Indonesia dalam Geopolitik Pangan 1

1. Indonesia dalam Geopolitik Pangan 1

Pada tahun 1970-an, ketika paradigma dependensia muncul sebagai antitesis atas paradigma modernisasi dalam teori pembangunan, terdapat pandangan bahwa agar negara berkembang bisa mengejar ketertinggalan

1 Bagian ini sebagiannya pernah disampaikan dalam diskusi “Skenario Indonesia 2045” oleh Lemhanas di Unhas, 2014.

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

dari negara maju, maka ia jangan hanya terjebak pada pembangunan pertanian. Negara berkembang harus menyongsong industrialisasi, ekonomi industri lebih menjamin modernitas. Lalu negara berkembang merasa puas kalau sudah mencapai swasembada pangan utama, setelah itu ia harus menyongsong industrialisasi. Tercitrakan bahwa bangsa yang berkutat di pertanian adalah bangsa yang tertinggal. Indonesia termasuk berpikir demikian. Di balik itu, negara maju tetap membangun pertaniannya, korporasi pertanian tumbuh sama pesatnya dengan korporasi industri. Negara maju tetap percaya bahwa siapa yang kuasai pertanian maka ia akan kuasai dunia.

Lima dekade kemudian, permintaan pangan dan produk pertanian lainnya meningkat drastis di negara berkembang. Konsumsi beras, gandum, produk hewani, buah-buahan dan sayur-sayuran meningkat tajam karena munculnya kelas menengah berpendapatan tinggi dan pesatnya urbanisasi. Dalam dinamika itu, negara berkembang muncul berposisi sebagai importir pangan, bukan sebagai produsen mandiri atas kebutuhan pangannya, apalagi sebagai eksportir pangan. Rasa malu sebagai produsen pertanian di masa lalu, digantikan oleh rasa malu sebuah bangsa agraris yang mengimpor pangan.

Menuju tahun 2045 adalah menuju pada peningkatan drastis kebutuhan pangan negara berkembang. Proyeksi International Food Policy Research Institute/IFPRI (dalam Santosa, 2013) menyebutkan bahwa 86% peningkatan konsumsi serealia global antara 1995 hingga 2025 akan datang dari negara berkembang. Pertumbuhan permintaan serealia terbesar datang dari Asia, terutama Asia Tenggara, India dan Cina. Pertumbuhan hampir sama juga terjadi pada daging dan unggas. IFPRI memproyeksikan bahwa pada 2025 seluruh Asia akan mengalami defisit seralia sebesar 135,4 juta metrik ton, Cina 39,8 juta metrik ton, India 17,9 juta metrik ton, dan Asia Tenggara 5,8 juta metrik ton. Pada tahun 1995, seluruh Asia mengimpor serealia hanya sebesar 67,8 juta metrik ton, bahkan India saat itu masih surplus 3,5 juta ton. Pada 2025, seluruh negara berkembang akan mengalami total defisit seralia sebesar 239,7 juta metrik ton, ini meningkat dua kali lipat dari defisit 1995 yang hanya 108,4 juta ton. Defisit seralia ini diikuti dengan defisit daging, tepung dan umbi-umbian. Menuju 2045, Indonesia akan menjadi bagian dari skenario defisit itu.

Berdasarkan perhitungan Santosa (2014) yang mengacu pada data Bappenas (2014) dan USDA (2014), dengan menggunakan data impor pangan 2004 sebagai basis perhitungan, pada periode 2005-2009 rata-rata impor beras Indonesia meningkat 117%, daging sapi 234%, bawang merah 76,2%, gula 61,%, cabai 56%, gandum 13,1% dan kedelai 10,9%. Hanya impor jagung yang turun 39,8% dibanding 2004. Pada 2010-2013, kondisi impor pangan lebih buruk lagi. Dengan acuan tahun 2004, rata-rata impor beras pada periode tersebut meningkat 482,6%, daging sapi 349,6%, cabai 141%, gula 114,6%, bawang merah 99,8%, jagung 89,%, kedelai 56,8% dan gandum 45,2%. Pertumbuhan impor ini melampaui pertumbuhan penduduk 2004- 2013 sebesar 12,0%. Dengan impor pangan yang terus meningkat, indeks ketahanan pangan Indonesia sangat tertinggal dari negara tetangga. Indeks ketahanan pangan Indonesia berada pada urutan 64 dari 105 negara yang dinilai dengan skor 46,8, jauh di bawah Malaysia pada peringkat 33 (63,9), China 38 (62,5), Thailand 45 (57,9), Vietnam 55 (50,4) dan Filipina 63 (47,1) (Global Food Security Index, 2012).

Bagaimana gambaran geopolitik pangan menuju 2045? Siapa yang akan memenuhi defisit pangan yang akan terjadi? Menurut Santosa (2013), bila tidak ada perubahan kebijakan di negara berkembang, maka negara maju di Eropa, Amerika Utara dan Australia akan semakin besar peranannya dalam geopolitik pangan global. Pada 2025, negara maju akan surplus serealia 247,5 juta metrik ton, meningkat 2,5 kali lipat dari 30 tahun sebelumnya yakni 107,6 juta metrik ton. Produksi daging, tepung dan umbi-umbian mereka akan surplus masing-masing 3,9 juta metrik ton, 3 juta metrik ton dan 19,8 juta metrik ton. Hanya pada kedelai mereka akan defisit 7,6 juta metrik ton.

Dengan komposisi demikian, geopolitik pangan menuju 2045 akan diwarnai oleh ekspansi dan penetrasi surplus pangan negara maju ke negara berkembang. Sementara itu, negara berkembang akan terlena “yang penting pangannya tersedia, meskipun bukan mereka yang memproduksinya sendiri”. Lalu bila pada gilirannya dunia global juga krisis pangan, maka yang akan pertama collapse adalah negara berkembang. Ini ironis. Negara berkembang yang 50 tahun lalu malu dijuluki produsen pertanian; dibuat bergantung pemenuhan pangannya oleh bangsa industri, sebuah status yang dulu dikejar-kejarnya lalu dengan itu ia tinggalkan pertaniannya. Lebih ironis lagi, Indonesia adalah bagian dari ironi itu.

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

Menuju 2045, Indonesia akan menjadi bagian dari kontestasi yang berlangsung dalam potret geopolitik pangan yang demikian. Negara maju akan melanjutkan hegemoni kepada negara berkembang untuk membuka keran impor pangannya, sementara itu mereka akan memperlakukan syarat ketat agar produk pertanian negara berkembang tidak berpenetrasi ke pasar pangan mereka. Inilah konteksnya maka pada pertemuan WTO di Bali (2013), India yang memperjuangkan subsidi pertanian lebih 10% dari total output pertanian dan membayar hasil produksi petani India di atas harga pasar untuk produk yang dibeli pemerintah guna cadangan pangan, dikepung habis-habisan oleh negara maju dan sesama negara berkembang (termasuk Indonesia) yang terhegemoni spirit perdagangan bebas atas pangan.

Dalam konstelasi demikian, ada beberapa skenario tersedia bagi Indonesia. Pertama, mengikuti hegemoni perdagangan bebas pangan dunia, yang penting ketersediaan pangan terjamin, tidak peduli apakah pangan tersebut hasil impor. Ilmu pertanian diubah menjadi ilmu agribisnis, meskipun ilmu agrikultur sendiri belum mumpuni; akademia pertanian lalu mengabdi kepada perdagangan pertanian, semakin meninggalkan perhatian pada inovasi produksi pertanian. Sebuah adaptasi perubahan yang pasif. Ini membawa citra yang bagus sebagai pemain WTO yang patuh, tetapi mengingkari fitrah sebagai bangsa agraris, mengorbankan golongan petani sebagai lapisan yang paling besar porsi orang miskinnya.

Skenario kedua, menjadi pemain pasar bebas pangan dunia yang adaptif kreatif. Keluar dari rasa malu sebagai bangsa produsen pertanian, lakukan revolusi hijau gelombang kedua, wacanakan swasembada pangan gelombang kedua, lalu gelorakan bangsa sebagai pengekspor pangan. Kembalikan pertanian sebagai sektor perekonomian, tidak sekedar penyumbang ketahanan pangan; kembalikan pertanian sebagai bagian dari peradaban, tidak sekedar urusan pilihan dalam otonomi daerah. Dorong fakultas pertanian di kampus-kampus segera kembali memproduksi pengetahuan tentang pembangunan pertanian, tidak sekedar pengetahuan tentang ketahanan pangan; dorong fakultas pertanian untuk melahirkan bangsa sebagai eksportir pangan, kalau tidak maka ganti saja namanya menjadi fakultas impor pangan.