PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

85 arbitrase yang dipilih. Selain ituu, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. 97 Kemudian, untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal ini dimungkinkan karena selain ahli hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang misalnya ahli perbankanm ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan udara, dan lain-lain. 98 Sama halnya dengan pemeriksaan mempunyai keungulan dibanding dengan proses litigasi yaitu pemeriksaan sengkeeta oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam sidang tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan. 99

D. PELAKSANAAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan, mengenai suatu pokok permasalahan yang lahir 97 Gatot Soemartono, Arbitrase Di Indonesia Keuntungan Arbitrase, http:gatot- arbitrase.blogspot.com200812keuntungan-arbitrase.html, di unggah pada Sabtu, 19 Oktober 2013 98 Ibid. 99 Ibid. Universitas Sumatera Utara 86 dari suatu perjanjian dasar yang memuat klausula arbitrase yang diajukan pada arbitrase ad-hoc, maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan olehnya. Dilihat dari segi bentuknya, dengan berpedoman pada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 terutama Pasal 32 ayat 1, Pasal 44 ayat 2, Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 60, dapat disimpulkan bahwa bentuk putusan arbitrase ada 4 empat macam: 100 1. Putusan Sela 2. Putusan Akhir 3. Putusan Perdamaian 4. Putusan Verstek. Ad. 1. Putusan Sela Putusan sela yang dimaksdu disini sesuai dengan pengertian putusan sela dalam Pasal 185 HIR yang menentukan bahwa: 1 Keputusan yang bukan akhir, walaupun harus diucapkan dalam persidangan seperti halnya putusan akhir, tidak dibuat sendiri-sendiri, akan tetapi termasuk dalam berita acara persidangan. Sesuai dengan bunyi UU No. 30 tahun 1999, putusan sela arbitrase meliputi Provisi dan Putusan Insidentil. Pengaturan akan provisi masih belum ada diatur secara jelas, namun dalam praktek provisi sebagai suatu putusan sela adalah suatu permohonan penuntut agar untuk sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan oleh arbiter atau majelis arbitrase, terhadap suatu hal yang ada hubungannya dengan pokok perkara, yang berfaedah untuk menciptakan 100 BAPMI, H.R. Saragih, Putusan Arbitrase Ditinjau dari Bentuk, Sifat, Isi Syarat-Syarat Materil dan Syarat-Syarat Formilnya, Serta Sistematika, www.bapmi.orginref_articles3.php, di unduh pada Sabtu, 19 Oktober 2013. Universitas Sumatera Utara 87 kemudahan dalam penyelesaian sengketa pokok sebelum putusan akhir. Sedangkan berkenaan dengan putusan insidentil Pasal 30 Uu no. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dala proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersangkutan serta disetujui oleh arbiter atau majelisa arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Ad. 2. Putusan Akhir Putusan akhir yang dimaksuda adalah putusan akhir dari arbiter atau majelis arbitrase dimana setelah semua proses penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak maupun dengan pihak lain dilakukan, di mana di antara para pihak tidak ada yang tidak pernah hadir dalam persidangan, telah menjatuhkan putusannya terutama yang mengenai pokok perkara, dan telah diucapkan dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum pada suatu hari tertentu dan tempat tertentu pula. Putusan mana yang telah ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitrase yang bersangkutan. 101 Ad. 3. Putusan Perdamaian Putusan perdamaian adalah putusan arbiter atau majelis arbitrase, yang tidak didasarkan kepada kemauan arbiter atau majelis arbitrase, akan tetapi berdasarkan kesepakatan bersama dari pihak pemohon dan termohon sebelum dijatuhkannya putusan akhir, perdamaian mana dapat tercapai atas prakarsa arbiter 101 Ibid. Universitas Sumatera Utara 88 maupun majelis arbitrase, guna mengakhiri persengketaan antara para pihak dan mengikat untuk para pihak, bersifat final dam mempunyai daya kekuatan eksekutorial. Putusan perdamaian ini oleh karena bersifat final dapat dianggap sebagai suatu putusan arbitrase yang telah berkekuatan hukum yang tetap, dapat dilaksanakan sebagaimana halnya suatu putusan akhir. Ad. 4 Putusan Verstek Putusan verstek adalah putusan arbiter maupun majelis arbitrase di luar hadirnya termohon yang dijatuhkan dalam persidangan, berhubungan termohon tetap tidak hadir paling lama 10 sepuluh hari setelah pemanggilan ke dua diterima oleh termohon, dimana tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika arbiter maupun majelis arbitrase menilai tuntutan pemohon tidak bermasalah atau tidak berdasarkan hukum. Putusan verstek bersifat final dan mempunyai kekuatan eksekutorial. Berdasarkan sifatnya putusan arbitrase terdiri dari 3 tiga macam, yaitu: 102 a. Putusan yang bersifat deklaratoir b. Putusan yang bersifat konstitutif c. Putusan yang bersifat condemnatoir Putusan yang bersifat deklatoir adalah putusan yang bersifat menerangkan saja atau menegaskan saja tentang suatu keadaan hukum. Putusan yang bersifat constitutif adalah putusan yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum atau 102 Ibid. Universitas Sumatera Utara 89 yang menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Dan putusan condemnatoir adalajh putusan yang berisi penghukuman terhadap satu pihak. Pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase diatur dalam Pasal 59 sampai Pasal 64 UU No. 30 Tahun 1999. Pada dasarnya putusan arbitrase harus dilaksanakan oleh para pihak secara sukarela. Jika para pihak tidak bersedia memenuhi pelaksanaan putusan arbitrase nasional tersebut secara sukarela, maka putusan arbitrase tersebut dilaksanakan secara paksa. Supaya putusan arbitrase dapat dilaksanakan, putusan tersebut harus dideponir terlebih dahulu dalam akta pendaftaran di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Tindakan deponir ini dilakukan dengan cara menyerahkan dan mendaftarkan lembar asli atau salinan authentik putusan arbitrase oleh arbiter atau kuasanya kepada penitera Pengadilan Negeri. Hal ini dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan bersama-sama pada bagian akhir atau pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan. 103 Pasal 59 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan batas waktu penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase, yaitu dilakukan dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Tindakan deponir arbitrase bukan sekedar tindakan pendaftaran yang bersifat administratif, tetapi telah bersifat konstitutif, dalam arti merupakan satu 103 Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 105 Universitas Sumatera Utara 90 rangkaian dalam mata rantai proses arbitrase, dengan resiko tidak dapat dieksekusi putusan jika tidak dilakukan pendeponir tersebut. 104 Putusan arbitrase yang telah dicatat dalam akta pendaftaran di kepaniteaan Pengadilan Negari harus sudah dilaksanakan secara sukarela paling lambat 30 tiga puluh hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. jika dalam waktu tersebut, putusan arbitrase belum juga dilaksanakan, maka dilakukan pelaksanaan putusan arbitrase secara paksa. Perintah pelaksanaan secara paksa ini diberikan oleh ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase yang telah diperintahkan oleh ketua Pengadilan Negeri dapat dilaksanakan secara paksa, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagai ballancing bagi kepentingan para pihak dalam putusan arbiitrase, Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan, diberikan hak untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase tersebut telah diambil dalam suatu proses yang sesuai, di mana: 105 1. Arbite atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara telah diangkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereke 104 Ibid., hal. 106 105 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal 102-103 Universitas Sumatera Utara 91 2. Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase tersebut adalah perkara yang menurut hukum memang dapat diselesaikan dengan arbitrase 3. Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan degan kesusilaan dan ketertiban umum. Selain itu Ketua Pengadilan Negeri akan menolak suatu permohonan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase jika terdapat alasan-alasan sebagai berikut: 106 1. Putusan dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase yang tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara sengketa arbitrase yang bersangkutan; 2. Putusan dijatuhkan melebihi batas kewenangan arbiter atau majelis arbitrase yang diberikan oleh pihak yang bersengketa; 3. Putusan yang dijatuhkan ternyata tidak memenuhi syarat-syarat penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yaitu: a. Sengeketa yang diputus bukan sengketa dibidang perdagangan atau tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan yang menjadi wewenang lembaga arbitrase untuk menyelesaikannya; b. Sengketa yang diputus bukan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa; 106 Op. Cit. , hal. 107 Universitas Sumatera Utara 92 c. Sengketa yang diputus ternyata termasuk sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. 4. Putusan yang dijatuhkan ternyata bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Pada pelaksanaan putusan arbitrase terdapat pula kemungkinan terjadinya pembatalan putusan arbitrase. Para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan arbitrase diduga mengandung unsur-unsur, antara lain: 107 1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; 2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau 3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Pengaturan mengenai pembatalan putusan arbitrase ini diatur tersendiri dalam UU No. 30 tahun 1999 dalam satu bab tersendiri yaitu Bab VII yaitu dalam Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72. Undang-undang tidak menyatakan dengan jelas apakah pembatalan putusan arbitrase ini berlaku umum bagi segala jenis putusan arbitrase, khususnya yang berhubungan dengan pembagian putusan arbitrase ke dalam putusan arbitrase. 107 Suyud Margono, Op. Cit., hal. 137 Universitas Sumatera Utara 93 Dalam Paasl 70 UU No. 30 Tahun 1999 secara tegas disebutkan bahwa permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase dapat diajukan oleh para pihak apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 108 1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, ternyata diakui palsu dan dinyatakan palsu; 2. Setelah putusan diambil ditemukan adanya dokumen yang bersifat mnentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau 3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut harus diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri di mana putusan arbitrase tersebut didaftarkan dan dicatat, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 tiga puluh hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Artinya, putusan arbitrase yang dapat dimintakan pembatalannya hanyalah putusan arbitrase yang telah didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negeri. Selanjutnya pengadilan atas permohonan para pihak akan memanggil untuk diselenggarakannya sidang peradilan, dimana para pihak harus dapat memberikan bukti mengenai unsur-unsur pemabatalan putusan arbitrase di depan Pengadilan. Berdasarkan hal tersebut, pengadilan akan menjatuhkan putusan yang menerima maupun menolak permohonan pembatalan yang diajukan tersebut. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh 108 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal 175 Universitas Sumatera Utara 94 Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari sejak permohonan pembatalan diterima. 109 Pasal 72 ayat 2 UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan atas seluruh atau sebagian putusan arbitrase. Artinya, bahwa atas setiap permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan, Ketua Pengadilan Negeri dapat membatalkan hanya sebagian dari putusan arbitrase tersebut. Sebagai akibat dari pembatalan putusan arbitrase, Ketua Pengadilan Negeri dapat meminta kepada arbiter yang sama atau arbiter lainnya untuk memeriksa kembali perkara tersebut ataupun menyatakan bahwa sengketa tersebut tidak berada di bawah kewenangan para pihak untuk diselesaikan melalui arbitrase. Suatu putusan arbitrase tidak kebal immune terhadap kontrol pengawasan atau pemeriksaan oleh pengadilan. Justru, untuk menjaga kualitasnya, sehingga pada akhirnya arbitrase dapat berkembang, arbitrase membutuhkan kontrol pengadilan. Itu sebabnya, pembatalan suatu putusan arbitrase adalah upaya hukum yang biasa yang berlaku secara universal. Hukum arbitrase di negara manapun pasti mengatur upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap suatu putusan arbitrase, walaupun istilah yang digunakan mereke mungkin berbeda-beda. Di Amerika Serikat misalnya, menggunakan istilan vacating the award dapat diterjemahkan “peniadaan putusan”; di Perancis 109 Ibid., hal. 176 Universitas Sumatera Utara 95 seperti halnya di Belanda dan Indonesia menggunakan istilah pembatalan annulment; recours en annulaction; dibeberapa negara lainnya menggunakan istilah “setting aside” dapat diterjemahkan “pengesampingan”. Universitas Sumatera Utara 96 BAB IV KAITAN ANTARA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999

A. Pengaturan Mengenai Mediasi Menurut PERMA Nomor 1 Tahun