Latar Belakang Masalah § Konteks Perubahan Iklim

1. Latar Belakang Masalah § Konteks Perubahan Iklim

Diskusi dan perdebatan tentang dampak perubahan iklim (climate changes) terhadap berbagai aspek kehidupan telah mencapai pada kesimpulan bahwa dampak negatif itu memang ada dan mengalami peningkatan seiring dengan waktu. Sektor Pertanian yang merupakan penopang utama ketahanan pangan menjadi salah satu sektor yang terkena dampak perubahan iklim tersebut. Berbagai kajian telah menunjukkan ancaman serius dan sangat mengkhawatirkan. Dengan mudah dapat dimengerti bahwa bila tanpa kebijakan dan langkah antisipatif terhadap fenomena perubahan iklim ini akan membawa pada kesengsaraan, lebih khusus lagi pada gangguan sektor pertanian ini akan menimbulkan ancaman serius terhadap bahaya kelaparan. Stern (2007) mempredikasikan bakal terjadi pemangkasan pertumbuhan ekonomi global hingga 3 persen jika temperatur global meningkat hingga 2-3 derajat Celsius, di bandingkan jika tidak ada perubahan iklim. Jika temperatur naik hingga 5 derajat Celsius, penurunan ekonomi bisa sampai 10 persen. Skenario terburuk adalah jika negara-negara di dunia ini tidak melakukan apa pun untuk menekan tingkat emisi gas rumah kaca. Berdasarkan skenario terburuk ini, perekonomian global berisiko mengalami pemangkasan pertumbuhan yang sifatnya permanen hingga 20 persen dibandingkan jika tidak ada pemanasan global. Itu artinya rata-rata penduduk dunia akan 20 persen lebih miskin dibandingkan yang seharusnya.

? Perubahan iklim (climate changes) sesungguhnya adalah perubahan

unsur-unsur iklim seperti suhu, kelembaban, angin dan curah hujan baik secara alamiah maupun non alamiah yang dipicu oleh aktifitas manusia. Fenomena ini dirasakan oleh manusia sebagai penurunan atau peningkatan suhu udara secara ekstrem, curah hujan dan musim unsur-unsur iklim seperti suhu, kelembaban, angin dan curah hujan baik secara alamiah maupun non alamiah yang dipicu oleh aktifitas manusia. Fenomena ini dirasakan oleh manusia sebagai penurunan atau peningkatan suhu udara secara ekstrem, curah hujan dan musim

? Aldrian dan Djamil (2006) memperlihatkan bahwa jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim cenderung meningkat dalam 50 tahun

terakhir, terutama di kawasan pantai. ? Naylor (2007) memprediksi arah perubahan pola hujan di wilayah

Bagian Barat Indonesia dan Selatan Khatulistiwa. Di Bagian Utara Sumatea dan Kalimantan, intensitas curah hujan cenderung lebih tinggi dengan periode yang lebih pendek, sedangkan di Wilayah Selatan Jawa dan Bali akan menurun tetapi dengan periode yang lebih panjang.

? Boer dkk., (2009) menunjukkan bahwa secara spasial kecederungan perubahan curah hujan, di mana curah hujan pada musim hujan

lebih bervariasi dibandingkan dengan musim kemarau. Lebih lanjut diungkapkan bahwa berdasarkan data curah hujan rata-rata 10 tahun (1994-2002) untuk musim hujan dibandingkan dengan data curah hujan normal dalam 30 tahun (1970-2000) menunjukkan banyaknya wilayah yang mengalami penurunan jumlah curah hujan, seperti di Tasikmalya dalam periode 1879-2006 akibatnya menurunkan potensi satu musim tanam padi (Runtunuwu dan Syahbuddin, 2007). Kondisi yang tidak menguntungkan ini juga terjadi di Wilayah Utara dan Selatan Sumatera, Kalimantan Barat, Jawa Timur, NTT, NTB, dan Sulawesi Tenggara

? Hansen dkk., (2006), menunjukkan bahwa pemanasan global cenderung meningkatkan frekuensi El-Nino dan menguatkan

fenomena La-Nina. Peningkatan siklus ENSO (El Nino Southern Oscillation) dari 2-5 tahun sekali menjadi 3-7 tahun sekali (Ratag, 2001).

Secara umum, perubahan iklim, khususnya kejadian iklim ekstrim dapat menyebabkan: (a) kegagalan panen dan tanaman, penurunan Indeks Pertanaman yang berujung pada penurunan produktivitas dan produksi; (b) kerusakan sumberdaya lahan pertanian; (c) peningkatan frekuensi, luas, dan bobot/intensitas kekeringan; (d) peningkatan kelembaban; dan (e) peningkatan intensitas gangguan organisme pengganggu tanaman (Las, dkk.,., 2008).

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

? Pemanasan global yang merupakan bagian dari perubahan iklim

mendapat perhatian lebih serius karena dampaknya timbul dalam waktu yang tidak lama dan memberikan konsekuensi yang nyata bagi kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Pemanasan global ini memberikan pengaruh berbeda pada lintang berbeda, daerah berllintang tinggi memanas lebih cepat dibanding daerah berlintang rendah. Demikian juga, daratan memanas lebih cepat dibandingkan lautan. Bukti-bukti kenaikan suhu udara dan dampaknya telah ditunjukkan oleh beberapa penelitian.

? Suhu udara naik sebesar 0,3 derajat celcius sejak tahun 1990 dan

naik lagi ke angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu di atas 1 derajat celcius dari suhu rata-rata tahun 1961-1990. Akibat kenaikan suhu ini, es mencai 10 persen sejak tahun 1960. Ketebalan es di kutub utara berkurang 42 persen dalam 40 tahun terakhir. Diperkirakan sejumlah gletser di beberapa pengunungan seperti Himalaya, Alpen, dan Kilimanjaro hilang hingga 50-90 persen. Badan dunia untuk perubahan iklim (IPCC Working Group 2; 2001)) menyebutkan dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan muka air laut setinggi 10-25 cm dan tahun 2100 mendatang akan terjadi sebagian daratan di bumi hilang seperti hilangnya 1 persen daratan Mesir, Belanda 6 persen, dan Bangladesh 17,5 persen.

? Selama abad ke-20 telah terjadi kenaikan suhu rerata permukaan

sebesar 0,6 ± 0,2C (dan kemudian telah terjadi kenaikan muka air laut sebesar 10-25 cm dan diperkirakan pada abad ke-21 ini akan terus mengalami percepatan (Nicholls dan Klein, 2001). Berdasarkan kecenderungan yang ada saja, dengan hanya melihat penyebab dari GRK saja, diprediksikan bahwa pemanasan global kemungkinan besar akan menaikkan muka air laut setinggi 15 cm pada 2050 dan 34 cm pada 2100. Ada 10persen kemungkinan kenaikan muka air laut setinggi 30 cm pada 2050 dan 65 cm di 2100. Kemudian ada 1 persen kemungkinan muka air laut akan naik 1 m pada 100 tahun yang akan datang (sekitar 2095). Dengan kenaikan suhu rerata permukaan terhadap keadaan 1990 sebesar 1,4-5,8C sampai tahun 2100 sesuai proyeksi di depan tadi maka akan terjadi kemal sebesar 9-88 cm saat itu (IPCC Working Group 2; 2001).

? Susandi (2007) memprediksi kenaikan suhu di Indonesia secara

konsisten dalam kurun waktu 2000-2100 (Gambar 4.27).

Gambar 4.27: Grafik Perubahan Suhu (gambar-kiri) Kurun Waktu 1950-2000

dan Prediksi Perubahan Suhu (gambar-kanan) Kurun Waktu 2000-2100 di Indonesia

Sumber: Susandi, 2007

? Secara khusus, Kota Jakarta mengalami kenaikan suhu yang cukup signifikan (Gambar 4.28).

Gambar 4.28: Kecederungan Kenaikan Suhu Udara di Kota Jakarta

Sumber : Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap: Analisis dan Proyeksi Suhu dan Curah Hujan (2010)

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

§ Penyebab Terjadinya Perubahan Iklim

Secara umum, penyebab terjadinya perubahan iklim yaitu perubahan pada ketebalan lapisan Gas Rumah Kaca (GRK) pada lapisan udara. GRK secara alami melindungi ekosistem bumi dari radiasi penyinaran sinar matahari yang berlebihan. Namun demikian, proses penebalan GRK ini menimbulkan efek lain yaitu memerangkap radiasi sinar matahari tersebut sehingga secara keseluruhan suhu di dalam atmosfer bumi meningkat. Efek demikian disebut efek rumah kaca (greenhouse-effect). Kelompok GRK adalah karbondioksida

(CO ), metana (CH ), dinitro oksida (N O), hidrofluorokarbon (HFC), 2 4 2 perfluorokarbon (PFC), sampai sulfur heksafluorida (SF6). Jenis GRK yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida (CO2), metana, dan dinitro oksida, masing-masing sebesar

76, 13, 6 persen. Sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) di sektor energi dan transport, penggundulan hutan, dan pertanian. Sementara, untuk gas rumah kaca lainnya (HFC, PFC, SF6 ) hanya menyumbang kurang dari 1persen. Lama usia satu kilogram gas dalam atmosfer masing masing sebesar 50 - 200 tahun untuk karbon dioksida, 12 tahun untuk methana, 114 tahun untuk nitrogen oksida.

Peningkatan ketabalan GRK disebakan peningkatan aktifitas manusia yang menghasilkan GRK, yaitu peingkatan populasi dunia dan perubahan pola hidup (life style) yang cederung menggunakan produk yang menghasilkan GRK. Menurut IPCC, jika dunia tidak melakukan mitigasi atas peningkatan gas rumah kaca, emisi gas rumah kaca meningkat 70 persen sejak 1970 dan akan meningkat 25-90 persen dalam 25 tahun ke depan.

Seperti yang diuraikan di atas, karbondioksida (CO ) merupakan bagian 2 terbesar dari kelompok GRK, yaitu sebesar 76 persen. Stern (2007) menunjukkan bahwa produksi CO terbesar dihasilkan dari aktifitas emisi- 2 energi yang meliputi sektor energi, transportasi, industri dan bangunan dengan proporsi sebesar 65persen. Sedangkan aktifitas non-emisi energi yang meliputi penggunaan lahan, pertanian, dan limbah hanya sebesar 35 persen.

Sumber : Stern, N. 2007. The Economics of Climate Change. Cambridge University Press.

Kajian Kementerian Lingkungan Hidup, memprediksi pertumbuhan emisi karbondioksida (CO ) terbesar dihasilkan pembangkit tenaga listrik, 2 transportasi dan industri masing masing 5,2, 3,4 dan 2,4 persen/thn (Tabel 4.30).

Tabel 4.30: Total emisi karbondioksida (CO ) 2

Pertumbuhan Sektor

Rata-rata 2000

Total emisi CO2 (juta TON)

2020 2025 (% per tahun) Industri

58 66 73 91 109 141 2.4 Rumah Tangga

21 22 23 23 22 25 0.4 Transportasi

55 61 76 99 128 168 3.4 Pbk. Tenaga

220 275 5.1 Listrik Industri Energi

40 30 35 27 48 63 1.9 TOTAL

526 672 3.3 Kementrian Lingkungan Hidup dalam National Strategy Study on Clean Development

Mechanism in Indonesia (NSS, 2001, dibiayai oleh Bank Dunia)

Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI

Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan penduduk yang selalu positif dan pengendalian laju produksi/emisi karbondioksida (CO ) yang 2 belum dapat dikedalikan mengakibatkan peningkatan CO yang signifikan 2 seiring dengan waktu. Kecederungan ini sekaigus menjadi ancaman serius bagi pemanasan global dan anomali iklim di masa yang akan datang. Susandi (2007) memprediksi bahwa emisi karbondioksida (CO ) meningkat secara 2 konsisten dalam kurun waktu 2000-2100. Hingga saat sekarang kesulitan yang dihadapai dalam pengurangan emisi CO adalah negara-negara 2 produsen CO terbesar belum seluruhnya menandatangani Protokol Kyoto 2 yang dimaksudkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 5 persen dari tahun 1990 pada periode 2008 – 2012. Negara produsen CO terbesar 2 antara lain Amerika AS dan Cina masing-masing menghasilkan CO sebesar 2 42.500 dan 10.500 pon per kapita. Menurut Netherlands Environmental Assessment Agency (Belanda), emisi CO China bahkan sudah melampaui 2 Amerika, yakni 7,5 persen di atas AS pada 2006, dengan produksi CO 2 mencapai 6,23 miliar metrik ton, sementara AS 5,8 miliar merik ton. Lonjakan emisi ini terutama karena konsumsi batu tiara dan produksi semen. Kajian WR 1992-93 yang dikutip oleh World Bank (1994) memperlihatkan bahwa tahun 1992 posisi Indonesia pada negara ke-23 penyumbang terbesar emisi karbondioksida (CO ) sebesar 0,18 milyar metrik-ton. 2

Gambar 4.29: Prediksi Emisi Gas CO2 dalam kurun waktu 2000-2100

Sumber: Susandi, A (2007)