Landasan Teori
2.3 Landasan Teori
Teori adalah aturan yang menjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena ilmiah (Iskandar,2009: 103). Dalam penelitian ini penggunaan teori dilakukan secara eklektik, yaitu teori-teori yang dianggap relevan sebagai landasan untuk menganalisis Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan. Teori-teori tersebut adalah: (1) teori hibriditas,(2) teori hegemoni, dan (3) teori praktik.
2.3.1 Teori Hibriditas
Teori pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori hibriditas dari Homi K. Bhaba. Teori ini dipergunakan untuk menganalisis rumusan masalah pertama yakni perubahan identitas budaya yang terjadi pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
Hibrid atau hibriditas berasal dari bahasa Latin hybrida, sebuah kata yang mengacu pada percampuran-perkawinan dua esensi atau lebih yang kemudian melahirkan sesuatu yang lebih unggul (Kamus Besar Indonesia, 2008:520). Dalam budaya, hibriditas mengacu pada pertemuan dua budaya atau lebih yang kemudian melahirkan sebuah budaya baru, akan tetapi budaya lama tidak ditinggalkan.
Hibriditas diawali ketika batasan-batasan yang ada dalam sebuah sistem atau budaya mengalami pelenturan, sehingga kejelasan dan ketegasan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan atau tidak dapat dilakukan mengalami pengaburan, yang pada akhirnya menghasilkan suatu ruang baru. Suatu sistem tersendiri yang
‘Hibrid’, di mana menurut Bhabha merupakan metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Dalam hibriditas, biasanya identitas lama tidak begitu saja menghilang, meskipun identitas budaya baru akan kuat mempengaruhi. Di sinilah kemudian terjadi apa yang disebut oleh Bhaba sebagai ambiguitas identitas yang membawa seseorang dalam posisi ‘in-between’ alias “di tengah-tengah”. Hal inilah yang kemudian disebut oleh Bhaba bahwa hibriditas merupakan taktik dan strategi kebudayaan, di mana produk budaya hibrid senantiasa menghindari segala macam kategorisasi biner, pendatang versus pribumi, kapitalisme versus sosialisme, di mana pada akhirnya produk budaya hibrid akan menempati apa yang disebut ruang ketiga dalam setiap kategori biner.
Bhaba menambahkan bahwa postkolonialitas bukan hanya menciptakan budaya atau praktek hibridasi, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru bagi sekelompok orang dalam relasi sosial dan politik mereka (Bhaba, 1994:113-114). Namun, hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi hibriditas, dapat diterima sebagai suatu alat untuk memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabilisasi temporer kategori budaya (Barker, 2005:210).
Terminologi dunia ketiga dan dunia pertama juga menjadi dua kata kunci dalam teori hibriditas Bhabha. Bhabha menemukan “mimikri” sebagai bukti bahwa yang terjajah tidak melulu diam, karena mereka memiliki kuasa untuk
melawan. Konsep “mimikri” digunakan untuk menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Hal ini terjadi karena mimikri mengindikasikan makna yang tidak tepat dan juga salah tempat. Ia adalah imitasi sekaligus subversi. Dengan demikian, mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegaskan dominasinya. Dari mimikri inilah terlihat bahwa ia adalah dasar sebuah identitas yang hibrid (httpwww.catatankecilsosiologi.blogspot.commooregilberttentanghomikbhabha .html).
Menurut Bhabha, (l994: 86) mimikri adalah suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (as subject of a difference, that is almost the same, but not quite). Konsep mimikri Bhabha ini mengandung ambivalensi karena di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah, sedangkan mereka juga ingin mempertahankan perbedaannya. Mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan, yakni perbedaan tersebut merupakan proses pengingkaran. Ambivalensi mimikri terlihat dalam tatanan berikut ini, pertama, mimikri adalah suatu strategi yang rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan ‘sang lain’ sebagai visualisasi kekuatannya. Kedua, mimikri juga merupakan ketidakcocokan, sebuah perbedaan atau perlawanan yang melekat Menurut Bhabha, (l994: 86) mimikri adalah suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (as subject of a difference, that is almost the same, but not quite). Konsep mimikri Bhabha ini mengandung ambivalensi karena di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah, sedangkan mereka juga ingin mempertahankan perbedaannya. Mimikri muncul sebagai representasi dari perbedaan, yakni perbedaan tersebut merupakan proses pengingkaran. Ambivalensi mimikri terlihat dalam tatanan berikut ini, pertama, mimikri adalah suatu strategi yang rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan ‘sang lain’ sebagai visualisasi kekuatannya. Kedua, mimikri juga merupakan ketidakcocokan, sebuah perbedaan atau perlawanan yang melekat
Dikaitkan dengan tema penelitian, prilaku mimikri etnis Tionghoa di Desa Pupuan, tampak pada berbagai hal, seperti upacara agama, tradisi, kehidupan sosial, maka teori ini menjadi relevan untuk menganalisis perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
2.3.2 Teori Hegemoni
Hegemoni, dalam pengertian tradisionalnya diartikan sebagai sistem kekuasaan atau dominasi politik. Istilah tersebut, dalam tradisi Marxisme, diperluas ke arah pengertian hubungan kekuasaan diantara kelas-kelas sosial, khususnya kelas berkuasa (ruling class) (Piliang, 2010:71).
Hegemoni, kemudian dikembangkan oleh Gramsci. Menurutnya hegemoni merupakan kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh kelas penguasa (Ritzer, 2010:300). Selain itu, hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan mempergunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Menurut Gramsci, dominasi kekuasaan diperjuangkan, disamping lewat kekuatan senjata, juga lewat penerimaan publik, yaitu ide masyarakat berkuasa oleh masyarakat luas yang diekspresikan melalui apa yang disebut opini publik. Prinsip hegemoni dengan demikian dibangun di atas sebuah landasan demokrasi yang terbentuk antara kelompok berkuasa dengan kelompok yang dikuasai sehingga apa yang Hegemoni, kemudian dikembangkan oleh Gramsci. Menurutnya hegemoni merupakan kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh kelas penguasa (Ritzer, 2010:300). Selain itu, hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan mempergunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Menurut Gramsci, dominasi kekuasaan diperjuangkan, disamping lewat kekuatan senjata, juga lewat penerimaan publik, yaitu ide masyarakat berkuasa oleh masyarakat luas yang diekspresikan melalui apa yang disebut opini publik. Prinsip hegemoni dengan demikian dibangun di atas sebuah landasan demokrasi yang terbentuk antara kelompok berkuasa dengan kelompok yang dikuasai sehingga apa yang
Hegemoni juga dapat dipahami dalam konteks strategi di mana pandangan dunia dan kekuasaan kelompok sosial panutan (apakah mereka berupa kelas, seks, etnis atau nasionalitas) dipelihara. Namun ini harus dilihat dalam konteks relasional dan secara inheren tidak stabil. Hegemoni adalah tempat tinggal sementara dan serangkaian aliansi antar kelompok sosial yang dimenangkan dan tidak diberikan. Lebih jauh dia perlu terus menerus dimenangkan lagi, dinegosiasikan ulang, sehingga kebudayaan menjadi lahan konflik dan perjuangan mencapai makna. Hegemoni bukanlah suatu entitas statis melainkan serangkaian diskursus dan praktik yang terus berubah yang secara intrinsik menyatu dengan kekuatan sosial.
Karena hegemoni harus terus-menerus diciptakan dan dimenangkan, dia membuka kemungkinan bagi adanya tantangan atasnya, yaitu penciptaan blok kontra hegemoni dari kelompok dan kelas subordinat. Bagi Gramsci, perjuangan kontra hegemoni harus mendapat dukungan di dalam masyarakat sipil (afiliasi di luar batas-batas formal kekuasaan negara termasuk keluarga, pers, aktivitas waktu senggang) sebelum berbagai upaya dilakukan terhadap kekuasaan negara. Gramsci membedakan ’perang posisi’ yang merupakan kemenangan hegemoni di Karena hegemoni harus terus-menerus diciptakan dan dimenangkan, dia membuka kemungkinan bagi adanya tantangan atasnya, yaitu penciptaan blok kontra hegemoni dari kelompok dan kelas subordinat. Bagi Gramsci, perjuangan kontra hegemoni harus mendapat dukungan di dalam masyarakat sipil (afiliasi di luar batas-batas formal kekuasaan negara termasuk keluarga, pers, aktivitas waktu senggang) sebelum berbagai upaya dilakukan terhadap kekuasaan negara. Gramsci membedakan ’perang posisi’ yang merupakan kemenangan hegemoni di
Dikaitkan dengan tema penelitian, di mana hegemoni mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, maka teori ini menjadi relevan untuk menganalisis perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan.
2.3.3 Teori Praktik
Teori praktik dikembangkan oleh Pierre Bourdieu, seorang ilmuan sosial politik Prancis kelahiran Denguin Pyrenia Atlantik (Haryatmoko, 2003:6-7). Bourdieu menyatakan teori praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Teori praktik merupakan gagasan pemikiran Bourdieu sebagai produk dari relasi habitus sebagai produk sejarah, dan ranah yang juga produk sejarah, yang mana dalam ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang banyak memiliki modal, serta orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi dari kekuatan, sesuatu kekuatan sepesifik yang beroperasi dalam ranah (Takwin, dalam Harker dkk.ed, 2009:xx).
Secara sederhana, habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, tetapi Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003:9) menyatakan bahwa habitus merupakan ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkannya menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus Secara sederhana, habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, tetapi Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003:9) menyatakan bahwa habitus merupakan ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkannya menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus
Konsep habitus itu sendiri tidak bisa dilepaskan dengan ranah. Dua konsep itu sangat terikat satu sama lain dikarenakan saling mengandaikan hubungan dua arah: struktur-struktur objektif (struktur-struktur bidang sosia) dan struktur- struktur habitus yang terintegrasi pada pelaku (Bourdieu dalam Hardyatmoko, 2003:11). Konsepsi ranah yang dipergunakan Bourdieu hendaknya tidak dipandang sebagai ranah yang berpagar disekelilingnya, melainkan sebagai ranah kekuatan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk melihat ranah tersebut sebagai dinamis, suatu ranah di mana beragam potensi eksis (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 9-10). Ranah selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat diantara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi objektif yang terdapat diantara titik-titik simbolik. Struktur ranah, di definisikan pada suatu momen tertentu oleh keseimbangan antara titik-titik ini dan antara modal yang terbagi-bagi (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 10-11).
Konsep ranah ini menjadi sangat menentukan dikarenakan dalam masyarakat sangat terdiferesiasi dalam lingkup-lingkup hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa direduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Namun pada dasarnya dalam setiap masyarakat, ada yang menguasai dan dikuasai, di mana dalam pembedaan ini, terletak prinsip dasar Konsep ranah ini menjadi sangat menentukan dikarenakan dalam masyarakat sangat terdiferesiasi dalam lingkup-lingkup hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa direduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Namun pada dasarnya dalam setiap masyarakat, ada yang menguasai dan dikuasai, di mana dalam pembedaan ini, terletak prinsip dasar
Modal menurut Bourdieu merupakan hubungan sosial yang artinya suatu energi sosial hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di mana ia memproduksi dan diproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas menerima nilainya dan efektivitasnya dari hukum-hukum khas setiap arena: dalam praktik artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif (kekayaan ekonomi atau budaya) (Hardyatmoko, 2003:11).
Bourdieu menyatakan ada tiga macam modal, yaitu modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh, kode-kode budaya, etika, yang berperan dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi. Sedangkan modal sosial termasuk hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial (Hardyatmoko, 2003:12). Fukuyama, juga secara sederhana mengartikan modal sosial sebagai rangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka (Fukuyama, 2002:22-26). Modal sosial yang ada merupakan cerminan hasil interaksi sosial dalam waktu yang relatif lama sehingga menghasilkan Bourdieu menyatakan ada tiga macam modal, yaitu modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh, kode-kode budaya, etika, yang berperan dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi. Sedangkan modal sosial termasuk hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial (Hardyatmoko, 2003:12). Fukuyama, juga secara sederhana mengartikan modal sosial sebagai rangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka (Fukuyama, 2002:22-26). Modal sosial yang ada merupakan cerminan hasil interaksi sosial dalam waktu yang relatif lama sehingga menghasilkan
Modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut dapat memiliki arti. Keterkaitan antara ranah, modal dan habitus bersifat langsung. Nilai yang diberikan oleh modal dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan cultural habitus. Ranah dikitari oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material. Jenis-jenis modal yang dikenali dalam ranah-ranah tertentu dan yang digabungkan ke dalam habitus sebagian juga dihasilkan oleh basis material tersebut. Lazimnya, jumlah modal sebagaimana struktur modal tambahan juga merupakan dimensi penting dalam ranah (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 15).
Teori praktik dari Bourdieu ini akan dipergunakan untuk menganalisis rumusan masalah yang kedua, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, sekaligus untuk menganalisis implikasi dan makna perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan.