Quo Vadis Ekonomi Pancasila

B. Quo Vadis Ekonomi Pancasila

Pemerintah mengklaim bahwa program penekanan tingkat pengangguran dianggap telah cukup berhasil. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 secara ek- splisit pemerintah melanjutkan tiga strategi pembangunan ekonomi, yaitu 3P: pro growth, pro job dan pro poor. Strategi 3P ini menun- jukkan bahwa Indonesia masih menganut bahwa pertumbuhan ekonomi akan berimbas pada penambangan lapangan kerja dan un-

11 Lihat misalnya: Walter Block & William Barnett II, “A Possitive Pro- gram for Laissez-Faire Capitalism,” Journal of Corporate Citizenship, vol. 19

Salah satu indikator keberhasilan pertumbuhan ekonomi ini adalah laporan dari UNDP tahun 2011 terkait dengan Indeks Pem- bangunan Manusia (IPM) yang naik ke peringkat 124 dari 187

negara, bila dibandingkan tahun 2010. 13 Indikator lainnya adalah Fitch Rating yang menaikkan pering-

kat outlook soverign Indonesia dari BB (stabil) menjadi BB+ (posi- tif). Lembaga pemeringkat internasional yang cukup terpercaya ini meletakkan Indonesia satu tingkat di bawah level investasi (invest-

ment grade). 14 Tentu saja peringkat ini menyisakan beberapa derivat, di antaranya: modal asing jangka pendek (portofolio) akan

terus mengalir ke pasar keuangan kita, baik di pasar uang, modal, maupun utang. Nilai tukar rupiah juga nampaknya cenderung men- guat, nilai dan cadangan devisa bertambah. Sementara premi resiko investasi turun. Dengan demikian, kenaikan peringkat menambah bekal moneter sekaligus mengurangi biaya fiskal.

Namun demikian, strategi #3P di atas justru menyimpan para- doks.

12 Hal ini dikonfirmasi oleh Sasaran Pembangunan Ekonomi dan Kese- jahteraan Indonesia yang secara eksplisit menyebut kombinasi percepatan per-

tumbuhan ekonomi dan kebijakan intervensi pemerintah yang terarah diharapkan dapat mempercepat penurunan tingkat pengangguran terbuka hingga di sekitar 5-

6 persen pada akhir tahun 2014 (Lampiran Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014, Buku I Prioritas Nasional [Jakarta: Bappenas, 2010],1-43).

13 UNDP, “Sustainability and Equity: A Better Future for All,” Human Development Report 2011 (2011): 178. Hal ini berbeda dengan headline salah

satu media bisnis yang justru menyampaikan bahwa peringkat Indonesia menurun

(http://www.businessnews.co.id/headline/membaca-bahasa-ipm.php). Diakses pada 18 Nopember 2011.

14 Fitch Ratings, Sovereign Ratings History, 5. Data per 24 Februari 2011. Kamis, 15 Desember 2011, level Indonesia naik ke “investment grade” dengan

peringkat BBB-. Kenaikan ini tentu menjadi momentum baik untuk meningkat- kan optimisme pertumbuhan ekonomi, terutama melalui Investasi Asing Lang- sung (FDI) tanpa kehilangan kewaspadaan dalam kebijakan makro ekonomi.

Harusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pada triwulan

III 2011 mencapai 6,5 persen 15 meyisakan ruang meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Namun indeks gini yang mengukur ting-

kat distribusi pendapatan justru cenderung meningkat. 16 Sayangnya, ini diperparah oleh iklim usaha (doing business index) kita di tahun

2011 yang malah melorot ke posisi 121, dari posisi 115 tahun 2010 lalu. Maka dalam konteks ini, naiknya peringkat IPM Indonesia – seperti yang dirilis UNDP di atas—menjadi tidak begitu berarti, karena ketimpangan ekonomi makin memburuk.

Peringkat IPM Indonesia di atas juga menunjukkan bahwa pembangunan sumber daya manusia (tanmiyat al-ra’sima>liyyah al-insa>niyyah) masih merupakan pekerjaan rumah yang belum selesai. Sumber daya manusia inilah yang menentukan bagaimana

strategi pemanfaatan sumber daya alam kita yang melimpah. 17 Dari ketertinggalan dalam pembangunan IPM inilah, seringkali terjadi

ketidaksesuaian antara keahlian (calon) pekerja dan kebutuhan pasar. Inilah paradoks terkait pertumbuhan ekonomi, arah strategi sumber daya alam, dan kualitas sumber daya manusia.

Harusnya lagi, dengan kenaikan peringkat utang, membuat biaya mendapat dana (cost of capital) lebih murah dan mudah, na- mun yang terjadi justru sebaliknya. Banjirnya likuiditas justru dis- ertai macetnya proses intermediasi. Masih banyak pengusaha— terutama yang kecil—agak kesulitan untuk mendapatkan kredit bank dengan bunga 9-14 persen. Pembangunan infrastruktur masih jalan di tempat. Di sisi lain, peringkat investasi sejatinya menun- jukkan iklim usaha membaik sehingga rasio pajak terhadap PDB meningkat. Tapi kenyataannya, rasio pajak kita tidak pernah naik.

15 Badan Pusat Statistik, “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III- 2011,” Berita Resmi Statistik, no. 72/11/th. XIV (Nopember 2011).

16 Badan Pusat Statistik, Perkembangan Beberapa Indikator Utama So- sial-Ekonomi Indonesia Mei 2011 (Jakarta: BPS, 2011), 45.

17 Di sinilah pangkal arah kebijakan sumber daya alam Indonesia. Misal- nya dalam kasus ekspor komoditas baku rotan yang seringkali dikeluhkan oleh

pengusaha nasional, karena kurangnya kesiapan dan daya saing mereka menghadapi gempuran rotan yang diimpor oleh pasar luar negeri. Atau dalam kasus di mana anggaran Indonesia babak belur karena kenaikan harga minyak.

Inilah paradoks kedua tentang likuiditas: ada kesenjangan antara sektor keuangan dan sektor riil.

Sementara yang ketiga adalah paradoks terkait sektor usaha. Hal ini ditunjukkan oleh sulitnya unit usaha mikro untuk mendapat sumber dana. Padahal rasio unit usaha mikro di Indonesia mencapai

98 persen lebih. Hal ini berbanding terbalik dengan perlakuan yang diterima oleh unit usaha besar yang relatif lebih mudah mengakses pundi-pundi dana. Meskipun jumlahnya hanya sekitar 0,01 persen, wajar saja pengusaha-pengusaha besar dapat menyumbang hampir setengah dari produk domestik bruto (PDB) dan 82,98 persen ek-

spor. 18 Sementara sektor usaha menengah juga sangat kecil yaitu sekitar 0,08 persen.

Terkait pengangguran, pemerintah mengaku menumpukan arah umum pembangunan nasional terkait pengurangan tingkat pengangguran pada tiga program utama: (1) perbaikan sumber daya manusia, (2) perbaikan infrastruktur dasar, dan (3) terjaga dan ter-

peliharanya lingkungan hidup secara berkelanjutan. 19 Namun bila melihat beberapa paradoks di atas, kenyataannya

tiga program ini masih harus berjibaku dengan berbagai tantangan dan rintangan.

Maka sesungguhnya arah perekonomian kita masih di persim- pangan jalan. Beberapa “pekerjaan rumah” di atas harus terus di- perbaiki secara konsisten. Bila tidak, dalam konteks pengangguran, strategi menekan tingkat pengangguran tidak akan mengalami per- cepatan. Sementara tantangan perekonomian justru tidak semakin mudah. Terlebih saat ini perekonomian dunia masih mengalami perlambatan akibat krisis ekonomi US dan Eropa.

Percepatan usaha menekan tingkat pengangguran ini diper- lukan tidak hanya karena alasan di atas yang cenderung bersifat eksternal. Secara internal, sesungguhnya pengangguran berten- tangan dengan hak asasi manusia dan ideologi perekonomian kita sendiri. Di sinilah urgensi arah ekonomi berbasis konsistusi Pan- casila.

18 Lihat misalnya: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang defin- isi usaha mikro, kecil, dan menengah

19 Lampiran Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014, Buku I Prioritas Nasional (Jakarta: Bappenas,2010), 10.

Pasal 27 D ayat 2 UUD 1945 dan perubahannya yang berbun- yi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, memberikan pema- haman bahwa setidaknya (1) tiap warga negara berhak mendapat- kan pekerjaan di samping penghasilan dari pekerjaan itu juga layak dalam koridor kemanusiaan; (2) kewajiban negara untuk memenuhi hal itu; (3) segala usaha dan upaya yang berlandaskan semangat UUD ini harus ditempuh oleh negara; (4) adanya simbiosis- mutualisme: warganegara mendapat pekerjaan dan dengan demikian, negara dapat dikatakan berhasil menjalankan fungsi negara seperti diamanahkan UUD.

Namun demikian, tidak berarti ketika lapangan pekerjaan tersedia, calon pekerja—yang merupakan warga negara—serta merta mengambil pekerjaan itu. Preferensi calon pekerja atas suatu pekerjaan juga ditentukan oleh banyak faktor, di antaranya faktor

tingkat upah, keahlian, tempat, dan seterusnya. 20 Di sisi yang berbeda, tantangan problematika pengangguran di

Indonesia cukup kompleks. Bila pada fase Abbasiyah, tantangan yang terjadi bersifat lokal, maka kasus pengangguran di Indonesia menghadapi arus globalisasi yang nampaknya sulit terbendung.

Contoh yang masih gress adalah terkait diterapkannya AC- FTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) yang sesungguhnya belum terlalu siap Indonesia hadapi. Maka indikasi deindustrialisasi kemudian terjadi di berbagai sektor, sesuatu yang sesungguhnya mesti diwaspadai. Dalam hal ini, persaingan justru berbuah hub- ungan predatorik, bukan gemblengan untuk efisiensi, free entry dan free exit. Yang justru timbul adalah kekhawatiran bahwa free entry berakibat pada akuisisi. Free exit yang membunuh perusahaan- perusahaan nasional, untuk selanjutnya menyimbahkan PHK dalam

jumlah besar. 21

20 Di sinilah, konteks di mana kenyamanan memilih pekerjaan sebagai hak asasi, diakomodasi oleh UU No. 39 Tahun 1999 terkait Hak Asasi Manusia.

21 Diskusi lebih lanjut tentang tantangan globalisasi dalam konteks Indo- nesia dapat dilihat misalnya pada karya Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonmika:

Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila, 2010), 161-162.

Jadi, permasalahan pengangguran kita sesungguhnya cukup kompleks, tidak hanya tantangan yang berdimensi lokal tapi juga tantangan berdimensi global. Oleh karena itu, kebijakan yang pro kesempatan kerja penuh sejatinya tidak hanya dilaksanakan secara konsisten, juga harus bersifat komprehensif.

Oleh karena itulah, sudah seharusnya pemerintah bersikap ter- buka untuk menerima masukan dari berbagai pihak yang kompeten. Dalam kaitannya dengan alternatif kebijakan dan program-program menekan pengangguran ini, inisiasi al-Shayba>ni menjadi relevan. Artinya, kebijakan yang bersifat konvergentif dapat menjadi alter- natif kebijakan melawan pengangguran, bersama dengan alternatif- alternatif lain seperti kebijakan yang ditawarkan oleh Bank Dunia dan OKI.

Tapi sekali lagi kompetensi amat ditentukan oleh setepat apa indentifikasi atau diagnosis terhadap realitas pengangguran tersebut untuk kemudian lahirlah skema kebijakan terhadap pengangguran.