Latar Belakang Analisa Perbandingan Antara Perma Nomor 1 Tahun 2008 Dengan Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 1999

10

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui kehidupan bersosialisasi di dalam masyarakat sering timbul permasalahan hukum, yang mana permasalahan ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan maupun lewat jalur hukum. Biasanya yang menimbulkan permasalahan hukum tersebut dimulai dengan timbulnya konflik ataupun sengketa. Konflik dan sengketa itu sendiri memiliki tafsiran yang bermacam- macam dari para ahli hukum. 1 Mari kita coba mendeskripsikan kritik yang paling umum dilontarkan kepada pengadilan. Kritik umum ini dirangkum dari beberapa negara, meskipun wujud kritiknya hampir sama. Yang terpenting di antaranya: 2

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi yang Sangat Lambat

Inilah penyakit pertama yang dianggap melekat pada pengadilan. Penyelesaian sengketa tidak cepat, lambat dan formalistik. Jangankan untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap, untuk memulai pemeriksaan saja pun harus menunggu waktu yang lama. 1 Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta, Visi Media, 2011, hal. 26. 2 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, hal. 153-159. Universitas Sumatera Utara 11 Kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui litigasi, merupakan kenyataan yang umum di seluruh pelosok dunia. Lihat saja kenyataan yang terjadi di Jepang. Rata-rata antara 10-15 tahun. Menurut informasi yang diperoleh, rata-rata antara 5-7 tahun. Hal ini merupakan kenyataan yang dihadapi masyarakat di Indonesia. Penyelesaian perkara mulai dari tingkat pertama sampai kasasi, rata-rata antara 7-12 tahun. Kelambatan itu sulit dihilangkan, sebab semua perkara diajukan banding dan kasasi. Bahkan permintaan peninjauan kembali sudah menjadi mode. Masyarakat pencari keadilan sudah dirasuki sikap irasional. Mereka tidak lagi mempersoalkan apakah putusan yang dijatuhkan benar dan adil. Kekalahan dianggap sebuah ketidakadilan. Oleh karena itu, segala upaya hukum yang dibenarkan undang-undang, dimanfaatkan. Pemanfaatannya terkadang nyata-nyata mengandung itikad buruk, sekedar untuk menjegal terjadinya pelaksanaan eksekusi. Dalam keadaan yang seperti itu, benar-benar sistem peradilan tidak mampu memperkecil, apalagi melenyapkan penggunaan upaya hukum yang diselimuti dengan itikad buruk. Kesimpulannya, sistem litigasi memang sangat potensial memperlambat penyelesaian perkara. Sekitar tahun 1992, digariskan suatu kebijaksanaan oleh Mahkamah Agung. Setiap perkara yang ditangani peradilan tingkat pertama Pengadilan Negeri dan banding Pengadilan Tinggi, harus selesai dalam tempo 6 bulan. Apa yang dapat dipetik dari kebijaksanaan tersebut? Arus perkara makin cepat dan deras melaju ke tingkat kasasi. Akhirnya Mahkamah Agung kewalahan menampung limpahan yang bertubi-tubi Universitas Sumatera Utara 12 dari bawah. Akibatnya terjadi tunggakan yang makin besar. Penyelesaian pada peradilan tingkat pertama dan banding, dapat dikatakan lancar. Namun penyelesaian di tingkat kasasi mandek, karena atara jumlah yang diselesaikan dan yang masuk tidaklah seimbang.

2. Biaya Berperkara Mahal

Suatu gambaran tentang mahalnya biaya berperkara melalui litigasi, dapat dilihat data yang dikemukakan Tony Mc. Adams. Pada tahun 1985, pendapatan total 750.000 pengacara di Amerika berjumlah 64,5 miliar. Berdasar data ini, timbul kritik bahwa hukum sudah menjadi bisnis besar. Tingginya biaya berperkarapun dianggap sebagai faktor yang sangat merusak terhadap perekonomian Amerika. Kerisauan tentang besarnya biaya berperkara melalui peradilan, terdapat di mana-mana. Di Korea Selatan misalnya. Meskipun proses penyelesaian perkara dianggap relatif cepat, antara lima sampai tujuh tahun, kecepatan ini tetap mengeruk biaya resmi peradilan. Ditambah upah pengacara yang tinggi, menjadikan jumlah biaya perkara yang dikeluarkan pihak yang berperkara, bisa melampaui nilai hasil kemenangan.

3. Peradilan Pada Umumnya Tidak Responsif

Selain daripada penyelesaian perkara melalui proses litigasi memakan waktu lama, dan harus pula mengeluarkan biaya yang mahal, peradilan pada umumnya dianggap masyarakati tidak responsif. Pertama, peradilan kurang bahkan tidak tanggap terhadap kepentingan umum. Sering pengadilan mengabaikan kepentingan dan kebutuhan Universitas Sumatera Utara 13 masyarakat banyak. Mata pengadilan sering tertutup melihat dan memperhatikan kepentingan orang banyak. Malahan masyarakat mengkritik, pengadilan sering memberi perlakuan tidak adil, karena dianggap hanya memberi kesempatan dan keleluasaan kepada lembaga- lembaga besar dan orang-orang kaya. Kedua, peradilan kurang tanggap melayani kepentingan rakyat biasa dan kalangan miskin. Rakyat miskin dan rakyat biasa sering tidak mendapat pelayanan yang wajar, karena mareka tidak mampu membayar biaya perkara dan biaya pengacara. Memang kewajiban membayar perkara merupakan syarat formal yang dilekatkan dalam proses berperkara, namun syarat inilah yang menjadi penghalang bagi rakyat biasa mendapat pelayanan yang wajar dari pengadilan. Bisa juga ketidakpedulian itu terjadi karena rakyat biasa yang berperkara tidak didampingi oleh pengacara, disebabkan mahalnya biaya pengacara. Terpaksa rakyat biasa tersebut tampil tanpa didampingi oleh seorang ahli hukum, meskipun rakyat biasa tersebut sama sekali buta terhadap hukum. Hal-hal seperti inilah yang membuat terkadang pengadilan tidak memberi pelayanan yang layak dan manusiawi.

4. Putusan Pengadilan Tidak Menyelesaikan Masalah

Tidak semua putusan pengadilan yang mengantar para pihak yang bersengketa ke arah penyelesaian masalah. Yang paling dikecam masyarakat, putusan yang dijatuhkan sangat membingungkan. Terkadang Universitas Sumatera Utara 14 tanpa dasar dan alasan yang masuk akal, pengadilan menjatuhkan putusan ganti rugi yang sangat merugikan salah satu pihak. Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini para pihak cenderung menggunakan penyelesaian sengketa alternatif PSA, hal ini disebabkan oleh jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa di pengadilan yang lama sehingga dipandang tidak praktis dan membutuhkan biaya besar. Penyelesaian sengketa alternatif merupakan salah satu pilihan bagi para pihak yang hendak menyelesaikan sengketa mereka dengan tidak melalui pengadilan maupun arbitrase. Pilihan tersebut sepenuhnya bergantung pada keinginan dari masing-masing pihak yang bersengketa. Terjadinya sengketa di antara para pihak, memberikan pilihan kepada masing-masing pihak untuk memilih cara yang akan digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Masing-masing pihak dapat memilih melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Pada umumnya, penyelesaian sengketa melalui pengadilan ditempuh berdasarkan inisiatif dari salah satu pihak. Sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya dapat ditempuh oleh para pihak berdasarkan kesepakatan para pihak, dengan kata lain ada itikad baik dari masing-masing pihak. 3 Kelebihan dari penyelesaian sengketa di luar hukum yang berlaku untuk pelaksanaannya yang cepat dan biaya murah, tetapi memiliki resiko tinggi. Misalnya penagihan hutang. Dalam hal terjadi utang piutang dan salah satu pihak 3 Op.Cit. hal. 26. Universitas Sumatera Utara 15 tidak mampu atau enggan membayar utang, sering kali penyelesaian terhadap masalah ini dilakukan dengan cara menagih secara langsung kepada pihak yang bersangkutan dengan cara-cara kekerasan dan bahkan dengan ancaman-ancaman. Tindakan dari kreditor yang melakukan kekerasan dan ancaman-ancaman tersebut sering kali disikapi oleh debitor dengan cara melaporkan ke kepolisian sehingga hal yang semula mudah menjadi sulit untuk diselesaikan. 4 Sejarah umat manusia menunjukkan selalu terjadi pertentangan kepentingan antara manusia satu dengan yang lain, karena memang hukum itu ada adalah untuk menghilangkan atau paling tidak untuk meminimalkan konflik atau sengketa yang terjadi di masyarakat, sehingga tercipta ketertiban dan kedamaian. Untuk mengatasi atau menyelesaikan sengketa, dalam kehidupan sosial manusia dilakukan dengan berbagai cara yaitu: 5 a. Membiarkan saja lumping it b. Mengelak avoidance c. Paksaan dengan menggunakan kekerasan coercion d. Perundingan negotiation e. Mediasi mediation f. Arbitrase arbitration g. Peradilan ajudication Pilihan cara-cara tersebut dilakukan tergantung pada budaya, nilai-nilai, dan tujuan dari pihak-pihak yang bersengketa. Dalam kehidupan sosial yang semakin 4 Ibid., hal. 26-27. 5 I Made Sukadana, Mediasi Peradilan, Jakarta, PT. Pretasi Pustakaraya, 2012, hal. 2. Universitas Sumatera Utara 16 tertib yang telah ditata dengan hukum, sudah tentu penggunaan cara kekerasan atau main hakim sendiri akan sangat dihindari. 6 Persengketaan yang timbul di antara para pihak tidaklah selalu bersifat negatif, sehingga penyelesaiannya haruslah dikelola dengan baik untuk menuju hasil penyelesaian yang terbaik bagi kepentingan kedua pihak. Oleh karena itu penyelesaian sengketa merupakan salah satu aspek hukum yang penting dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum, untuk terciptanya ketertiban dan kedamaian. Agar ketertiban dan kedamaian terpelihara dengan baik, hukum haruslah sesuai dengan cita hukum masyarakat negara tersebut. 7 Dewasa ini banyak orang yang masih kurang mengerti tentang pelaksanaan mediasi dan arbitrase di negara Indonesia, baik dari segi prosedur yang benar maupun apa saja kelebihan dan kekurangan dari penggunaan penyelesaian sengketa alternatif yang tersebut sebelumnya.

B. Perumusan Masalah