Distribusi Rantai Nilai (Value Chain) Komoditas Kakao n Rantai Nilai Komoditas Kakao

3. Distribusi Rantai Nilai (Value Chain) Komoditas Kakao n Rantai Nilai Komoditas Kakao

Jumlah pelaku ekonomi yang terlibat dalam rantai nilai komoditas kakao cukup banyak. Fakta lapangan menunjukkan bahwa petani, keluarga inti petani (istri & anak), pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan, pedagang pengumpul tingkat kabupaten, pedagang besar di tingkat provinsi, eksportir, dan usaha pengolahan kakao merupakan sejumlah aktor yang terlibat dalam rantai nilai komoditas kakao. Rantai hirarki ini tidak berlaku secara seragam di semua wilayah studi dan bahkan memiliki banyak pola. Pada beberapa kasus, pedagang pengumpul tingkat desa merupakan “perpanjangan tangan” pedagang pengumpul tingkat kecamatan. Pada kasus lainnya, petani (dengan diorganisir oleh Kelompok Tani) memiliki akses yang cukup baik kepada pedagang pengumpul tingkat kabupaten, tanpa melalui pedagang pengumpul level desa dan kecamatan. Sejumlah pedagang pengumpul level kecamatan juga memiliki akses langsung kepada pedagang besar atau eksportir tingkat provinsi.

Rantai tata-niaga komoditas kakao di Pulau Sulawesi mengikuti sedikitnya lima pola. Pola rantai tata niaga antar lokasi survey sangat bervariasi. Bahkan pada satu lokasi survey sekalipun, seringkali ditemukan lebih dari satu pola. Kelima pola tersebut adalah sebagai berikut:

l Pola 1: Petani > Pedagang Pengumpul Desa > Pedagang Pengumpul Kecamatan > Pedagang Pengumpul Kabupaten > Pedagang Besar/Eskportir;

l Pola 2: Petani > Pedagang Pengumpul Kecamatan > Pedagang Besar/Eskportir dan Usaha Pengolahan Kakao; l Pola 3: Petani > Pedagang Pengumpul Kecamatan > Pedagang Pengumpul Kabupaten > Pedagang Besar/Eskportir dan Usaha Pengolahan Kakao;

l Pola 4: Petani/Kelompok Tani > Pedagang Pengumpul Kabupaten >

Pedagang Besar/ Eskportir dan Usaha Pengolahan Kakao; l Pola 5: Petani/Kelompok Tani > Kantor Cabang Perusahaan Eksportir.

Pada kasus yang terbatas (misalnya di Donggala, Polewali Mandar, dan Luwu), petani – dengan diorganisir oleh kelompok tani – memiliki akses langsung kepada perusahaan eksportir dan perusahaan pengolahan. Ini dimungkinkan karena beberapa perusahaan eksportir dan perusahaan pengolahan telah membuka kantor cabang (buyer station) di wilayah- wilayah sentra produksi kakao dan melakukan pembelian kakao secara langsung kepada petani. Kantor cabang ini bahkan beroperasi hingga ke wilayah kecamatan. Menurut pihak eksportir, upaya ini dimaksudkan untuk memperpendek rantai tata-niaga kakao sehingga petani dapat menikmati tingkat harga yang lebih baik. Insentif harga ini diharapkan dapat lebih memotivasi petani untuk memproduksi kakao sehingga pada gilirannya supply kakao dapat lebih terjamin.

Gambar 4.8: Rantai Tata-niaga Komoditas Kakao di Pulau Sulawesi

Sumber: Data Primer, diolah

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

Pembukaan kantor cabang perusahaan eksportir dan pengolahan di sentra- sentra produksi kakao juga menyiratkan tengah berlangsungnya kompetisi yang semakin tajam diantara mereka untuk merebut pasar. Pertumbuhan jumlah pedagang besar dan perusahaan pengolahan yang cukup signifikan, terutama di Sulawesi Selatan, yang tidak sebanding dengan pertambahan volume produksi kakao di tingkat petani, telah meningkatkan tensi persaingan di kalangan pedagang besar dan eksportir untuk merebut pasar. Sejumlah perusahaan besar dan eksportir yang saat ini sedang beroperasi di Pulau Sulawesi, antara lain: PT. Cargill Indonesia, PT. NED Commodities, PT. Archer Daniels Midland (ADM), PT. Asia Cocoa Indonesia, PT. Barry Callebout Comextra Indonesia (BCCI), PT. Armajaro, PT. Nestle Indonesia, dll. Beberapa diantara perusahaan tersebut tengah mengembangkan industri pengolahan kakao dan memproduksi kakao olahan jenis premium. Persaingan ini telah memberi dampak positif pada petani, sedikitnya untuk tiga hal, yaitu: (1) petani akan menikmati tingkat harga yang relatif lebih baik; (2) tingkat aksesibilitas petani terhadap harga dan pasar akan menjadi lebih baik; dan (3) produktivitas dan mutu biji kakao di tingkat petani berpotensi lebih baik karena adanya bantuan teknis dari pedagang besar dan eksportir.

Pedagang besar/eksportir turut melakukan pembinaan kepada petani untuk mengamankan keberlangsungan usaha mereka. Para pedagang besar/eksportir semakin menyadari bahwa keberadaan petani dengan tingkat produktivitas yang tinggi dan kualitas kakao yang lebih baik, akan m e m u n g k i n ka n u s a h a m e re ka d a p a t te r u s s u r v i v e s e c a ra berkesinambungan dalam jangka panjang. Hasil survei lapangan menunjukkan, beberapa pedagang besar/eskportir (seperti PT. Armajaro) telah melakukan pembinaan dan memberikan berbagai pelatihan kepada petani kakao, seperti teknik sambung samping, teknik penyemprotan, proses pengeringan, dsb. Hal yang sama juga dilakukan oleh PT. Cargill Indonesia yang telah memberikan informasi dan saran kepada para petani mengenai metoda usaha tani terbaik, terutama seputar pemeliharaan pohon dan teknik pasca-panen, dengan harapan petani dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas kakao mereka.

Perdagangan kakao antar provinsi di wilayah Pulau Sulawesi berlangsung dengan beberapa pola. Kantor pusat perusahaan eksportir kakao pada umumnya berada di Makassar, Sulawesi Selatan, terutama karena alasan ketersediaan infrastruktur yang lebih baik, termasuk keberadaan pelabuhan Perdagangan kakao antar provinsi di wilayah Pulau Sulawesi berlangsung dengan beberapa pola. Kantor pusat perusahaan eksportir kakao pada umumnya berada di Makassar, Sulawesi Selatan, terutama karena alasan ketersediaan infrastruktur yang lebih baik, termasuk keberadaan pelabuhan

Karakteristik pelaku pada setiap tingkatan rantai nilai komoditas kakao, sangat bervariasi. Pada tingkat rumah tangga petani misalnya, variasi kepemilikan lahan antar petani cukup beragam. Dari hasil survey, pada umumnya petani kakao memiliki luas lahan antara 1-2 Ha dengan jumlah tegakan berkisar 800-1.000 pohon per hektar. Sejumlah petani kakao lainnya hanya memiliki luas lahan kurang dari 1 Ha. Namun beberapa petani kakao justru memiliki luas lahan hingga mencapai 8 Ha yang tersebar di beberapa lokasi. Variasi kepemilikan lahan ini tentu saja berdampak terhadap jumlah tenaga kerja yang dilibatkan. Petani yang memiliki luas lahan kurang dari 2 Ha, pada umumnya hanya melibatkan tenaga kerja dari keluarga inti (istri dan anak). Sedangkan petani yang memiliki luas lahan di atas 2 Ha, disamping melibatkan keluarga inti juga melibatkan keluarga dekat (saudara, sepupu, dll.) untuk melakukan berbagai pekerjaan yang terkait dengan usaha tani, seperti pemangkasan, penyemprotan, dan rehabilitasi tanaman. Terdapat disparitas yang tajam antar petani kakao dalam mengakses informasi harga. Meski relatif terbatas, pada beberapa wilayah penghasil kakao (seperti di Desa Kalimbua, Kec. Tapango, Kab. Polewali Mandar, Prov. Sulawesi Barat), petani sama sekali tidak memiliki informasi harga. Tingkat harga sepenuhnya ditentukan oleh pedagang pengumpul yang mendatangi mereka. Petani seringkali merasa tidak perlu mengetahuinya karena adanya kewajiban untuk menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul tertentu, sebagai konsekuensi dari pola relasi yang menempatkan petani tidak memiliki posisi tawar terhadap pedagang pengumpul. Sebaliknya, di wilayah lain (seperti di Desa Batupanga Daala, Kec. Luyo, Kab. Polewali Mandar, Prov. Sulawesi Barat), petani memiliki akses informasi yang sangat baik terhadap tingkat harga. Melalui media SMS, petani memperoleh informasi harga secara berkala (hampir setiap hari) dari pedagang besar dan eksportir. Informasi harga ini digunakan petani untuk memperkuat posisi tawar mereka kepada pedagang.

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

Tabel 4.8: Perbedaan Tingkat Harga yang dinikmati Petani Berdasarkan Akses terhadap Informasi Harga

No. Lokasi Survey

Akses Terhadap

Kualitas Biji Harga Rata-

Informasi Harga

Kakao Rata (Rp)

1. Desa Kalimbua

Setengah Kering 14.450 2. Desa Batupanga Daala

Buruk

17.830 3. Desa Noling

Baik

Kering

13.600 4. Desa Rante Alang

Buruk

Kering

16.000 Sumber: Data Primer, diolah

Baik

Kering

Petani kakao yang memiliki “keterikatan” dengan pedagang pengumpul, cenderung menikmati harga yang lebih rendah dibanding petani kakao yang lebih “independen”. Keterikatan petani kepada pedagang pengumpul berlangsung dengan pola: petani meminjam uang kepada pedagang pengumpul ketika dalam keadaan mendesak, tanpa bunga dan tanpa jadwal pengembalian yang ketat. Namun petani memiliki kewajiban untuk menjual seluruh hasil panen mereka kepada pedagang pengumpul tersebut. Tingkat harga ditentukan secara sepihak oleh pedagang pengumpul dan informasi harga yang berlaku di pasar sama sekali tidak diketahui oleh petani. Bagi petani, juga merasa tidak perlu mengetahuinya karena adanya kewajiban untuk menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul tertentu.

Asimetri informasi juga terjadi antara petani dengan pedagang pengumpul. Sebagian besar petani, terutama yang bermukim di daerah dengan akses transportasi dan komunikasi yang buruk, mendapatkan informasi harga dari pedagang pengumpul, yang merupakan satu-satunya sumber informasi. Dalam kasus ini, harga sepenuhnya didiktekan oleh pedagang pengumpul. Sebaliknya, pedagang pengumpul, terutama pada level kecamatan dan kabupaten, memiliki akses yang cukup baik terhadap informasi harga, baik dari internet maupun melalui sms dari mitra-dagang mereka (eksportir) di ibukota provinsi.

Di lokasi survei, kelembagaan Kelompok Tani yang kuat dapat berfungsi efektif untuk meningkatkan produktivitas petani kakao dan memperbaiki posisi tawar mereka. Petani kakao yang mengorganisir diri dalam Kelompok Tani yang relatif kuat (misalnya di Desa Batupanga Daala, Kec. Luyo, Kab. Polewali Mandar, Prov. Sulawesi Barat), dapat menghasilkan tingkat produktivitas yang lebih tinggi dan memperoleh tingkat harga yang lebih baik ketimbang petani yang tidak terlibat dalam Kelompok Tani ataupun Di lokasi survei, kelembagaan Kelompok Tani yang kuat dapat berfungsi efektif untuk meningkatkan produktivitas petani kakao dan memperbaiki posisi tawar mereka. Petani kakao yang mengorganisir diri dalam Kelompok Tani yang relatif kuat (misalnya di Desa Batupanga Daala, Kec. Luyo, Kab. Polewali Mandar, Prov. Sulawesi Barat), dapat menghasilkan tingkat produktivitas yang lebih tinggi dan memperoleh tingkat harga yang lebih baik ketimbang petani yang tidak terlibat dalam Kelompok Tani ataupun

Kelembagaan Cocoa Development Centre (CDC) juga eksis di sejumlah wilayah sentra pengembangan kakao. Lembaga ini didirikan oleh perusahaan eksportir dan dapat ditemukan di Kota Palopodan Kabupaten Kolaka. Lembaga ini didirikan untuk mengembangkan pembibitan kakao unggul, melakukan percobaan klon kakao, dan memberikan informasi dan saran kepada petani. Meskipun peran lembaga ini belum signifikan dan cakupannya masih relatif terbatas, namun sejumlah stakeholder kakao menganggap lembaga ini masih perlu dipertahankan dan ditingkatkan perannya di masa depan.

n Distribusi Nilai Tambah Komoditas Kakao

Petani kakao menjual hasil produksinya dalam berbagai bentuk yang berdampak terhadap perolehan tingkat harga. Pada umumnya petani kakao menjual hasil produksinya dalam bentuk biji kering tanpa fermentasi, namun ada pula kalanya petani menjual dalam bentuk buah yang belum dipecah, biji kakao basah, biji kakao setengah kering, atau biji kakao kering tanpa perendaman. Setiap bentuk penjualan kakao memberikan dampak berbeda terhadap harga. Buah kakao utuh dijual dengan variasi harga Rp 500–1.000 per buah, biji kakao basah dijual dengan variasi harga Rp 8.000– 13.000 per Kg, biji kakao setengah kering dijual dengan variasi harga Rp 14.000–18.000 per Kg, dan biji kakao kering dijual dengan variasi harga Rp 19.000–22.000 per Kg. Meskipun penjualan dalam bentuk biji kakao kering dianggap paling menguntungkan, namun petani memiliki sejumlah alasan untuk tidak melakukan hal tersebut, antara lain, volume produksi yang relatif kecil, keinginan untuk segera memperoleh uang tunai, dan keengganan petani untuk mengeluarkan biaya pasca panen.

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

Perbedaan harga jual ini sangat menentukan perolehan margin keuntungan disetiap tingkatan dalam rantai tata-niaga kakao. Semakin sedikit perlakuan yang diberikan, akan semakin sedikit biaya yang dikeluarkan, tetapi semakin rendah tingkat harga yang dinikmati, dan pada gilirannya akan semakin rendah margin keuntungan yang diperoleh. Para pelaku dalam rantai tata- niaga berikutnya akan menikmati margin keuntungan yang lebih besar, jika mampu mengkonversi kakao tersebut menjadi biji kakao kering atau fermentasi.

Tabel 4.9: Tingkat harga biji kakao pada tingkat petani di lokasi survey

Rata-rata harga jual Petani (Rp/Kg) No.

Kabupaten

Biji Basah

Biji Setengah Kering Biji Kering

1 Luwu

14.909 21.500 2 Luwu Utara

17.415 - 3 Polewali Mandar

16.338 - 7 Kolaka Utara

14.421 - Rata-Rata

16.375 20.500 Sumber: Data Primer, diolah

Harga pembelian biji kakao kering oleh pedagang besar dan eksportir ditaksir berdasarkan kualitasnya. Potongan harga dikenakan berdasarkan kadar air, kotoran, jamur dan ukuran biji. Lazimnya, kualitas standar memiliki kadar air

7 persen, sampah 3 persen, jamur 4 persen, dan ukuran biji 110 per 100 gram. Bila biji kakao kering tidak sesuai dengan standar ini maka para pedagang akan mengenakan potongan harga sebesar selisih kualitas standar tersebut. Namun demikian, potongan harga tersebut masih bervariasi antar daerah dengan perbedaan yang tidak signifikan.

Para pedagang yang terlibat dalam rantai nilai komoditas kakao memperebutkan margin keutungan sebesar Rp 2.300 per Kg atau sekitar 10 persen dari harga ekspor biji kakao (fob). Secara rata-rata, biji kakao diekspor dengan harga sebesar Rp 23.600 per Kg. Harga biji kakao di tingkat petani (farmgate) sekitar 70 persen dari harga ekspor biji kakao (fob). Itu berarti, biaya penanganan/perdagangan, termasuk pajak ekspor dan biaya pabean, mencapai 20 persen dari harga ekspor. Selanjutnya margin keutungan Para pedagang yang terlibat dalam rantai nilai komoditas kakao memperebutkan margin keutungan sebesar Rp 2.300 per Kg atau sekitar 10 persen dari harga ekspor biji kakao (fob). Secara rata-rata, biji kakao diekspor dengan harga sebesar Rp 23.600 per Kg. Harga biji kakao di tingkat petani (farmgate) sekitar 70 persen dari harga ekspor biji kakao (fob). Itu berarti, biaya penanganan/perdagangan, termasuk pajak ekspor dan biaya pabean, mencapai 20 persen dari harga ekspor. Selanjutnya margin keutungan

Dalam rantai nilai komoditas kakao, para pelaku ekonomi menerima margin keuntungan yang berbeda. Nilai tambah dan margin keuntungan terbesar dinikmati oleh petani kakao. Secara rata-rata, petani kakao menikmati margin keuntunganlebih dari 50 persen dari tingkat harga jualnya. Meski margin keuntungannya besar, namun pendapatan petani sesungguhnya relatif kecil karena volume produksinya kecil. Sebaliknya, pedagang dan eksportir meski menikmati margin keuntungan per Kg yang relatif kecil, namun pendapatannya besar karena memiliki omzet yang besar. Margin keuntungan per Kg yang dinikmati oleh eksportir hanya sekitar sepersepuluh dari margin keuntungan yang dinikmati oleh petani.

Gambar 4.9 : Distribusi Nilai Tambah Menurut Pelaku pada Komoditas Kakao

di Pulau Sulawesi

Sumber: Data Primer, diolah Petani/kelompok tani yang menjual secara langsung hasil produksinya ke

pedagang besar atau eksportir menikmati margin keuntungan yang relatif besar. Petani/kelompok tani yang memiliki akses terhadap pedagang besar atau eksportir dan juga memiliki akses terhadap informasi harga dapat

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

menikmati margin keuntungan hingga 60 persen dari tingkat harga jualnya, sekalipun mereka harus mengeluarkan biaya transportasi, biaya pengeringan, dan fee untuk kelompok tani. Biaya-biaya ini hampir tidak dikeluarkan oleh petani yang hanya memiliki akses kepada pedagang pengumpul.

Tabel 4.10 : Rincian Biaya Per Kg menurut Pedagang

Rncian Biaya

Kabupaten Eskportir Jumlah

Biaya Transportasi

651.00 293.70 1,289.70 Biaya Pengeringan

140.09 0.00 261.99 Biaya Penyusutan

385.00 339.00 1,035.00 Biaya Penyimpangan/Pergudangan

0.00 0.00 104.00 150.00 254.00 Biaya Sortasi dan Uji Kualitas

0.00 0.00 68.00 190.00 258.00 Biaya Pengemasan

20.00 20.00 30.00 68.90 138.90 Biaya Admin dan Lainnya

0.00 0.00 101.31 66.00 167.31 Biaya Pabean

Sumber: Data Primer, diolah

Dibandingkan dengan pedagang (pada semua tingkatan), eksportir menikmati margin keuntugan per Kg yang relatif lebih besar. Namun, secara rata-rata, para eksportir juga mengeluarkan biaya per Kg yang relatif lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh para pedagang. Margin keuntungan per Kg yang dinikmati oleh eksportir sekitar dua kali lipat dari margin keuntungan yang dinikmati oleh pedagang pengumpul kecamatan, namun para eksportir mengeluarkan biaya per Kg hampir empat kali lipat dari biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul kecamatan. Jenis biaya yang dikeluarkan oleh pihak eksportir juga lebih beragam dibandingkan dengan pedagang, antara lain, biaya transportasi, biaya pergudangan, biaya sortasi dan uji kualitas, biaya penyusutan, biaya pengemasan, dan biaya pabean, termasuk pajak ekspor.

n Perbandingan Biaya Input di Tingkat Petani

Secara rata-rata, petani mengeluarkan biaya usaha tani sebesar Rp 7.206 untuk setiap kilogram biji kakao. Hampir dua per tiga dari angka tersebut merupakan biaya produksi, sedangkan selebihnya merupakan biaya pasca- panen. Karena petani menikmati harga jual rata-rata Rp 16.600 per Kg, maka petani sesungguhnya memperoleh proporsi margin keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan proporsi biaya usaha tani. Secara rata-rata, Secara rata-rata, petani mengeluarkan biaya usaha tani sebesar Rp 7.206 untuk setiap kilogram biji kakao. Hampir dua per tiga dari angka tersebut merupakan biaya produksi, sedangkan selebihnya merupakan biaya pasca- panen. Karena petani menikmati harga jual rata-rata Rp 16.600 per Kg, maka petani sesungguhnya memperoleh proporsi margin keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan proporsi biaya usaha tani. Secara rata-rata,

Struktur biaya usaha tani kakao didominasi oleh biaya tenaga kerja, pupuk dan obat-obatan. Lebih dari setengah dari seluruh biaya yang dikeluarkan oleh petani diperuntukkan untuk membayar upah tenaga kerja dan membeli pupuk dan obat-obatan. Petani menganggap, sekiranya pemerintah dapat menyediakan dan memberikan bantuan pupuk dan obat-obatan, biaya usaha tani akan terpangkas hingga 20 persen. Kebijakan semacam ini dapat mengurangi beban petani yang selama ini mengalami kesulitan terkait dengan pembiayaan usaha tani, karena terbatasnya akses mereka terhadap sumberdaya keuangan dan ketidakmampuan petani untuk mengkapitalisasi modal.

Akses petani terhadap sarana produksi cukup bervariasi. Di beberapa lokasi survey, petani dapat memperoleh sarana produksi, berupa pupuk, obat- obatan, dan peralatan (tangki penyemprot, parang, cangkul, gunting, dsb.) dengan mudah di sekitar permukiman mereka, seperti di pasar, toko dan kios.Semua transaksi dilakukan secara tunai. Namun dibeberapa lokasi survey lainnya, seperti di Kabupaten Donggala, ditemukan fakta bahwa akses petani terhadap sarana produksi, khususnya pupuk, cukup rendah. Sarana produksi dimaksud, bukan hanya terkadang sulit diperoleh, tetapi juga harganya yang relatif mahal. Setiap petani yang membutuhkan pupuk harus terdaftar sebagai salah satu anggota kelompok tani. Izin untuk membeli pupuk hanya berlaku bagi mereka yang menjadi anggota kelompok tani. Padahal tidak semua petani kakao mengorganisasikan diri ke dalam kelompok tani, terutama mereka yang memiliki luas areal yang relatif kecil.

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

Tabel 4.11: Biaya Produksi di Tingkat Petani

Jenis Biaya Luwu Luwu

Kolaka Utara

Jumlah

Terhadap Total Proporsi

Biaya Produksi per Kg Pupuk

541.17 468.46 6.50 Upah TK

2,083.01 2,162.01 30.00 Biaya Peralatan/ Mesin

Biaya Pasca Produksi per Kg Pengangkutan

193.04 410.29 5.69 Pemecahan Buah

74.24 764.85 10.61 Pencucian dan Pemeraman

49.30 0.00 162.86 2.26 Sub Total

Sumber: Data Primer, diolah Pada umumnya petani tidak menggunakan pupuk dan obat-obatan sesuai

dengan takaran standar yang dianjurkan karena keterbatasan anggaran. Rendahnya produktivitas dan mutu kakao di Pulau Sulawesi tampaknya berkaitan dengan belum optimalnya penggunaan pupuk dan obat-obatan. Petani juga mengeluhkan harga pupuk dan obat-obatan yang terus merangkak naik. Jenis pupuk yang dominan digunakan oleh petani adalah KCL, TSP dan Phonska. Sedangkan jenis obat-obatan yang jamak digunakan oleh petani, antara lain, fungisida dan herbisida.

Tingkat produktivitas lahan bervariasi antar petani dan antar lokasi. Para petani yang memiliki umur tanaman yang sudah tua, tidak melakukan usaha peremajaan atau rehabilitasi tanaman, kurang intensif melakukan pemupukan dan penyemprotan hama, cenderung memiliki tingkat produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan petani yang melakukan tindakan-tindakan sebaliknya. Sedangkan lokasi-lokasi yang memperoleh pembinaan yang intensif, memiliki kelompok tani yang kuat, memiliki akses yang baik terhadap pasar, cenderung memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang memiliki kondisi sebaliknya.

Pengelolaan pasca panen di tingkat petani dilakukan dalam bentuk pemecahan buah, pengeringan, dan penyortiran. Untuk pengelolaan pasca Pengelolaan pasca panen di tingkat petani dilakukan dalam bentuk pemecahan buah, pengeringan, dan penyortiran. Untuk pengelolaan pasca

n Biaya Perdagangan, Transportasi dan Logistik

Biaya perdagangan, transportasi dan logistik mencapai dua per tiga dari selisih harga antara tingkat petani dengan tingkat eksportir. Secara rata-rata, selisih harga antara tingkat petani dengan tingkat eksportir sebesar Rp 7.000 per Kg. Dari angka tersebut, sekitar Rp 4.700 per Kg (67,14%) merupakan biaya perdagangan, transportasi dan logistik, dan sisanya sebesar Rp 2.300 per Kg (32,86%) merupakan margin keuntungan yang dinikmati oleh pedagang dan eksportir. Jika dirasiokan dengan tingkat harga eksportir, maka biaya perdagangan, transportasi dan logistik hanya sekitar seperlima dari tingkat harga eksportir.

Gambar 4.10: Biaya Perdagangan, Transportasi dan Logistik pada Komoditas Kakao di Pulau Sulawesi

Sumber: Data Primer, diolah

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

Dari total biaya tranportasi dan logistik, biaya pabean dan biaya transportasi mencatat angka paling besar. Kedua jenis biaya ini menyumbang sekitar 55 persen terhadap total biaya transportasi dan logistik. Sisanya, sebesar 45 persen teralokasi pada berbagai jenis biaya, seperti biaya pengeringan, biaya penyusutan, biaya penyimpanan dan pergudangan, biaya sortasi dan uji kualitas, biaya pengemasan, biaya administrasi dan lainnya.