Petani dan Pertanian sebagai Orientasi, Bukan Pemodal dan Agribisnis
3. Petani dan Pertanian sebagai Orientasi, Bukan Pemodal dan Agribisnis
Hal mendasar yang perlu ditunjukkan dalam kebijakan pembangunan pertanian saat ini adalah keberpihakan kepada petani. Selama ini, pola piramida struktur pertanian dan pangan adalah mendudukkan sistem agribisnis, produsen benih dan input pertanian, pertanian korporasi, pertanian kapitalistik dan spekulan pangan di puncak piramida dengan
Tantangan Pembangunan Pertanian di KTI
jumlah kurang dari 500.000 orang (Santosa, 2014). Mereka ini yang mendapatkan akses dan fasilitas mewah dari pemerintah, kepada mereka kebijakan berpihak. Adapun dasar piramida tersusun oleh 26,13 juta keluarga petani kecil atau 91 juta jiwa. Mereka sekedar dijadikan penerima bantuan bibit dan pupuk, sementara keuntungan dari bisnis bibit dan pupuk tersebut diambil oleh puncak piramida. Puncak piramida ini lalu menekan ke bawah dan menyebabkan 5,1 juta keluarga petani kecil tersebut tercerabut dari lahannya dan menjadi bagian dari reproduksi sosial kemiskinan perdesaan serta menjadi penyusun pada masyarakat miskin kota.
Saat ini dan kedepan, diperlukan kebijakan pertanian yang berorientasi kepada petani dan pertanian, bukan kebijakan yang berorientasi kepada pemodal dan agribisnis. Biarkan pemodal dan agribisnis berproses dalam mekanisme pasar, dan biarkan mekanisme kebijakan berproses untuk keberpihakan kepada petani dan pertanian. Petani kecil dan pertanian keluarga perlu menduduki posisi teratas piramida (Pramono, 2012 dalam Santosa, 2014). Hak dan kedaulatan petani perlu dijamin, porsi kue pembangunan untuk mereka perlu ditingkatkan, serta akses terhadap sumberdaya produktif terutama tanah perlu diberikan, lalu fasilitasi keberdayaan mereka dalam mengurus benih dan pupuk, bukan menjadikan mereka bergantung benih dan pupuk kepada pemodal. Menurut Santosa (2014), para petani kecil saat ini telah menyumbangkan 1,9 juta varietas tanaman untuk ummat manusia, lebih besar dibanding yang dihasilkan perguruan tinggi, lembaga riset dan perusahaan benih yang hanya sekitar 80.000 varietas tanaman.
Pembangunan pertanian yang seyogianya dimainkan di masa depan, seyogianya memperhatikan arah pengembangan diri petani, selain sekedar agenda pemberian bantuan bibit dan pupuk. Dalam kaitan ini, arah pengembangan diri petani dapat dikerangkakan dalam pergerakan bolak- balik lima bentuk eksistensi petani sebagai individu maupun kolektivitas yakni: (1) sebagai juru tani; (2) sebagai manajer usahatani; (3) sebagai wiratani; (4) sebagai aktor tata produksi; dan (5) sebagai produsen pengetahuan (Salman, 2012). Lima eksistensi ini dapat dirumuskan kompetensi yang menjadi prasyaratnya, hasil dari aplikasi kompetensinya, dan kriteria keberhasilan aplikasi kompetensinya sebagaimana terpetakan pada Tabel-4.
Tabel 4.4: Arah Pengembangan Diri Petani dalam Tarian Paradigma Pembangunan Pertanian di Masa Depan.
Aspek/ Juru
Aktor Tata Produsen Entitas
Produksi Pengetahuan
Kompe-tensi Teknis
Kesadaran Produksi produksi
Teknis
Wawasan
kelas wacana Hasil
manajerial
wirausaha
Hasil panen
Pendapatan/
Produk
Alternatif atas Representasi
kapitalisme diri Kriteria Hasil
Keuntungan
berdaya saing
Subsistensi
Keadilan Ketersuaraan ke Surplus
sosial pilihan
Sumber: Suryana, 2007 (Petani sebagai Juru Tani, Manajer Usahatani dan Wiratani, hasil diskusi pribadi); Salman, 2012 (Aktor Tata Produksi dan Produsen Pengetahuan)
Terdapat petani yang memerlukan pengembangan diri sebagai juru tani, sebagai manajer usahatani, sebagai wiratani, sebagai aktor tata produksi dan sebagai produsen pengetahuan, yang dengan itu masing-masing memberi makna bagi lokalitasnya (Salman, 2012). Diperlukan pula pengembangan diri petani untuk bertransformasi dari entitas sebagai juru tani menjadi manajer usahatani; dari manajer usahatani menjadi wiratani; dari wiratani menjadi aktor tata produksi; dan dari aktor tata produksi menjadi produsen pengetahuan. Dalam kompleksitas pengembangan diri petani seperti itulah pembangunan pertanian seyogianya didorong secara bersesuai dengan kompleksitas ruang dan waktu Indonesia, terutama di KTI.