Keaslian Penulisan Tinjauan Pustaka

18 PERMA nomor 1 tahun 2008 dengan hal-hal yang berkaitan dengan arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 sehingga dapat memberi saran bagi orang-orang awam yang ingin menyelesaikan masalah hukum melalui penyelesaian sengketa alternatif baik mediasi maupun arbitrase. Serta dapat menjadi bahan pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut tentang mediasi menurut PERMA nomor 1 tahun 2008 dan arbitrase menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 b. Secara praktis Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas bagi masyarakat yang ingin menyelesaikan masalah hukum melalui mediasi dan arbitrase, tahu prosedur mediasi dan arbitrase di Indonesia, tahu kelebihan dan kekurangan dari mediasi dan arbitrase, dan juga dapat memberikan gambaran bagi masyarakat tentang perbandingan antara mediasi yang diatur dalam PERMA nomor 1 tahun 2008 dengan Undang-Undang nomor 30 tahun 1999.

D. Keaslian Penulisan

Judul yang diambil dalam penulisan skripsi ini yaitu Analisa Perbandingan Antara PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berlum pernah ditulis dan belum pernah ada pembahasan sebelumnya. Universitas Sumatera Utara 19 Hal ini didasarkan penelusuran yang dilakukan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Pustaka

Penyelesaian Sengketa Alternatif pertama kali berkembang di negara Amerika Serikat, di mana pada saat itu Penyelesaian Sengketa Alternatif berkembang karena dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut. 8 1. Mengurangi kemacetan di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan seringkali berkepanjangan, sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan. 2. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa. 3. Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan. 4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak dan memuaskan Dalam perkembangannya sesuai dinamika sosial, mengenai proses penyelesaian perkara perdata tidak saja melalui proses formal pengadilan akan tetapi dapat juga melalu proses nonformal di luar pengadilan. Hal ini secara hukum dibenarkan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 58 UU No. 48 8 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal.10. Universitas Sumatera Utara 20 Tahun 2009, yang sebelumnya juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat 1 jo. penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang memberikan peluang alternatif untuk penyelesaian sengketa secara damai di luar pengadilan. Peluang penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini juga sebelumnya telah diatur dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970, yang telah dijadikan dasar hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872, yang selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 1999. Hal ini dapat disimak dalam konsiderans dan penjelasan umum UU No. 30 Tahun 1999 tersebut yang menyebutkan, bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maksudnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, penyelesaian sengketa perdata disamping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. 9 Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu “mediare” yang berarti “berada di tengah”. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak 9 I Made Sukadana, Op. Cit. hal 6-7 Universitas Sumatera Utara 21 yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari pihak yang bersengketa. 10 Dengan demikian, dari definisi atau pengertian mediasi ini dapat diidentifikasikan unsur-unsur esensial mediasi, yaiu: 11 - Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak; - Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang disebut mediator; - Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para pihak; Adapun usur-unsur mendasar dari mediasi adalah sebagai berikut: - Adanya sengketa yang harus diselesaikan - Penyelesaian dilaksanakan melalui perundingan - Perundingan ditujukan untuk mencapai kesepakatan - Adanya peranan mediator dalam membantu penyelesaian Beberapa alasan mengapa mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian yang lebih di Indonesia, antara lain: 12 10 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal. 23-24 11 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2011, hal. 13 12 Frans Hendra Winarta, Op. Cit. Hal. 12 Universitas Sumatera Utara 22 - Faktor Ekonomis, dimana mediasi sebagai altematif penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari sudut pandang biaya maupun waktu. - Faktor ruang lingkup yang dibahas, mediasi memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel. - Faktor pembinaan hubungan baik, dimana mediasi yang mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia relationship, yang telah berlangsung maupun yang akan datang. Selain Mediasi juga ada penyelesaian sengketa alternatif lainnya yaitu Arbitrase, di mana Arbitrase itu diambil dari bahasa latin yaitu arbitrare yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan itu, dapat menimbulkan salah kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan norma-norma huum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya pada kebijaksanaan saja. Kesan tersebut keliru, karena arbiter atau majelis tersebut juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan. 13 Berikut adalah beberapa definisi mengenai arbitrase. Berdasarkan UU No. 30 tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar 13 Ibid., hal. 36. Universitas Sumatera Utara 23 peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 14 Menurut Sidik Suraputra, S.H., dalam karangannya yang berjudul Beberapa Masalah Hambatan terhadap Pelaksanaan Perwasitan Internasional yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1977, mengutip batasan definisi yang diberikan oleh Frank Elkouri dan Edna Elkouri dalam buku mereka How Arbitration Works Washington D.C., 1974, definisi arbitrase adalaha sebagai berikut: 15 Arbitration is a simple proceeding voluntarily chosen by parties who want a dispute determined by an impartial judge of their own mutual selection, whose decision, based on the merits of the case, they agreed in advance to accept as final and binding. Namun perlu diingat, bahwa kebolehan mengikat diri dalam perjanjian arbitrase, harus didasarkan atas kesepakatan bersama mutual consent. Faktor kesukarelaan dan kesadaran bersama, merupakan landasan keabsahan ikatan perjanjian arbitrase. Berdasarkan hal tersebut, keabsahan dan mengikatnya setiap perjanjian arbitrase, harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Mengenai pilihan hukum, para pihak bebas menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak. 16 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid., hal. 37 Universitas Sumatera Utara 24

F. Metode penulisan