Identifikasi Permasalahan pada Tahapan Rantai Nilai Komoditas Kakao n Kegiatan Usaha Tani
4. Identifikasi Permasalahan pada Tahapan Rantai Nilai Komoditas Kakao n Kegiatan Usaha Tani
Serangan hama dan penyakit serta umur tanaman yang sudah tua merupakan masalah utama yang dihadapi petani dan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan komoditas ini di masa depan. Secara rata-rata, umur tanaman kakao berada di atas 15 tahun dan telah mengalami penurunan tingkat produktivitas yang cukup signifikan. Berbagai jenis hama dan penyakit telah menyerang pohon, daun, dan buah yang juga berpotensi menurunkan produksi, tingkat produktivitas, dan mutu kakao sehingga pada gilirannya akan menurunkan tingkat kesejahteraan petani kakao. Serangan terhadap buah menyebabkan biji kakao menjadi kering, hitam, dan rusak pada bagian dalam buah. Serangan hama dan penyakit terhadap tanaman kakao ditemukan pada semua lokasi survey. Jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao di Pulau Sulawesi terdiri atas penggerek buah kakao (PBK), kepik penghisap buah kakao, penggerek batang, busuk buah, dan kanker batang. Hasil studi PATANAS (2012) juga menunjukkan temuan serupa bahwa hama dan penyakit paling banyak menyerang tanaman kakao dibanding tanaman perkebunan lainnya.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mencanangkan Program Gerakan Revitalisasi Kakao Nasional (Program GERNAS) pada tahun 2008. Pada awalnya, program ini hanya diperuntukkan bagi empat provinsi di Pulau Sulawesi, yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, yang merupakan sentra penghasil kakao Nasional. Namun hingga tahun 2011, program ini telah diperluas hingga mencakup 26 provinsi dan 98 kabupaten. Program yang akan berakhir pada tahun 2013 ini tampaknya belum sepenuhnya dapat dianggap berhasil jika peningkatan produksi, produktivitas dan mutu kakao dijadikan sebagai indikator keberhasilan.
Tabel 4.12: Persepsi Responden Petani Kakao Mengenai Masalah dan
Kendala yang dihadapi Menurut Lokasi Survei
Jenis Biaya Luwu
Donggala Kolaka Kolaka Rata- Utara
Rata Kekurangan air
1.05 1.15 1.50 1.15 1.00 1.30 1.00 1.16 Lahan kurang subur
1.45 1.30 1.70 1.05 1.39 1.50 1.20 1.37 Saprodi tidak tersedia
1.60 1.05 1.50 1.10 1.43 1.70 1.45 1.40 Biaya tenaga kerja mahal
1.70 1.85 1.75 1.45 1.48 1.60 1.65 1.64 Modal terbatas
2.60 2.50 2.80 2.55 2.13 1.50 1.85 2.28 Pohon tua
2.25 2.65 2.80 1.85 2.70 2.05 1.80 2.30 Hama penyakit
3.00 3.00 2.90 3.00 3.00 2.85 2.85 2.94 Bibit kurang baik
1.25 1.70 2.05 2.05 1.96 1.05 1.85 1.70 Pengetahuan petani kurang
1.90 1.55 1.55 1.95 2.35 1.10 1.80 1.74 Sarana pasca-panen kurang
1.25 1.60 1.35 1.05 1.22 1.35 1.65 1.35 Harga pembelian pedagang rendah
2.40 2.30 1.80 2.15 2.00 1.85 2.05 2.08 Infrastruktur jalan tidak
mendukung 2.35 1.35 2.45 2.10 1.91 1.65 1.95 1.97
Sumber: Data Primer, diolah Keterangan: Skala 1-3, dimana 1=tidak bermasalah; 2=sedang; dan 3=sangat bermasalah
Umur tanaman yang tua dan serangan hama, tampaknya telah memunculkan berbagai masalah derivatif, berupa rendahnya tingkat produktivitas dan mutu biji kakao. Tingkat produktivitas kakao di tingkat petani rata-rata hanya 600 -700 Kg per Ha dengan mutu biji kakao yang juga relatif rendah, yang ditandai oleh tingkat kadar air, kotoran, dan jamur yang berada di atas standar. Peremajaan sebagai pilihan yang rasional bagi petani, juga hampir tidak bisa dilakukan karena terkendala oleh dua faktor, yaitu: (1) penanaman pohon baru membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai pada tahap menghasilkan, dan selama proses itu petani tidak memiliki alternatif sumber penghasilan; (2) bibit yang dipersiapkan sendiri oleh petani untuk peremajaan seringkali diserang pula oleh hama/penyakit seperti yang terjadi pada tanaman dewasa lainnya. Oleh karena itu, saat ini, pilihan yang paling realistik oleh petani adalah melakukan sambung samping, meski tidak ada jaminan bahwa tanaman kakao akan terbebas dari serangan hama dan penyakit. Bagi petani, upaya ini hanya akan mengatasi masalah dalam jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang.
Rendahnya mutu kakao juga disebabkan belum berkembangnya kegiatan fermentasi di tingkat petani. Sebagian besar petani yang disurvey tidak melakukan kegiatan fermentasi. Dari tujuh kabupaten lokasi survey, kegiatan fermentasi di tingkat petani hanya ditemukan di Kabupaten Luwu dan Mamuju. Mereka memiliki berbagai alasan, antara lain: (1) keinginan untuk
Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI
sesegera mungkin mendapatkan uang tunai; (2) kegiatan fermentasi memerlukan tambahan biaya dan tenaga; (3) petani tidak melihat adanya perbedaan harga yang signifikan antara kakao fermentasi dan non- fermentasi; dan (4) meski jumlahnya tidak banyak, sejumlah petani mengaku tidak mengetahui teknik fermentasi.
Kendala utama sebagian petani dalam mengelola usaha tani dan melakukan kegiatan pasca panen adalah keterbatasan anggaran. Secara umum, keterbatasan anggaran merupakan masalah ketiga yang paling dirasakan oleh petani, setelah hama/penyakit dan tanaman tua. Kendala ini telah menyebabkan petani tidak dapat melakukan perawatan tanaman kakao sebagaimana mestinya, seperti pemupukan, penyemprotan pestisida, peremajaan tanaman, rehabilitasi lahan, dan sebagainya. Tindakan ini tidak dapat meminimalisir serangan hama dan penyakit tanaman, meningkatkan produktivitas, dan memperbaiki kualitas kakao. Oleh petani, isu keterbatasan anggaran lebih dikaitkan dengan pengelolaan usaha tani, ketimbang kegiatan pasca panen.
Di beberapa lokasi survey, sejumlah petani mengeluhkan produksi kakao mereka yang cenderung menurun, setidaknya jika dibandingkan 4-5 tahun lalu. Mereka mengaku bahwa, saat ini, untuk setiap hektar lahan dengan jumlah tegakan 8.000 – 1.000 pohon, produksi hanya mencapai 20 – 35 Kg per minggu, padahal lima tahun lalu mereka bisa memproduksi 40 - 60Kg per minggu. Penurunan tingkat produktivitas mereka dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: tingkat kesuburan tanah, tingkat perawatan dan pemeliharaan tanaman, intensitas pemupukan, dan serangan hama dan penyakit.
Program Gerakan Revitalisasi Kakao Nasional (Program GERNAS) dipersepsi secara berbeda oleh petani. Petani kakao di Kolaka misalnya, menganggap bahwa Program Gernas Kakao telah memberi manfaat bagi mereka, dan karena itu, tetap berharap agar program ini dapat terus dilanjutkan di masa depan. Sebaliknya, petani kakao di Polewali Mandar menganggap bahwa program ini tidak memberi dampak berarti terhadap produktivitas dan mutu kakao. Program ini dianggap tidak bisa menyelesaikan masalah utama yang dihadapi oleh petani, yaitu usia tanaman yang tua dan serangan hama/penyakit tanaman. Bantuan yang menyertai program ini, juga dinilai tidak hanya memiliki kualitas yang rendah, tetapi juga diwarnai dengan Program Gerakan Revitalisasi Kakao Nasional (Program GERNAS) dipersepsi secara berbeda oleh petani. Petani kakao di Kolaka misalnya, menganggap bahwa Program Gernas Kakao telah memberi manfaat bagi mereka, dan karena itu, tetap berharap agar program ini dapat terus dilanjutkan di masa depan. Sebaliknya, petani kakao di Polewali Mandar menganggap bahwa program ini tidak memberi dampak berarti terhadap produktivitas dan mutu kakao. Program ini dianggap tidak bisa menyelesaikan masalah utama yang dihadapi oleh petani, yaitu usia tanaman yang tua dan serangan hama/penyakit tanaman. Bantuan yang menyertai program ini, juga dinilai tidak hanya memiliki kualitas yang rendah, tetapi juga diwarnai dengan
Pola dan tahapan penyaluran bantuan sarana dan prasarana produksi yang tidak sekuens, juga merupakan salah satu aspek yang dikeluhkan para petani terkait dengan Program GERNAS. Petani seringkali memperoleh bantuan pupuk terlebih dahulu, baru kemudian memperoleh bantuan bibit. Kualitas bantuan, seperti peralatan semprot, juga dinilai juah berada di bawah standar. Ini menimbulkan persepsi di kalangan para petani bahwa Program GERNAS tidak lebih dari sekedar “proyek”. Studi yang dilakukan oleh KPPOD (2013) juga menemukan adanya keterlambatan distribusi pupuk dan benih kepada petani yang berpotensi menghambat keberhasilan Program GERNAS.
n Perdagangan Dalam Pulau
Volume perdagangan yang semakin menurun turut dirasakan oleh para pedagang pengumpul. Omzet perdagangan saat ini dinilai relatif lebih kecil dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Fenomena ini sediktinya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) menurunnya volume produksi di tingkat petani terkait dengan masalah usaha tani; (2) adanya fenomena konversi lahan kakao menjadi lahan kelapa sawit di beberapa wilayah yang berpotensi menurunkan volume produksi; dan (3) adanya akses langsung petani kepada pedagang besar dan eksportir.
Pembukaan kantor cabang di sentra-sentra produksi kakao oleh perusahaan besar/eksportir berpotensi mematikan keberadaan pedagang pengumpul skala kecil. Di beberapa lokasi survey, misalnya di Desa Batupanga Daala, Kec. Luyo, Kab. Polewali Mandar, pedagang pengumpul skala kecil (tingkat desa dan kecamatan) tidak lagi eksis. Para petani mengorganisasir diri di dalam kelompok tani untuk berinteraksi langsung dengan pihak eksportir. Cara ini dianggap efektif oleh petani karena dapat menghemat biaya transportasi, menciptakan skala ekonomi, memperkuat posisi tawar dalam melakukan negosiasi harga dengan pihak eksportir, dan menikmati margin keuntungan yang relatif lebih besar.
Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI
Perdagangan kakao antar pulau telah menyebabkan adanya margin keuntungan dan nilai tambah yang tidak dinikmati oleh aktor di Pulau Sulawesi. Sejumlah produksi kakao dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara diantar-pulaukan menuju pelabuhan Surabaya dan Jakarta, untuk selanjutnya di ekspor ke manca negara atau mensupplai kebutuhan industri pengolahan kakao di kedua wilayah tersebut. Selisih yang cukup tajam antara volume produksi kakao dengan volume ekspor kakao Pulau Sulawesi mengindikasikan besarnya volume kakao yang diantar-pulaukan.Sekiranya volume ini diolah di Pulau Sulawesi dalam bentuk produk olahan kakao, maka wilayah ini akan menikmati nilai tambah dan memberikan multiplier effect bagi perekonomian Pulau Sulawesi.
Tabel 4.13: Persepsi Responden Pedagang Mengenai Masalah dan Kendala
yang dihadapi Pedagang Menurut Lokasi Survei
Kolaka Utara Rata Kualitas kakao
Jenis Biaya Luwu
Luwu
Polewali
Kolaka Rata-
0.83 1.00 1.00 1.00 1.00 0.57 0.80 0.89 Produksi kakao turun/ rendah
1.00 0.83 1.00 0.57 0.80 1.00 0.80 0.86 Modal terbatas
0.33 0.33 1.00 0.29 0.20 0.71 0.40 0.47 Biaya tenaga kerja mahal
0.33 0.33 0.67 0.29 0.30 0.71 0.40 0.43 Banyak pungutan liar
0.17 0.17 0.67 0.86 0.10 0.29 0.20 0.35 Sarana pendukung terbatas
0.50 0.33 0.00 0.86 0.00 0.43 0.20 0.33 Banyak calo
0.00 0.17 0.00 0.86 0.00 0.29 0.40 0.25 Biaya keluar kakao mahal
0.17 0.17 0.17 0.86 0.50 0.00 0.20 0.30 Pembinaan petani oleh pemerintah
Rata-Rata 0.41 0.41 0.50 0.73 0.34 0.51 0.42 0.47
Sumber: Data Primer, diolah Keterangan: Skala 1 dan 2, dimana 1=bermasalah; dan 2=tidak ada masalah
Dari berbagai masalah yang dihadapi pedagang, kualitas kakao yang rendah dan produksi yang turun/rendah merupakan masalah yang paling dikeluhkan oleh para pedagang. Hampir semua pedagang di lokasi survey dan ibu kota kabupaten sepakat bahwa kualitas kakao dan produksi merupakan masalah yang paling dirasakan terkait dengan usaha perdagangan mereka. Kedua masalah ini telah menurunkan omzet perdagangan mereka dan menurunkan margin keuntungan dan pendapatan yang mereka terima.
n Perdagangan Antar Pulau dan Ekspor
Pajak ekspor untuk biji kakao merupakan salah satu sumber keluhan para eksportir. Pengenaan bea keluar terhadap ekspor biji kakao sebesar 5 persen, yang telah ditetapkan pemerintah sejak tahun 2010, dianggap cukup tinggi oleh para eksportir, terutama oleh perusahaan yang masih mengekspor biji kakao ke pasar internasional. Meski kebijakan ini dinilai baik, terutama untuk mendorong berkembangnya industri pengolahan kakao dalam negeri, namun berpotensi mematikan perusahaan eksportir biji kakao. PT. Armajaro misalnya telah menutup kegiatan pembelian biji kakao di beberapa wilayah di Indonesia yang produksinya relatif kecil, seperti di Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan NED commodities, tidak lagi melakukan ekspor biji kakao karena alasan pajak eskpor, dan memilih untuk menjual biji kakao ke perusahaan asing yang ada cabangnya di Indonesia.
Tabel 4.14: Matrik Masalah dan Kendala dalam Pengembangan Komoditas
Kakao Menurut Persepsi Petani, Pedagang, dan Eksportir
No. Aspek Masalah dan Kendala 1 Usaha Tani
§ Umur tanaman yang sudah tua; § Serangan hama dan tanaman yang cukup intens; § Tingkat produktifitas lahan masih rendah; § Mutu kakao yang dihasilkan masih rendah; § Di beberapa lokasi, petani masih mengalami hambatan dalam
memperoleh saprodi; § Harga saprodi dirasakan semakin mahal dari waktu ke waktu; § Kegiatan fermentasi belum berkembang; § Di beberapa lokasi, keberadaan dan peran kelompok tani masih sangat
terbatas; § Akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan sangat terbatas; § Rendahya kemampuan petani untuk mengatasi masalah-masalah yang
terkait dengan usaha tani kakao. § Lambatnya inovasi untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait
dengan kakao; § Usaha tani masih dikelola secara tradisional dengan menggunakan
peralatan yang terbatas; § Fasilitasi pemerintah daerah bagi pengelolaan dan pengembangan
usaha tani masih sangat terbatas; § Infrastruktur jalan yang menghubungkan sentra-sentra produksi kakao
dengan pasar masih belum memadai di beberapa wilayah.
Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI
No. Aspek
Masalah dan Kendala
2 Perdagangan § Pembukaan kantor cabang di sentra-sentra produksi kakao oleh Domestik
perusahaan besar/eksportir berpotensi mematikan keberadaan pedagang pengumpul skala kecil, meski menguntungkan petani karena rantai nilai menjadi semakin pendek;