Adanya Kesamaan Nilai Budaya antara Etnis Bali dan Etnis Tionghoa
6.1. Adanya Kesamaan Nilai Budaya antara Etnis Bali dan Etnis Tionghoa
Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa adalah adanya kesamaan nilai budaya. Adanya kesamaan-kesamaan nilai budaya merupakan sebuah modal budaya yang menjadikan proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa menjadi identitas budaya baru yang bersifat hibrid di Desa Pupuan berlangsung secara damai.
Budaya Bali dan budaya Tionghoa adalah dua kebudayaan yang telah saling mempengaruhi selama ratusan tahun. Jejak-jejak kebudayaan Tionghoa dalam budaya Bali terekam hampir dalam seluruh jejak kehidupan etnis Bali khususnya yang beragama Hindu. Penggunaan uang kepeng (pis bolong), dupa, patra China hanyalah sebagian kecil dari rekam jejak kebudayaan itu. Demikian juga sebaliknya, pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, jejak-jejak budaya etnis Bali juga terekam dengan jelas. Adanya Pelinggih Kemulan dengan bentuk dan fungsi yang sama dirumah warga etnis Tionghoa, penggunaan banten dalam ritual-ritual keagamaan dan tradisi adalah bukti sahih bagaimana budaya Bali mempengaruhi identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Adanya Budaya Bali dan budaya Tionghoa adalah dua kebudayaan yang telah saling mempengaruhi selama ratusan tahun. Jejak-jejak kebudayaan Tionghoa dalam budaya Bali terekam hampir dalam seluruh jejak kehidupan etnis Bali khususnya yang beragama Hindu. Penggunaan uang kepeng (pis bolong), dupa, patra China hanyalah sebagian kecil dari rekam jejak kebudayaan itu. Demikian juga sebaliknya, pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, jejak-jejak budaya etnis Bali juga terekam dengan jelas. Adanya Pelinggih Kemulan dengan bentuk dan fungsi yang sama dirumah warga etnis Tionghoa, penggunaan banten dalam ritual-ritual keagamaan dan tradisi adalah bukti sahih bagaimana budaya Bali mempengaruhi identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Adanya
Seperti yang diungkapkan oleh narasumber Dhama Joti Kassapa berikut
ini:
“Mengapa etnis Tionghoa bisa cepat sekali dekat dengan etnis Bali, hal itu dikarenakan adanya hubungan yang sudah lama, dan seperti yang diketahui bahwa banyak sekali budaya Bali mendapatkan pengaruh China, demikian juga, ketika orang Tionghoa tinggal di Bali, dia juga menyerap unsur-unsur budaya Bali, karena orang Tionghoa menganggap ada banyak sekali pandangan-pandangan yang sama antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali. Misalnya, bagaimana menghormati leluhur, bagaimana kita percaya dengan hukum karma dan bagaimana kita harus menghormati alam tempat kita tinggal. Inilah yang menyebabkan mengapa etnis Tionghoa di Bali cepat sekali menyerap unsur-unsur budaya Bali.”
Dari pendapat di atas bisa terungkap bahwa adanya kesamaan-kesamaan akan pandangan atau filosofi merupakan salah satu modal yang menyebabkan identitas budaya etnis Tionghoa bisa mengalami perubahan. Etnis Tionghoa secara garis besar menjalankan suatu filosofi dasar yang telah dilaksanakan selama ratusan tahun yakni harmoni, toleransi dan perikemanusiaan. Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem: antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga. Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Ini merupakan modal yang sangat berarti dalam perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan
Modal menurut Bourdieu merupakan hubungan sosial yang artinya suatu energi sosial hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di
mana ia memproduksi dan diproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas menerima nilainya dan efektifitasnya dari hukum-hukum khas setiap arena: dalam praktik artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif (kekayaan ekonomi atau budaya). Modal juga merupakan sebuah strategi investasi, di mana pada momen tertentu, modal dapat mewujud dalam sebuah realitas sosial, yang fungsinya bertahan lama dan menetukan peluang, keberhasilan suatu praktik. Karena modal merupakan “strategi investasi”, maka ia tidak datang tiba-tiba. Modal terbentuk melalui proses kerja akumulatif dan memiliki rentang waktu yang kadang sangat lama. Ia ekslusif pada ranah tertentu. Pada ranahnya yang tertentu itu, modal memiliki diferensiasi, hierarki, keistimewaan, yang memungkinkan berlangsungnya “konversi” dari modal satu ke modal yang lain. Di mana dalam pandangannya, Bourdieu menyatakan ada tiga macam modal, yaitu modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik.
Modal budaya itu sendiri merupakan pengetahuan yang diperoleh, kode- kode budaya, etika, yang berperan dalam penentuan dan reproduksi kedudukan- kedudukan sosial (Hardyatmoko, 2003:12). Sehingga etnis Tionghoa di Desa Pupuan bisa diterima dengan baik oleh etnis lainnya di Desa Pupuan. Adanya pengaruh budaya Tionghoa dalam budaya Bali, dan banyaknya persamaan filosofi antara etnis Bali dan etnis Tionghoa, semisal dalam memandang leluhur, merupakan modal budaya yang sangat kuat. Selain itu filosofi etnis Tionghoa yang mengutamakan keharmonisan, toleransi dan perikemanusiaan juga merupakan termasuk modal budaya.
Adanya kesamaan-kesamaan antara nilai budaya Etnis Tionghoa dengan etnis Bali yang juga merupakan modal budaya terlihat pada:
6.1.1. Masalah Mengenai Hakekat Hidup
Hakekat hidup etnis Tionghoa di Desa Pupuan, memiliki kesamaan dengan hakekat hidup etnis Tionghoa di daerah lainnya, di mana hakekat hidup etnis Tionghoa banyak sekali dipengaruhi oleh pandangan pandangan ajaran Buddha, Tao maupun Konfusius.
Dalam ajaran Budha, hakekat hidup manusia adalah dukkha yang diterjemahkan sebagai ketidakpuasan, yang bersumber dari keinginan rendah (tanha) dan untuk membebaskan diri dari penderitaan, dan menuju tujuan hidup umat Buddha yakni nibana maka manusia haruslah mengurangi segala godaan keduniawian.
Selain itu ada juga pandangan filosofi lain dari etnis Tionghoa yang menyatakan bahwa sempurna adalah orang yang arif bijaksana dalam melakukan hubungan sosial masyarakat. Aliran filosofi ini diajarkan oleh Konfusius yang banyak menjelaskan tentang hubungan antara sesama manusia.
Jadi meskipun hidup dikatakan penuh dengan dukha dan godaan keduniawian, namun manusia diberikan alternatif yang lebih optimistis untuk menyingkirkan kesengsaraan itu, yakni dengan menjalin hubungan atara sesama manusia. Ajaran ini dapat dilihat pada ajaran Konfusius tentang jen maupun chun- tzu.
Demikian pula dalam ajaran Budha mengenai kebesaran utama, yakni yang pertama disebutkan hidup itu adalah dukha yang disebabkan oleh tanha atau keinginan untuk mementingkan diri sendiri. Maka dicarilah cara menganggulangi sikap mementingkan diri sendiri itu, yaitu melalui delapan jalan. Pengertian benar (sammä-ditthi), pikiran benar (sammä-sankappa), ucapan benar (sammä-väcä), perbuatan benar (sammä-kammanta), pencaharian benar (sammä-ajiva), daya- upaya benar (sammä-väyäma), perhatian benar (sammä-sati), konsentrasi benar (sammä-samädhi)
Dukha juga bisa berasal dari Kamma seseorang, karena itu Budha juga mengajarkan Kamma (bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sansekerta) artinya perbuatan. Kamma atau Karma adalah suatu perbuatan yang dapat membuahkan hasil, di mana perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan dan sebaliknya perbuatan jahat juga akan menghasilkan penderitaan atau kesedihan bagi pembuatnya. Semua perbuatan yang dilakukan atau disertai dengan kehendak berbuat (cetena) merupakan Kamma. Kehendak dapat berarti keinginan, kemauan, kesengajaan atau adannya rencana berbuat.
Sang Budha bersabda: “O, Bhikkhu! Kehendak berbuat (cetena) itulah yang kami namakan Kamma.” (Anguttara Nikaya III : 415). Semua perbuatan akan menimbulkan akibat dan semua akibat akan menimbulkan hasil perbuatan. Akibat perbuatan disebut kamma-vipaka, dan hasil perbuatan disebut kamma- phala. Jadi Hukum Karma adalah hukum perbuatan yang akan menimbulkan akibat dan hasil perbuatan (kamma-vipaka dan kamma-phala), Hukum kamma bersifat mengikuti setiap Kamma, mutlak-pasti dan harmonis-adil (anonym.
http:artikelbuddhist.com201105hukum-karma.html. diakses 17 september 2012).
Jadi pada diri etnis Tionghoa, baik melaui pengaruh filsafat Konfusius maupun filsafat Budha dapat dikatakan bahwa hakekat hidup itu adalah dukha, tetapi manusia dapat bertekad untuk membebaskan diri dengan menjalankan jalan mulia berunsur delapan maupun kesempurnaan hubungan sosial untuk mencapai tujuan akhir yakni nibbana.
Sedangkan hakekat hidup etnis Bali bersumber dari ajaran-ajaran Hindu. Dalam ajaran Hindu terdapat tiga kerangka dasar yang membentuk ajaran agama Hindu, ketiga kerangka tersebut sering juga disebut tiga aspek agama Hindu. Ketiga kerangka dasar itu antara lain :Tattwa, pengetahuan tentang filsafat agama;Susila, pengetahuan tentang sopan santun, tata karma dan Upacara, yaitu pengetahuan tentang yajna, upacara agama. Pada ajaran Tattwa di dalamnya diajarkan tentang “ Sradha “ atau kepercayaan. Sradha dalam agama Hindu jumlahnya ada lima yang disebut “ Panca Sradha “. Yang terdiri dari :
1. Brahman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi
2. Atman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman
3. Karma, artinya percaya akan adanya hukum karma phala
4. Samsara, artinya percaya akan adanya kelahiran kembali
5. Moksa, artinya percaya akan adanya kebahagiaan lahir batin.
Moksa dalah tujuan terakhir yang ingin dicapai oleh agama Hindu, yang berarti kebebasan. Kamoksan berarti kebebasan yaitu bebas dari pengaruh ikatan duniawi, bebas dari karma phala, bebas dari samsara, dan lenyap dalam Moksa dalah tujuan terakhir yang ingin dicapai oleh agama Hindu, yang berarti kebebasan. Kamoksan berarti kebebasan yaitu bebas dari pengaruh ikatan duniawi, bebas dari karma phala, bebas dari samsara, dan lenyap dalam
Moksa sebagai tujuan akhir dapat dicapai melalui empat jalan yang disebut Catur Marga yang terdiri dari :
a. Bhakti Marga ( jalan Bhakti )
b. Karma Marga ( jalan Perbuatan )
c. Jnana Marga ( jalan Ilmu Pengetahuan )
d. Raja Marga ( jalan Yoga )
Dari dua pandangan di atas, bisa dicermati bahwa tujuan agama Hindu adalah moksa, dan tujuan agama Buddha adalah nibbana, di mana keduanya memiliki jalan masing-masing. Walaupun jalannya berbeda namanya, akan tetapi tujuaannya sama yakni pembebasan menuju kebahagiaan lahir dan bathin. Dalam menjalankannya, baik yang beragama Hindu maupun Buddha, sangat mempercayai akan hukum KarmaKamma, seperti yang diungkapkan oleh, Ketut Anto:
“Kedekatan hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali sampai sekarang ini, salah satunya karena sama-sama percaya dengan hukum karma, karena itu orang Tionghoa dan orang Bali takut untuk berbuat yang jelek-jelek karena takut kedepannya seperti apa, kan kita tidak tahu.”
Dari pandangan di atas, diketahui bahwa terdapat persamaan-persamaan antara hakekat hidup etnis Tionghoa dengan hakekat hidup etnis Bali yang mayoritas mendiami Desa Pupuan. Hakekat hidup adalah sesuatu yang paling dasar dalam kehidupan manusia, tanpa adanya hakekat hidup, manusia tidak akan bisa menjalankan hidupnya sebagai manusia tanpa adanya tujuan.
6.1.2. Masalah Mengenai Hubungan Manusia dengan Alam
Hubungan manusia dengan alam, dapat dilihat pada ajaran Taosime yang mengagung-agungkan alam semesta. Dalam ajaran Tao, manusia diajak untuk menata hidupnya agar selaras dengan cara bekerja alam semesta, salah satunya dengan memilih jalan kesederhanaan, mencontoh sifat air yang selalu memilih tempat rendah yang terlemah dari semua benda, tetapi dapat menembus batu- batuan. Sifat air yang lemah ini sanggup menampung segala-galanya, baik yang bersih maupun yang kotor.
Pengertian Tao memiliki makna transenden maupun imamen. Makna transenden menunjuk pada jalan dari kenyataan terakhir, di mana menjadi dasar dari semua yang ada dan dapat diketahui hanya melalui kenyataan yang mistis. Disinilah kemudian muncul semboyan Tao “mereka yang mengetahui tidak akan bicara sedangkan mereka yang bicara tidak mengetahui”. Tao yang bermakna transenden ini menunjukkan pada kekuatan alam semesta yang menjadi sumber dan akhir dari semua yang ada.
Tao yang mengandung makna imamen merupakan jalan alam semesta sebagai kaidah, irama dan kekuatan pandang dalam seluruh alam semesta. Tao dalam makna ini mengambil wujud fana dan memberi tahu segala sesuatu. Ia menyesuaikan hakekatnya pada setiap manusia dan mendorong seseorang mendekati menuju jalan dari kenyataan yang terakhir. Dengan demikian, pada etnis Tionghoa juga dikenal kehidupan yang selaras dengan alam semesta dan dihubungkannnya dengan dunia mistis yang berkaitan dengan religio magi (Hariyono, 1994:39-40). Hal ini kemudian yang menjadi landasan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan, mampu menyatu dengan lingkungan alam di Desa Pupuan. Hidup yang selaras, seimbang sama dengan lingkungan lainnya, menjadikan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya.
Sedangkan pada etnis Bali masalah keharmonisan ini sangat erat kaitannya dengan filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana, memiliki arti tiga penyebab keharmonisan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup, yang terdiri dari:
1. Parahyangan (hubungan baik antara Sang Maha Pencipta dan mahluk ciptaannya).
2. Pawongan (hubungan baik antara manusia dengan manusia).
3. Palemahan (hubungan baik antara manusia dengan lingkungan).
Konsep Tri Hita Karana bersifat universal dan mendorong manusia untuk mendapatkan keseimbangan hidup lewat membina hubungan yang baik di ketiga aspek kehidupan. Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang diberikan kelebihan dalam berpikir, yang membedakannya dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya.
Merupakan kewajiban yang harus ditaati secara tulus ikhlas untuk selalu menjaga ‘hubungan baik’ dengan Sang Pencipta lewat bersyukur, berdoa, bersembahyang dan jalan lainnya dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Salah satu bentuk rasa syukur dan taat kepada pencipta adalah lewat membina hubungan baik dengan makhluk Tuhan lainnya, yang dalam konteks ini adalah manusia. Manusia adalah makhluk sosial yang dengan masing-masing keterbatasannya memerlukan orang lain dalam hidupnya. Sangat penting untuk menjaga hubungan baik dengan sesama kita karena dengan begitu banyak kemudahan yang akan kita dapatkan di kehidupan ini. Sudah seharusnya sesama manusia harus bisa hidup rukun, saling membantu serta meringankan beban sesama,saling menjaga dan saling mengingatkan. Tidak cukup sampai di situ, tidak kalah pentingnya bagi kita untuk membina hubungan baik dengan lingkungan kita yang dalam Bali disebut palemahan. Jika kita membina hubungan baik dengan lingkungan dalam hal ini menjaga kelestarian alam sekitar,maka alam juga akan menjaga kita. Namun apabila kita tidak menjaga alam dengan baik seperti contoh menebang hutan secara terus-menerus, mengeruk segala isinya secara berlebihan, maka cepat atau lambat lingkungan akan angkat bicara. Maka, hubungan baik dengan ketiga aspek, ketuhanan, kemanusiaan dan lingkungan harus ditanamkan dalam diri kita masing-masing, sehingga keharmonisan, kesejahteraan, keseimbangan, serta kebahagiaan hidup dapat kita capai.
Filosofi Tri Hita Karana menjadi dasar hubungan masyarakat etnis Bali dengan etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yang sama-sama ingin mencari keharmonisan dalam hidup khususnya dengan alam semesta. Apalagi kemudian, Filosofi Tri Hita Karana menjadi dasar hubungan masyarakat etnis Bali dengan etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yang sama-sama ingin mencari keharmonisan dalam hidup khususnya dengan alam semesta. Apalagi kemudian,
6.1.3. Masalah Mengenai Persepsi Manusia tentang Waktu
Pada dasarnya etnis Tionghoa memiliki filosofi waktu tentang kekinian, akan tetapi terkadang mereka juga memiliki filosofi waktu tentang masa lalu. Konfusius seorang filosof Tionghoa juga memberikan penghormatan pada masa lalu. Bahkan, ajaran Konfusius sendiri bersumber pada sejarah masa lampau yang disebut dengan zaman keselarasan agung yang pernah dialami oleh China, di mana pada masa itu tradisilah yang menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat pada masa itu. Tradisi yang diciptakan dengan baik akan menciptakan manusia yang baik juga.
Selain itu, etnis Tionghoa juga memiliki pandangan waktu ke masa yang akan datang, misalnya dalam bekerja, etnis Tionghoa lebih berani untuk mengorbankan atau mengubah sesuatu demi kelangsungan di masa yang akan datang, meskipun itu tampak suatu gambling sekalipun.
Etnis Bali juga memiliki konsep Tri Semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang.
Dalam ajaran hukum karma phala yang dipercayai oleh etnis Tionghoa maupun etnis Bali disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Adanya kesamaan filosofi dalam memandang hakekat hidup, hubungan manusia dengan alam dan persepsi mengenai waktu merupakan modal budaya yang menjadi prasyarat untuk mengakumulasi modal yang lain. Sebab modal budaya merupakan hasil dari proses akumulasi yang panjang dan memiliki konsekuensi historis yang sulit dihindari.