PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BU

TESIS PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN I PUTU PUTRA KUSUMA YUDHA NIM 1090 2610 18 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN

  Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya,

  Program Pascasarjana Universitas Udayana

I PUTU PUTRA KUSUMA YUDHA

  NIM 1090 2610 18

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

  Lembar Pengesahan

  TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 27 Januari 2014

  Pembimbing I,

  Pembimbing II,

  Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A

  Dr. Putu Sukardja, M.Si

  Ketua Program Magister Kajian

  Direktur Program Pascasarjana

  Budaya Program Pascasarjana

  Universitas Udayana

  Universitas Udayana,

  Dr. I Gusti Ketut Gede Arsana.,M.Si

  Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

  NIP. 195208151981031004

  NIP 19590215 198510 2 001

  Lembar Penetapan Panitia Penguji

  Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 27 Januari 2014

  Panitia Penguji Tesis Berdasaran SK Rektor

  Universitas Udayana, No.: 0127WH.14.4HK2014, Tanggal 24 Januari 2014

  Ketua: Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A .

  Anggota:

  1. Dr. Putu Sukardja, M.Si

  2. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S

  3. Prof. Dr. I Gde Semadi Astra

  4. Dr. I Wayan Redig

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

  NAMA

  : I PUTU PUTRA KUSUMA YUDHA

  NIM

PROGRAM STUDI : MAGISTER KAJIAN BUDAYA JUDUL TESIS : “PERUBAHAN IDENTITAS BUDAYA ETNIS TIONGHOA DI DESA PUPUAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN”

  Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.

  Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Kemendiknas RI No. 17 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

  Denpasar, 27 Januari 2014

  I Putu Putra Kusuma Yudha

UCAPAN TERIMA KASIH

  Om Swastiastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang

  Maha Esa, karena atas rahmat dan karuniaNya telah memberikan kesehatan dan hikmah sehingga penulisan tesis dengan judul “Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis disusun untuk memperoleh gelar Magister, Program Studi Kajian Budaya, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana.

  Terselesaikannya tesis ini tentunya tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara moriil maupun materiil. Pada kesempatan kali ini perkenankanlah penulis terima kasih kepada yang terhormat Bapak Rektor dan Ibu Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah menerima penulis sebagai karya siswa Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, dan sekaligus memberikan kemudahan-kemudahan dalam proses penyelesaian masa studi. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis berikan kepada Bapak Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A. sebagai pembimbing I dan Bapak Dr. Putu Sukardja, M.Si sebagai pembimbing II yang penuh perhatian telah memberikan, bimbingan, tuntunan, dan saran selama penulis menyelesaikan tesis ini.

  Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S Prof. Dr. I Gde Semadi Astra, dan Dr. I Wayan Redig selaku penguji yang telah banyak memberikan saran, masukan dan koreksi demi kesempurnaan tesis ini.

  Kepada semua dosen pengajar yang telah bersedia membagi begitu banyak pengetahuan dan pengalaman yang sangat berguna bagi penulis dan seluruh staf yang bertugas di sekretariat Kajian Budaya di kampus Nias I Wayan Sukaryawan, Ni Luh Witari, Ketut Budiarsa, Ni Wayan Ariati, Agung Indrawati, Cok Istri Putra Muniarti, I Nyoman Candra, dan Made Gria, terima kasih atas bantuan dalam hal administrasi serta dukungan moral kepada penulis. Juga kepada Dr. I Nyoman Dhana, M. A yang banyak memberikan saran kepada penulis dan juga dukungan berupa buku-buku mengenai etnis Tionghoa, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

  Kepada Bapak Drs. I Made Purna M. Si selaku Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Badung, Bali NTB NTT dan Bapak I Made Dharma Suteja, S.S, M. Si, tempat penulis bekerja dan mengamalkan ilmu, penulis ucapkan terima kasih atas izin belajar yang diberikan serta dukungan penuh hingga tesis ini bisa selesai dengan baik. Begitu juga dengan teman-teman di BPNB, yang seringkali penulis repotkan, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

  Kepada seluruh narasumber, I Ketut Anto Wijaya, I Ketut Aryawan, I Ketut Ananda Kusuma, I Nyoman Raka, I Made Selamet, Dhamma Joti Kassapa, Ir. Wayan Sudarsana, Drs. I Wayan Suantika, I Wayan Sugawa dan kawan-kawan di dunia maya yang tergabung dalam komunitas Budaya Tionghoa yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

  Akhirnya rasa hutang budi dan terima kasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada bapak (Drs. I Made Paria), ibu (Dra. I Gusti Ayu Putu Kartini), istri (Desak Komang Dewi Adnyani), putra tercinta (I Putu Bagus Purushottama Yudha) dan saudari (Made Putri Kusuma Ningrat) serta kawan-kawan (Nadi, Inggit, Didik, Kadek Hery

  Cuplesh, Devi, Taufik, Sukarma, Bli Mawan, Dewa Made Oka Dwi Putra, Bayu Tilem) dan pasukan BPNB (Pak Satya, Pak Suca, Mbok Ayu Heni, Bli Gus Sugianto, Mas Bambang, dll) yang tidak bisa disebutkan satu persatu), yang telah dengan setia dan tulus ikhlas mengorbankan segala-galanya demi selesainya tesis ini.

  Penulis dalam hal ini menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi kebaikan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

  Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan rahmat-Nya bagi umat yang berhati mulia

  Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

  Denpasar, 29 Januari 2014

  Penulis

ABSTRAK

  Mengacu pada pandangan cultural studies, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar representasi atau akulturasi budaya. Identitas seseorang atau suatu kelompok kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan. Fenomena perubahan identitas ini terlihat pada identitas etnis Tionghoa yang terdapat di Desa Pupuan. Jika dilihat dari sejarah etnis Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan, kehidupan etnis Tionghoa mengalami pasang surut yang diakibatkan oleh kondisi budaya sosial politik dalam dan luar negeri Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia, selalu menjadikan etnis Tionghoa pada posisi yang tidak menentu, dan cenderung menjadi korban atas situasi sosial politik Indonesia yang selalu bergejolak. Hal ini kemudian, yang menyebabkan etnis Tionghoa selalu dihadapkan pada kondisi- kondisi yang sulit yang mempengaruhi eksistensinya sebagai sebuah etnis. Berdasarkan problematik latar belakang di atas, ada tiga rumusan pokok yang dikaji, sebagai berikut, (1). Bagaimana munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (2). Faktor apa yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (3). Apa implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan?

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, untuk memahami faktor yang mempengaruhi perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, untuk menginterpretasi implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yakni data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen. Teori yang dipergunakan adalah teori hibriditas, teori hegemoni, dan teori praktik.

  Hasil penelitian ini, dapat diuraikan sebagai berikut, pertama perubahan identitas budaya etnis Tionghoa sangat terlihat pada, perubahan agama dan kepercayaan, perubahan bahasa dan perubahan nama. Kedua faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah adanya kesamaankemiripan-kemiripan nilai budaya antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa, adanya faktor sosial ekonomi, adanya tekanan politik dari pemerintah dan hubungan Indonesia dengan China. Ketiga, adanya perubahan identitas budaya ini tentunya membawa implikasi bagi etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Implikasi yang timbul pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, muncul secara sosial (kolektif) maupun secara individual, kedua dampak ini ditanggapi secara berbeda oleh masing-masing individu. Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa ini juga mengandung makna harmonisasi dan asimilasi serta makna ekonomi.

  Kata kunci: perubahan, identitas budaya, etnis tionghoa

ABSTRACT

  Acording to cultural studies view, identity is fully one of the social culture construction. There is no identity that can exist outside of representatitio of culture or aculturation culture. Identity from some one or group then become susceptible to the change that happend arund it, such as the existence of domination, minority, or the existence of hegemony from the administrator that make the identity changed. This phenomenon is happend by Tionghoa etnic in Pupuan Villages. If we looked aboard from Tionghoa etnic history in Indonesia, their life axperience was raise and fall caused by the culture social political situation inside and out side Indonesia. Acording Indonesian history Tionghoa etnic always have a difficult position and always incleaned as a victim from Indonesian social politic slap situation. This make them always face a difficult situantions that influence their existance as an etnic. Acording that problematic background there are three problems that disccuse in this study such as, 1. How the indentity changes in Tionghoa etnic in pupuan happend? 2. What factor that influence the Tionghoa etnict identity changes in Pupuan Village? 3. What the implication and the meaning from the identity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village?

  The objective from this study are to know the identity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village, to understand the factor that influence the indentity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village, to intrepretation the implication and the meaning from the identity changes of Tionghoa etnic in Pupuan Village. The method that used in this study is kualitatif method, where the data collected by observation, interview, and document study. The theory that used in this study are hybridity theory, hegemony theory, and practical theory.

  The result from this study are explain bellow first cultural identity changes of Tionghoa etnic is seen in the changes of religion and belived, changes of language and change of name, second, the factors the influence the changes are the same of cultural vallue between Balinese etnic and Tionghoa etnic, social economic factors, the political presure from Indonesia administrators,and the realtionship between Indonesia and China. Third, the exintence of cultural identity changes alson bring an implication to tionghoa etnic in pupuan village. The implication that happend in them is rise colectifities or individual, both of this impac are get a different reaction by each individuals. Cultural Identity changes of tionghoa etnic also contain harmonisation and asimilation meaning and also economic meaning.

  Keywords: changes, cultural identity, etnic tionghoa

RINGKASAN THESIS

  Pandangan cultural studies menyatakan bahwa identitas dan subjektifitas sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan begitu saja. Subjektifitas adalah menyangkut diri (identitas pribadi) seseorang, di dalamnya tercakup perasaan, emosi, hasrat dan kemauan seseorang. Subjektifitas juga berkaitan dengan kesadaran (concious) dan ketidaksadaran (unconscious) seseorang. Chris Barker kemudian menegaskan, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar representasi atau akulturasi budaya (Barker, 2005:170-171). Identitas inilah kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan. Berdasarkan problematik latar belakang di atas, ada tiga rumusan pokok yang dikaji, sebagai berikut : (1). Bagaimana munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (2). Faktor apa yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan? (3). Apa implikasi dan makna eksistensi identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan?

  Konsep yang terkandung dalam penelitian ini adalah: (1) Perubahan, (2) Identitas Budaya, (3) Etnis Tionghoa. Perubahan adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu dimana, konsep dasar dari perubahan mencakup tiga gagasan: perbedaan, pada waktu yang berbeda dan diantara sistem sosial yang sama (Sztomka, 2007:5). Identitas budaya adalah suatu jati diri sebuah komunitas ‘Tionghoa’ yang tidak dibawa dari lahir dan terus mengalami perubahan, baik itu pengaruh unsur-unsur budaya luar yang mutual maupun pengaruh sejarah dan kekuasaan. Hal ini, sejalan dengan pandangan Bhaba dan Hall yang menyatakan bahwa identitas budaya bukan merupakan identitas yang dibawa semenjak lahir dan akan mengalami perubahan terus menerus dan perubahan ini akan terkait dengan relasi interaksi budaya, sosial, kekuasaan, politik dan sejarah masa lalu. Etnis Tionghoa adalah kelompok sosial dalam sistem sosial yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktek budaya yang berasal dari China yang telah lama terintegrasi ke dalam bangsa Indonesia. Dengan melihat ketiga konsep tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa adalah Konsep yang terkandung dalam penelitian ini adalah: (1) Perubahan, (2) Identitas Budaya, (3) Etnis Tionghoa. Perubahan adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu dimana, konsep dasar dari perubahan mencakup tiga gagasan: perbedaan, pada waktu yang berbeda dan diantara sistem sosial yang sama (Sztomka, 2007:5). Identitas budaya adalah suatu jati diri sebuah komunitas ‘Tionghoa’ yang tidak dibawa dari lahir dan terus mengalami perubahan, baik itu pengaruh unsur-unsur budaya luar yang mutual maupun pengaruh sejarah dan kekuasaan. Hal ini, sejalan dengan pandangan Bhaba dan Hall yang menyatakan bahwa identitas budaya bukan merupakan identitas yang dibawa semenjak lahir dan akan mengalami perubahan terus menerus dan perubahan ini akan terkait dengan relasi interaksi budaya, sosial, kekuasaan, politik dan sejarah masa lalu. Etnis Tionghoa adalah kelompok sosial dalam sistem sosial yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol dan praktek budaya yang berasal dari China yang telah lama terintegrasi ke dalam bangsa Indonesia. Dengan melihat ketiga konsep tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa adalah

  Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berparadigma kritits dengan mempergunakan pendekatan kajian budaya (cultural studies) yang bersifat kritis, interdisipliner dan multidimensional sebagai landasan berfikir. Sumber data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder.

  Data primer diperoleh dari informan dan objek yang diobservasi langsung di lapangan. Data primer penulis dapatkan dari wawancara langsung dengan Ketua Perkumpulan Suka Duka Etnis Tionghoa ‘Karang Semadi’ di Desa Pupuan, tetua etnis Tionghoa di Desa Pupuan, Bendesa Adat desa adat Pupuan, Kepala Desa Pupuan. Data primer juga didapatkan dari observasi langsung di lapangan untuk melihat bagaimana kehidupan sosial masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Sumber data sekunder berupa data yang diperoleh melalui studi pustaka seperti tesis, disertasi, buku dan artikel yang ada relevansinya dengan penelitian yang dilakukan. Data sekunder penulis dapatkan dari referensi buku-buku yang berkaitan dengan etnis Tionghoa, yang dijual bebas di toko-toko buku.

  Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul sejak awal. Analisis data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, ketegori dan uraian dasar. Proses analisis data sebenarnya sudah mulai sejak pengumpulan data dilakukan di lapangan dan dikerjakan secara intensif ketika sudah meninggalkan lapangan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan dengan interpretatif. Analisis deskriptif bertujuan membuat deskripsi, atau gambaran secara deskripsi secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antar fenomena yang diselidiki. Sedangkan analisis kualitatif adalah cara pendataan dengan klasifikasi kronologis yang mencakup jumlah keterangan yang menunjukkan keterkaitan yang sistematis. Hasil analisis data disajikan secara formal dan informal. Secara formal, hasil analisis data disajikan dengan mempergunakan bagan, tabel, gambar dan bentuk Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul sejak awal. Analisis data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, ketegori dan uraian dasar. Proses analisis data sebenarnya sudah mulai sejak pengumpulan data dilakukan di lapangan dan dikerjakan secara intensif ketika sudah meninggalkan lapangan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan dengan interpretatif. Analisis deskriptif bertujuan membuat deskripsi, atau gambaran secara deskripsi secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antar fenomena yang diselidiki. Sedangkan analisis kualitatif adalah cara pendataan dengan klasifikasi kronologis yang mencakup jumlah keterangan yang menunjukkan keterkaitan yang sistematis. Hasil analisis data disajikan secara formal dan informal. Secara formal, hasil analisis data disajikan dengan mempergunakan bagan, tabel, gambar dan bentuk

  Berdasarkan analisis yang dilakukan, dalam penelitian ini dapat dikemukakan tiga hal. Pertama perubahan identitas budaya etnis Tionghoa sangat terlihat pada:

  (1). Perubahan agama dan kepercayaan, dimana pada awal masuknya etnis Tionghoa agama yang dianut oleh etnis Tionghoa adalah agama-agama tradisional Tionghoa yang mengutamakan pada penghormatan leluhur dan Dewa-Dewa (termasuk Buddha di dalamnya). Pada perkembangan berikutnya, masa Orde Baru etnis Tionghoa dipaksa oleh pemerintah untuk meninggalkan budaya mereka sendiri dan melakuan asimilasi total pada pribumi, termasuk kepercayaan yang mereka anut.

  (2). Perubahan bahasa. Generasi pertama Etnis Tionghoa yang datang ke Desa Pupuan, baik itu dari utara (Buleleng) maupun selatan (Tabanan dan Badung) masih kental dalam penggunaan bahasa bahasa ko’i. Generasi kedua, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan mulai mempergunakan bahasa Bali, disamping bahasa ko’i sebagai bahasa sehari-hari sedangkan generasi ketiga, penggunaan bahasa ko’i sebagai alat komunikasi sehari-hari semakin berkurang. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali dan bahasa Indonesia bahkan dalam komunikasi sesama etnis Tionghoa.

  (3). Perubahan nama. Umumnya, nama seseorang etnis Tionghoa terdiri paling banyak dari 3 suku kata. Nama yang pertama menjelaskan marganya (she), dan 2 nama dibelakangnya adalah nama yang sebenarnya. Pada awal kedatangannya sampai dengan zaman kemerdekaan etnis Tionghoa di Indonesia mempergunakan nama Tionghoanya sebagai identitas yang dimilikinya, demikian juga dengan yang terjadi di Desa Pupuan. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, masyarakat etnis Tionghoa mempergunakan nama Tionghoanya sebagai nama resmi dalam identitas, termasuk identitas kependudukan sampai dengan 27 Desember 1966.

  Setelah tahun 1966, semua keturunan Tionghoa di Indonesia ‘diminta’ untuk berganti nama dengan nama yang berbau Indonesia. Peraturan ganti nama tersebut tertuang dalam Keputusan Presidium Kabinet Ampera No 127UKep—121966 tentang ‘Peraturan Ganti Nama Bagi Warga Negara Indonesia Jang Memakai Nama Tjina,’. Dampak dari adanya aturan ini, hampir seluruh etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan, berganti nama menjadi nama yang berbau “lokal”. Adapun pola Setelah tahun 1966, semua keturunan Tionghoa di Indonesia ‘diminta’ untuk berganti nama dengan nama yang berbau Indonesia. Peraturan ganti nama tersebut tertuang dalam Keputusan Presidium Kabinet Ampera No 127UKep—121966 tentang ‘Peraturan Ganti Nama Bagi Warga Negara Indonesia Jang Memakai Nama Tjina,’. Dampak dari adanya aturan ini, hampir seluruh etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan, berganti nama menjadi nama yang berbau “lokal”. Adapun pola

  Kedua faktor – faktor yang mempengaruhi identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan berkaitan erat dengan kondisi sosial politik yang berkembang pada masa tersebut. Selain itu adanya kesamaan filosofi yang mendasari gerak langkah kehidupan masyarakat di Desa Pupuan juga mendukung perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa. Adapun faktor-faktor tersebut:

  (1). Adanya kesamaankemiripan-kemiripan nilai budaya antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa. Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan identitas budaya etnis Tionghoa adalah adanya kesamaan nilai budaya. Adanya kesamaan-kesamaan nilai budaya merupakan modal budaya yang menjadikan proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa menjadi identitas budaya baru yang bersifat hibrid di Desa Pupuan berlangsung secara damai.

  (2). Adanya faktor sosial ekonomi. Selain adanya kesamaan nilai budaya, faktor sosial ekonomi juga mendukung adanya proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Hal ini terlihat pada: 1. Hakekat kerja serta usaha manusia, dimana etos kerja etnis Tionghoa banyak dipengaruhi oleh ajaran Konfusius. Dalam ajaran Konfusius, terdapat ajaran yang disebut dengan hubungan segitiga, yakni hubungan antara konfusianisme, keluarga dan kerja. Penanaman moral pertama kalinya harus terjadi dalam keluarga. Apabila dalam setiap keluarga terjadi hubungan yang serasi, maka masyarakat dunia akan tertib dan damai. Sikap bakti anak kepada orang tua juga terjadi dalam keluarga, sikap pemujaan kepada leluhur yang digariskan secara tetap juga membicarakan tentang keluarga. Penggunaan nama keluarga secara cermat dan teratur oleh Konfusius juga memberikan jalinan yang terjadi dalam keluarga.2. Hubungan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran Budha dikembangkan sifat suka menolong antara manusia dengan sesamanya. Manusia harus melakukan atau berbuat murah hati yang terwujud dalam sifat suka menolong karena murah hati merupakan difusi dari pengetahuan dan kebajikan. Konfusius juga mengajarkan jen untuk menamakan hubungan ideal dari yang seharusnya terjadi antara sesama manusia. Jen (2). Adanya faktor sosial ekonomi. Selain adanya kesamaan nilai budaya, faktor sosial ekonomi juga mendukung adanya proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Hal ini terlihat pada: 1. Hakekat kerja serta usaha manusia, dimana etos kerja etnis Tionghoa banyak dipengaruhi oleh ajaran Konfusius. Dalam ajaran Konfusius, terdapat ajaran yang disebut dengan hubungan segitiga, yakni hubungan antara konfusianisme, keluarga dan kerja. Penanaman moral pertama kalinya harus terjadi dalam keluarga. Apabila dalam setiap keluarga terjadi hubungan yang serasi, maka masyarakat dunia akan tertib dan damai. Sikap bakti anak kepada orang tua juga terjadi dalam keluarga, sikap pemujaan kepada leluhur yang digariskan secara tetap juga membicarakan tentang keluarga. Penggunaan nama keluarga secara cermat dan teratur oleh Konfusius juga memberikan jalinan yang terjadi dalam keluarga.2. Hubungan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran Budha dikembangkan sifat suka menolong antara manusia dengan sesamanya. Manusia harus melakukan atau berbuat murah hati yang terwujud dalam sifat suka menolong karena murah hati merupakan difusi dari pengetahuan dan kebajikan. Konfusius juga mengajarkan jen untuk menamakan hubungan ideal dari yang seharusnya terjadi antara sesama manusia. Jen

  (3). Adanya perubahan politik di Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa dihilangkan identitas etnisnya. Berbagai unsur yang terkait dengan budaya leluhur dihilangkan dengan memperkenalkan politik asimilasi total yang bertujuan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa yakni sekolah, organisasi dan media China sebagai sarana pengembangan budaya dan adat istiadat leluhur. Dengan melaksanakan asimilasi inkorporasi, pemerintah meminta etnis Tionghoa untuk mengilangkan identitas ke-Chinaannya menjadi Indonesia.

  Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya dinamika hubungan antara negara China dengan Indonesia. Hubungan resmi antara Negara China atau Republik Rakjat Tiongkok atau Republik Rakyat China dengan Indonesia, dimulai pada tanggal 15 Januari 1950, dengan adanya pengakuan kedaulatan China yang kemudian dibalas oleh China dengan mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 28 Maret 1950

  Hubungan antar kedua negara mengalami pasang surut, dimana mengalami masa yang paling suram pada awal pemerintahan Orde Baru dengan adanya pemutusan hubungan diplomatik dan juga keluarnya berbagai peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Hal ini merupakan dampak dari ditengarainya China sebagai pendukung Gerakan 30 September pada masa itu. Secara perlahan hubungan ini kemudian pulih khususnya ketika era reformasi, dimana ketiga Presiden (Abdurahhman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono) mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menormalisasikan hubungan dengan China dan juga mencabut segala peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Walaupun hubungan ini bersifat antar negara, tetapi dampak dari dinamika hubungan ini juga mempengaruhi etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Secara garis besar dinamika hubungan antar kedua negara terbagi dalam beberapa masa yang saling terikat satu sama lain.

  Ketiga, adanya perubahan indentitas budaya ini tentunya membawa implikasi bagi Etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Implikasi yang timbul pada Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, muncul secara sosial (kolektif) maupun secara individual, yang mana kedua Ketiga, adanya perubahan indentitas budaya ini tentunya membawa implikasi bagi Etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Implikasi yang timbul pada Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, muncul secara sosial (kolektif) maupun secara individual, yang mana kedua

  Selain membawa implikasi sosial, perubahan identitas budaya etnis Tionghoa juga membawa implikasi individu, personal etnis Tionghoa itu sendiri. Secara individu, perubahan identitas ini terlihat pada perubahan kepercayaan, penggunaan bahasa sehari- hari dan perubahan nama.

  Dalam kehidupan sehari-hari, etnis Tionghoa di Desa Pupuan berada ditengah lingkungan masyarakat etnis Bali. Interaksi yang intens menjadikan banyak hal yang berubah dari individu etnis TIonghoa di Desa Pupuan. Misalnya pada ritual etnis Tionghoa mengalami perubahan, dari yang hanya berdasarkan pada ajaran leluhur, bertambah dan menjadikan ritual-ritual etnis Bali sebagai bagian dari ritual sehari-hari. Sedangkan, pada penggunaan bahasa sehari – hari etnis Tionghoa di Desa Pupuan mempergunakan bahasa ‘hibrid’yang merupakan campuran bahasa Bali, bahasa Indonesia dan kadangkala bahasa ko’i dalam kehidupan sehari –hari. Pada perubahan nama yang dipergunakan oleh masing-masing individu. Perubahan nama ini bisa dipolakan menjadi empat pola, yakni mengganti nama dengan nama yang sama dengan etnis Bali, mencari nama Bali yang memiliki makna, mendekatkan nama Tionghoanya dengan nama Indonesianya dan memakai nama-nama internasional.

  Dalam studi kajian budaya, makna merupakan tahapan yang paling penting untuk menemukan sebuah arti atau nilai yang terkandung dalam suatu objek yang diteliti, baik objek yang berupa benda, wacana, aktivitas sosial (berkaitan dengan sikap dan prilaku) maupun gejala kehidupan dan fenomena alam. Penemuan suatu makna (meaning) terlebih dahulu harus diawali oleh proses penemuan suatu bentuk dan fungsi dari suatu Dalam studi kajian budaya, makna merupakan tahapan yang paling penting untuk menemukan sebuah arti atau nilai yang terkandung dalam suatu objek yang diteliti, baik objek yang berupa benda, wacana, aktivitas sosial (berkaitan dengan sikap dan prilaku) maupun gejala kehidupan dan fenomena alam. Penemuan suatu makna (meaning) terlebih dahulu harus diawali oleh proses penemuan suatu bentuk dan fungsi dari suatu

  (1). Makna harmonisasi dan asimilasi Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang menghasilkan

  budaya bersifat yang bersifat hibrid memperlihatkan adanya usaha etnis Tionghoa untuk menjaga hubungan harmonis dengan etnis Bali. Adanya upaya ini selain didukung oleh modal dan ranah juga didukung oleh habitus yang berkembang di Desa Pupuan. Selain itu ketika berbicara masalah asimilasi seperti yang diharapkan oleh pemerintah terhadap etnis Tionghoa sejak zaman orde lama, maka yang terjadi di Desa Pupuan adalah sebuah prosesi asimilasi yang sudah berjalan tanpa adanya campur tangan pemerintah (pra politi ali baba). Ketika kemudian timbul hemegoni pemerintah dalam asimilasi ini dengan menjalankan prinsip asimilasi inkorporasi, maka yang terjadi adalah, etnis Tionghoa semakin terasimilasi dalam etnis Bali di Desa Pupuan. Ini juga didukung oleh adanya perasaan nyaman etnis Tionghoa dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas kehidupan sehari-hari yang bernuansa Bali.

  (2). Makna Ekonomi Dalam sejarahnya, etnis Tionghoa selalu mendominasi kegiatan perdagangan di

  Desa Pupuan, walaupun secara jumlah penduduk, jumlahnya tidak terlalu banyak. Keberhasilan ekonomi etnis Tionghoa di Desa Pupuan didukung oleh kerja keras dan hidup hemat sesuai dengan ajaran leluhur. Selain itu tentunya, adanya upaya etnis Tionghoa untuk belajar budaya setempat (bahasa, kebiasaan bahkan kepercayaan) sangat mendukung keberhasilan di bidang ekonomi di Desa Pupuan. Dengan keberhasilannya di bidang ekonomi, secara tidak langsung, etnis Tionghoa di Desa Pupuan mengangkat nama desanya dengan keberhasilan-keberhasilan di bidang ekonomi. Selain itu, dengan kekuatan ekonominya, etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu membangun desa menjadi lebih maju dari desa-desa sekitarnya. Tentunya perubahan-perubahan identitas ini menghasilkan stereotip dikalangan masyarakat yang tingal di Desa Pupuan terhadap etnis Tionghoa.

  Berdasarkan analisis dan kajian yang dilaksanakan terhadap Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, maka dapat disimpulkan, bahwa perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan terlihat pada perubahan identitas agama Berdasarkan analisis dan kajian yang dilaksanakan terhadap Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan, maka dapat disimpulkan, bahwa perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan terlihat pada perubahan identitas agama

  

  7.1 Dominasi Pemukiman Etnis Tionghoa yang berada di Pinggir Jalan… 178

  7.2 Bukti Kepemilikan Lahan di Pupuan pada Masa Hindia Belanda……. 180

GLOSARIUM

  awig-awig

  :suatu ketentuan yang mengatur tatakrama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewudjudkan tata kehidupan yang ajeg diimasyarakat.

  bahasa ko’I

  :bahasa mandarin.

  banjar

  :suatu kesatuan komunitas yang lebih kecil dari pada desa. Secara etimologis, banjar berarti baris atau lingkungan.

  cacakan

  :masuk hitungan.

  cap go meh

  :merupakan rangkaian hari raya terakhir di bulan Cia Gwee bagi orang Tionghoa. Cap Go Meh disebut juga pesta Goan Siauw atau hari lahirnya Siang Goan Thian Koan atau roh yang memerintah langit dan bumi. Versi lain menyebut perayaan Cap Go Meh sebagai pesta musim bunga terbesar untuk menghormati matahari yang muncul pada musim dingin yang berkabut.

  cengbeng

  :Merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah ke kuburan sesuai dengan ajaran Khonghucu. Festival tradisional Cina ini jatuh pada hari ke 104 setelah titik balik Matahari pada musim dingin (atau hari ke 15 dari hari persamaan panjang siang dan malam pada musim semi), pada umumnya jatuh pada tanggal 5 April, dan setiap tahun kabisat, Qing Ming jatuh pada tanggal 4 April

  cetia

  :tempat sembahyang yang berada di rumah khusus untuk etnis Tionghoa. Biasanya pada cetia terdapat patung Buddha, dan Dewi Kwan Im. Kadangkala terdapat juga patung Buddha Sivali.

  dadia

  :klenkumpulan klen klen, kadangkala dadia juga disebut dengan tempat sembahyang klen (pura dadia).

  desa kala patra

  :tempat, waktu keadaan. Biasanya mengacu pada perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada tempat, waktu dan ruang, mirip dengan pribahasa dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.

  desa pakraman

  :kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tigakahyangan desa,yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri,serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

  dresta

  :pandangan suatu masyarakat mengenai tatakrama pandangan hidup.

  gamang

  :mahluk gaib yang biasanya tinggal di tempat-tempat tertentu.

  gambling

  :perjudian, berani mengambil resiko.

  hibrid

  :mengacu pada percampuranperkawinan dua esensi atau lebih yang kemudian melahirkan sesuatu yang dianggap lebih unggul, dalam tulisan ini mengacu pada budaya.

  hoki

  :peruntungan dan nasib baik serta bagaimana cara seseorang menyiasati agar selalu mendaptkan nasib baik.

  hongsui

  :kepercayaan pad faktor-faktor alamiah yang diyakini menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia.

  hopeng

  :cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi usaha.

  imlek

  : perayaan yang awalnya dilakukan oleh para petani di China yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang

  Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga .

  jero gde

  :istilah lain untuk penunggun karang, merupakan dewa yang berfungsi untuk penjaga rumah (menjaga karang).

  karang desa

  :tanah yang dimiliki oleh desa.

  klian banjar

  :pimpinan banjar.

  kongco

  : secara harafiah memiliki arti kakek buyut. Akan tetapi di Indonesia Kongco merupakan tempat peribadatan etnis Tionghoa untuk memuja Dewa Kong.

  :catatan mengenai suatu kejadian dimasyarakat:

  lotiah

  :kepala kampung.

  maha cetia

  :cetia yang bisa dipergunakan untuk umum.

  mebanten

  :sebuah prosesi mempersembahkan sesuatu kehadapan Tuhan yang biasa dilakukan oleh orang Bali.

  mekekawin

  :melantunkan nyanyian, biasanya puja-puji kehadapan Tuhan.

  mepekuren

  :mengacu pada keanggotaan benjar berdasarkan pernikahan.

  merajan

  :tempat bersembahyang umat Hindu Bali.

  nangkil

  :menghadap untuk memperlihatkan sujud bakti.

  ngelawar

  :membuat lawar.

  ngodalin

  :peringatan tempat suci biasanya dipergunakan hitungan berdasarkan sasih atau wuku.

  :suatu keputusan raja (pemerintah).

  patra cina

  :ukiran yang mendapatkan pengaruh dari budaya China.

  :kepala desa.

  pis bolong

  :uang kepeng, uang yang berasal dari China, Korea, Vietnam, yang saat ini dipergunakan sebagai sarana ritual di Bali.

  purusa

  :penerus garis keturunan dari pihak laki-laki, patrilineal, tetapi belum tentu laki-laki.

  totok

  :murni, tanpa campuran. Mengacu pada etnis Tionghoa.

  ratu nyoman

  :sering disebut juga penumbak rurungdewa penjaga depan rumah.

  rebutan

  :perayaan dan sembahyang sebagai penghormatan kepada hantu-hantu tersebut. Tradisi ini sebenarnya merupakan produk masyarakat agraris di zaman dahulu yang bermula dari penghormatan kepada leluhur serta dewa-dewa supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat terberkati dan berlimpah. Adanya pengaruh Buddhisme memunculkan kepercayaan mengenai hantu- hantu kelaparan (makhluk Preta) yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia.

  rumah abu

  :tempat penyimpanan abu leluhur, dimiliki oleh etnis Tionghoa.

  sanggah kemulan

  :mengacu pada pelinggih, tempat pemujaan leluhur, biasanya dipergunakan oleh Hindu Bali.

  sarkofagus

  :kubur batu tempat mayat. Dipergunakan pada awal masehi.

  sekaa

  :perkumpulan-perkumpulan yang memiliki tujuan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu.

  :mulanya berarti patok atau batas suatu wilayah desa yang kemudian berubah arti menjadi patokan-patokan atau ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku dalam suatu masyarakat.

  siopwe

  :mediator dewa, biasanya dipergunakan untuk menentukan hari baik atau penentuan keluarga siapa yang mendapatkan mandate utama.

  subak

  :organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan yang digunakan dalam cocok tanam di Bali.

  taksu

  :kekuatan gaib yang masuk kedalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebutkalau mengacu pada pelinggih taksu, berarti tempat melinggihnya batara yang memberikan keahlian.

  tauke

  : anggota.

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Tiada yang abadi selain perubahan itu sendiri, begitu kata I Ching alias Ya Keng (http:www.jamilazzaini.com678. diakses tanggal 28 mei 2012). Tidak mungkin juga memahami apa yang dipandang baru tanpa merujuk pada masa lalu (Gungwu dalam Erniwati, 2011:1). Demikian juga halnya dengan identitas, identitas masa kini sangat berkaitan erat dengan identitas pada masa lalu, dan perubahan identitas merupakan suatu hal yang wajar adanya.

  Mengacu pada pandangan cultural studies, identitas dan subjektifitas sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan begitu saja. Subjektifitas adalah menyangkut diri (identitas pribadi) seseorang, di dalamnya tercakup perasaan, emosi, hasrat dan kemauan seseorang. Subjektifitas juga berkaitan dengan kesadaran (concious) dan ketidaksadaran (unconscious) seseorang. Chris Barker menegaskan, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar representasi atau akulturasi budaya (Barker, 2005:170-171). Identitas seseorang atau suatu kelompok dalam kaitan inilah kemudian menjadi rentan terhadap setiap perubahan yang terjadi disekitarnya, seperti adanya dominasi, minoritas, maupun adanya hegemoni dari penguasa yang menyebabkan identitas mengalami perubahan.

  Perubahan identitas di Indonesia, juga didukung dengan adanya fakta, bahwa Indonesia merupakan sebuah negara multikultur yang terdiri dari berbagai Perubahan identitas di Indonesia, juga didukung dengan adanya fakta, bahwa Indonesia merupakan sebuah negara multikultur yang terdiri dari berbagai

  

  Selain itu pada awal tarikh masehi sampai abad ke XV, wilayah Indonesia merupakan sumber dari rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, yang menarik minat bangsa-bangsa China, India, Arab maupun Eropa untuk datang ke Indonesia. Adanya hubungan dengan bangsa luar, etnis-etnis yang ada di Indonesia mengadakan kontak, baik secara intens maupun jarang, karena salah satu sifat dasar manusia, membutuhkan manusia lainnya untuk hidup, dan merupakan mahluk yang senang bergaul (animal society).

  Kontak antar etnis ini kemudian menimbulkan pengaruh baik secara difusi maupun evolusi terhadap masing-masing etnis, menjadikan perubahan identitas suatu etnis di Indonesia menjadi suatu hal yang terus menerus dan terjadi secara berkelanjutan. Perubahan nama depan menjadi Wayan, Made, Komang dan Ketut pada komunitas Muslim Kampung Pegayaman, penggunaan uang kepeng (pis bolong), patra Cina pada etnis Bali, merupakan bukti bahwa identitas suatu etnis dipengaruhi oleh adanya interaksi dengan etnis lainnya.

  Hegemoni, juga sangat mempengaruhi perubahan identitas budaya suatu etnis, di mana budaya dominan akan berusaha untuk mengkooptasi budaya minoritas, dan budaya minoritas akan berusaha untuk mengadopsi produk budaya dominan untuk menjaga eksistensinya. Prinsip hegemoni dalam perkembangan identitas dibangun di atas sebuah landasan demokrasi yang terbentuk antara

  kelompok berkuasa (budaya dominan) dengan kelompok yang dikuasai (budaya minoritas) sehingga apa yang diciptakannya adalah sebuah masyarakat sipil. Di dalam masyarakat sipil tersebut, pandangan hidup kelas yang dikuasai bukanlah pandangan kelas hegemoni yang dipaksakan secara pasif, tetapi merupakan artikulasi dari berbagai pandangan hidup yang ada dari berbagai kelompok sosial, yang kemudian disatukan dalam sebuah prinsip artikulasi yang konduktornya adalah kelas hegemoni (Piliang, 2010:71-73). Hal ini tentunya akan menimbulkan adanya sebuah identitas budaya baru yang berbeda dengan budaya sebelumnya, akan tetapi masih memiliki nilai, bahkan bentuk budaya lama. Identitas budaya ini, berada pada ranah yang “abu-abu”, tidak hitam, tidak putih tetapi memiliki ciri-ciri identitas budaya yang hitam maupun putih.

  Fenomena perubahan identitas ini terlihat pada identitas etnis Tionghoa yang terdapat di Desa Pupuan. Jika dilihat dari sejarah etnis Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan, kehidupan etnis Tionghoa mengalami pasang surut yang diakibatkan oleh kondisi sosial politik dalam dan luar negeri Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia, selalu menjadikan etnis Tionghoa pada posisi yang tidak menentu, dan cenderung menjadi korban atas situasi sosial politik Indonesia yang selalu bergejolak. Hegemoni negara maupun dominasi etnis mayoritas atas etnis Tionghoa demikian kuatnya, yang menyebabkan etnis Tionghoa selalu dihadapkan pada kondisi-kondisi yang sulit yang mempengaruhi eksistensinya sebagai sebuah etnis.

  Selain itu adanya hubungan pernikahan campuran dengan etnis-etnis lain, dalam hal ini khususnya etnis Bali, yang kemudian melahirkan Tionghoa Selain itu adanya hubungan pernikahan campuran dengan etnis-etnis lain, dalam hal ini khususnya etnis Bali, yang kemudian melahirkan Tionghoa

  

  Oleh sebab itu, untuk mengidentifikasikan identitas etnis Tionghoa, satu- satunya cara yang bisa dipergunakan adalah dengan jalan identifikasi identitas secara budaya. Identitas budaya seorang etnis Tionghoa akan terlihat pada penggunaan produk budaya Tionghoa, semisal penggunaan nama keluarga dan keterikatan pada ikatan keluarga Tionghoa (Skinner, dalam Tan.ed, 1979:1-2). Pada penggunaan nama misalnya, seorang Tionghoa akan menjadi cepat akrab dengan orang yang baru dikenalinya, apabila mengetahui bahwa nama keluarganya sama (shee).

  Walaupun demikian, etnis Tionghoa peranakan juga melakukan penyerapan unsur-unsur budaya lokal setempat seperti bahasa, pendidikan, bahkan agama dalam sendi-sendi prilaku kehidupannya (Hirschman, dalam Cushman, Jeniffer dan Wang Gungwu.ed, 1991:31-33). Di mana unsur-unsur budaya lokal ini pada kelanjutannya, memperkaya budaya Tionghoa peranakan dan sekaligus mengubah identitas budayanya.

  Di Desa Pupuan, identitas budaya etnis Tionghoa peranakan yang berkembang merupakan sebuah identitas budaya yang dipergunakan oleh etnis

  Tionghoa di Desa Pupuan. Di mana identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang saat ini dipergunakan merupakan hasil dari sebuah proses perubahan, proses adaptasi yang dilakukan sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Desa Pupuan. Tidak kurang dari empat masa yang bisa dikatakan sebagai momen-momen krusial perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yakni masa Kerajaan Tabanan (masa pra kemerdekaan), masa kemerdekaan, masa Orde Baru, dan masa reformasi. Masing-masing dari masa ini memiliki peran tersendiri dalam perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Hal yang menarik terjadi setelah era reformasi, di mana terjadi kebangkitan harga diri etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan. Perubahan yang sangat besar terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres no 62000 untuk mencabut Inpres no.141967 dan membebaskan etnis Tionghoa dalam merayakan hari besar dan menunjukkan adat istiadat mereka.

  Keterbukaan dan kebebasan melaksanakan budaya serta adat istiadat leluhur semakin terbuka setelah tahun 2002 Presiden Megawati menyatakan Hari Raya Imlek sebagai libur nasional dan tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghapus diskriminasi dengan mengeluarkan UU Kewarganegaraan RI no. 12 tahun 2006. Perubahan kebijakan dari negara yang bersifat nasional yang mengembalikan identitas etnis Tionghoa ke pemiliknya, juga ikut mengubah identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan (Erniwati, 2011:2-5).

  Desa Pupuan sebagai lokasi tempat tinggal juga memiliki peranan yang tidak kecil dalam perubahan identitas etnis Tionghoa. Pupuan sebagai sebuah Desa Pupuan sebagai lokasi tempat tinggal juga memiliki peranan yang tidak kecil dalam perubahan identitas etnis Tionghoa. Pupuan sebagai sebuah

  Pada kehidupan sehari-hari di Desa Pupuan, kehidupan masyarakat etnis Tionghoa Pupuan berbaur dengan masyarakat etnis Bali baik itu dalam pemukiman maupun desa pakraman. Tidak ada pemukiman khusus etnis Tionghoa, maupun etnis lainnya di Desa Pupuan. Demikian juga dalam kehidupan desa pakraman di Desa Pupuan, masyarakat etnis Tionghoa, walaupun mereka bukan etnis Bali, tetapi ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan adat maupun agama terutama kegiatan-kegiatan di Pura Khayangan Tiga (Pura Puseh, Pura Dalem dan Bale Agung) maupun pura-pura lainnya yang terletak di wilayah desa pakraman. Keikutsertaan ini sudah merupakan tradisi yang diwariskan secara turun menurun dari generasi ke generasi, yang dibuktikan dengan adanya peninggalan- peninggalan masa lampau yang berupa patung, tulisan yang memiliki kekhasan etnis Tionghoa di beberapa tempat suci di Desa Pupuan. Walaupun demikian pembauran tersebut tidak menjadikan etnis Tionghoa menjadi kehilangan akar budayanya, yang masih sangat kental akan tradisi-tradisi yang bersumber dari ajaran nenek moyangnya. Meskipun secara ekstrinsik etnis Tionghoa berbeda dengan etnis Bali di Desa Pupuan, namun mereka hidup berdampingan sehingga dapat dikatakan telah membentuk masyarakat multikultural. Bahkan masyarakat etnis Bali di Desa Pupuan memiliki istilah baru untuk etnis Tionghoa yang telah menetap lama di Desa Pupuan, yakni China BaliChina Pupuan.

  Apapun bentuknya itu, perubahan identitas budaya adalah hal yang harus terjadi untuk mempertahankan eksistensi sebuah etnis. Masalahnya adalah bagaimana etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu beradaptasi, tetap memperlihatkan identitas budayanya, dan hidup secara secara berdampingan sampai sekarang dalam keadaan masyarakat yang terus berubah.

  Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti fenomena tersebut dari sudut pandang Cultural Studies dengan judul, “Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa diDesa Pupuan Kecamatan

  Pupuan Kabupaten Tabanan”

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang menarik untuk dikaji. Masalah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

  1. Bagaimana munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa diDesa Pupuan?

  2. Faktor apa yang mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan?

  3. Apa implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa diDesa Pupuan?

1.3 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini, terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum ditujukkan untuk memperoleh jawaban atas permasalahan dari penelitian secara umum, sedangkan tujuan khusus ditujukkan guna memperoleh jawaban atas rumusan masalah.

1.3.1 Tujuan Umum

  Secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menggali informasi dan mengkaji identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Melalui penelitian ini diharapkan studi tentang etnis Tionghoa di Bali dari sudut pandang kajian budaya bisa dikembangkan dan pada akhirnya diharapkan ikut menyumbangkan sedikit pengetahuan bagi khazanah keilmuan kajian budaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

  Penelitian ini, secara khusus bertujuan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Jadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui munculnya perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan

  2. Untuk memahami faktor yang mempengaruhi perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan.

  3. Untuk menginterpretasi implikasi dan makna perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan.

1.4. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis yang sangat penting dan dapat dipergunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan bagi perguruan tinggi khususnya dan secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi, rujukan maupun perbandingan dalam penelitan mengenai etnis Tionghoa maupun identitas suatu etnis berikutnya.

1.4.1 Manfaat Teoretis

  Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah ilmu tentang interaksi, multikulturalisme serta identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Penelitian ini dapat dijadikan acuan keilmuan dalam khazanah kajian budaya, terutama dalam bidang penelitian sistem pengembangan dan pengendalian sosial.

1.3.3 Manfaat Praktis