Arah kebijakan pembangunan KTI di masa depan

3. Arah kebijakan pembangunan KTI di masa depan

n Pengembangan konektivitas wilayah menjadi sebuah keharusan untuk mengakselerasi pembangunan KTI. Konektivitas wilayah dimaksud bukan hanya antara wilayah di KTI tetapi juga antara KTI dengan KBI dan

antara KTI dengan dunia internasional. Menjadi terasa sedikit aneh ketika dari Kupang (Nusa Tenggara Timur) menuju ke Lombok (Nusa Tenggara Barat) - dengan menggunakan pesawat udara - harus ke Denpasar terlebih dahulu dengan melintas di atas Lombok. Kita juga dibuat terperangah ketika mengetahui bahwa daerah-daerah pedalaman di Papua harus membeli semen dengan harga 30 – 35 kali lipat dari tingkat harga yang berlaku di Sulawesi. Konektivitas wilayah yang buruk telah memicu melambungnya biaya logistik dan biaya hidup di KTI.

Selain itu, integrasi pengembangan infrastruktur untuk mendukung konektivitas wilayah juga perlu terus diupayakan. Infrastruktur jalan, pelabuhan laut, bandar udara, dan energi lstrik perlu dikembangkan secara terintegrasi dengan pusat-pusat perdagangan, kawasan industri, dan sentra-sentra produksi komoditas unggulan. Fenomena inbalance cargo (volume dan nilai barang yang dibongkar lebih besar dibandingkan dengan yang dimuat) disebagian besar pelabuhan laut di KTI menegaskan rendahnya konektivitas wilayah akibat buruknya jaringan transportasi yang menghubungkan antara pelabuhan laut dengan sentra-sentra produksi.

Namun harus diakui bahwa membangun konektivitas antar wilayah di KTI bukanlah perkara mudah. Ada kesan kuat bahwa setiap provinsi di KTI cenderung menonjolkan ego-daerahnya masing-masing. Sedangkan pada skala provinsi, kohesivitas (cohesiveness) antar kabupaten/kota juga sangat tidak kondusif karena setiap daerah lebih mengedepankan kepentingan jangka pendek mereka. Pembangunan kawasan metropolitan Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa Gowa, dan Takalar) misalnya, tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan karena rendahnya kohesivitas antar daerah. Oleh karena itu, wawasan pembangunan regional perlu terus didesakkan di KTI untuk mengeliminasi wawasan pembangunan sektoral dan ego-daerah.

Kinerja Dan Tantangan Pembangunan KTI

Selain itu, tetap penting menjadi catatan bahwa pembangunan infrastruktur antara KBI dan KTI harus dipandang dengan perspektif berbeda. KBI membutuhkan infrastruktur terutama untuk merespon geliat ekonomi. Sedangkan KTI membutuhkan infrastruktur terutama untuk menstimulasi aktivitas ekonomi. Dengan kata lain, kebutuhan infrasruktur di KBI lebih berdimensi “market-driven”, sedangkan KTI lebih berdimensi “affirmative action”. Oleh karena itu, selama cara pandang dan pertimbangan “merespon pasar ” yang lebih dikedepankan untuk membangun infrastruktur di KTI, maka hampir bisa dipastikan bahwa infrastruktur KTI tidak akan pernah berkembang kearah yang diharapkan. Rencana proyek pembangunan infrastruktur dalam kerangka Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tampak perspektifnya belum banyak bergeser.

Tabel 2.3: Rencana jumlah dan nilai proyek infrastruktur MP3EI menurut koridor ekonomi

No. Koridor

Jumlah

Total Biaya (Rp)

Tahun

Groundbreaking 1. Jawa

Proyek

10 113 triliun

- 4 proyek tahun 2014 - 6 proyek tahun 2017

2. Sumatera

12 111 triliun

- 3 proyek tahun 2014 - 9 proyek tahun 2017

3. Sulawesi

7 61 triliun

- 2 proyek tahun 2014 - 5 proyek tahun 2017

4. Kalimantan

5 41 triliun

- 2 proyek tahun 2014 - 3 proyek tahun 2017

5. Bali - Nusa

- 2 proyek tahun 2014 Tenggara

3 41 triliun

- 1 proyek tahun 2017 6. Papua - Kepulauan

- 1 proyek tahun 2014 Maluku

2 3,3 triliun

- 1 proyek tahun 2017 Sumber: Dokumen MP3EI - 1 proyek tahun 2017 Sumber: Dokumen MP3EI

dalam jangka panjang. Strategi semacam ini mudah terjebak pada “dutch disease”, yaitu suatu kondisi dimana booming komoditas (akibat eksploitasi sumberdaya alam) akan menyebabkan aliran modal dari pendapatan komoditas meningkat, dan pada gilirannya akan mengakibatkan permintaan yang lebih tinggi untuk barang yang tidak diperdagangkan seperti jasa (restoran, hotel, dll.) dan konstruksi. Akibatnya, sektor industri kurang berkembang dan pada gilirannya akan menekan pertumbuhan sektor industri. Fakta mengenai rendahnya kontribusi sektor industri terhadap perekonomian KTI maupun kecilnya sumbangan sektor industri KTI terhadap Nasional hanya sekedar mengkonfirmasi gejala ini.

n Perluasan pelayanan dasar dan pemenuhan hak-hak dasar harus tetap menjadi tema sentral pembangunan KTI saat ini dan di masa depan. Secara umum, kualitas pelayanan dasar di KTI

sangat buruk. Di sektor ketahanan pangan, kasus-kasus rawan pangan dan gizi buruk paling sering terdengar di wilayah KTI. Di sektor pendidikan, anak-anak putus sekolah dan tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi menjadi fenomena yang lazim di KTI. Di sekor kesehatan, kasus kematian bayi dan ibu melahirkan paling sering terjadi karena layanan kesehatan tidak mampu menjangkau mereka akibat terbatasnya sarana prasarana kesehatan dan jaringan transportasi yang buruk. Di sektor perumahan, sanitasi yang layak, air bersih dan listrik, menjadi barang langka bagi sebagian orang-orang KTI. Oleh karena itu, sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar harus tetap menjadi sektor prioritas dalam 5 - 10 yang akan datang.

Kinerja Dan Tantangan Pembangunan KTI

Pelayanan dasar juga perlu diarahkan untuk menjangkau lebih banyak penduduk miskin. Sejauh data yang tersedia, lebih dari tiga per empat dari seluruh penduduk miskin di KTI bermukim di wilayah perdesaan dan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Beberapa hasil studi terakhir menunjukkan bahwa jembatan keluar dari kemiskinan untuk mereka yang memiliki mata pencaharian di sektor pertanian tampaknya harus berasal dari kombinasi sektor pertanian yang lebih produktif dan pembukaan kesempatan kerja non-pertanian di perdesaan.

n Perbaikan tata kelola pemerintahan daerah juga penting menjadi

arah kebijakan pembangunan KTI di masa depan. Jumlah dana yang dikelola oleh pemerintah daerah terus meningkat, namun tidak paralel dengan peningkatan kinerja hasil (outcome). Mengefisienkan dan mengefektifkan penggunaan anggaran daerah harus menjadi agenda kebijakan di masa depan bagi seluruh tingkatan pemerintahan daerah di KTI. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah daerah perlu terus didorong untuk lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif dalam pengelolaan keuangan daerahnya.

Menyertai upaya tersebut, penataan kelembagaan pemerintah daerah, peningkatan koordinasi antar tingkatan pemerintahan, pengembangan kapasitas dan profesionalisme aparatur, dan perbaikan proses dan mekanisme perizinan, merupakan sejumlah agenda penting di masa depan.

n Pada akhirnya, desain kebijakan dan politik anggaran perlu lebih

digeser ke arah yang lebih berpihak pada KTI. Sebab disana, ada kesenjangan yang harus dipersempit, ada keterbelakangan yang harus diangkat, ada kemiskinan yang harus dientaskan, ada kebodohan yang harus dikikis, dan seterusnya. Tanpa pemihakan yang jelas terhadap pembangunan KTI, sesungguhnya kita dengan sengaja sedang melanggengkan ketimpangan dan membiarkan keterbelakangan terus berlangsung di KTI.