Visi Ekonomi

A. Visi Ekonomi

Fakta global sebelum krisis ekonomi 2008 menunjukkan bah- wa kebijakan mencapai kesempatan kerja penuh mulai terlupakan. Ini diindikasi, misalnya, oleh prioritas kebijakan makro ekonomi mayoritas anggota OECD pada lebih dari 30-tahun terakhir. Priori- tas kebijakan makroekonomi itu bergeser pada dua hal: (1) ke- Fakta global sebelum krisis ekonomi 2008 menunjukkan bah- wa kebijakan mencapai kesempatan kerja penuh mulai terlupakan. Ini diindikasi, misalnya, oleh prioritas kebijakan makro ekonomi mayoritas anggota OECD pada lebih dari 30-tahun terakhir. Priori- tas kebijakan makroekonomi itu bergeser pada dua hal: (1) ke-

Pergeseran tersebut justru lebih disebabkan oleh adanya per- singgungan visi ekonomi antara pengusaha penyandang dana kam- panye politik pemerintah. Posisi lemah pemerintah terhadap kelas kapitalis yang cenderung bermaksud untuk mendapat kembali kontrol penuh atas tempat kerja (workplaces) itulah, disinyalir mengakibatkan timbulnya sematan “neo liberal” terhadap pemerintah.

Kondisi di atas tidak terjadi pada masa al-Ma’mu>n. Proses suksesi politik yang terkesan “monarkis-tribalistik” menyebabkan suksesi bersifat ekslusif. Ekslusifitas ini nampaknya yang menghindarkan adanya janji politik sekaligus bargaining antara penguasa dan pengusaha. Pemerintah dengan ini lebih bebas menentukan visi politik dan ekonomi yang akan dijalankan.

Visi ekonomi terkait dengan kebijakan terhadap penganggur dapat dilihat secara jelas dari pernyataan al-Ma’mu>n:

“Pekerjaan masyarakat kita ada empat varian: pertanian, industri, perdagangan, dan pemerintahan. Barang siapa yang tidak bekerja

dalam bagian-bagian ini, maka orang itu adalah beban (tanggungan) atas kami”.

Jargon ini dapat menunjukkan bahwa visi ekonomi pemerinta- han al-Ma’mu>n adalah negara dengan produktivitas yang tinggi dan adanya jaminan kesejahteraan bagi penduduk. Jargon ini tidak hanya dijadikan janji politik semata, namun dieksekusi dengan cukup sistematis dan berkesinambungan oleh al-Ma’mu>n. Ekseskusi ini dapat dilihat dari data-data sejarah yang sejalan dengan proposal al-Shayba>ni>.

1 Diksusi lebih lanjut terkait ini dapat dilihat misalnya pada: William Mitchell dan Joan Muysken, Full Employment Abandoned: Shifting Sands and

Policy Failures (Cheltenham: Edward Elgar, 2008). 2 Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Uthma>n al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-

Isla>m, ‘Umar ‘Abd al-Sala>m Tadmuri>, ed.,vol. 1 (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1996), 1903.

Visi ekonomi terkait dengan pengangguran ini sendiri dirangaki oleh al-Shayba>ni> dalam konteks pendekatan persepsi agama-logika. Ia menyampaikan argumentasi-argumentasi agama yang menunjukkan keutamaan bekerja. Pada saat yang bersamaan ia juga mendedahkan simulasi-aktual dari kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh sikap berpangku tangan.

1. Full Employment vs Empiritas

Pada masa sekarang, banyak ekonom konvensional percaya bahwa pengangguran tidak dapat dieliminasi karena sudah kadung menjadi fenomena ekonomi yang menjadi bagian dari equasi dan

kontrol perekonomian. 3 Nampaknya, hal ini dalam perspektif al- Shayba>ni> juga dapat diterima. Meski mendorong adanya self-

employment dan kebijakan-kebijakan pro kerja, al-Shayba>ni> masih menyisakan ruang bagi mereka yang tidak mampu untuk menerima “bantuan” dari masyarakat dan pemerintah. Inisiasinya terkait dengan kebijakan-kebijakan bersifat altruisme dan filant- ropik dapat menjadi argumentasi hal tersebut.

Perdebatan terkait berapa tingkat kesempatan kerja penuh bagi seluruh angkatan kerja (full employment) sendiri, hingga saat ini,

tak junjung berakhir. 4 Di Amerika Serikat, hingga pertengahan ta- hun 1980-an full employment ditentukan sebesar 6 persen dari se-

luruh angkatan kerja. Kemudian turunnya angka pengangguran secara dramatis pada sekitar akhir 1990 dan awal millenium kedua ke tingkat 4 persen, membuat banyak ekonom memandang angka

itulah sebagai full employment. 5 James Tobin, nobelis ekonomi dan

3 Richard Layard, misalnya, menyebut ada semacam “firman” di antara pa- ra ekonom terkait hal ini: bahwa mesti ada pengangguran secukupnya. Pengang-

guran ini selanjutnya akan menjamin “target” upah nyata (the “target” real wag- es) agar menyamai kemungkinan upah nyata (the “feasible” real wages). Apabi- la tidak terjadi pengangguran secukupnya, upah akan meninggi sehingga me- nyebabkan terjadinya inflasi upah. Sehingga alternatifnya: bila pengangguran “berlebih” maka inflasi upah dan harga akan turun (Richard Layard, How to Beat Unemployment [Oxford: Oxford University Press, 1986], 34).

4 William J. Baumol & Alan S. Blinder, Economics: Principles and Policy, 497. Perlu diingat bahwa piagam PBB pasal 55 masih menyimpan ambiguitas

terkait defenisi stabilitas (stability) dan kesejahteraan (well-being). 5 Farrokh K. Langdana, Macroeconomic Policy: Demystifying Monetary

and Fiscal Policy, 2th Edition (New York: Springer, 2009), 81.

professor emeritus ekonomi di Yale University justru menganggap bahwa tingkat optimal pengangguran adalah pada nol persen. 6

Terlepas dari perdebatan ini, ada refleksi menarik dari kisah presiden J. F. Kennedy yang menargetkan angka 4 persen pengangguran. Saat itu banyak ekonom dan politisi yang skeptis karena target itu dianggap tidak realistis dan terlampau ambisius. Tapi tim ekonomi Kennedy justru berhasil melampaui angka 4 per- sen! Ini berarti, kenyataan empiris (empirical evidence) menjadi lebih superior dalam debat perekonomian. Oleh karena itu, pen- capaian al-Ma’mu>n yang dapat menekan pengangguran hingga angka 0,42 persen dapat dianggap sebagai tingkat kesempatan kerja penuh—setidaknya untuk masa pemerintahannya.

Namun, seperti pentingnya mengetahui kenyataan empiris, tak kurang penting juga menelusuri kebijakan apa yang mendasari kenyataan empiris tersebut. Secara sederhana, kebijakan ini tentu juga didasari oleh identifikasi terhadap faktor-faktor penyebab pengangguran itu sendiri.