Kebijakan Laissez-Faire
A. Kebijakan Laissez-Faire
Pada umumnya para ekonom membagi pendekatan kebijakan dalam menghadapi realitas pengangguran kepada lima tipologi: 2 Ti-
pologi pertama yaitu kebijakan “laissez-faire” 3 , yang menyiratkan bahwa pemerintah dalam hal ini harus berbuat sedikit atau tidak
sama sekali untuk mempengaruhi tingkat pengangguran. 4 Pan- dangan ini didukung oleh setidaknya tiga teori: (a) teori tradisional
terkait “the natural rate of unemployment” (teori tingkat pengang-
2 Lihat: Dennis J. Snower, “Evaluating Unemployment Policies: What Do the Underlying Theories Tell Us?,” Oxford Review of Economic Policy, vol. 11
(1995): 110-135; Unemployment Policy: Government Options for the Labour Market, ed. Dennis J. Snower & Guillermo de la Dahesa (Cambridge: Cam- bridge University Press, 1997), 15-44.
3 Laissez-faire adalah frase berbahasa Prancis yang arti harfiahnya adalah “biarkan berbuat”. Tidak ada yang tahu secara pasti asal-usulnya. Namun cerita
rakyat (folklore) menginformasikan bahwa frase ini berasal dari jawaban Jean- Baptiste Colbert, pengendali umum keuangan Raja Louis XIV terkait dengan kebijakan pemerintah Raja Louis XIV terhadap para pebisnis. Kebijakan laissez- faire mendapat dukungan kuat di kalangan ekonom klasik, seperti yang terjadi di Inggris di bawah pengaruh ekonom-filsuf, Adam Smith (Lihat Encyclopedia Britannica
2 Agustus 2011: http://www.britannica.com/EBchecked/topic/328028/laissez-faire.
4 Lihat misalnya: Walter Block & William Barnett II, “A Possitive Pro- gram for Laissez-Faire Capitalism,” Journal of Corporate Citizenship, vol. 19
guran alami), (b) teori substitusi intertemporal, dan (c) teori siklus bisnis. 5
Kebijakan laissez-faire pada prinsipnya berdasar pada beberapa model terkait sisi-sisi pengangguran yang terobservasi yang dinilai sebagai hasil dari usaha optimalisasi berbagai keputusan, baik dari pihak pencari kerja atau penyedia kerja—dalam bingkai pasar efisien. Pada faktanya, minimal ada dua tipe mendasar dari ke- bijakan ini: (1) tipe yang menghambat intervensi pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi tingkat pengangguran jangka pan- jang (sembari berargumen bahwa sesungguhnya bentuk-bentuk in- tervensi tidak akan efektif dan tidak diingini oleh pasar), namun tetap mengakui adanya kemungkinan efektivitas dan penerimaan terhadap kebijakan dalam urusan ayunan siklus pengangguran. Secara lebih khusus, tipikal ini menganjurkan kebijakan yang dapat diprediksi oleh pasar dan agen-agen ekonomi. Beberapa pengamat menilai bahwa pandangan ini mendapat “ekspresi yang kuat” dari varian kliring pasar yang berbasis pada teori tingkat ala-
mi pengangguran 6 (2) tipe yang menghambat intervensi pemerintah
5 Substitusi intertemporal yang dimaksud yaitu proses memaksimalkan utilitas dengan cara mengalokasikan sumber daya lintas waktu. Sementara siklus
bisnis berarti suatu tipe dimana terjadi fluktuasi pada agregat aktivitas ekonomi negara yang mengatur kerja melalui perusahaan bisnis. Haberier misalnya men- catat banyak sekali penyebab terjadinya siklus ini,seperti perubahan kredit, in- vestasi berlebihan, biaya produksi, dst. (G. Haberier, “Prosperity and Depression.
A Theoretical Analysis of Cyclical Movements, 3th Edition [London: Allen & Unwin, 1958]; N.Gregory Mankiw, Julio J. Rotemberg & L. W. Summers, “In- tertemporal Substitution in Macroeconomics,” The Quarterly Journal of Eco- nomics, vol. 100, no. 1 (Februari, 1985): 225-251; Dennis J. Snower, “Evaluat- ing Unemployment Policies: What do the Underlying Theories Tell Us? Dalam Unemployment Policy: Government Options for the Labour Market. [Cambridge: Cambridge University Press, 1997]).
6 Teori tingkat pengangguran alami (The Natural Rate of Unemployment) secara sederhana berarti level pengangguran yang dicapai ketika pasar pekerja
berada di tingkat equilibrium, seperti saat jumlah orang yang menginginkan satu pekerjaan hanya satu orang. Dari salah seorang penggagas terkemukanya seperti M. Friedman, NRU dapat berarti (a) tingkat satuan pengangguran yang kompati- bel dengan tingkat konstan inflasi (b) tingkat pengangguran jangka panjang— dimana perekonomian berfluktuasi sebagai ekspektasi dari perubahan upah dan harga—sepenuhnya direalisasikan oleh tingkat inflasi. Upaya untuk memindah ekonomi ke tingkat pengangguran yang lebih rendah melalui stimulasi fiskal atau moneter tidak berhasil, sebagaimana ekspektasi mendorong inflasi tingkat harga berada di tingkat equilibrium, seperti saat jumlah orang yang menginginkan satu pekerjaan hanya satu orang. Dari salah seorang penggagas terkemukanya seperti M. Friedman, NRU dapat berarti (a) tingkat satuan pengangguran yang kompati- bel dengan tingkat konstan inflasi (b) tingkat pengangguran jangka panjang— dimana perekonomian berfluktuasi sebagai ekspektasi dari perubahan upah dan harga—sepenuhnya direalisasikan oleh tingkat inflasi. Upaya untuk memindah ekonomi ke tingkat pengangguran yang lebih rendah melalui stimulasi fiskal atau moneter tidak berhasil, sebagaimana ekspektasi mendorong inflasi tingkat harga
Dengan demikian, kebijakan pertama ini sangat bergantung pa-
da adanya kebijakan yang dapat diprediksi, yang pada umumnya memanfaatkan teori rational expectations (teori ekspektasi rasion- al). Teori ini secara logis menyatakan bahwa masyarakat tidak dapat dikelabui terkait sesuatu yang mereka telah prediksi (in ways
that they themselves could have predicted). 7 Di sisi lain, dalam konteks pasar yang berfungsi dengan baik,
jelas tidak ditemukan kasus efisien yang dapat ditentangkan dengan teori tingkat alami pengangguran. Kebijakan pemerintah, seperti kebijakan moneter, dianggap tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat alami ini, kecuali hanya sedikit. Itupun terbatas dengan cara mengarahkan “irisan” antara upah dan harga yang bersifat aktual maupun yang bersifat ekspektasi. Hal ini pada gilirannya dapat dil- akukan melalui variasi instrumen kebijakan yang tidak dapat diduga, contohnya perubahan-perubahan yang tidak dapat diek- spektasi pada supply uang.
Namun demikian, faktanya pada beberapa dekade yang lalu te- ori laissez-faire justru tidak dapat menunjukkan banyak fakta terkait pengangguran di Eropa. Dengan kepadatan yang berkurang, dan pergerakan menuju deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi pasar pekerja di banyak negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) selama tahun 1980-an, tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan kenapa “tingkat
pengangguran alami” justru naik secara signifikan. 8 Teori ini tidak
dan upah sehingga tingkat pengangguran kembali ke tingkat alaminya. Peru- bahan tingkat ini sebagai respon atas perubahan pada komposisi angkatan kerja sebagai arus masuk-keluar dari para pengangguran yang tersedia sebagai yang terpengaruh. Biasanya NRU diilustrasikan dengan kurva-vertikal Phillips (M. Friedmen, “The Role of Monetary Policy,” American Economic Review, 58 [March, 1968]: 1-17; P. H. Collin, Dictionary of Economics [London: A & C Black, 2006], 136; Donald Rutherford, Routledge Dictionary of Economics, 2th Edition [London: Routladge, 2002], 408).
7 Teori ekspektasi rasional digagas oleh John F. Muth dalam tulisannya “Rational Expectations and the Theory of Price Movements” pada Jurnal Econ-
ometrica, vol. 29,no. 3 (1961): 315-335. 8 Unemployment Policy: Government Options for the Labour Market, ed.
Dennis J. Snower & Guillermo de la Dahesa, 18.
juga mendedahkan pencerahan yang berguna terkait mengapa pengangguran di Eropa lebih kuat (persistent) dibandingan dengan di Amerika Serikat, ketika terjadi resesi besar pada tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an. Saat itu, tingkat pengangguran di US sendiri cenderung kembali ke level pra-resesi.
Terlepas dari itu, teori ini dapat memberitahu kita sedikit— meski ada perbedaan pendapat—terkait mengapa waktu pengang- guran di Eropa cenderung lebih lama ketimbang masa menganggur di US; mengapa tingkat pengangguran di US jauh lebih bervariasi (mutanawwi‘ah) mengapa pengangguran turun secara tidak merata antar populasi yang berbeda; dan kenapa pasar barang dan pekerja di US bergerak lebih dekat kepada tandemnya ketimbang di Eropa. Pada domain-domain ini, kesalahan-kesalahan ekspektasi tentu akan menunjukkan beberapa penjelasan yang lebih mendalam. Di sisi lain, kebijakan laissez-faire menghajatkan tidak adanya campur tangan pemerintah terhadap mekanisme siklus bisnis. Hal ini dapat dilihat pada kasus kebijakan stabilisasi pada pasar pekerja yang dibuat cukup eksplisit pada teori substistusi intertemporal dan si- klus bisnis riil.
Sejujurnya, dari namanya saja, “substitusi intertemporal” me- nyiratkan ia lebih concern terhadap keinginan pekerja untuk ikut serta dalam substitusi kerja yang bersifat intertemporal demi rasa nyaman dan sebaliknya (vice versa), sebagai jawaban atas berbagai insentif ekonomi. Sebagai contoh, bila pekerja percaya bahwa upah rill sementara tertekan dan akan meningkat pada masa mendatang, maka mereka kemungkinan ingin untuk mengambil kesenangan untuk saat ini dan bekerja giat pada masa yang akan datang. Demikian halnya jika mereka merasa tingkat bunga riil sementara akan rendah, ini berarti bahwa income upah mereka tidak dapat ditransfer kepada tingkat yang menguntungkan pada masa yang akan datang.
Implikasinya, perjalanan siklusif dalam pengangguran ini mungkin saja menjadi respon opsional—oleh agen-agen individual dan komunal—terhadap goncangan temporer yang muncul dari ci- tarasa, teknologi, dan sokongan yang lain. Di samping itu, teori ini dapat digunakan untuk menghasilkan catatan empiris dari banyak variabel dan kekuatan pengangguran di US dan beberapa negara Implikasinya, perjalanan siklusif dalam pengangguran ini mungkin saja menjadi respon opsional—oleh agen-agen individual dan komunal—terhadap goncangan temporer yang muncul dari ci- tarasa, teknologi, dan sokongan yang lain. Di samping itu, teori ini dapat digunakan untuk menghasilkan catatan empiris dari banyak variabel dan kekuatan pengangguran di US dan beberapa negara
memuaskan. 10 Alasan yang utama nampaknya adalah agak tidak masuk akal bila mereka dalam masa dua dekade itu, dianggap me-
masuki mekanisme substitusi intertemporal. Teori siklus bisnis rill sendiri—yang digagas oleh Kydland dan
Prescot 11 , kemudian dilengkapi masing-masing oleh Long dan
12 13 Plosser, 14 King dan Ploseer, dan King, Plosser dan Rebelo -- berpijak pada substitusi intertemporal dan mengindentifikasi bahwa
kejutan teknologi merupakan sumber utama dari fluktuasi ekonomi. Terlepas dari adanya masalah prediksi pada teori substitusi inter- temporal, sulit didapat gambaran jelas apa itu kejutan teknologi.
Bila kemajuan teknologi relatif lebih mudah diidentifikasi, maka set back dari kemajuan itu (yang memberi dampat pada resesi ekonomi) sulit untuk diidentifikasi. Bisa saja orang beralasan bah- wa kejutan teknologi yang negatif itu merefleksikan sementara even-even makroekonomi yang merugikan seperti kenaikan harga minyak atau investasi yang tidak tepat (mesin yang rusak; barang yang diminta tidak dapat diproduksi). Namun nyatanya, guncangan negatif dari model siklus bisnis riil dapat bertahan lebih lama da- ripada kenaikan harga minyak itu. Ini menjadi aneh dalam siklus bisnis dunia dengan hubungannya dengan ekspektasi rasional terkait kliring, dan mekanisme pasar yang berfungsi sempurna.
9 Pada umumnya, perbedaan antar negara dalam persistensi dan variabili- tas ini lebih disebabkan oleh perbedaan pada faktor preferensi dan celah teknolo-
gi. 10 Unemployment Policy: Government Options for the Labour Market, ed.
Dennis J. Snower & Guillermo de la Dahesa, 19. 11 F. Kydland & E. C. Prescott, “Time to Build and Agregate Fluctua-
tions,” Econometrica,vol. 50, no. 6 (1982): 1345-1370. 12 John B. Long & Charles I. Plosser, “Real Business Cycles,” Journal of
Political Economy, vol. 91, no.1 (1983): 39-69. 13 Robert G. King & Charles I. Plosser, “Money, Credit and Prices in A
Real Business Cycle,” American Economic Review, vol. 74, no. 3 (1984): 363- 379.
14 R. King, C. Plosser & S. Rebelo, “Production, Growth, Business Cycle I: the Basic Neoclassical Model,” Journey of Monetary Economics, vol. 21
(1988): 195-232; R. King, C. Plosser & S. Rebelo, “Production, Growth, Busi- ness Cycle II: New Directions,” Journal of Monetary Economics, vol. 21 (1988): 309-341.
Oleh karena itu, terasa agak sulit untuk membela siklus bisnis riil dengan tidak menekankan peran guncangan teknologi dan fokus pada dampak teknologi tersebut. Untuk itu, model-modelnya gagal menjelaskan suatu realitas di mana tingkat konsumsi meningkat dan kemewahan (leisure) justru turun pada waktu kemajuan ekonomi, sementara pada masa ekonomi menurun, konsumsi malah berkurang dan kemewahan justru meningkat. Alasannya adalah pe- rubahan dalam selera tidak mempengaruhi kurva permintaan tenaga kerja. Makanya, dalam kondisi perekonomian yang meningkat, ketenagakerjaan akan naik bila upah riil turun. Namun turunnya upah ini justru menekan tingkat konsumsi dan meningkatkan ke- mewahan—inilah kebalikan dari yang terjadi secara aktual.