Ketahanan Pangan adalah suatu Kolonialisasi baru

3. Ketahanan Pangan adalah suatu Kolonialisasi baru

Ada tiga pendapat yang dikemukakan terkait dengan status pangan sebagai alat kekuasaan, antara lain:

1) President George W. Bush menyampaikan peringatan pada hari Future Farmer of America, 27 Juli 2001, yaitu “Can you imagine a country was unable to grow enough food to feed the people? It will

be a nation subject to international pressure.

2) Vandana Shiva, Ilmuan India bahwa kolonialisasi lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan.

3) Henry Kissinger, Presiden Amerika Serikat bahwa Control oil and you control the nations, Control food and you control the people.

Dari ketiga pendapat tersebut dan tentunya masih banyak pendapatan lain yang tidak dapat dimasukkan tetapi memiliki makna yang sama bahwa apabila pangan sudah dapat dikontrol, maka seluruh kehidupan sudah dikuasai dan sekaligus dapat digunakan sebagai alat penjajahan pada era global. Kondisi ini sangat ditunjang oleh mekanisme pasar yang ditopang dengan sistem perdagangan yang semakin liberal, sehingga kemampuan Negara dalam mempengaruhi pasar pangan yang sangat lemah karena struktur pasar yang oligopoli. Kondisi ini sudah terbukti pada krisis pangan yang terjadi pada tahun 2008 dimana sekitar 90 persen perdagangan pangan (serealia) dikuasai oleh hanya lima multi national company (MNC). Demikian pula 90 persen pasar benih dan input pertanian (pestisida dan herbisida), dan 99,9 persen benih transgenik hanya dikuasai enam MNC.

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

Ketika krisis pangan melanda dunia tahun 2008, perdagangan pangan dunia menangguk keuntungan 55-189 persen, benih dan herbisida 21-54 persen, dan pupuk 186-1.200 persen dibanding dengan tahun sebelumnya (Santosa, 2008).

Status perdagangan yang semakin diatur oleh mekanisme pasar adalah dampak dari liberalisasi perdagangan dan berbagai kesepakatan dari organisasi internasional (WTO, FAO, WFP, dsb) dan kerjasama regional (AFTA, NAFTA, EEC, AEC, dsb) yang merumuskan aturan-aturan dalam perdagangan dunia yang merugikan Negara berkembang, seperti penurunan dukungan negara terhadap sektor pertanian, pengurangan insentif terhadap ekspor dan impor produk pertanian, dan liberaliasi perdagangan. Berdasarkan realitas ini, bahwa konsep ketahanan pangan lebih menguntungkan negara maju melalui liberalisasi perdagangan, dimana Negara diwajibkan untuk memenuhi hak pangan penduduknya, membuat pangan dengan mudah dapat diperdagangkan.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, konsep ketahanan pangan yang lebih dipahami dari aspek pemenuhannya saja merupakan suatu kekeliruan. Pengertian ketahanan pangan yang banyak dianut adalah berdasarkan hasil kesepakatan Pertemuan Puncak Pangan Dunia (World Food Summit- WFS) pada tahun 1996 (FAO,2008) yaitu lebih menekankan pada aksesibilitas semua orang terhadap pangan pada setiap waktu, tanpa memperhatikan cara memenuhinya, sehingga pangan dapat disediakan melalui kegiatan perdagangan menjadikan perdagangan pangan internasional adalah bisnis yang sangat menguntungkan. Konsep dan kebijakan ketahanan pangan yang dipromosikan oleh FAO tidak cocok dengan realitas petani. Bahkan menimbulkan masalah sebagian besar masyarakat dunia terutama penduduk negara sedang berkembang yang sebagian besar adalah petani kecil. Sistem pasar yang kompetitif yang akan menghancurkan kedaulatan negara yang diberikan mandat untuk memberi makan pada warganya.

Kenyataan ini mungkin dapat disebut suatu skenario Negara maju yang menguasai teknologi dan dapat mempengaruhi lembaga internasional dan sekaligus dapat meyakinkan masyarakat international, sehingga bebagai skenario yang dibuat menjadikan Negara terperangkap dari kekurangan pangan yang korbannya adalah mayoritas negera berkembang dan secara Kenyataan ini mungkin dapat disebut suatu skenario Negara maju yang menguasai teknologi dan dapat mempengaruhi lembaga internasional dan sekaligus dapat meyakinkan masyarakat international, sehingga bebagai skenario yang dibuat menjadikan Negara terperangkap dari kekurangan pangan yang korbannya adalah mayoritas negera berkembang dan secara