mukherjee Reed terkait realitas paradoksial dalam keuntungan

82 Thomas R.Malthus, An Essay on the Principle of Population (London: John

Murray, 1826). Buku diakses pada (2/8/2011) dari situs: http://www.econlib.org/library/Malthus/malPlongCover.html. 83 Harvey Levenstein, Paradox of Plenty: a Social History of Eating in

Modern America (Oxford: Oxford University Press, 1993). 84 Howard F. Chang, “the Immigration Paradox: Poverty, Distributive Jus-

tice, and Liberal Egalitarianism,” Public Law and Legal Theory Research Paper Series, no. 37 (2003): 11.

85 Gerald F. Davis, Marina v. N. Whitman, dan Mayer N. Zald, “The Re- sponsibility Paradox: Multinational Firms and Global Corporate Social Respon-

sibility,” Ross School of Business Working Paper Series, no. 1031, (2006).

(profits) dalam konteks perekonomian korporasi di India. 86 Juga terdapat penelitian yang lebih fundamental, seperti apa yang dil-

akukan oleh Bernard Paulré yang mengkritisi konsepsi “the New Economy” dengan mengelaborasi kembali kerangka kerja Solow

terkait paradoks. 87 Solow yang menerima nobel ekonomi pada tahun 1987,

mengenalkan paradoks zaman komputerisasi dengan statistik produktivitas. 88 Paradoks di sini diartikan sebagai ketidaksesuaian

antara ukuran investasi di bidang teknologi informasi dan capaian- capaian output pada tingkat nasional. 89

Charles Clark, professor ekonomika pada St. John’s University menemukan baik pada saat resesi maupun ekspansi ekonomi, perekonomian dapat mengalami inekualitas/ketidakadilan pema-

sukan (income). 90 Temuan Clark ini nampaknya relevan bila di- proyeksikan pada realitas perekonomian Negara Abbasiyah. Be-

berapa sumber sejarah menyebut bahwa sekitar lima abad mulai sekitar tahun 750 Masehi, Negara ini mengalami lompatan kema- juan di berbagai bidang, di antaranya bidang ekonomi. Namun pada masa al-Ami>n, negara mengalami defisit keuangan yang fatal, bahkan dinarasikan oleh sebagian sejarawan dengan ungkapan “ha- bis.”

Paradoks pertumbuhan ekonomi itu juga tercium pada masa al- Rashi>d, meskipun dengan data yang relatif terbatas. Indikator per- tama, konteks penulisan buku “al-Iktisa>b” sendiri yang mengindikasi adanya paradoks realitas pada saat itu: ketidaks-

86 Ananya Mukherjee Reed, Perspectives on the Indian Corporate Econ- omy: Exploring the Paradox of Profits (Hampshire: Palgrave, 2001).

87 Bernard Paulré, “Is the New Economy a Useful Concept?” Working Paper from Laboratoire MATISSE- I.SY.S. [Innovation - Systèmes – Stratégies],

(2000). 88 Robert Merton Solow, “We’d Better Watch,” New York Times Book

Review, July 12 (1987). 89 James C. Wetherbe, Efraim Turban, Dorothy E Leidner, Ephraim R.

McLean, Information Technology for Management: Transforming Organizations in the Digital Economy , 6 th

ed. (New York: Wiley, 2007) 90 Charles Clark, “Legitimating Inequality: Some Recent Attempts at Ex-

plaining the Rise in Inequality,” paper dipresentasikan pada AEE Meeting, Washington D. C. (1995). Dalam tradisi ekonomi, income kadang disebut “Citi- zen’s Income” atau “Social Dividend”).

esuaian antara output produktivitas si kaya dan miskin. 91 Yang kedua, tingkat pengangguran mencapai 0,36 persen atau sekitar 150

ribu orang. Seperti sebelumnya disebut, al-Rashi>d dapat mewakili secara umum fase kemajuan ekonomi, sementara fase al-Ami>n dapat mewakili fase krisis ekonomi. Namun seringkali digambarkan bahwa khalifah al-Ami>n ini termasuk dalam masa-masa keemasan dinasti Abbasiyah. Sejarawan Philips K. Hitti, misalnya, menyebut bahwa setelah masa pemerintahan al-Wa>thiq, negara Abbasiyah mengalami kemunduran. Ini berarti bahwa meskipun terjadi krisis, masa al-Amin yang cukup pendek, sepertinya diuntungkan oleh “koinsidensi” fase kemajuan yang berlangsung sebelum pemerinta- hannya atau setelah pemerintahannya.

Dengan asumsi bahwa al-Iktisa>b ditulis dalam konteks al- Rashi>d, maka penulisan ini menjadi penanda bahwa al- Shayba>ni> mengkonstruk karyanya al-Kasb dalam momentum pra kemunduran Negara. Dengan hipotesis ini, dapat dikatakan bahwa al-Shayba>ni nampaknya telah membaca “tanda zaman” krisis Negara Abbasiyah. Di sisi lain, ia seakan memotret paradoks ekonomi. Dalam hal ini, al-Shayba>ni> secara tidak langsung me- wakili kritik sekaligus penyikapan atas (permasalahan- permasalahan) yang terjadi pada fase kemajuan Negara Abbasiyah. Pada titik inilah paradoks pembangunan ekonomi Negara Abbas- iyah dapat dilihat.

Transformasi al-Iktisa>b untuk kemudian menjadi semacam “blue print” kebijakan pemerintah pada masa al-Ma’mu>n lebih disebabkan oleh faktor jabatan struktural Muh}ammad ibn Sam- ma>’ah, penukil sekaligus salah satu murid utama dari al- Shayba>ni> sendiri.

Paradoks perekonomian yang penulis temukan dalam penelitian ini nampaknya cukup relevan untuk didekati dengan kerangka kerja Solow. Artinya secara hipotesis, dalam kasus Ab- basiyah masa al-Rashi>d, dapat dinyatakan bahwa ada fenomena ketidaksesuaian antara ukuran kemajuan ekonomi dengan capaian output pada tingkat masyarakat tertentu.

91 Lihat muqaddimah atau pengantar “al-Kasb” dan keterangan de- dengkot aliran al-H{anafiyah seperti al-Sarkhasi> dalam masterpiece-nya, al-

Mabsu>t}.

1. Abu> al-‘Ata>hiyah: Representasi Rakyat Kecil

Indikasi bahwa perkembangan perekonomian tidak melahirkan “tricke down effect” dapat juga dibaca dari kritik seorang penyair-

mistis, Abu> al-‘Ata>hiyah (w. 205/213 H.). 92 Sebagian informasi tentang gaya hidup kalangan istana dan lingkaran terdekatnya

bukan berarti konfirmasi penuh atas klaim S. D. Goitein yang mengatakan telah terjadi gaya hidup borjuis. 93 Betul bahwa gaya

hidup ini dapat dikatakan menggejala di lingkaran istana, dan pada masyarakat kelas atas. Beberapa sumber sejarah dapat mengonfir- masi kenyataan tersebut. Namun, bukan berarti ini gejala umum yang terjadi pada masyarakat Negara khilafah saat itu.

Philip K. Hitti menyebutkan bahwa puisi “Abu> al- ‘Atha>hiyah/al-‘At}a>hiyah” dapat mewakili gambaran masyara- kat umum saat itu. Nampaknya klaim Hitti ini dikarenakan sub- stansi syair-syair Abu> al-‘Ata>hiyah terutama setelah perubahan “sikap sastra” pada dirinya. Maksudnya, sebelum berkecimpung di syair-syair bergenre asketis-mistis-satir, syair-syair Abu> al- ‘Ata>hiyah dinilai lebih bergenre ode (syair pujian)p kepada pen-

guasa. 94 Namun, perlu dicatat bahwa nampaknya ada kesalahan trans-

literasi dalam pencetakan atau penulisan nama tokoh sufi ini dalam karya Hitti, History of the Arabs. Di dalam karya ini, digunakan transliterasi (t}) atau (th). 95 Untuk ukuran masa itu, nama ini tidak

populer dan bahkan tidak lazim. Argumentasi primer yang dapat disampaikan adalah bahwa berbagai T{abaqa>t dan sumber biografi—bahkan tidak terbatas

92 Lihat: Ibn Qutaybah, al-Shi‘r wa al-Shu‘ara’>, vol. 2, 769; al- Ashfiha>ni,al-Agha>ni>, vol. 4, 111; Lihat: Muh}ammad ibn Jari>r ibn Yazi>d

al-T{abari>, Akhba>r al-Rusul wa al-Mulu>k, vol. 10, 1098; al-Baghda>di>, Ta>rikh Baghda>d, vol. 6, 260; Ibn Kathi>r, al-Bida>yah wa al-Niha>yah, vol.10, 266.

93 S. D. Goitein, “The Rise of the Middle-Eastern Bourgeoise in Early Is- lamic Times,” Cahiers d’histoire mondiale, III (1957); Edisi revisi dalam Studies

in Islam and Islamic Institutions (1966): 217. 94 Anonim, al-Anwa>r al-Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al-‘Ata>hiyah

(Beirut: Mat}ba‘at al-A<ba> al-Yasu>‘iyyi>n, 1886)>, 92. 95 Philip K. Hitti, History of the Arabs: from the Earliest Times to the

Present, 7 th Edition (New York: Palgrave Macmillan, 1974), 304.

pada abad pertengahan an sich—tidak menyebut seseorang yang bernama Abu> al-‘At}ahiyah. Padahal bila puisi-puisinya diang- gap penting dalam menarasikan realitas yang unik dalam masyara- kat saat itu, maka kedudukan Abu> al-‘At}a>hiyah tidak bisa dipandang sebelah mata. Artinya, sumber-sumber riwayat hidup itu sejatinya telah mendokumentasikan tokoh tersebut. Tapi ken- yataannya, setelah ditelusuri, justru didapatkan adalah nama Abu> al-‘Ata>hiyah, (dengan transliterasi [t]), seorang sufi sekaligus sastrawan dan penyair ulung di zaman Abbasiyah. Tokoh ini hidup di antara tahun 748 hingga 826 M. atau rentang tahun 130-211 H. Artinya, dia hidup pada dua fase: fase pendirian dan yang kedua sering disebut fase “keemasan” dinasti Abbasiyah. Secara lebih gamblang, penyair ini berarti merasakan pemerintahan negara Ab- basiyah, masing-masing dari al-Saffa>h}: sang proklamotor nega- ra (750), al-Mans}u>r (754), al-Mahdi> (775), al-Ha>di> (785), al-Rashi>d (786), al-Ami>n (809), dan al-Ma’mu>n (813-833).

Argumentasi kedua adalah, di bagian lain dari the History of Arabs, tepatnya pada deskripsi terkait kemajuan Abbasiyah dalam bidang Sastra, ditulis nama Abu> al-‘Ata>hiyah dengan translit- erasi (t), yang justru berbeda dengan transliterasi sebelumnya (th). Paradoks ini meniscayakan adanya kesempatan yang sama untuk menang (chance to win) dari masing-masing transliterasi. Namun, dengan mempertimbangkan argumentasi utama, maka tentu saja transliterasi (th) mesti dikesampingkan.

Interaksi langsung Abu> al-‘Ata>hiyah dengan pemerintah, sebagaimana sementara transmisi sejarah, terjadi setidaknya mulai masa al-Mahdi> (w.775) dan berkurang drastis pada masa al- Rashi>d (w. 786). Al-T{abari> mencatat bahwa Abu> al- ‘Ata>hiyah pernah dipanggil oleh al-Ma’mu>n, untuk menghi-

burnya dengan beberapa bait puisi. 96 Oleh al-Mahdi>, Abu> al- ‘Ata>hiyah sempat dipenjara karena menghindari “dunia sastra”

yang notabene sangat digemari pemerintah. 97 Ini berarti bahwa

96 Al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Rusul wa al-Mulu>k, vol. 5, 184. 97 Abu> al-Faraj al-As}fiha>ni>, al-Agha>ni>, vol. 1, 380; Khayr al- Di>n ibn Mah}mu>d al-Zirikli>, al-A‘ala>m, cet. 15, vol. 1 (Beirut: Da>r al- ‘Ilm li al-Mala>yi>n, 2002). Al-Dhahabi> menyebut orang ini sebagai orang dengan posisi teratas di jajaran penyair (ra’s al-Shu‘ara>) (Muh}ammad ibn Ah}mad al-Dhahabi>, Siyar A‘ala>m al-Nubala> [Cairo: Maktabat al-Risa>lah, 1985]).

meskipun ikut kecipratan “uang” pemerintah, sisi lain Abu> al- ‘Ata>hiyah justru menunjukkan independensi seorang sastrawan.

Bila dibandingkan dengan beberapa aliran puisi yang dibuat oleh penyair masanya, pada umumnya puisi yang ditulis oleh Abu> al-‘Ata>hiyah dapat dinilai bergenre “al-zuhdiyya>t” atau

asketis 98 , sebagaimana gugusan puisi Abu> Nuwa>s secara umum mewakili 99 genre “al-muju>n” atau ke-’gokil’-an. Dengan

demikian, perlu ditelusuri lebih dalam substansi per se dari puisi- puisi Abu> al-‘Ata>hiyah. Hal ini selain dapat membuktikan hipotesis Hitti, juga diharapkan dapat mengungkap lebih dalam gambaran masyarakat Baghdad dalam perspektif sastrawan masa itu.

Namun terdapat ratusan bait puisi karya Abu> al-‘Ata>hiyah yang dapat ditelusuri. Beberapa peneliti penyair ini menyebut bahwa karya sastra Abu> al-‘Ata>hiyah sangat banyak, karena melihat potensi dan kemampuan luar biasanya, dapat saja ia mem-

buat setiap kata yang dia ucapkan sebagai puisi, 100 namun seluruh karya itu tidak ditemukan, kecuali hanya naskah antologis yang di-

tulis oleh Ibn ‘Abd al-Barr al-Namiri> (w. 1071 M./463 H.), serta kutipan-kutipan terpisah dalam karya Ibn ‘Abd Rabbih (w. 940

M./328 H.), 101 al-As}fiha>ni> (w. 356 H.), al-Mubarrad (w. 899 M./286 H.), al-Mas’u>di> (w. 957 M./346 H.), al-Ma>wardi>

(1058 M./450 H.), al-Ghaza>li> (w. 1111 M./505 M.), dan beberapa penulis yang lain. 102

98 Ibn ‘Abd al-Barr menulis “Zuhdiyya>t Abi> al-‘Ata>hiyyah”dalam be- berapa volume (Lihat: Ibn al-H{ajar al-‘Asqala>ni>, Lisa>n al-Mi>za>n, vol. 1

[t.t.p.], 178). 99 Muh}ammad ibn Makram ibn Manz}ur, Lisa>n al-‘Arab, vol. 13, 400;

Shukri> Fays}al, Abu> al-‘Ata>hiyah: Ash‘a>ruhu> wa Akhba>ruhu> (Dam- askus: Mat}ba‘at Ja>mi‘at Dimashq, 1965), 3-4.

100 Bandingkan: Anonim, al-Anwa>r al-Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al- ‘Ata>hiyah (Beirut: Mat}ba‘at al-A<ba> al-Yasu>‘iyyi>n, 1886); Shukri>

Fays}al, Abu> al-‘Ata>hiyyah: Ash‘a>ruhu> wa Akhba>ruhu> (1965), 3-4; Usa>mah ‘A<nu>ti>, Abu> al-‘Ata>hiyah: Ra>id al-Zuhd fi> al-Shi‘r al- ‘Arabi>, Tesis Megister (Beirut: AUB, 1957).

101 Shiha>b al-Di>n Ah}mad Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Fari>d, vol. 3, 4, dan 6 (Cairo: Lajnat al-Ta’li>f wa al-Tarjamah wa al-Nashr, 1949).

Lihat: Abu> al-Faraj al-As}fiha>ni>, al-Agha>ni>, vol. 3, 4, 5, 6, 7, 10, dan 12 (Cairo: Da>r al-Kutub al-Mis}riyyah, 1950); Muh}ammad ibn Ya- zi>d ibn ‘Abd al-Akbar al-Ma‘ru>f bi al-Mubarrad, al-Ka>mil fi> al-Lughah

Dari beberapa sumber tersebut, ternyata ada puisi yang nam- paknya dapat menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Al- As}fiha>ni> dalam al-Agha>ni> menyebut seuntai puisi yang dapat dikatakan kunci yang membongkar kondisi sosial masyara- kat umum saat itu. Puisi itu dilatarbelakangi oleh pertanyaan Ha>ru>n al-Rashi>d yang menanyakan kabar Abu> al-‘Ata>hiyah yang setelah dipenjara lama seperti menghilang dari “kancah” sas- tra. Dalam transmisi lain, disebut setting lain: seseorang datang kepada Abu> al-‘Ata>hiyah untuk menunjukkan gaya hidup yang irrelevan dari nilai agama. Puisi yang dimaksud berbunyi sebagai berikut.

Puisi di atas menandai kekecewaan Abu> al-‘Ata>hiyah ter- hadap kondisi dan perilaku “masyarakat” sehingga dia kemudian menjaga jarak dari dunia sastra. Menurut dia, justru minoritas masyarakat yang mempersiapkan bekal atau “al-’uddah” untuk akhirat, sedangkan kalangan mayoritas “melupakan” hal ini. Kelupaan dan kealfaan ini yang kemudian memunculkan dekaden-

si-dekadensi etis, 105 penyakit sosial, dan politik eksploita-

(Cairo: t.t.p.); Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn al-H{usayn al-Mas‘u>di>, Muru>j al- Dhahab wa Ma‘a>din al-Jawhar (Paris: Mat}ba‘at al-Wat}aniyyah, 1876); ‘Ali> ibn Muh}ammad H{abi>b, Adab al-Dunya> wa al-Di>n (Cairo: Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, t.t.); Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Ghaza>li>, Ih}ya> ‘Ulu>m al-Di>n, ed. Muh}ammad al- Minsha>wi> (Cairo: Maktabat al-I<ma>n, 1996).

Abu> al-Faraj al-As}fiha>ni>, al-Agha>ni>, vol. 1, 357; 380; Ibn ‘Abd al-Barr, Bahjat al-Maja>lis wa Uns al-Maja>lis, vol. 1 (t.t.p.), 144; Ibn Abi> Salma>, al-Di>wa>n (Cairo, t.t.p), 296-297.

Secara ringkas hal ini direpresentasikan oleh sikap: (1) bermuka dua [Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Fari>d, 201]; (2) penipuan [al-Anwa>r al- Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al-‘Ata>hiyah, 255, 260, 280]; (3) kejumawaan [al-Anwa>r al-Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al-‘Ata>hiyah, 12]; (4) kurangnya integrasi [al-Anwa>r al-Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al-‘Ata>hiyah, 260]; dan (4) minimnya ketakwaan [al-Anwa>r al-Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al- ‘Ata>hiyah, 21, 58].

Namun tentu saja, tidak tepat bila seluruh puisi-puisi Abu> al- ‘Ata>hiyah digeneralisasi pada kondisi seluruh elemen masyarakat saat itu sebab mestilah puisi-puisi itu memiliki latar belakang tersendiri, di samping bahwa pada dasarnya karakter sosial me- nyimpan kompleksitas tertentu. Problemnya adalah tidak semua untaian bait syair itu memiliki latar belakang. Terlepas dari itu, bila dikaitkan dengan mundurnya Abu> al-‘Ata>hiyah dari “panggung sastra nasional” yang identik dengan haru-biru kekuasaan rezim, maka beberapa puisinya dapat dilihat sebagai kritik terhadap pemerintah Ha>ru>n al-Rashi>d. Dalam hal ini, satir Abu> al- ‘Atahiyah sangat terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Hipotesis ini kemudian dapat dikonfirmasi oleh keterangan lain yang menyebut bahwa Abu> al-‘Ata>hiyah, atas anjuran anaknya, selanjutnya menambah empat bait puisi yang berisi pujian kepada al-Rashi>d sebagai pelengkap puisi bernada satir yang dibu-

atnya. 107 Kritik Abu> al-‘Ata>hiyah sejatinya dapat diperkuat oleh ket-

erangan reliabel lain dari beberapa sejarawan. Penulis “Muru>j al- Dhahab” misalnya, mengangkat sebuah pragmen terkait protes masyarakat biasa yang kesulitan mendapatkan apa yang didapati

oleh masyarakat kelas atas. 108 Juga direkam “protes” seorang pem-

105 Singkatnya ini dapat diwakili oleh: (1) cinta berlebihan terhadap dunia [al-Di>wa>n, 26-27, 116] dan (2) perebutan atas sumber-sumber kekayaan [al-

Anwa>r al-Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al-‘Ata>hiyah, 152, 239, 248].

Politik eksploitatif ini diindikasi oleh perebutan kekuasaan dengan menghalalkan pelbagai cara, meski cara itu sebenarnya dilarang [al-Anwa>r al- Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al-‘Ata>hiyah, 133, 139, 215, 280].

107 Terlebih Abu< al-‘At}a>hiyah ketika masih aktif di dunia sastra kera- jaan, pernah menerima “hadiah” sebesar 50 ribu dirham dari al-Rashi>d (al-

Agha>ni>, vol. 4, 63). Empat bait puisi itu berbunyi:

(al-As}faha>ni>, al-Agha>ni>, vol. 1, 380)

Al-Mas’u>di>, Muru>j al-Dhahab wa Ma‘a>din al-Jawhar, vol. 6, 290.

dengan kedudukannya. 109 Itulah beberapa sketsa yang dapat mem- perkuat hipotesis sejarah terkait adanya ketidakadilan ekonomi. Ini

juga berarti bahwa tidak sepenuhnya masa keindahan yang sering digambarkan oleh sementara sejarawan, seperti Philip K. Hitti,

Marshall G. S. Hudgson, 110 yang berlangsung pada zaman Ha>ru>n al-Rashi>d, valid dan dapat dipertanggungjawainbkan, karena

justru bila dilihat dari sisi lain seperti sektor ekonomi kerakyatan, terdapat distribusi kekayaan yang tidak adil, sistem kontrol yang lemah, kelas-kelas sosial yang terlampau menganga yang mengimplikasi ketidakpuasaan sementara kalangan masyarakat.

Usa>mah ‘Anu>ti> menyebut bahwa dugaaan ini juga di- perkuat dengan borosnya “pemberian hadiah” yang dilakukan oleh

penguasa kepada masyarakat bawah. 111 Demikian halnya, merebak- nya berbagai pungutan liar dan penyitaan (mus}a>darah) yang dil-

akuan oleh sementara penguasa setempat untuk kemudian dis- erahkan kepada khalifah al-Rashi>d, mengafirmasi bahwa memang

terjadi ketidakadilan ekonomi tersebut. 112

2. Homoginitas yang Unik

Secara lebih khusus, terdapat puisi Abu> al-‘Ata>hiyah yang cukup relevan menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat saat itu. 113 Dalam puisi itu disebutkan adanya harga yang mahal

109 Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Muslim ibn Qutaybah, ‘Uyu>n al- Akhba>r, vol. 1 (Cairo: Da>r al-Kutub al-Mis}riyyah, 1930), 311.

110 Marshall G. S. Hudgson, Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, A Classical Age of Islam, vol. 2 (Chicago: the University of

Chicago Press, 1977), 291. 111 Usa>mah ‘Anu>ti>, Abu> al-‘Ata>hiyah: Ra>id al-Zuhd fi> al-Shi‘r

al-‘Arabi>, 6.

Lihat: Muh}ammad ibn Jari>r ibn Yazi>d al-T{abari>, Akhba>r al- Rusul wa al-Mulu>k, vol. 3, 702-703; Ah}mad ibn Ish}a>q ibn Ja‘far ibn Wahab al-Ya’qu>bi>, Ta>ri>kh al-Ya’qu>bi>, vol. 3 (Beirut: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1999), 206-213; Abu al-‘Abba>s Ah}mad ibn Abi UshaybA’ah, ‘Uyu>n al-Anba> fi> T{abaqa>t al-At}ibba>, vol. 1 (Cairo: Maktabat al- Wahbiyah, 1882), 129-138.

113 Puisi itu terdiri atas 13 bait, ini bagian pertamanya:

Dalam perspektif Thomas S. Kuhn, kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat dinasti Abbasiyah dapat dilihat sebagai deduksi dari dalil, “pengecualian membentuk hukumnya sendiri” yang ber- beda dengan representasi fenomena sosial tertentu. Di lain pihak, data-data ini tidak menyimpang karena justru ia memformulasi

homogenitas tersendiri. 114 Dengan demikian, tak sulit untuk menya- takan bahwa komunitas-komunitas miskin yang hidup di Baghdad

tidak menjadi bagian dari peta kenaikan tingkat ekonomi dinasti Abbasiyah.

Oleh itu maka dalam kerangka tesis ini, dapatlah dikatakan bahwa masalah pengangguran memang telah ada, kalau tidak dise- but “merebak” pada masa Abu> al-‘Ata>hiyah. Ia menyebutnya dengan diksi yang kuat dan lugas: “al-maka>sib nazrah/nuzrah”

yang secara semiotis berarti infinitas pada realitas. 115 Artinya peker- jaan sangat sulit dicari karena sedikit sekali yang tersedia. Apa

yang disebutkan oleh Abu> al-‘Ata>hiyah terkait pengangguran yang merebak sebenarnya dapat pula dikuatkan oleh keterangan lain dari seorang penyair seperti yang dicatat oleh penulis “Mu’jam al-Bulda>n” bahwa Baghdad telah menjadi tempat bagi orang-

(al-Anwa>r al-Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al-‘Ata>hiyah, 303-304).

Thomas S. Kuhn, the Structure of Scientific Revolutions, 3th Edition (Chicago: The University of Chicago Press, 1996), 121, 131-133.

Lihat: Muh}ammad ibn Makram ibn Manz}ur, Lisa>n al-‘Arab, vol. 5, 203; Abu> al-Sa‘a>da>t al-Muba>rak ibn Muh}ammad al-Jazri>, al- Niha>yah fi> Ghari>b al-Athar, vol. 5 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979), 98.

tempat di Baghdad yang biasanya dijadikan oleh para penganggur sebagai “base camp”. 117 Dalam catatan Ibn al-Athi>r dan al-

S{a>bi>, disebut bahwa para penganggur yang akhirnya menjadi semacam preman memiliki peran penting dalam dinamika Irak Tengah. Preman-preman ini tersebar luas di kawasan barat daya

sungai Eufrat, tepatnya di antara kota Kufah dan Basrah. 118 Keterangan Abu> al-‘Ata>hiyah dapat dilihat sebagai “ket-

erangan inklusif” sebab ia tidak gamblang menyampaikan kepada siapa kritik dilancarkan. Namun penelusuran penulis sebelumnya membuat keterangan itu menjadi ekslusif. Pengikat ekslusifitasnya adalah tingkat pengangguran yang relatif tinggi pada masa al- Ami>n. Pengangguran ini secara deskriftif dipicu oleh faktor utama yaitu perang saudara. Pengangguran semakin merebak pada masa puncak krisis politik antara al-Ami>n dan al-Ma’mu>n, dengan embargo ekonomi terhadap Baghdad.

Sumber lain yang dapat ditelusuri adalah keterangan al- Khat}i>b al-Baghda>di> yang menarasikan kisah terkait seorang

penyair bernama Marwa>n ibn Muh}ammad (w. + 200 H.) 119 yang mengisahkan kesulitan pekerjaan dan meminta tolong kepada pen-

yair lain yang lebih berduit. Namun kejadian ini terjadi di awal-

awal masa pemerintahan Haru>n al-Rashid. 120

Informasi-informasi dari sumber primer di atas mengafirmasi kembali hipotesis bahwa memang terjadi kasus-kasus penganggu- ran yang membuat homogenitas tertentu di tengah kemewahan yang dinikmati oleh sebagian penduduk pemerintahan Abbasiyah.

Ya>qu>t ibn ‘Abd Alla>h al-H{amawi>, Mu’jam al-Bulda>n, vol. 1 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), 336-337.

117 Ya>qu>t ibn ‘Abd Alla>h al-H{amawi>, Mu’jam al-Bulda>n, vol. 1, 286; 321.

Al-S{a>bi>, 472; Ibn al-Athi>r, al-Ka>mil fi>al-Ta>ri>kh, vol. 9, 167.

Lebih diikenal dengan laqab “Abu> al-Shimaqmaq”. Aliran puisinya adalah al-Hija>’ (satir). Berasal dari Khurasan, Marwan tinggal di Basrah lalu mengadu nasib ke Baghdad pada awal pemerintahan al-Rashi>d (Lihat: al- Mirzaba>ni>, 397; Raghbat al-A<ma>l, vol. 6, 110-112; Ta>ri>kh Baghda>d, vol. 13, 146; al-Agha>ni>, vol. 3, 194; al-Bukhala>, 313).

120 Ah}mad ibn ‘Ali Abu Bakr al-Khati>b al-Baghdadi>, Ta>ri>kh Bagh- da>d, vol. 6, 15.

Keterangan al-Baghda>di> juga turut mempertegas bahwa masa pemerintahan Haru>n al-Rashi>d tidak sepenuhnya bebas dari problematika sulitnya mencari pekerjaaan, sebagaimana juga di- wakili oleh kritik tokoh sekaliber ‘Abdulla>h ibn al-

Muba>rak 122 terhadap rezim al-Rashi>d. Meski begitu, tingkat pengangguran yang mencapai sekitar

0,37 persen pada masa al-Rashi>d menjadikan kritik dari Abu> al- ‘Ata>hiyah terhalang oleh tembok insignifikansi. Oleh karenanya, menjadi relevan dan jauh lebih menarik secara akademis untuk menempatkan kritik Abu> al-‘Ata>hiyah terkait “al-maka>sib naz-

rah” 123 dalam ruang lingkup intrik politik al-Ami>n dan al- Ma’mu>n. Terlebih data menunjukkan bahwa pengangguran saat

intrik tersebut mencapai angka 2, 43 persen. Maka beberapa keterangan Abu> al-‘Ata>hiyah sebelumnya dapat menandai bahwa secara makro, hanya sedikit dari kue pem- bangunan yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas, sedangkan kue pembangunan yang terbesar hanya dinikmati oleh sebagian kecil kelas masyarakat. Ini terjadi pada fase pemerintahan al-

Ami>n dan sangat terasa di Baghdad khususnya 124 dan Irak pada umumnya. Dalam sebuah syair ratapan terkait nasib masyarakat

Baghdad khususnya, dikatakan “bakaytu daman ‘ala> baghda>d-

121 ‘Abd Alla>h ibn al-Muba>rak ibn al-Wa>d}ih} al-H{anz}ali> lahir pa- da tahun 118 H. dan wafat pada 181 H. Dianggap salah seorang tokoh dalam fase

‘Atba>’ al-Ta>bi’i>n dan digelar sebagai Syekh al-Isla>m, ‘A<lim Zama>nihi, Ami>r al-Atqiya> fi> Waqtihi, Syekh Khura>sa>n (guru Islam, ahli agama, pangeran orang-orang bertakwa di jamannya, pemuka Khurasan). Kritikus seper- ti Ibn H{ajar mencapnya dengan sebutan “thiqah thabit faqi>h ‘a>lim jawwa>d muja>hid, jumi’at fi>hi khis}a>l al-khayr” (benar-benar terpercaya, pakar aga- ma dan hukum, pemurah dan pejuang, luar biasa karakternya”. Bahkan disebut dalam al-Irsha>d, bahwa dalam strata tokoh mistis Islam, ‘Abd Alla>h ibn al- Muba>rak ini dianggap salah satu Wali> Abda>l (Muh}ammad ibn Ah}mad al- Dhahabi>, Siyar A’ala>m al-Nubala>, vol. 8, 378; Miqhlat}a>y ibn Qali>j al- H{anafi>, Ikma>l Tahdhi>b al-Kama>l, ed. ‘A>dil ibn Muh}ammad, et. al., vol. 8 [Cairo: al-Fa>ruq al-H{adi>thah, 2001], 153).

Ibn al-Jawzi>, al-Muntaz}am, vol. 9, 197.

Abu> al-‘Ata>hiyah, Abu> al-‘Ata>hiyah: Akhba>ruhu> wa Ash‘a>ruhu>, ed. Shukri Fays}al (Damaskus: Mat}bA’ah Ja>mi’at Dimashq, 1965), 437-441. Pembuka gugusan bait tersebut adalah (mat}la’): “Ayna al- quru>n al-ma>d}iyah-taraku> al-mana>zila kha>liyah..”; al-Anwa>r al- Zahiyyah fi> Di>wa>n Abi> al-‘Ata>hiyah, 303-304.

124 Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Ta>ri>kh al-Khulafa>’, 261.

lima> faqudat ghada>rat al-‘ish al-ani>q” 125 (aku menangis kare- na kota Baghdad kehilangan kehidupannya yang amat memikat).

Oleh karena itu, nampaknya dalam konteks intrik politik inilah, Abu> al-‘Ata>hiyah menyebut sikap mereka dengan “kecintaan berlebihan terhadap dunia” dan “perebutan sumber-sumber kekayaan”. Maka kesulitan-kesulitan sebagai implikasi dari per- tarungan elit inilah yang kemudian menyebabkan adanya satir yang dilancarkan oleh Abu> al-‘Ata>hiyah yang dikenal cukup jujur da-

lam syair-syairnya. 126