Proses Mediasi dan Penunjukan Mediator

40

3. Mediasi Asuransi

Saat ini, masyarakat sudah semakin paham manfaat dari asuransi, sehingga secara tidak langsung ikut menjadi peserta pada program yang diselenggarakan oleh asuransi, baik asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kebakaran, maupun jenis-jenis asuransi lainnya. Asuransi berperan untuk mengalihkan resiko yang seharusnya ditanggung oleh nasabah asuransi. Sering terjadi peristiwa yang mewajibkan asuransi untuk membayar klaim, tetapi perusahaan asuransi menolak untuk membayar klaim tersebut dengan berbagai macam alasan. Akabatnya, menimbulkan sengketa antara perusahaan asuransi dan nasabahnya. Masyarakat seringnya mengetahui asuransi hanya dari sisi manfaatnya, tetapi tidak mengetahui secara detail akan asuransi itu sendiri dan sering kali mengakibatkan terjadinya sengketa yang berbelit-belit antara perusahaan asuransi dan nasabahnya. Agar sengketa dalam bidang asuransi dapat diselesaikan dengan baik dan dapat mengakomodasi kepentingan dari masing-masing pihak, dibentuklah lembaga mediasi asuransi dengan harapan masing-masing pihak dapat menerima keputusan yang dianggap adil. Proses mediasi tentu saja harus melewati tahapan-tahapan yang harus diikuti oleh para pihak baik itu tahap pra mediasi di pengadilan maupun tahap proses mediasi di pengadilan.

C. Proses Mediasi dan Penunjukan Mediator

Universitas Sumatera Utara 41 Proses mengandung pengertian tahapan-tahapan atau langkah-langkah dari awal hingga akhir. Oleh sebab itu, proses mediasi merujuk pada tahapan-tahapan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Jika dibandingkan antara proses mediasi di satu pihak dengan proses litigasi dan proses arbitrase di pihak lain, maka dapat dikatakan bahwa proses mediasi tidak diatur dalam peraturan perundang- undangan, sedangkan proses litigasi dan proses arbitrase diatur dalam undang- undang. Tahapan-tahapan penyelesaian sengketa di pengadilan telah diatur secara rinci di dalam undang-undang, yaitu dalam HIR dan Rbg mulai dari penyusunan surat gugatan, pemeriksaan alat-alat bukti hingga putusan. Demikian pula, tahapan-tahapan penyelesaian sengketa melalui arbitrase telah diatur agak rinci dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. 38 Proses mediasi dapat dibedakan antara proses mediasi di luar pengadilan dan proses mediasi yang terintegrasi dengan proses berperkara di pengadilan Court Connected Mediation atau Court-Annexed Mediation. Bagaimana penyelenggaraan proses mediasi di luar pengadilan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan hanya terbata pada penggunaan mediasi, tetapi tidak tentang acara atau proses penyelenggaraan mediasi. Oleh sebab itu, proses mediasi di luar pengadilan umumnya didasarkan pada hasil pengalaman praktisi mediasi dan penelitian para ahli. Proses mediasi yang terintegrasi dengan proses berperkara di pengadilan dapat ditemukan pengaturannya, tetapi pengaturan itu hanya bersifat umum dan tidak cukup rinci jika dibandingkan pengaturan proses litigasi dalam HIR dan Rbg. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa proses 38 Takdir Rahmadi, Op.Cit., hal. 99 Universitas Sumatera Utara 42 mediasi sangat bervariasi tegantung pada konteks penggunaannya, yaitu antara mediasi di luar pengadilan dan mediasi terintegrasi dengan proses pengadilan serta juga tergantung pada masalah sengketanya para pihak, dan pengalaman mediator. Meskipun terdapat keberagaman dapat ditemukan juga kesamaan- kesamaan proses mediasi dalam berbagai konteks. 39 Proses mediasi di pengadilan berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, merupakan proses yang wajib dijalankan oleh para pihak yang berperkara. Pasal ini menentukan bahwa “Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.” 40 Pada Pasal 130 ayat 1 HIR menentukan bahwa “Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.” Hal mengenai mediasi sebelumnya telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapan Lembaga Damai. Pada surat Edaran tersebut, hakim tidak diberikan kewenangan yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk melakukan penyelesaian melalui 39 Leonard L. Riskin, James E. Westbrook, Disputr Resolution and Lawyers abridged edition, Minnesota, West Publishing St Paull, 1987, hal. 91 40 Jimmy Joses Sembiring, Op.Cit., hal. 32 Universitas Sumatera Utara 43 perdamaian, sehingga Surat Edaran ini dianggap hampir sama dengan Pasal 130 HIR, yang hanya menyarankan para pihak untuk dapat berdamai. 41 Berdasarkan hal di atas, Surat Edaran tersebut kemudian diganti oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003. Berlakunya peraturan tersebut membuat upaya perdamaian di pengadilan, sehingga tidak lagi hanya bertumpu pada pasal 130 HIR. Peraturan tersebut mengalami perubahan dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia. 42 Pada hari sidang yang telah ditentukan dan para pihak yang hadir di persidangan , terlebih dahulu hakim akan menanyakan persoalan yang terjadi dan menyarankan para pihak untuk menempuh upaya damai. Hakim kemudian menyarankan para pihak untuk menempuh upaya mediasi terlebih dahulu. 43 Sebelum mediasi dilaksanakan, para pihak terlebih dahulu harus memilih mediator yang akan menangani perkara tersebut. Memilih mediator merupakan hak para pihak. Selain berhak memilih mediator, para pihak juga dapat menentukan menggunakan hanya satu mediator atau lebih dari satu mediator. Hal ini ditentukan pada Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 sebagai berikut: 44 1. Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut: a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; 41 Ibid., hal. 32 42 Ibid., hal. 32-33 43 Ibid., hal. 33 44 Ibid., hal. 33-34 Universitas Sumatera Utara 44 b. Advokat atau akademisi hukum; c. Provesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; d. Hakim majelis pemeriksa perkara; e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, ata gabungan butir c dan d; 2. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri Tidak setiap orang dapat menjadi mediator di pengadilan. persyaratan yang harus dipenuhi agar seseorang dapat bertindak sebagai mediator diatur pada Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 sebagai berikut: 45 1. Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat 3 dan Pasal 11 ayat 6, setiap orang yang menjalankan fungsi mediator, pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2. Jika dalam wilayah sebuah pengadilan tidak ada hakum, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan Pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator. 45 Ibid., hal. 34 Universitas Sumatera Utara 45 Adapun selaku mediator, dibutuhkan beberapa keterampilan sehingga sang mediator dapat memimpin jalannya mediasi dengan baik dan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya jalan damai. Yang dimaksudkan dengan keterampilan adalah padanan kata skill dalam Bahasa Inggris. Seseorang yang bernama Boulle mengklasifikasikan keterampilan mediator ke dalam empat jenis, yaitu:46 1. Keterampilan Mengorganisasikan Mediasi Seorang mediator harus memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan proses mediasi sehingga proses mediasi dapat berjalan dengan baik. Keterampilan mengorganisasikan mediasi mencakup kemampuan untuk membantu para pihak menentukan siapa juru runding para pihak, terutama untuk sengketa-sengketa yang melibatkan orang banyak, kemampuan merencanakan dan menyusun jadwal pertemuan, menata ruang pertemuan dan tempat duduk para pihak, menggunakan alat-alat bantu tulis seperti penggunaan OHP, whiteboard, laptop, dsb. Penentuan atau pemilihan juru runding dilakukan sebelum proses mediasi berlangsung. Jika mediator dilakukan oleh dua orang atau lebih, para mediator harus mampu mempersiapkan rencana pembagian tugas di antara mereka. Misalnya pada saat satu orang mediator bertugas memimpin jalannya mediasi, maka mediator lainnya dapat melakukan tugas-tugas lain, yaitu meringkas dan menuliskan pandangan dan titik temu perbedaan pandangan para pihak di atas whiteboard. 2. Keterampilan Berunding 46 Takdir Rahmadi, Op. Cit., hal. 123-133 Universitas Sumatera Utara 46 Karena pada dasarnya mediasi adalah perundingan, maka seorang mediator yang baik harus memiliki keterampilan untuk berunding atau bernegosiasi. Keterampilan berunding mediator mencakup kemampuan- kemampuan untuk memimpin dan mengarahkan pertemuan-pertemuan mediasi sesuai agenda dan jadwal. Kemampuan memimpin pertemuan mencakup menentukan dan mengatur lalu lintas pembicaraan dan kapan mengadakan kaukus dengan salah satu pihak. Selanjutnya, keterampilan yang lebih penting lagi adalah bahwa mediator harus mampu memahami dan menerapkan teknik-teknik perundingan bertumpu pada keentingan interest-based negotiation dan menghindari penggunaan teknik perundingan posisional positional-based negotiation. Dengan pengetahuan ini, seorang mediator berupaya menggiring para pihak untuk berunding yang dapat memeuhi kepentingan para pihak. Tentang bagaimana melaksanakan perundingan berbasiskan kepentingan dapat dipedomani dan dipahami kiat-kiat yang dikembangkan oleh Fisher dan Urry yang terkenal dengan konsep PIOC yang merupakan singkatan dari People orang, Interests kepentingan, Options pilihan-pilihan, dan Criteria kriteria, patokan. 47 Selanjutnya, konsep PIOC menurut Urry dan Fisher perlu diuraikan pada bagian ini untuk memahami konsep perundingan berdasarkan kepentingan. People mengandung arti bahwa para pihak dalam bermediasi tidak boleh memfokuskan pada orang, tetapi memfokuskan pada masalah sengketa 47 Roger Fisher dan John Urry, Getting to Yes, Harvard University Press, halaman 23 Universitas Sumatera Utara 47 yang harus dipecahkan atau diselesaikan. Konsep orang bisa bersifat individual atau kelompok atau bangsa. Betapa bencinya perasaan satu pihak kepada pihak lainnya, perasaan itu harus dikontrol atau ditekan kalau tidak mungkin sama sekali dihilangkan karena perundingan yang memfokuskan pada diri orang cenderung menimbulkan emosional yang tinggi sehingga merusak suasana mediasi dan pada akhirnya dapat menyebabkan kegagalan mediasi sebelum para pihak membahas pokok persoalan. Para pihak harus menyadari bahwa kehadiran mereka dalam proses mediasi adalah untuk memecahkan persoalan ukan untuk menyerang diri seseorang atau lawannya. Sebaliknya, betapa terpukau satu pihak dengan pihak lawan, kekagumannya tidak boleh membutakan mata hati, bahwa kehadiran dirinya dalam mediasi adalah untuk memperjuangkan kepentingan dirinya atau orang-orang yang diwakilinya dalam proses mediasi. Jika seorang juru runding sampai terpukau pada diri lawan tunding karena berbaga isebab misalnya karena kecantikan, ketampanan, tutur kata manis, dulu pernah kenal, perlakuan yang baik di luar sesi perundingan, maka dia dapat dimanipulasi oleh lawannya sehingga kalau pun dicapai sebuah kesepakatan damai, mungkin kesepakatan itu tidak optimal mencerminkan kepentingan piahk yang diwakilinya. Kesepakatan itu mungkin tidak optimal mencerminkan kepentingan dirinya atau orang-orang yang diwakilinya. Kesepakatan itu mungkin tidak optimal mencerminkan kepentingan dirinya atau orang- orang yang diwakili oleh juru runding. Universitas Sumatera Utara 48 Konsep Interests kepentingan mengandung perngertian bahwa juru runding dalam perundingan harus memfokuskan bagaimana meraih atau mewujudkan kepentingannya dengan juga memenuhi kepentingan pihak lawan. Para pihak harus bersama-sama memikirkan dan mencari penyelesaian yang dapat memenuhi kepentingan bersama. Kesulitan satu pihak menerima usulan karena usulan itu belum memenuhi kepentingannya harus juga dipikirkan dan dibahas bersama oleh pihak lainnya. Dalam perundingan yang berbasiskan kepentingan berlaku ungkapan masalah anda adalah juga masalah saya, dan bukan sebaliknya,” masalahmu adalah bukan masalah saya”. Konsep Options opsi atau piihan mengandung pengertian bahwa para pihak jangan hanya memfokuskan pada satu opsi penyelesaian untuk sebuah masalah. Jadi dalam perundingan berbasis kepentingan, tidak berlaku ungkapan satu opsi penyelesaian untuk satu masalah, tetapi justru sebaliknya, beberapa opsi untuk satu masalah. Oleh karena itu, seorang mediator harus mampu mendorong para pihak untuk dapat menemukan dan membahas sekurang-kurangnya dua atau lebih opsi-opsi penyelesaian atas satu masalah. Jika satu masalah hanya diatasi dengan satu opsi penyelesaian, maka para pihak cenderung terperangkap dalam perundingan tawar-menawar yang posisional dan menggiring mereka ke jalan buntu. Adalah tugas mediator untuk mendorong para pihak memikirkan dan mencari beberapa opsi untuk sebuah masalah. Universitas Sumatera Utara 49 Selanjutnya, tiap opsi dibahas untuk menentukan opsi mana yang secara maksimal dapat memenuhi kebutuhan para pihak secara optimal. Konsep Criteria kriteria,patokan,ukuran mengandung pengertian bahwa para pihak dalam meminta atau mengusulkan sesuatu harus didasarkan pada kriteria atau ukuran berdasar kriteria. Kriteria objektif antara lain, dapat bersuber dari ilmu pengetahuan, harga pasar, hukum. 3. Keterampilan Memfasilitasi Perundingan Keterampilan memfasilitasi perundingan mencakup beberapa kemampuan, yaitu 1 kemampuan mengubah posisi para pihak menjadi permasalahan yang harus dibahas, 2 kemampuan mengatasi emosi para pihak, dan 3 kemampuan mengatasi jalan buntu. Kemampuan mengubah posisi para pihak menjadi masalah-masalah yang harus dibahas bersama. Misalnya, mantan sepasang suami istri yang memperebutkan hak perwalian anak. Masing-masing merasa paling berhak atas perwalian anak. Jika hak yang dikedepankan, aka cenderung menggiring mantan suami atau istri sama- sama mengklaim sebagai pihak yang paling berhak atas perwalian anak. Jika menghadapi masalah seperti ini, mediator tidak boleh dipengaruhi oleh para pihak untuk membahas masalah hak karena masalah penentuan hak tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, tetapi melalui pengadilan. mediator harus mendorong dan membujuk para pihak agar bersedia membahas kemungkinan-kemungkinan bagaimana kebutuhan atau kepentingan suami atau istri sama-sama dapat dipenuhi. Jika mediator mampu mendorong suami atau istri untuk menyadari dan memahami Universitas Sumatera Utara 50 bahwa kepentingan utama mereka adalah sama-sama ingin melihat kebahagiaan anak mereka, maka di situ ada peluang untuk membahas berbagai kemungkinan pengaturan hubungan keduanya terhadap anak mereka setelah perceraian tanpa harus terjebak membahas siapa yang paling berhak. 4. Keterampilan Berkomunikasi Menurut Boulle keterampilan berkomunikasi mencakup beberapa keterampilan, yaitu keterampilan komunikasi verbal, mendengar secara efektif, membingkai ulang, komunikasi nonverbal, kemampuan bertanya, mengulang pernyataan, melakukan parafrase, menyimpulkan, membuat catatan, memberikan empati, dan tidak ketinggalan membuat rasa humor. Dari ketentuan pasal ini, dapat diketahui bahwa mediator terdiri atas mediator hakim dan nonhakim. Mediator nonhakim terlebih dahulu harus mengikuti pelatihan untuk mendapatkan sertifikasi sebagai mediator dari lembaga yang sudah terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu lembaga dapat memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung sebagai berikut: 48 a. Mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia b. Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi. 48 Jimmy Joses Sembiring, Op.Cit., hal. 34 Universitas Sumatera Utara 51 c. Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan. Para pihak yang bersengketa di pengadilan dan sengketa tersebut dalam proses mediasi, memiliki tenggat waktu dalam memilih dan menentukan mediator. Para pihak dalam hangka waktu dua hari berunding untuk menentukan mediator yang akan menengahi perkara yang sedang terjadi. Apabila dalam jangka waktu tersebut para pihak telah menentukan mediator, para pihak menyampaikan hal tersebut kepada majelis hakim. Atas pilihan mediator tersebut, ketua majelis hakim memberitahukan kepada mediator yang terpilih untuk segera melaksanakan tugasnya pada perkara yang sedang diperiksa. 49 Sebaliknya apabila para pihak tidak dapat menentukan hakim mediator yang akan menangani perkara tersebut, mereka wajib menyampaikan hal tersebut kepada ketua majelis hakim. Dengan adanya kegagalan dalam memilih mediator, ketua majelis hakim akan segera menunjuk hakim yang bukan menangani perkara dan hakim tersebut telah memiliki sertifikat sebagai mediator untuk menjadi mediator. 50 Apabila dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang tidak memiliki sertifikat sebagai mediator, ketua majelis hakim akan memilih hakim pemeriksa perkara untuk menjalankan fungsi sebagai mediator. 51 Setelah mediator yang akan menangani perkara telah dipilih, para pihak yang bersengketa akan menempuh proses mediasi. Tahap-tahap dari proses 49 Ibid., hal. 34-35 50 Ibid., hal. 35 51 Ibid., hal. 35 Universitas Sumatera Utara 52 mediasi yang akan dijalankan oleh para pihak adalah sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 13 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008. 52 1. Dalam waktu paling lama 5 lima hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. 2. Dalam waktu paling lama 5 lima hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. 3. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 empat puluh hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 5 dan 6. 4. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 empat belas hari kerja sejak berakhir masa 40 empat puluh hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3. 5. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. 6. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. Berbeda dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003 terdapat dua versi mengenai jangka waktu proses mediasi, yang masing-masing diatur dalam pasal yang berbeda. 53 52 Ibid., hal. 35-36 53 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta, CV Sinar Grafika, 2008, hal. 251 Universitas Sumatera Utara 53 Pertama, diatur dalam Pasal 5 ayat 1 PERMA Nomor 2 Tahun 2003, yaitu: paling lama 30 tiga puluh hari kerja, dalam hal proses mediasinya menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan sejak tanggal hari pemilihan mediator. Kedua, diatur dalam Pasal 9 ayat 5 PERMA Nomor 2 Tahun 2003, yaitu paling lama 20 dua puluh hari kerja, dalam hal proses mediasinya menggunakan mediator yang namanya telah tertera dalam daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan, yang dihitung sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator oleh Ketua Majelis. 54 Terkait dengan batas waktu atau lama waktu proses mediasi di pengadilan telah diatur dalam Pasal 13 ayat 3 dan ayat 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008, yang memungkinkan terjadinya perpanjangan. Dalam ketentuan Pasal 13 ayat 3 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dinyatakan, bahwa: 55 “Proses mediasi berlangsung paling lama 40 empat puluh hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat 5 dan 6” Jadi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 ayat 3 PERMA Nomor 1 Tahun 2008, pada dasarnya tenggang waktu proses mediasi di pengadilan dibatasi, yaitu berlangsung paling lama selama 40 empat puluh hari kerja bukan dihitung berdasarkan hari kalender terhitung sejak pemilihan mediator atau sejak penunjukan mediator oleh Ketua Majelis Hakim Pemeriksa perkaranya. Adapun jangka waktu tersebut baik proses mediasi ini berakhir dengan tercapainya suatu kesepakatan maupun dalam hal tidak tercapainya kesepakatan. 54 Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 161 55 Ibid., hal. 162 Universitas Sumatera Utara 54 Jangka waktu yang ditetapkan tersebut sudah terhitung sejak terpilihnya mediator oleh Ketua Majelis Hakim sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat 5 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 13 ayat e PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ini, Ketua Majelis Hakim tidak perlu menentukan hari sidang berikutnya setelah lewat 40 empat puluh hari kerja, tetapi cukup menyatakan pada hari sidang yang akan ditentukan kemudian. Dengan demikian, sidang berikutnya ini dapat dilaksanakan sebelum 40 empat puluh hari kerja itu berakhir jika ternyata mediasi gagal. 56 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 memberikan kemungkinan perpanjangan tenggang waktu proses mediasi tersebut. Hal ini dinyatakan dalam ketentuan Pasal 13 ayat 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang menyatakan sebagai berikut: 57 “Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 empat belas hari kerja sejak berakhir masa 40 empat puluh hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 ayat 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2009, dalam hal tertentu memberikan kemungkinan kesempatan memperpanjang batas waktu proses mediasi di pengadilan, yaitu: selama 14 empat belas hari kerja terhitung sejak berakhirnya masa 40 empat puluh hari. Perpanjangan jangka waktu proses mediasi tersebut berdasarkan kesepakatan para pihak. Dengan demikian tenggang waktu proses mediasi di pengadilan, termasuk dengan 56 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Japan International Cooperation Agency dan Indonesia Institute for Conflict Transformation, Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan , Jakarta, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Japan International Cooperation Agency dan Indonesia Institute for Conflict Transformation, halaman 36 57 Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 163 Universitas Sumatera Utara 55 perpanjangannya menjadi salam 54 lima puluh empat hari sejak pemilihanpenunjukan mediator. Perpanjangan waktu mediasi tersebut dimaksudkan unntuk memperkecil jumlah kegagalan proses mediasi. Adapun dalam proses mediasi ini ada beberapa tahapan atau langkah- langkah yang harus diikuti. Pertama, para pihak menyerahkan resume perkara satu sama lainnya dan kepada mediator. Persiapan resume perkara oleh para pihak secara timbal balik dan kepada mediator memang tidak bersifat wajib, tetapi bersifat anjuran atau pilihan sesuai rumusan ketentuan Pasal 13 ayat 1 yang berbunyi: “... masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.” Kata “dapat” dalam Pasal 13 ayat 1 mengandung arti anjuran atau pilihan para pihak. Tujuan penyiapan dan penyerahan resume adalah untuk mempermudah dan membantu para pihak dan mediator dalam memahami posisi dan kepentingan para pihak, serta pokok masalah sengketa atau perkara, sehingga para pihak dan mediator dapat hemat waktu dalam mencari berbagai kemungkinan pemecahan masalah. 58 Kedua, mediator menyelenggarakan sesi-sesi atau pertemuan-pertemuan mediasi. Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, proses mediasi berlangsung paling lama dalam waktu empat puluh hari kerja sejak mediator dipilih atau ditunjuk dan atas dasar kesepakatan para pihak dapat diperpanjang paling lama empat belas hari kerja sejak berakhirnya waktu empat puluh hari. Namun, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tidak mengatur secara rinci bagaimana mediator menyelenggarakan sesi-sesi mediasi selama proses pengadilan. PERMA antara 58 Takdir Rahmadi, Op. Cit., hal. 184 Universitas Sumatera Utara 56 lain menyebutkan bahwa bilamana perlu mediator mengadakan kaukus dengan salah satu pihak. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak saja. Kaukus merupakan salah satu ciri penting proses mediasi yang membedakan mediasi dari litigasi. Dalam litigasi, hakim tidak boleh menyelenggarakan sidang-sidang dengan salah satu pihak saja. Persidangan dalam litigasi harus dihadiri oleh para pihak. Hakim tidak diperbolehkan dengan sengaja merencanakan persidangan hanya dengan salah satu pihak saja. Sebaliknya dalam mediasi, mediator dapat mengadakan pertemuan terpisah dengan salah satu pihak saja. Dalam teori mediasi ada beberapa alasan yang dapat digunakan oleh mediator untuk mengadakan pertemuan terpisah dengan salah satu pihak, antara lain untuk menemukan kepentingan tersembunyi salah satu atau para pihak. 59 Peraturan Mahkamah Agung ini hanya menyebutkan tugas-tugas mediator, yaitu:60 a. Mempersiapkan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak; b. Mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi; c. Mendorong para pihak atau prinsipal untuk berperan serta dalam proses mediasi; d. Melakukan kaukus bilamana perlu; e. Mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka; dan 59 Laurence Boulle, The Mediation Process, Practical Strategies for Resolving Conflict, the 3rd edition, Australia, LexisNexis Butterworths, 2005, hal. 258 60 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, Pasal 15. Universitas Sumatera Utara 57 f. Mencari berbagai pilihan atau opsi-opsi penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Akhir dari proses mediasi menghasilkan dua kemungkinan, yaitu para pihak mencapai kesepakatan perdamaian atau gagal mencapai kesepakatan perdamaian. Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan perdamaian, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mewajibkan para pihak untuk: 61 a. Merumuskan kesepakatan perdamaian seacara tertulis dan menandatanganinya; b. Menyatakan persetujuan secara tertulis atas kesepakatan perdamaian jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum; c. Menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. Selain memuat ketentuan yang bersifat mewajibkan tersebut, Pasal 17 ayat 5 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 juga memuat ketentuan pilihan kepada para pihak untuk mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim agar dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Jadi, penguatan kesepakatan perdamaian dengan akta perdamaian tidak bersifat wajib, tetapi bersifat pilihan para pihak. Selanjutnya, Pasal 17 ayat 6 menegaskan bahwa jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dengan akta perdamaian, kesepakatan ini harus memuat klausula pencabutan gugatan atau klausula perkara telah selesai. Klausula ini penting bagi administrasi pengadilan untuk memberikan 61 Ibid., Pasal 17 ayat 1, 2, 4. Universitas Sumatera Utara 58 kepastian tentang status perkaram bahwa perkara telah selesai tanpa melalui putusan pengadilan. 62 Dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, selain para pihak, mediator juga wajib meandatangani dokumen kesepakatan perdamaian. Namun, perlu dipahami bahwa keikutsertaan mediator menandatangani dokumen kesepakatan tidak dapat diartikan bahhwa mediator secara hukum bertanggung jawab atas isi kesepakatan. Kesepakatan perdamaian merupakan perwujudan dari kehendak dan kepentingan para pihak dan bukan kehendak dan kepentingan mediator karena fungsi mediator hanya bersifat membantu atau fasilitatif terhadap para pihak bukan pemutus. Oleh sebab itu, PERMA memuat ketentuan Pasal 19 ayat 4 secara tegas menyatakan bahwa medaitor tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana dan perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi. 63 Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan danatau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. 64 Setelah surat kesepakatan perdamaian tersebut disetujui dan ditandatangani oleh para pihak yang berperkara dan mediator, para pihak yang berperkara atau mediator wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. 65 Dalam hal para pihak tidak mencapai kesepakatan, di dalam konteks PERMA Nomor 1 Tahun 2008, kegagalan mediasi dapat terjadi karena dua 62 Takdir Rahmadi, Op. Cit., hal. 187 63 Ibid., hal. 188 64 Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 242 65 Ibid., hal. 242 Universitas Sumatera Utara 59 kemungkinan atau kondisi. Pertama, mediasi dianggap gagal jika setelah batas waktu maksimal yang ditentukan, yaitu empat puluh hari atau waktu perpanjangan empat belas hari telah dipenuhi, namun para pihak belum juga menghasilkan kesepakatan. Jika kondisi ini terjadi, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan itu kepada hakim pemeriksa. Selanjutnya, hakim memeriksa perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. 66 Kedua, mediator juga memiliki kewenangan untuk menyatakan mediasi telah gagal meskipun batas waktu maksimal belum terlampaui jika mediator menghadapi situasi, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 14 ayat 1 dan 2 PERMA Nomor 1 Tahun 2008, yaitu: 67 a. Jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut; b. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak itu tidak menjadi pihak dalam proses mediasi yang berjalan. 66 Takdir Rahmadi, Op. Cit., hal. 188 67 Ibid., hal. 189 Universitas Sumatera Utara 60 Alasan dalam butir a sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14 ayat 1 merupakan ketentuan yang mencerminkan prinsip efisiensi waktu. Mediator tidak perlu menunggu untuk menghabiskan batas waktu maksimal, empat puluh hari untuk menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu atau para pihak tidak menghadiri sesi mediasi dua kali berturut-turut setelah dipanggil secara patut. Alasan dalam butir b merupakan ketentuan yang berfungsi pencegahan kemungkinan mediasi digunakan oleh para pihak yang tidak beritikad baik dengan menimbulkan kerugian pada pihak yang tidak menjadi peserta dalam proses mediasi. Mediator tidak boleh mengundang pihak lain sebagai pihak dalam proses mediasi jika pihak itu tidak tercantum dalam surat gugatan sebagai penggugat atau tergugat karena mediasi berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 berawal dari sebuah gugatan. Para pihak yang beritikad tidak baik dapat saja secara diam0diam bersepakar bertindak sebagai penggugat dan tergugat dengan maksud ingin menguasai atau membagi aset pihak lain dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Oleh sebab itu, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 juga dirancang untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan semacam ini dalam praktik hukum. 68 Mediasi juga dapat dikatakan gagal jika para pihak yang berperkara tidak mampu menghasilkan kesepakatan atas materi yang disengketakan. Juga bisa jadi karena para pihak yang berperkara tidak sepakat untuk mengakhiri sengketa 68 Ibid., hal. 189-190 Universitas Sumatera Utara 61 dengan perdamaian atau apabila para pihak yang berperkara tidak menyampaikan pendapat akhirnya meskipun pernah hadir dalam sidang mediasi. 69 Setelah diputuskan pembatalan mediasi, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan mediasi tersebut kepada hakimmajelis hakim pada hari sidang yang telah ditentukan, selanjutnya hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Surat pernyataan mediasi gagal tersebut wajib dibuat oleh mediator. 70

D. Prinsip –Prinsip dan Tantangan-Tantangan Dalam Menjalankan