Profil al-Shayba>ni> dan Kontekstualisasi Pemikiran Ekonomi-nya

A. Profil al-Shayba>ni> dan Kontekstualisasi Pemikiran Ekonomi-nya

Sebelum membahas lebih jauh tentang kontekstualisasi pemikiran al-Shayba>ni>, perlu nampaknya untuk memperkenal- kan secara khusus sosok al-Shayba>ni>, meskipun sebenarnya tokoh sekaliber al-Shayba>ni> sudah sangat dikenal dalam peta sejarah cendikia muslim (ghaniyy ‘an al-ta‘ri>f).

Meski terdapat riwayat yang variatif, menurut pendapat yang paling realibel, al-Shayba>ni> dilahirkan di Irak tepatnya di daerah yang bernama Wasit pada tahun 132 H. Ayahnya adalah seorang prajurit sektor Syam yang berasal dari Harasta, kawasan pem- ukiman di timur Damaskus. Ini berarti, al-Shayba>ni> berasal dari kelas ekonomi menengah.

Setidaknya terdapat tiga hipotesis fase yang dapat dikemuka- kan terkait dengan setting perekonomian yang melatarbelakangi penulisan al-Iktisa>b. Dengan melihat keterangan dalam preamble al-Iktisa>b dan beberapa komentar dari beberapa muridnya, dapat disimpulkan bahwa al-Iktisa>b ditulis pada masa tua al- Shayba>ni>. Maka bila kita tetapkan bahwa masa tua dalam termi-

nologi “Gerontologi Arab” adalah rentang usia 50-90 tahun. 5 Se- mentara panjang usia al-Shayba>ni adalah sekitar 58 tahun (bila

dihitung dengan kalender bulan), atau 56 tahun (jika diekuasi dengan kalender matahari). Dengan demikian, maka ada masa seki- tar 6 atau 8 tahun di mana al-Iktisa>b dilahirkan. Untuk lebih memudahkan, dan mengikuti tradisi gerontologi arab yang berkarakter lunarian, maka fase 8 tahun yang akan penulis jadikan sebagai pijakan.

5 Sebagai perbandingan, WHO mengukur bahwa usia tua (old) itu adalah antara usia 75-90 tahun. Beberapa sosiolog dan antropolog seperti Pranab Chat-

terjee, Darlyne Bailey, dan Nina Aronoff menekankan bahwa konsepsi “adoles- cence” itu secara sosial terkonstruk dalam setting lokal tertentu. Mengingat be- berapa literatur Arab menyebut bahwa usia tua (shaykh) itu dimulai dari usia 50 hingga meninggal, maka diambil kesimpulan bahwa al-Shayba>ni> memproduk al-Kasb pada rentang umur tersebut. (Lihat misalnya: (Pranab Chatterjee, et al., “Adolescence and Old Age in Tweleve Communities,” Journal of Sociology and Social Welfare, vol. 28 [2001]; Muh}ammad ibn Abi> al-Fath} al-Ba’li>, al- Mat}la’ ‘ala> Abwa>b al-Fiqh [Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1981], 398).

Dengan itu, dapatlah dikatakan bahwa al-Iktisa>b ditulis pada rentang tahun 181-189 H. atau pada tahun 796-804 M. Dengan kata lain, rentang tahun ini mencakup tahun pemerintahan Haru>n al- Rashi>d (786 M.) saja. Al-Shayba>ni> sesungguhnya tidak me- rasakan pemerintahan al-Ma’mu>n (809 M.). Namun berkat jasa muridnya Muh}ammad ibn Samma>‘ah yang mereproduksi al- Iktisa>b—seperti yang akan dijelaskan—nampaknya buku itu kemudian menempati posisi yang cukup penting dalam pengambi- lan kebijakan pemerintah.

Secara garis besar, pemerintahan al-Rashi>d mencapai kesuksesan besar, meski ada beberapa “rapor merah” yang dapat dijadikan catatan, seperti adanya sementara pengangguran, inflasi, gaya kehidupan kelas atas—yang digambarkan oleh sebagian

pengamat sebagai borjuisme. 6 Namun terlepas dari catatan merah ini, al-Rashi>d seringkali

dijadikan barometer kesuksesan bagi pemerintahan sepeninggalnya. Berbeda dengan narasi besar kesuksesan negara Abbasiyah pada pemerintahan al-Rashi>d, suksesornya al-Ami>n malah dikabarkan mengalami masa-masa yang sulit. Nyaris selama sekitar 5 tahun pemerintahannya yang pendek, ia dirutuki oleh pemberontakan saudara se-ayahnya yaitu al-Ma’mu>n. Skala pemberontakan yang

besar dan “menguras habis” 7 kas negara turut mengundang krisis ekonomi negara. Bahkan ada sebagian sumber yang menyatakan

bahwa belanja pemerintahan al-Ami>n yang cenderung boros, bukan hanya karena kebutuhan untuk memadamkan api pemberon- takan namun juga disebabkan oleh gaya hidup dan manajemen

pemerintahan yang buruk dari al-Ami>n sendiri. 8 Yang menarik adalah, setelah al-Ma’mu>n berhasil menggu-

lingkan pemerintah al-Amin dan menjabat sebagai orang nomor satu Abbasiyah, berbagai reformasi kabarnya dilakukan. Usaha-

6 Di antara indikasinya adalah kritik Abu> al-‘Ata>hiyyah terhadap pemerintahan al-Rashi>d dalam pembahasan selanjutnya pada Bab ini.

7 Al-Dhahabi>, Ta>ri>kh al-Isla>m wa Wafaya>t al-Masha>hi>r wa al- A‘ala>m, ed. Bashha>r ‘Awwa>d, vol. 4 (Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>,

2001), 1048. 8 Lihat misalnya keterangan Abu> al-Fida> al-T{abari>, Akhba>r al-

Rusul wa al-Mulu>k, vol. 2, 20-22; Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Ta>ri>kh al- Khulafa’> (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), 276-284.

usaha al-Ma’mu>n tercatat cukup berhasil membawa negara pada performa ekonomi yang cukup mengesankan. 9

Oleh karena itulah, tiga fase pemerintahan di atas yang mel- ingkupi kelahiran al-Iktisa>b merupakan kesatuan yang unik kare- na mengandung sedikit hipotesis “misterius”. Yaitu bagaimana mengontekstualisasikan dengan lebih tepat karya al-Iktisa>b dalam bingkai sejarah ekonomi Abbasiyah. Selanjutnya apakah kemudian inisiasi-inisiasi terkait pengentasan krisis ekonomi dalam al- Iktisa>b, sedikit banyaknya, dijadikan sebagai landasan kebijakan ekonomi pemerintahan selanjutnya, atau lebih tepatnya pada rezim al-Ma’mu>n? Maka untuk menjawab pertanyaan ini dan sekaligus dapat menjadikan jawabannya sebagai kasus dalam perdebatan terkait penanggulangan pengangguran, uraian berikut akan disam- paikan.