Menuju Eksekusi

C. Menuju Eksekusi

Paling tidak, terhadap masalah pengangguran berkisar pada 6 (enam) tipologi diagnosis: (1) diagnosis struktural yaitu yang meni- tikberatkan pada adanya imbalansi (ketidakseimbangan) pada

kualifikasi dan pekerjaan yang tersedia; 22 (2) diagnosis teknologi yaitu yang “menyalahkan” peran negatif teknologi yang justru

mengurangi produktivitas; 23 (3) diagnosis siklus bisnis yaitu pen- jelasan pengangguran yang fokus pada kurangnya demand dan

adanya resesi ekonomi; 24 ; (4) diagnosis moneter yang terkait dengan inflasi dan pasar pekerja yang mengatur dirinya sendiri:

bahwa uang menentukan harga dan pasar mengatur segala sesuatu

22 G. Sheldon, “The Impact of Foreign Labor on Relative Wages and Growth in Switzerland,” Labor market and Industrial Organization Research

Unit (FAI), Program 39 (2000): 1-23. 23 Rødseth, T. “Utfordringer fra ny teknologi,” in R.J. Brunstad and T.

Colbjørnsen (red.) Sysselsettingen isøkelyset, Bergen: Universitetsforlaget, (1981).

24 Knut Halvorsen, “How to Combat Unemployment?,” Cost A 13 Con- ference, Keynote Speech Session III: A Positive Outlook, (2001): 7.

cangan ekternal yang merugikan, seperti kenaikan harga minyak

27 tahun 1973 dan 1979, 28 unifikasi Jerman, atau agresi-akupasi AS dan sekutunya terhadap Irak beberapa tahun yang lalu.

Meski kadang belum sepenuhnya koheren, dari diagnosis di atas maka lahirlah solusi yang bermacam-macam, di antaranya, yang pertama, solusi ala Keynesian yang dianggap tidak dapat dit-

erapkan (hanya) di satu negara. 29 Dalam pandangan ini, penyeragaman atau sinkronisasi ini di-

perlukan mengingat globalisasi mengakibatkan kemudi negara menjadi terbatas, meski tidak hilang sama sekali. Namun kompetisi internasional, globalisasi justru memberi tekanan pada biaya upah dan non-upah. Maka pada tingkat perusahaan, ada kebutuhan untuk

25 Di titik inilah terdapat diskursus mengenai NAIRU. Kebijakan konven- sional dari sebagian ekonom neo-liberal bahwa tingkat alamiah pengangguran

telah bergeser. Penyebabnya adalah “kegagalan” upah untuk menyesuaikan diri turun terhadap turunnya permintaan harga pekerja dan/atau terhadap pertum- buhan pengangguran yang disebabkan meningkatnya proporsi angkatan kerja melalui kurangnya skill dan motivasi kerja (R. Tarling dan F. Wilkinson, “Eco- nomic Functioning, Self-Sufficiency and Full Employment,” dalam J. Christian- sen, P Koistinen & A. Kovalainen, ed. Working Europe. Reshaping European employment systems (Aldershot: Ashgate, 1999).

26 Dekade 1980-1990 mencatat banyaknya permintaan tenaga kerja. Per- mintaan ini tidak lantas mengkompensasi peningkatan simultan pada penawaran

pekerja. Perubahan demografis juga dapat berupa gelombang imigran dan ban- yaknya usia muda yang secara bersamaan masuk ke pasar kerja (Lihat misalnya: Knut Halvorsen, “How to Combat Unemployment?,” Cost A 13 Conference, Keynote Speech Session III: A Positive Outlook, (2001): 8.

27 P. Ormerud (1998) “Unemployment and Social Ezclusion: An Eco- nomic View,” dalam M. Rhodes and Mény, ed., The Future of European Wel-

fare, A New Social Contract? (New York: Palgrave, 1998). 28 Hinrichs, K. “Combating unemployment: What can be learned from

whom?,” Paper presented at the Year 2000 International Research Conference on Social Security, Helsinki, (25-27 September 2000).

29 Ramesh Mishra, Globalization and Welfare State (Cheltenham: Edward Elgar, 1999), 94; Andersen, J. Goul and K. Halvorsen, “Unemployment, welfare

policies and citizenship: Different paths in Western Europe,” dalam J. Andersen Goul and P. Jensen, ed., Changing Labour Markets, Welfare Policies and Citi- zenship (Bristol: The Policy Press, 2001), 3-4.

sar. 30 Implikasinya, dalam perekonomian terbuka agak sulit menaikkan agregat permintaan melalui defisit pengeluaran. Di sisi

lain, penyesuaian tingkat suku bunga dan nilai tukar (exchange rate) tidak pula menjadi alat yang cukup layak. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kasus di mana member dari zona-Eropa yang sep- erti putus asa menggunakan alat tradisional itu untuk mengatur perekonomian mereka. Alat tradisional yang dimaksud seperti de-

valuasi mata uang atau mendefisitkan anggaran. 31 Pertumbuhan ekonomi diyakini amat krusial sebagai usaha un-

tuk melawan pengangguran. Beberapa kasus menunjukkan bahwa alfanya kerjasama demi mewujudkan pertumbuhan ekonomi justru

meyebabkan resesi ekonomi. 32 Pada kasus Indonesia, globalisasi mengakibatkan stuktur

ekonomi jadi terbuka, sehingga defisit anggaran adalah momok yang selalu dihindari. Untuk mencukupi cadangan anggaran, pemerintah seringkali mencari sumber dana baik dari investasi atau hutang luar negeri dan lain sebagainya. Kerangka kerjasama ekonomi untuk kepentingan sinkronisasi sistem ekonomi dunia ju-

ga diintensifkan. Tawaran solusi yang kedua adalah kliring pasar atau model upah rendah (komodifikasi). Kliring pasar ini diperlukan karena pada beberapa kasus, tingginya upah justru tidak dapat menjelaskan

tingginya tingkat pengangguran. 33 Namun tentu saja, upah rendah

30 M. Rhodes, “Globalization, Labour Markets and Welfare States: A Fu- ture of ‘Competitive Corporism’?,daslam M. Rhodes and Mény (eds.) The Fu-

ture of European Welfare, A New Social Contract? (New York: Palgrave, 1998). 31 Lihat misalnya: J. W. Moses, “Floating Fortunes: Scandinavian Full

Employment in the Tumultuous 1970s-1980s,” dalam R.Geyer, C. Ingebritsen & J.W. Moses, ed., Globalization, Europeanization and the End of Scandinavian Social Democracy (London: Macmillan Pub. Co., 2000).

32 Diskusi lebih lanjut lihat: P. Ughetto dan D. Boughet, “France, the im- possible new social compromise?,” Working paper for Cost Action 13, (2000).

33 Contoh yang sering dikemukakan adalah upah riil di Eropa pada tahun 1990-1998 yang meningkat rata-rata 0,9 persen per tahun. Di AS, peningkatan

hanya 0,8 persen. Namun, justru AS lebih banyak menciptakan banyak lapangan

Tawaran solusi yang ketiga yaitu model maksimalisasi pekerja (komodifikasi dan rekomodifikasi). Model ini bertujuan untuk meningkatkan isi pertumbuhan (growth) dari pekerjaan. Menurut Clasen, model ini bertujuan untuk mengurangi masalah ketidakco- cokan dalam hal pasar pekerja: kualifikasi, aktif mencari pekerjaan, aktivasi, lingkup kerja, perjanjian baru, dan membuat pekerjaan

yang membayar perusahaan. 34 Parameter yang digunakan dalam program di atas sejatinya tidak terbatas pada “bekerja lagi”, namun

harus lebih integral. 35 Program seperti inilah yang nampaknya turut menggerakkan adanya sistem pelatihan berdasarkan jurusan terten-

tu. Di Indonesia, model seperti ini nampaknya juga dilakukan oleh pemerintah, swasta, atau kerjasama antara keduanya. Bahkan Pemerintah akhir-akhir ini cukup gencar mensosialisasikan Sekolah Menengah Kejuruan untuk mensuplai keperluan pasar pekerja.

Meski demikian efek agregat yang ditimbulkan dari program kebijakan ini masih diperdebatkan, karena ada “keyakinan” terkait

kerja. Padahal ada faktor lain yang menyebabkan meningkatnya upah riil terse- but.

34 J. Clasen, “Unemployment and unemployment policy in Britain. In- creasing employability as a panacea to spatial disparities?,” Working Paper

SOCSCI (2001): 1-20. 35 J. Goul Andersen, “From the Edge of the Abyss to a sustainable third

way model?,” Draft Paper for Working Group Unemployment, COST A13 (2001); C. Albrekt Larsen, “Challenging the Hegemonic Discourse of Structural Unemployment,” Paper presentet at the ESF Helsinki conference (20-25 April, 2000); J. P. Martin, “What works among active labour market policies: Evidence from OECD Countries Experiences,” OECD Economic Studies No. 30, (2000): 1-35.

program dan desain basis penelitian) sangat menentukan keberhasi- lan program tersebut. 37

Perlu dicatat, bahwa hambatan kerja dapat berupa “diskrimi- nasi statistik” dan “prasangka” pengusaha yang seringkali justru mengakibatkan proses screening tidak memasukkan penganggur

jangka panjang. 38 Namun hambatan ini tidak selalu berdampak pada agregat total pengangguran. Dampaknya boleh saja pada komposisi

terbatas dari para penganggur. Solusi keempat yang ditawarkan adalah penciptaan lapangan kerja di sektor publik (jasa). Sejatinya sektor publik ini dilindungi

dari persaingan bebas internasional 39 dan tahan guncangan (adverse shocks). Solusi inipun dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan

memaksimalkan penciptaan lapangan kerja di sektor jasa. Anggapan bahwa ekspansi pada sektor publik justru dapat membuat pertumbuhan ekonomi menurun dan pengangguran

meningkat nampaknya tidak cukup terbukti. 40 Dengan kata lain, pencipataan lowongan kerja di sektor publik justru mendorong ter-

ciptanya pertumbuhan dan lapangan kerja. Yang kelima adalah solusi model reduksi pekerja atau dekomodifikasi. Model ini digunakan secara ekstensif di beberapa

36 B. Furaker, Is High Unemployment due to Welfare State Protection? Lessons from the Swedish Experience” dalam Europe’s New State of Welfare,

ed., J.G. Andersen, et al.(Bristol: The Policy Press, 2001), 123-142. 37 Lihat misalnya: I. Hardoy, “Arbeidsmarkedstiltak for ungdom: Hvor-

for er empiri om tiltakseffekter så sprikende,” Søkelys på arbeidsmarkedet 2001,årgang, 18 (2001): 41-49.

38 Harkman, A., “Om långtidsarbetslõshetens orsaker,” Arbetsmarknad & Arbetsliv, 5 (3), (1999):171-188.

39 H. Gansmann, “Labour Market Responsens to the Challenges of Glob- alisation,” Paper presented at the EISS-conference in Bergen, (September,

2001). 40 Bowitz dan Å. Cappelen, “Velferdsstatens økonomiske grunnlag,” in

A. Hatland, S. Kuhnle and T.I. Romøren (eds.) Den norske velferdsstaten, Oslo: Gyldendal Akademisk (2001).

angkatan baru untuk memasuki pasar kerja—misalnya dengan memperpanjang masa pendidikan/pelatihan mereka.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini juga melakukan program reduksi pekerja, namun agak longgar. Belakangan ini, isu penghen- tian sementara penerimaan pegawai negeri menghangat. Dalam konteks reduksi pekerja, kebijakan ini dapat dipahami.

Model reduksi para pekerja ini nampaknya dilakukan ber- dasarkan asumsi bahwa jumlah pekerjaan itu tidak pernah tetap. Yang tetap hanya pembagiannya (the share of labor) dalam pema- sukan negara pada tingkat pertumbuhan tertentu. Maka tantangann- ya adalah bagaimana mengendalikan partisipasi masyarakat ini tanpa membuat masalah baru, seperti beban fiskal yang tidak dapat ditanggung.

Tawaran solusi yang keenam adalah mengurai “trilema” dari layanan ekonomi. 42 Trilema yang dimaksud adalah (1) ekualitas

yang menyertai: pekerja miskin, kemiskinan di antara para penganggur, dan tidak ada jaminan keamanan kerja; (2) ketenagakerjaan; (3) kendala anggaran. Gansman mencatat bahwa pada umumnya kalangan demokrat-sosialis menekankan pada poin (1) dan (2); neo-liberal menekankan pada poin (2) dan (3); semen-

tara kalangan demokrat-kristen memprioritaskan poin (2) dan (3). 43 Trilema ini nampaknya lahir dari sistem ekonomi dan prioritas

kebijakan politik. Skala prioritas antara ekualitas dan pekerjaan 44 ;

41 Knut Halvorsen, “How to Combat Unemployment?,” Cost A 13 Con- ference, Keynote Speech Session III: A Positive Outlook, (2001): 14.

42 Iversen, T. and A. Wren, “Equality, Employment and Budgetary Re- straint. The Trilemma of the Service Economy,” World Politics, 50 (1998): 507-

546. 43 H. Gansmann, “Labour Market Responsens to the Challenges of Glob-

alisation,” Paper presented at the EISS-conference in Bergen (2001): 13. 44 G. Esping-Andersen, “Households, families and Children,” paper pre-

sented at the RC19 Meeting, (September, 2001); K. Hinrichs, “Combating un- employment: What can be learned from whom?,” Paper presented at the Year 2000 International Research Conference on Social Security, (Helsinki 25-27 September) : 5.

bijakan fiskal, moneter dan upah yang terkordinasi. 46 Sebagai con- toh kasus, Denmark memiliki performa yang cukup konsisten da-

lam menangani tiga hal tersebut (ekualitas, ketenagakerjaan, dan keterbatasan anggaran), meskipun di tengah persoalan cukup ting- ginya tingkat pengangguran di negara Eropa pada resesi tahun 1991.

Rahasianya adalah memposisikan perang terhadap penganggu- ran sebagai prioritas tertinggi. 47 Hal ini ditandai dengan tingginya

jaminan (keamanan) sosial dan rendahnya intervensi pemerintah terhadap sistem ketenagakerjaan. 48 Adanya perhatian besar untuk

menyediakan pekerjaan di sektor publik, bahkan menyumbang ba- gian besar dari perbaikan performa ekonomi. 49

Hasil diagnosis itulah yang menderivasi berbagai kebijakan terhadap pengangguran. Dalam skema Bank Dunia, misalnya, ter- dapat beberapa kebijakan untuk menekan pengangguran termasuk percepatan ekspansi industri, skema lowongan kerja bagi publik, intensitas pekerja dalam memproduksi sektor manufaktur, reduksi terhadap faktor distorsi harga, pembangunan ekonomi dan pela- yanan sosial pada daerah desa, program pendidikan yang relevan, konsistensi antara kebijakan pendidikan dan perencanaan ekonomi,

45 Agnar Sandmo, “Globalization and the Welfare State: More Inequality – Less Distribution?,” A Lecture at the Annual Meeting of the Società Italiana di

Economia Pubblica, (Pavia, 4-5 October 2002): 1-26. 46 Hinrichs, K. “Combating unemployment: What can be learned from

whom?,” Paper presented at the Year 2000 International Research Conference on Social Security, Helsinki, (2000).

47 J. Goul Andersen, “From the Edge of the Abyss to a sustainable third way model?,” Draft Paper for Working Group Unemployment, COST A13

(2001) 48 H. Gansmann, “Labour Market Responsens to the Challenges of Glob-

alisation,” Paper presented at the EISS-conference in Bergen, (September, 2001).

49 J. Goul Andersen, “From the Edge of the Abyss to a sustainable third way model?,” Draft Paper for Working Group Unemployment.

Pada Juni 2011 yang lalu, Islamic Development Bank menga- dakan sesi Expert Group Meeting bekerjasama dengan Internation- al Monetary Fund (IMF), International Labor Office (ILO), dan Statistical, Economic and Social Research and Training Centre of Islamic Countries (SESRIC). Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh para pakar ekonomi dari negara anggota IDB itu setidaknya ditemukan bahwa kunci penanganan pengangguran terletak pada enam hal: (1) memperluas fleksibilitas pasar pekerja, (2) mening- katkan kualitas pendidikan tingkat tinggi, (3) melakukan ekspansi dan disversifikasi pada sektor micro-finance, (4) mengadakan mekanisme kerjasama untuk menjaga terlaksananya keputusan- keputusan yang diambil OIC terkait pengangguran, (5) memobilitas dan meningkatkan kapasitas pekerja, (6) meningkatkan kualitas kunci-kunci pelayanan birokrasi dan pengadaan infrastruktur, sep- erti mendorong komunikasi lintas-perbatasan dan pembangunan sarana penghubung, meminimalisir hambatan-hambatan birokrasi, dan seterusnya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa belum pernah ada solusi tunggal (al-t{ari>qah al-wahi>dah) untuk mencapai full employ- ment. Tantangan nasional berbeda-beda karena terdapat perbedaan struktur ekonomi dan adanya kebijakan warisan kebijakan (policy legacies). Penting juga untuk mempertimbangkan apakah pengang- guran yang ada mewakili jenis masalah sosial atau ekonomi; atau kolaborasi antara keduanya. Diagnosis yang tepat akan sangat membantu dan menjadi semacam langkah awal (starting point) usaha mengatasi permasalahan.

Terlepas dari struktur dan kebijakan warisan di atas, beberapa solusi nampaknya dapat menjadi “obat serbaguna” (cureall). Ke- bijakan itu yaitu:

1. Komitmen politik terhadap kebijakan ketenagakerjaan penuh (full employment) dan adanya konsensus dengan mi- tra sosial pemerintah untuk memprioritaskan pertumbuhan lapangan kerja. Bentuk pengendalian upah seperti ini serta adanya konsesus krisis nampaknya dapat menjadi jalan

2. Adanya kordinasi kebijakan fiskal, upah, dan moneter;

3. Kebijakan korporasi terkait pengaturan upah yang meli- batkan mitra sosial dan pemerintah. Ini juga bertujuan un- tuk meningkatkan daya saing internasional;

4. Adanya dorongan (melalui pelatihan dan pendidikan) agar terjadi perubahan struktural (inovasi dan modernisasi) agar ada kesiapan dan daya saing menyikapi arus perekonomian global;

5. Adanya tunjangan cuma-cuma untuk pengangangguran yang dikombinasikan dengan fleksibelitas tinggi pada pasar pekerja;

6. Pada dasarnya pengangguran terkait dengan distribusi kekayaan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan: work

sharing 50 ; work-sharing yang dikombinasikan dengan efisiensi dalam kapasitas produksi 51 ; pengurangan waktu seminggu kerja 52 ; cuti pendidikan dan fleksibelitas yang

lebih luas pada jam kerja serta skema pensiun dini;

7. Ekspansi pembiayaan pajak ke sektor publik dan sektor jasa strategis lainnya seperti subsidi hari tua. Juga patut di- pertimbangkan penggunaan keuntungan pembiayaan pajak untuk mengurangi kontribusi pengusaha. Ini diharap akan meningkatkan kemungkinan perluasan layanan sektor

50 C. Weinkopf, “Labour Pools – Innovative Approach on the Labour Market,” dalam Working Europe. Reshaping European employment systems, J.

Christiansen, P Koistinen and A. Kovalainen, ed. (Aldershot: Ashgate, 1999); K. Suoranta, (1999) “Work Sharing and its Impact on the Houeshold Economy and Income Transfers,” dalam Working Europe, Reshaping European employment systems, J.Christiansen, P Koistinen and A. Kovalainen, ed. (Aldershot: Ashgate, 1999).

51 B. Olsson, “Shorter Working Hours and More Jobs?” dalam Working Europe. Reshaping European employment systems, J. Christiansen, P Koistinen

and A. Kovalainen, ed. (Aldershot: Ashgate, 1999). 52 J. Nättu, “Sabbatical Leave Scheme in Finland” dalam Working Eu-

rope. Reshaping European employment systems, J. Christiansen, P Koistinen and A. Kovalainen, ed. (Aldershot: Ashgate, 1999).

8. Aktivasi yang tepat waktu dan ditargetkan pada kelompok- kelompok lemah (yaitu subsidi upah, rekomodifikasi, tanggung jawab sosial pengusaha swasta yang diiringi dengan usaha reduktif terhadap adanya diskriminasi statis- tik kepada etnis minoritas, perempuan, penyandang cacat, dan inisiatif menciptakan kesempatan kerja bagi masyara-

kat sekitar) 53

9. Membentuk kegiatan yang bermanfaat secara sosial dan individual di luar pekerjaan formal. Manfaat kegiatan ini diharapkan berdampak terhadap munculnya tingkat mode- rat penawaran tenaga kerja.

Dengan demikian, selain sembilan tawaran solusi di atas yang dijalankan secara konsisten, perlu dilihat adanya keperluan yang mendesak terhadap peningkatan sektor riil. Hal ini mengingat bah- wa dalam struktur ekonomi Indonesia, multiplier effect dari uang primer relatif rendah. Sementara tingkat perubahan tingkat PDB nyatanya kurang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Komponen pembentuk PDB didominasi oleh kegiatan yang kurang memiliki multiplier dan spillover yang tinggi. Dengan kata lain, tingkat pengangguran di Indonesia sangat ditopang oleh aggregate demand dan amat dipengaruhi oleh labor supply sehingga ke- bijakan terhadap pertumbuhan tenaga kerja baru sangat ber- pengaruh terhadap tingkat pengangguran.

Meski reduktif sambil mengeborasi, penulis ingin mengatakan gagasan al-Shayba>ni> dalam hal ini dapat menjadi kerangka besar beberapa poin yang ditawarkan di atas. Gagasan al-Shayba>ni> terkait pendekatan persepsi, persepsi dan spesialisasi (PSP) adalah kerangka bagi gagasan poin 1 (satu) dan 4 (empat) yaitu komitmen politik terhadap kebijakan ketenagakerjaan penuh (full employ- ment); adanya konsensus dengan mitra sosial pemerintah untuk memprioritaskan pertumbuhan lapangan kerja dan adanya

53 Hinrichs, K. “Combating unemployment: What can be learned from whom?,” Paper presented at the Year 2000 International Research Conference

on Social Security, Helsinki, (2000).

Gagasan al-Shayba>ni> terkait dengan kebijakan income (KI) menjadi kerangka untuk poin 2 (dua); 3 (tiga); 5 (lima); 6 (enam) dan 7 (tujuh) yaitu adanya kordinasi kebijakan fiskal, upah, dan moneter; kebijakan korporasi terkait pengaturan upah yang meli- batkan mitra sosial dan pemerintah. Ini juga bertujuan untuk meningkatkan daya saing internasional; Adanya tunjangan cuma- cum\\\\\\\\\\\\\\\\\a untuk pengangangguran yang dikombinasikan dengan fleksibelitas tinggi pada pasar pekerja; Pada dasarnya pengangguran terkait dengan distribusi kekayaan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan: work sharing. Work-sharing yang dikom- binasikan dengan efisiensi dalam kapasitas produksi; pengurangan waktu seminggu kerja; cuti pendidikan dan fleksibelitas yang lebih luas pada jam kerja serta skema pensiun dini; ekspansi pembiayaan pajak ke sektor publik dan sektor jasa strategis lainnya seperti sub- sidi hari tua. Juga patut dipertimbangkan penggunaan keuntungan pembiayaan pajak untuk mengurangi kontribusi pengusaha. Ini di- harap akan meningkatkan kemungkinan perluasan layanan sektor swasta. Sehingga total upah dapat cocok dengan prodktivitas yang rendah di sektor ini.

Inisiasi terkait Jaminan Sosial (JS) dapat menjadi kerangka be- sar untuk poin 8 (delapan) dan 9 (Sembilan) yaitu aktivasi yang tepat waktu dan ditargetkan pada kelompok-kelompok lemah (yaitu subsidi upah, rekomodifikasi, tanggung jawab sosial pengusaha swasta yang diiringi dengan usaha reduktif terhadap adanya dis- kriminasi statistik kepada etnis minoritas, perempuan, penyandang cacat, dan inisiatif menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar). Membentuk kegiatan yang bermanfaat secara sosial dan individual di luar pekerjaan formal. Manfaat kegiatan ini diharap- kan berdampak terhadap munculnya tingkat moderat penawaran tenaga kerja.

Sementara Pola hidup/ Hirarki al-Ma’ruf (HM) dapat dijadikan kerangka terhadap peningkatan sektor riil yang mendorong taraf hidup masyarakat. Perlu diingat bahwa HM dapat juga menjadi landasan filosofis perlunya pembangunan infrstruktur. Karena pada

BAB VI