Memperlakukan Penganggur

E. Memperlakukan Penganggur

Pada umumnya, dengan mengacu pada struktur pasar tenaga kerja dan kondisi ketenagakerjaan, buku teks ekonomi modern membagi pengangguran kepada tiga kelompok besar: (1) pengang- guran friksional; (2) pengangguran struktural; dan (3) penganggu-

ran siklikal. 188 Namun, bila dilihat dari perspekif waktu kerja, pengangguran dapat dikelompokkan kepada tiga: (1) Bila angkatan

kerja yang sedang mencari kerja sama sekali tidak memiliki peker- jaan maka mereka termasuk dalam kategori pengangguran terbuka (open unemployment). (2) Ketika pekerja bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu atau di bawah sepertiga jam kerja normal, namun masih mau menerima pekerjaaan. Atau angkatan kerja yang tidak sedang mencari pekerjaan, namun mau menerima pekerjaan. Kedua kondisi ini dapat dikategorikan sebagai “kekurangan peker- jaan” (underemployment). Secara lebih gamblang, kategori ini dapat dilihat dari (a) adanya waktu luang, (b) memiliki pekerjaan, dan (c) keinginan mencari pekerjaan tambahan. (3) Saat mereka yang termasuk dalam kategori “kekurangan pekerjaan” di atas han- ya bekerja kurang dari 25 jam dalam seminggu, maka mereka

187 William J. Baumol & Alan S. Blinder, Economics: Principles and Pol- icy, 12 th Edition, 482.

188 Lihat misalnya: Paul A. Samuelson & William D. Nordhaus, Econom- ics, 18 th Edition, 654-655.

dapat dikategorikan dalam “kekurangan pekerjaan yang parah” (se- vere underemployment). 189

Pengangguran yang bersifat friksional (peralihan) disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya yang terjadi adalah terjadinya pemberhentian temporal kepada pekerja namun pekerja ini tidak mencari pekerjaan baru, malahan menunggu dipanggil kembali dengan harapan-harapan tertentu. Dalam dunia modern, juga ter- dapat calon pekerja yang rela menunggu sampai dapat pekerjaan dengan tingkat upah yang baik atau jaminan-komunal berupa seri-

kat pekerja. 190 Oleh karena itu, jenis pengangguran ini pada da- sarnya tidak disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan persediaan

tenaga kerja. Maka, jenis ini hanya bersifat sementara dan biasanya sulit untuk dihindari bahkan dalam kondisi full employment (tenaga kerja penuh) dan dalam lingkup negara yang maju sekalipun.

Sementara kelompok kedua yaitu pengangguran struktural atau core unemployment. 191 Jenis ini disebabkan oleh terjadinya pe-

rubahan-perubahan dalam komposisi penawaran dan permintaan tenaga kerja. Perubahan ini dapat berupa ketidaksesuaian (mis-

match) atau imbalansi. 192 Adapun yang ketiga adalah pengangguran siklikal atau

Pengangguran demand-deficient. Pengangguran ini dikaitkan dengan adanya fluktuasi dalam bisnis. Siklus bisnis ini terjadi keti- ka permintaan agregat terhadap output menurun. Penurunan ini mengakibatkan menurunnya permintaan terhadap pekerja, sementa-

ra fleksibelitas pada upah riil juga cenderung menurun. 193

Tentu saja formulasi kebijakan pemerintah terhadap masing- masing jenis pengangguran di atas berbeda-beda. Pada umumnya,

Bandingkan dengan: Akhmad Mahyudi, Ekonomi Pembangunan dan Analisis Data Empiris (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), 232; Soeroto, Strategi Pembangunan dan Perencanaan Tenaga Kerja (Yogyakarta: Gadjah Mada Uni- versity Press, 1986), 13, 190-192.

190 Lihat: Campbell R. McConnell, et al., Contemporary Labor Econom- ics, 545.

191 Working for Full Employment, ed. John Philpott (London: Routledge, 1997), 5.

192 Ronald G.Ehrenberg dan Robert S. Smith, Modern Labor Economics,: Theory and Public Policy, 11 th Edition (Boston: Pearson Education, Inc., 2009),

509. 193 Ronald G. Ehrenberg dan Robert S. Smith, Modern Labor Economics,:

Theory and Public Policy, 11 th Edition, 514.

formulasi itu ditentukan oleh identifikasi sebab dari pengangguran tersebut. Secara umum, terdapat surat instruksi al-Ma’mu>n yang ditulis sekitar tahun 218 H. terkait kebijakan yang harus dil- aksanakan oleh pejabat-pejabat negara kepada masyarakat umum, khusunya kepada para pegawai. Isi surat itu adalah:

194 . ﻚﻟذ ﻞﺜﻤﺑ جاﺮﺨﻟا لﺎﻤﻋ ﻰﻟإ “Amir al-Mukminin memerintahkan agar Saudara melaksanakan

kebijakan yaitu dengan kebajikan /“akuntabilitas” (yang pasti akan dilaporkan), meringankan “taraf hidup” dan mencegah ter- jadinya kezaliman terhadap pegawai. Itulah pokok kebijakan yang dapat membawa kepada akselerasi pembangunan. Perintahkan ju-

ga hal ini kepada jajaran pegawai perpajakan.”

Secara lebih khusus, terdapat acuan normatif yang bersifat umum ditujukan kepada para pegawai negara terkait kebijakan kepada rakyat yang lemah (termasuk di dalamnya para pengang- gur).

“…. Bantu orang yang lemah dan sambunglah tali silaturahmi, dengan motivasi keridaan Allah dan kemuliaan perintah-Nya. Sembari mencari pahala dan balasan negeri Akhirat….”

Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-Rusul wa al- Mulu>k, vol.5, 178.

195 Lihat lampiran 2. (Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al- Umam wa al-Mulu>k, vol. 5, 161; Ibn al-Athi>r, al-Ka>mil fi> al-Ta>ri>kh,

vol.3, 162-166; Ibn Khaldu>n, Ta>ri>kh ibn Khaldu>n, vol. 1,166)

Dengan demikian, perhatian terhadap kalangan yang lemah sejatinya menjadi perhatian besar pemerintah. Perhatian yang lahir dari adanya semacam kerangka full employment bagi masyarakat luas.