Perubahan Agama dan Kepercayaan

5.1 Perubahan Agama dan Kepercayaan

  Istilah agama berasal dari kata religio, yang berarti ikatan relasi-relasi sosial antar individu. Agama, menurut Durkheim berarti seperangkat keyakinan dan praktek-praktek, yang berkaitan dengan yang sakral dan yang profan, yang menciptakan ikatan sosial antar individu (Turner, 2012:22). Agama juga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam aspek kehidupan yang lain. Anne Marie Malefijt mengungkapkan bahwa agama adalah the most important aspects of culture. Aspek kehidupan agama tidak hanya ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi secara signifikan dengan institusi budaya yang lain. Ekspresi religiusitas ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai moral, sistem keluarga, ekonomi, hukum, politik, pengobatan, sains, teknologi, seni, pemberontakan, perang, dan lain sebagainya. Tidak ada aspek kebudayaan lain selain agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia (Malefijt, dalam Agus, 2006:5-6).

  Agama dalam khasanah bahasa Mandarin adalah jiao教 atau ajaran, di mana berasal dari dua kata yaitu xiao孝 dan pu. Xiao bermakna bakti, atau cinta kasih orang tua dan anak. Pu bermakna adalah pukulan atau hukuman. Secara Agama dalam khasanah bahasa Mandarin adalah jiao教 atau ajaran, di mana berasal dari dua kata yaitu xiao孝 dan pu. Xiao bermakna bakti, atau cinta kasih orang tua dan anak. Pu bermakna adalah pukulan atau hukuman. Secara

  mana kata ini berasal dari dua kata yaitu zong宗, berasal dari dua kata,yaitu mian宀 dan shi示. Mian berarti adalah atap dan tembok atau rumah, tempat bernaung. Shi adalah gambaran atau fenomena langit yang memberitahu manusia

  akan hal baik atau buruk yang akan terjadi, tapi secara umum arti kata shi sering diartikan adalah ritual. Gabungan dua kata itu adalah zong宗yang bermakna kuil

  leluhur atau leluhur dan penghormatan kepada dewata. Jiao教 seperti yang telah diuraikan di atas . Zong jiao宗教 bisa berarti adalah ajaran yang bertujuan mencegah kekacauan dimasyarakat dengan penghormatan pada leluhur dan atau

  Dewata atau Tuhan dalam istilah yang umum berlaku. Di mana, awalnya sebutan zong jiao宗教 ini berasal dari Buddha Mahayana China中国佛教大乘宗 yang makna awalnya adalah ajaran Buddha dan Murid-muridNya (Cangianto, 2012: www.budayaTionghoa.net, diakses 19 Agustus 2012).

  Pada awal masuknya etnis Tionghoa di Desa Pupuan sekitar akhir 1800- an, agama yang dianut oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah agama-agama tradisional Tionghoa yang mengutamakan pada penghormatan leluhur dan Dewa- Dewa (termasuk Buddha di dalamnya). Pada masa awal belum dikenal adanya istilah agama Buddha, Khonghucu, atau Hindu pada masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan, mereka hanya menjalankan ritual-ritual tradisi yang sama dengan Pada awal masuknya etnis Tionghoa di Desa Pupuan sekitar akhir 1800- an, agama yang dianut oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah agama-agama tradisional Tionghoa yang mengutamakan pada penghormatan leluhur dan Dewa- Dewa (termasuk Buddha di dalamnya). Pada masa awal belum dikenal adanya istilah agama Buddha, Khonghucu, atau Hindu pada masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan, mereka hanya menjalankan ritual-ritual tradisi yang sama dengan

  Gambar 5.1. Bangunan Rumah Abu, Bangunan Dewa Kwan Kong dan Cetia di Salah Satu Rumah Warga Etnis Tionghoa di Desa Pupuan(gambar dari kiri ke kanan) (Dok.: Yudha, 2012)

  Dalam kehidupan kesehariannya, etnis Tionghoa di Desa Pupuan berada di lingkungan masyarakat Etnis Bali. Hubungan yang intens selama puluhan tahun dan banyaknya perkawinan campuran yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan menjadikan banyak ritual-ritual Etnis Tionghoa mengalami perubahan, dari yang awalnya hanya berdasarkan pada ajaran leluhur, Dalam kehidupan kesehariannya, etnis Tionghoa di Desa Pupuan berada di lingkungan masyarakat Etnis Bali. Hubungan yang intens selama puluhan tahun dan banyaknya perkawinan campuran yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan menjadikan banyak ritual-ritual Etnis Tionghoa mengalami perubahan, dari yang awalnya hanya berdasarkan pada ajaran leluhur,

  

  Adanya proses perubahan indentitas agama dan kepercayaan menyebabkan, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan telah melakukan proses mimikri, yakni sebuah proses peniruan dengan meniru unsur-unsur budaya dan agama Hindu Bali yang terdapat di Desa Pupuan. Selain itu peniruan unsur-unsur budaya ini bisa berlangsung dengan mudah dan tidak adanya penentangan dari pemilik budaya asal (etnis Bali) karena adanya kesamaan-kesamaan pandangan tentang bagaimana memandang dunia ini (makrokosmos dan mikrokosmos), tentang kekuatan besar di luar manusia dan tujuan-tujuan hidup menjadi manusia.

  Hal ini terlihat dari hasil penelitian di lapangan, bahwa pada masa pra kemerdekaan bahkan pada masa kerajaan Tabanan, masyarakat enis Tionghoa di Desa Pupuan telah menjalankan ritual agama Hindu Bali yang berkembang di Desa Pupuan, seperti mebanten, bahkan ngodalin di merajan masing-masing. Seperti yang dituturkan oleh narasumber, Bapak Wayan Sudarsana:

  “Pada masa sebelum G30S PKI, masyarakat Tionghoa Pupuan sudah melakukan persembahyangan dengan dua cara baik Bali maupun Tionghoa, ini terbukti dengan adanya merajan gede di rumah saya yang sudah ada sebelum tahun 1900-an dan kemungkinan dibangun pada tahun 1850-an oleh kumpi saya dan sampai saat ini saya terus mengadakan piodalan secara rutin.”

  Berdasarkan penuturan narasumber, dapat dinyatakan bahwa etnis Tionghoa di Desa Pupuan telah melakukan sebuah proses mimikri, peniruan, di mana mimikri itu sendiri merupakan dasar dari hibriditas. Menurut Bhaba, hibriditas didasari oleh adanya mimikri (peniruan) yang menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Mimikri bisa dipandang sebagai sebuah strategi penyamaran, di mana dia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Mimikri juga dipandang sebagai suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya (as subject of a difference, that is almost the same, but not quite). Proses mimikri merupakan hasil dari pertemuan kebudayaan, di mana kebudayaan yang satu akan menirumengimitasi kebudayaan yang lain

  Penuturan dari narasumber dapat diperkuat pada gambar berikut :

  Gambar 5.2 Merajan di Pekarangan Salah Seorang Warga Tionghoa di Desa Pupuan (Dok.: Yudha, 2012)

  Dari pernyataan narasumber yang diperkuat dengan foto di atas dapat dilihat bahwa etnis Tionghoa di Desa Pupuan memiliki Sanggah Kemulan. Dari kepemilikan Sanggah Kemulan ini, bisa terlihat adanya proses mimikri yang terjadi pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan semenjak awal-awal kedatangannya. Hal ini merupakan proses awal menuju sebuah hibriditas identitas agama dan kepercayaan.

  Hampir sama dengan yang terjadi di Desa Pupuan, Geertz dalam bukunya Negara Teater, sempat mencatat

  “Bandar itu bernama Singkeh Cong, seorang Tionghoa yang bertempat tinggal di Baturiti yang rumahnya disebut dengan Jero Singkeh Cong. Pada masa itu, Singkeh Cong memegang kesubandaran raja tua dan raja muda, Gde dan Kaleran bersama-sama, kepada mereka dia membayar sewa tahunan yang besar. Selain sebagai seorang subandar, Singkeh Cong juga sebagai seorang pemimpin upacara-upacara agung yang merupakan campuran antara Sino-Buddhis dengan Hindu-Bali” (GeChinaz, 2000:178- 184).

  Pernyataan bahwa etnis Tionghoa sudah melakukan proses mimikri pada awal-awal kedatangannya juga dikuatkan oleh pandangan dari tetua di Desa Pupuan, Bapak Nyoman Raka:

  “Tionghoa di pupuan sampun kudang generasi nyarengin iraga ke pura di Pupuan, mebanten uli pidan sampun kenten. Uli tiang cerik sampun nyingakin nak China sareng ke pura, sareng mebanten ajak ngayah”.

  Apa yang diungkapkan oleh narasumber memperkuat pandangan bahwa pada awal kedatangannya, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan sudah mulai melakukan pertemuan-pertemuan kultural. Hal ini kemudian berkembang menjadi sebuah proses mimikri, di mana unsur-unsur budaya yang dianggap sesuai dengan budaya mereka diimitasikan dalam kehidupan sehari-hari.

  Pertemuan-pertemuan kultural inilah yang kemudian menjadikan etnis Tionghoa di Desa Pupuan mampu untuk melakukan peniruan-peniruan unsur budaya yang berkembang di Desa Pupuan. Menurut Barker, terdapat enam jenis pertemuan kultural yaitu:

  1. Dua tradisi yang berlainan dibiarkan tetap terpisah dalam konteks waktu dan ruang.

  2. Dua tradisi kultural yang terpisah dipertemukan dalam ruang dan waktu.

  3. Kebudayaan bersifat translokal dan melibatkan aliran global.

  4. Tradisi kultural berkembang di tempat terpisah namun mengembangkan identifikasi yang didasarkan atas persepsi tentang kemiripan dan kesamaan tradisi dan situasi.

  5. Suatu tradisi kultural menyerap atau menghapus tradisi kultural lain dan menciptakan kemiripan yang efektif.

  6. Bentuk-bentuk baru identitas dibentuk dari kepedulian bersama terhadap poros kelas, etnisitas, gender, ummur, dan lain-lain (Barker, 2000: 213).

  Pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, pertemuan kultural yang terjadi adalah pertemuan kultural pada poin kelima di atas, yakni suatu tradisi kultural menyerap atau menghapus tradisi kultural lain dan menciptakan kemiripan yang efektif. Di mana efektifitas ini terlihat pada hubungan yang sangat erat antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali, karena mereka banyak melaksanakan ritual-ritual secara bersama-sama khususnya ritual-ritual yang berkaitan dengan agama Hindu Bali. Pada masa itu, etnis Tionghoa ikut berperan aktif baik fisik maupun materi dalam setiap piodalan-piodalan yang dilaksanakan di pura-pura di lingkungan

  Desa Pupuan. Masyarakat etnis Tionghoa juga percaya dengan rajinnya mereka “nangkil” ke pura maka segala usaha mereka akan dilindungi dan diberi berkah, bahkan di Pura Luhur Kayu Padi masyarakat etnis Tionghoa sangat percaya bahwa kalau segala doa mereka akan dikabulkan oleh Ida Sasuhunan asal mereka rajin untuk berbakti. Adapun foto Pura Luhur Kayu Padi dapat dilihat pada gambar berikut ini.

  Gambar 5.3 Pura Luhur Kayu Padi (Duur Kauh) (Dok.: Yudha, 2012)

  Pada perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan danatau Penodaan Agama pasal 1, terdapat enam agama yang diakui di Indonesia, yakni Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen Protestan, Kristen Katolik dan Islam, dan Pada perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan danatau Penodaan Agama pasal 1, terdapat enam agama yang diakui di Indonesia, yakni Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen Protestan, Kristen Katolik dan Islam, dan

  Kedua aturan ini, khususnya Instruksi Presiden no 14 tahun 1967 memiliki implikasi yang sangat luas bagi etnis Tionghoa, di mana etnis Tionghoa dipaksa oleh pemerintah untuk meninggalkan budaya mereka sendiri dan melakuan akulturasi total pada pribumi, termasuk kepercayaan yang mereka anut. Khusus untuk agama, etnis Tionghoa dipaksa untuk memilih salah satu dari 5 agama berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 47774054BA.01.2468395, tanggal 18 November 1978, yang menyatakan hanya ada lima agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha yang secara resmi diakui oleh pemerintah, padahal Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1969 mengakui ada enam agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. UU ini mengatur sama persis dengan Penetapan Presiden Nomor 1.Pn.Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama. Identitas agama ini kemudian dicantumkan pada kolom KTP yang dikeluarkan oleh pemerintah.

  Adapun agama yang dominan dipilih oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan pada saat itu adalah agama Hindu, hal ini disebabkan proses mimikri yang telah mereka lakukan secara tidak langsung menjadikan etnis Tionghoa merasa diri menjadi bagian dari komunitas Hindu Bali di Desa Pupuan. Selain agama Hindu Bali, ada juga beberapa KK dari etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang mengambil agama Buddha sebagai agama resmi pada KTP. Pada saat itu etnis Tionghoa Adapun agama yang dominan dipilih oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan pada saat itu adalah agama Hindu, hal ini disebabkan proses mimikri yang telah mereka lakukan secara tidak langsung menjadikan etnis Tionghoa merasa diri menjadi bagian dari komunitas Hindu Bali di Desa Pupuan. Selain agama Hindu Bali, ada juga beberapa KK dari etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang mengambil agama Buddha sebagai agama resmi pada KTP. Pada saat itu etnis Tionghoa

  

  Akan tetapi walaupun menganut agama resmi yang berbeda, dalam pelaksanaannya Etnis Tionghoa yang beragama Hindu maupun yang beragama Buddha tetap menjalankan ritual yang hampir sama yang memadukan antara kepercayaan tradisional China, dengan Hindu Bali dan agama Buddha. Hanya yang membedakannya adalah etnis Tionghoa yang beragama Hindu tidak rutin ke Vihara, dan etnis Tionghoa yang beragama Buddha tidak rutin ke pura, hanya pada saat-saat tertentu saja khususnya pada saat Piodalan Pura.

  Pada masa Orde Baru inilah banyak terjadi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh etnis Tionghoa dalam menjalankan ritual-ritual tradisi mereka, sebagai imbas Instruksi Presiden no 14 tahun 1967. Pelaksanaan ritual tahun baru Imlek, Cing Bing dilakukan secara “sembunyi-sembunyi” dan terpusat di keluarga masing-masing. Tidak ada perayaan yang berskala besar yang dilakukan, semua dilakukan secara sederhana bahkan kadang mereka diinteli dan dipanggil ke kantor.

  Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ketut Anto: “Pada masa orde baru, sangat susah ngerayain Imlek gen keweh, harus

  mengkeb-mengkeb, sing cara jani nyidang bebas, kadang-kadang jeg panggile ajak intel e tanpa alasan yang jelas, tapi secara umum aman di Pupuan, nak onyang be nawang, cuman mungkin karena ada aturan pemerintah dadine keto”

  Dari wawancara di atas, dapat dianalisis bahwa secara umum pada masa Orde Baru pelaksanaan ritual-ritual yang bersifat tradisi etnis Tionghoa berlangsung dengan lancar dan aman walaupun kadangkala harus berurusan dengan aparat pemerintahan. Lancarnya pelaksanaan ini juga dikarenakan situasi di Desa Pupuan sendiri, di mana hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali berlangsung sangat baik sehingga perayaan-perayaan yang bersifat tradisi Tionghoa sudah menjadi rahasia umum di desa dan tidak dibesar-besarkan. Disinilah kemudian peranan mimikri terlihat di mana budaya-budaya lokal yang sudah terserap menjadikan etnis Tionghoa tidak dianggap “berbeda” oleh etnis Bali akan tetapi dianggap “sama”, dan karena kesamaannyalah, secara tidak langsung budaya Bali yang terserap menjadi pelindung Etnis Tionghoa diDesa Pupuan.

  Pada awal 90-an, timbul gejolak di masyarakat antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali, dikarenakan kehidupan masyarakat Tionghoa yang lebih sejahtera dari segi ekonomi dibanding etnis lainnya di Desa Pupuan, karena itu, muncullah tekanan-tekanan dari oknum-oknum pengurus Desa Adat di Desa Pupuan yang berupa sumbangan-sumbangan sukarela, pemerasan, pemaksaan dan untuk menghindarkan diri dari pemerasan tersebut, maka etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang pada awalnya sebagian besar beragama Hindu, memutuskan diri untuk beralih ke agama Buddha.

  Hal ini juga kemudian didukung oleh pembangunan Maha Cetiya Dharma Giri di ujung timur Desa Pupuan yang dikukuhkan pada tahun 1992, yang kemudian berubah menjadi Vihara Dharma Giri pada tahun 1996 dengan Hal ini juga kemudian didukung oleh pembangunan Maha Cetiya Dharma Giri di ujung timur Desa Pupuan yang dikukuhkan pada tahun 1992, yang kemudian berubah menjadi Vihara Dharma Giri pada tahun 1996 dengan

  Gambar 5.4 Vihara Dharma Giri (Dok. : Yudha, 2012)

  Dengan pembangunan vihara ini, seakan menjadi solusi alternatif umat Buddha di Desa Pupuan yang selama ini harus jauh ke Vihara Banjar untuk melakukan persembahyangan, dan juga menjadi pelindung bagi etnis Tionghoa yang semakin ditekan oleh oknum-oknum Desa Adat Pupuan dengan jalan memeluk agama Buddha. Akan tetapi peralihan agama pada etnis Tionghoa diDesa Pupuan ini tidak serta merta dilakukan oleh seluruh masyarakat etnis Tionghoa secara berbarengan, akan tetapi secara pelan-pelan, bahkan sampai saat ini pun masih ada etnis Tionghoa yang menganut agama Hindu pada KTPnya.

  Implikasi dari peralihan agama ini kemudian menjadikan hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan menjadi sedikit renggang, dikarenakan agama sebagai sebuah identitas yang awalnya tidak dianggap penting Implikasi dari peralihan agama ini kemudian menjadikan hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan menjadi sedikit renggang, dikarenakan agama sebagai sebuah identitas yang awalnya tidak dianggap penting

  Adanya perbedaan-perbedaan agama yang kemudian timbul pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, tidaklah menjadikan etnis Tionghoa terpecah-pecah dan meninggalkan ritual-ritual tradisi Hindu Bali yang telah diserap. Agama Buddha yang kemudian menjadi sebuah identitas baru etnis Tionghoa diDesa Pupuan dilekatkan pada identitas kepercayaan yang sudah ada yakni menjalankan tradisi ritual leluhur dan juga ritual-ritual Hindu Bali. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ketut Anto :

  “Agama saya secara KTP masih Hindu, saya juga ngiring di pura akan tetapi saya tetap menjalankan tradisi Tionghoa saya, demikian juga dengan pergi ke vihara, saya juga melakukannnya, karena saya sangat menghormati ketiganya dan menurut saya ketiganya tidak bertentangan satu sama lain.”

  Hal yang hampir senada juga diungkapkan narasumber Bapak Wayan Sudarsana :

  “Saya mulai menekuni agama Buddha semenjak tahun 80-an, tetapi itu bukan berarti saya meninggalkan tradisi Hindu dan Tionghoa saya, saya masih tetap melaksanakan piodalan di merajan, tetap rutin mebanten, dan sembahyang leluhur juga masih saya lakukan secara rutin.”

  Dari dua narasumber di atas yang secara agama berbeda, bisa dijelaskan bahwa walaupun agama yang tertera pada kartu tanda penduduk berbeda, akan tetapi dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan melaksanakan tiga kepercayaan sekaligus, yakni secara tradisi Tionghoa, Dari dua narasumber di atas yang secara agama berbeda, bisa dijelaskan bahwa walaupun agama yang tertera pada kartu tanda penduduk berbeda, akan tetapi dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan melaksanakan tiga kepercayaan sekaligus, yakni secara tradisi Tionghoa,

  Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa dalam hal agama dan kepercayaan, bisa dinyatakan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan telah membentuk identitas budaya baru yang hibrid, yang memadukan tradisi Tionghoa, ajaran Hindu, ajaran Buddha dan dengan identitas agama di KTP yang berbeda- beda. Akan tetapi dalam hal ini juga terlihat adanya proses mimikri yang memiliki ambivalensi karena di satu sisi etnis Tionghoa ingin membangun identitas persamaan dengan etnis Bali yang terdapat di Desa Pupuan yaitu dengan mengikuti kepercayaan dan kebiasaan – kebiasaan setempat seperti mebanten dan membangun sanggah, sedangkan mereka juga ingin mempertahankan perbedaannya seperti tetap membangun cetia, nyungsung, dan tetap merayakan hari besar Tionghoa.