PENGERTIAN ARBITRASE Analisa Perbandingan Antara Perma Nomor 1 Tahun 2008 Dengan Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 1999

65 hasil. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan perusahaan atau para pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian. Cara penyelesaian seperti itu tidak diterima dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan zaman, penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan tidak selalu menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa. 72 Menurut Gary Goodpaster dalam “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa” dalam buku Arbitrase di Indonesia, setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Karena adanya konsekuensi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi mereka. 73

A. PENGERTIAN ARBITRASE

Landasan hukum arbitrase di Indonesia bertitik tolak dari Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg. Namun dengan perkembangan zaman dan tentunya diikuti dengan pesatnya perkembangan dunia bisnis dann lalu lintas perdagangan nasional dan internasional, khususnya setelah adanya WTO World Trade 72 Suyud Margono, ADR Arbitrase proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2004, hal.12-13. 73 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal. 3. Universitas Sumatera Utara 66 Organization serta tentunya perkembangan hukum, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam HIR, RBg, dan Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. 74 Berdasarkan hal tersebut, pemerintah pada tanggal 12 Agustus 1999 mengundangkan UU No. 30 Tahun 1999. Dengan diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999, maka ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase yang diatur dal HIR, RBg, dan Rv dinyatakan tidak berlaku. 75 Kata arbitrase berasala dari kata arbitrare Latin, arbitrage Belanda, arbiration Inggris, Schiedspruch Jerrman, dan arbitrage Perancis, yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit. 76 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa UU No. 30 Tahun 1999 mengartikan yang dimaksud dengan arbitrese adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Ada tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi yang diberikan dalam UU No. 30 Tahun 1999, yaitu: 77 1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian; 74 Frans Hendra Winarta, Op. Cit., hal. 35. 75 Ibid. 76 Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 1 77 Gunawan Widjaja dan Ahmad Dani, Op. Cit., hal. 44 Universitas Sumatera Utara 67 2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis; 3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan umum. Selain pengertian yang terdapat di dalam UU No. 30 Tahun 1999 para ahli hukum juga memberikan sumbangan pemikirannya berupa batasan maupun pengerian daripada arbitrase, diantaranya yaitu: 78 Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works mengartikan: “Arbitration adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula menerima putusan tersebut secara final dan mengikat” Menurut Gary Goodpaster mengartikan: “Arbtration is the private adjudication of dispute Parties, anticipating possible dispute or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a dicision maker they in some fashion select” Sementara menurut R. Subekti mengartikan arbitrase: “Arbitrase adalah penyelesesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut” Selanjutnya menurut M.N. Purwosutjipto arbitrase yaitu: 78 Op. Cit., hal. 1-3 Universitas Sumatera Utara 68 “Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.” Batasan arbitrase yang lebih terperinci lagi diberikan oleh Abdulkadir Muahammad: ”Arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar ligkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak- pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak. Kehandak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.” Sementara itu, Sudargo memberikan batasan arbitrase: “Arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakum partikulir yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karen akan ditaati para pihak.” Seperti telah dijelaskan dalam UU No. 30 Tahun 1999 bahwa arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dan sesuai dengan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 apabila para pihak telah terikat dalam perjanjian arbitrase, maka pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak tersebut. Namun, perlu di ingat, bahwa kebolehan mengikat diri dalam perjanjian arbitrase, harus didasarkan atas kesepakatan bersama mutual consent. Faktor kesukarelaan dan kesadaran bersama, merupakan landasan keabsahan ikatan perjanjian arbitrase. Berdasarkan Universitas Sumatera Utara 69 hal tersebut, keabsahan dan mengikatnya setiap perjanjian arbitrase, harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Mengenai pilihan hukum, para pihak bebas menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak. 79 Dikarenakan penyelesaian sengketa melallui arbitrase ini merupakan suatu kesukarelaan seperti diatur dalam Pasal 7 UU No. 30 Tahun 1999 yaitu para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaiakan melalui arbitrase, maka para pihak sebelumnya harus menempuh suatu proses sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No. 30 Tahun 1999 yakni sebagai berikut: 1. Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksmile, email, atau dengan buku ekspsdisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku. 2. Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 memuat dengan jelas hal sebagai berikut. a. Namadan alamat para pihak; b. Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku; c. Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa; d. Dasar tuntuan dan jumlah yang dituntut, apabila ada; e. Cara penyelesaian yang dikehendaki, dan 79 Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Universitas Sumatera Utara 70 f. Perjanjian yang diadakan oleh para pihaj tentang jumlah arbitrasi atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang diikehendaki dalan jumlah ganjil. Jenis-jenis perjanjian untuk menggunakan arbitrase terdiri atas: 80 1. Pactum De Compromittendo Pactum De Compromittendo berarti “kesepakatan setuju dengan putusan arbiter”. Bentuk klausul ini diatur dalam Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999, yang berbunyi; “Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.” Pokok yang penting dalam ketentuan pasal tersebut, antara lain kebolehan untuk membuat persetujuan di antara para pihak yang membuat persetujuan, untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari kepada arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Kesepakatan itu yang dimaksud dengan “klausula arbitrase”. Hal lain yang disinggung dalam pasal tersebut. Adalah diperkenankan atau dibolehkan mencantumkan klausula 80 Frans Hendra Winarta, Op. Cit., hal. 38-40 Universitas Sumatera Utara 71 arbitrase, agar mengenai perselisihan “yang mungkin timbul” dikemudian hari, diselesaikan dan diputus olah arbitrase. 81 Mengenai tata cara pembuatan klausul Pactum de compromittendo tidak ada peraturan yang mengatur secara tegas. Namun dari segi pendekatan penafsiran dan praktik, dijumpai dua cara yang dibenarkan, yaitu: 82 a. Mencantumkan klausua arbitrase tersebut dalam perjanjian pokok. Ini cara yang lazim diterapkan dalam praktik, yaitu perjanjian pokok menjadi satu kesatuan dengan klausula arbitrase. Persetujuan arbitrase yang berisi kesepakatan bahwa para pihak setuju akan menyelesaikan perselisihan dispute yang timbul di kemudian hari melalui forum arbitrase, dimuat dalam perjanjian pokok. b. Pactum de compromittendo dimuat dalam akta tersendiri atau terpisah dari perjanjian ppokok. Apabila pactum de compromittendo berupa akta yang terpisah dari perjanjian pokok, waktu pembuatan perjanjian arbitrase harus tetao berpegang pada ketentuan, bahwa akta persetujuan erbitrase harus dibuat “sebelum” perselisihan atau sengketa terjadi. Hal itu harus sesuai dengan syarat formal keabsahan pactum de compromittendo, harus dibuat sebelum perselisihan timbul. 81 M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari Reglemen Acara Perdata Rv, Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investmennt Disputes ICSID, UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No. 1 Tahun 1990, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 65. 82 Ibid., hal. 65-66 Universitas Sumatera Utara 72 2. Akta Kompromis Bentuk perjanjian arbitrase yang kedua disebut sebagai akta kompromis. Mwengenai akta kompromis diatur dalam Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999 yang berbunyi: 1 Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. 2 Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. 3 Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus memuat: a. Masalah yang dipersengketakan; b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. Nama lengkap sekretaris; f. Jangka waktu penyelesaian sengketa; g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 4 Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 batal demi hukum. Universitas Sumatera Utara 73 Berdasarkan ketentuan Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999 di atas dapat diketahui bahwa akta kompromis sebagai perjanjian arbitrase dibuat setelah timbul perselisihan antara para pihak atau dengan kata lain dalam perjanjian tidak diadakan persetujuan arbitrase. Dengan demikian, akta kompromis ialah akta yang berisi aturan penyelesaian perselisihan yang telah timbl di antara orang yang berjanji. 83 Penerapan atau syarat sahnya akta kompromis yang diatur dalam Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999, dapat dirinci sebagai berikut: a. Pembuatan akta kompromis dilakukan “setelah” timbul sengketa. b. Bentuknya harus “akta tertulis”, tidak boleh dengan persetujuan lisan. c. Akta kompromis harus ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dalam hal para pihak tidak bisa menandatangani, kata kompromis harus dibuat di depan notaris. d. Isi akta kompromis memuat: 1 Masalah yang dipersengketakan, 2 Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, 3 Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase, 4 Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan, 5 Nama lengkap sekretaris, 6 Jangka waktu penyelesaian sengketa, 7 Pernyataan kesediaan dari arbiter, dan 83 Frans Hendra Winarta, Op. Cit., hal. 40 Universitas Sumatera Utara 74 8 Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. e. Akta kompromis batal demi hukum apabila tidak memenuhi ketentuan mengenai isi akta.

B. PERBANDINGAN ARBITRASE DENGAN PENYELESAIAN