Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

4.3Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

  Sebagai salah satu pendukung kebudayaan Bali, kondisi sistem kekerabatan masyarakat Desa Pupuan, tidaklah berbeda dengan sistem Sebagai salah satu pendukung kebudayaan Bali, kondisi sistem kekerabatan masyarakat Desa Pupuan, tidaklah berbeda dengan sistem

  Perkawinan masyarakat etnis Bali di Desa Pupuan masih dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), di mana perkawinan diharapkan dilakukan di antara warga se-klen, atau setidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta, orang-orang se-klen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah). Sesudah pernikahan, suami istri baru biasanya menetap secara virilokal di kompleks perumahan (umah) dari orang tua si suami, walaupun tidak sedikit pula suami istri baru yang menetap secara neolokal dan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan di mana suami istri baru itu menetap secara uxorilokal di kompleks perumahan dari keluarga si istri (nyeburin).

  Tempat di mana suami istri itu menetap, menentukan perhitungan garis keturunan dan hak waris dari anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya. Jika suami istri tinggal secara virilokal, maka anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Demikian pula anak- anak dari keturunan mereka yang menetap secara neolokal. Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan mewarisi harta pusaka dari klen Tempat di mana suami istri itu menetap, menentukan perhitungan garis keturunan dan hak waris dari anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya. Jika suami istri tinggal secara virilokal, maka anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Demikian pula anak- anak dari keturunan mereka yang menetap secara neolokal. Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan mewarisi harta pusaka dari klen

  Secara umum, sebuah rumah tangga di Desa Pupuan terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah kawin bersama bersama keluarga batih mereka masing-masing. Tiap- tiap keluarga batih maupun keluarga luar, dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan sekelompok kerabatnya yang lebih luas, ialah klen (tunggal dadia). Selain klen-klen kecil, terdapat juga kumpulan beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kuil leluhur yang sama disebut kuil paibon atau panti. Kelompok kerabat yang demikian disebut juga klen besar. Tidak kurang dari 10 klen yang mendominasi Desa Pupuan, yakni Arya Tegeh Kori, Pasek Gelgel, Tangkas Kori Agung, Pasek Bendesa Manik Mas, Pasek Prateka, Pasek Tohjiwa, Pande, Arya Belog, Bhujangga dan Dalem Tarukan.

  Dalam prakteknya, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal-usul yang ditulis dalam bentuk babad, prasasti maupun lontar yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarganya yang merasa senior, ialah keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dari klen.

  Pada etnis Tionghoa sistem kekerabatan juga berdasarkan pada kelompok- kelompok kekerabatan atau klen-klen atau dalam bahasa Tionghoanya disebut dengan shee. Setidaknya terdapat 15 shee yang ada di Desa Pupuan, yang dapat dilihat pada tabel berikut ini:

  Tabel 4.4. Marga (shee) Etnis Tionghoa diDesa Pupuan No. Nama Marga (See)

  Jumlah (Kepala Keluarga)

  6. Tjan (can)

  Sumber:Data Perkumpulan Karang Semadi tahun 2012 Perkawinan dalam etnis Tionghoa di Desa Pupuan menghindari adanya

  perkawinan,antar sesama shee yang sama, akan tetapi jika bukan kerabat dekat (misalnya saudara sepupu-sepupu) diperbolehkan. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih memiliki hubungan kekerabatan, tetapi dari generasi yang lebih tua juga dihindari, sebaliknya perkawinan antara seorang anak perempuan dengan anggota keluarga dari generasi yang lebih tua dapat diterima. Alasan dari keadaan ini adalah bahwa seorang suami tidak boleh lebih muda tingkatannya dengan istrinya. Perkawinan dengan etnis lainnya khususnya dengan etnis Bali juga seringkali terjadi di Desa Pupuan, di mana yang lebih sering terjadi adalah laki-laki etnis Tionghoa menikah dengan perempuan

  Setelah menikah, istri akan tinggal dirumah suami, di mana hal ini erat hubungannnya dengan tradisi Tionghoa bahwa anak laki-laki tertua merupakan pewaris dan yang akan melanjutkan pemujaan terhadap leluhur. Putra-putra selanjutnya tidak terlalu terikat dengan ketentuan ini, mereka bisa dengan bebas memilih sendiri, apakah ikut tinggal dirumah orang tua atau tinggal dirumah sendiri yang baru.

  Dilihat dari sistem perkawinannya, maka bentuk keluarga etnis Tionghoa di Desa Pupuan, termasuk ke dalam bentuk keluarga luas, yang bisa dibedakan menjadi 2 bentuk.

  1. Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua beserta istri dan anak-anaknya serta saudaranya yang belum kawin.

  2. Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan anak laki-laki beserta keluarga batih mereka masing-masing.

  Adanya sistem kekerabatan, yang berkembang di Desa Pupuan, baik itu pada etnis Bali maupun etnis Tionghoa, lama kelamaan akan menjadi pondasi dasar dari adanya organisasi-organisasi sosial yang berkembang di Desa Pupuan. Secara garis besar, organisasi sosial dalam masyarakat Desa Pupuan terdiri dari lembaga pemerintahan yang bersifat resmi (pemerintah) dan lembaga adat. Lembaga pemerintahan yang besifat resmi disebut dengan desa dinas bernaung secara struktural di bawah pemerintah Republik Indonesia, sedangkan lembaga adat yang merupakan sebuah lembaga kesatuan masyarakat lokal disebut dengan desa adat. Selain lembaga-lembaga ini, ada juga beberapa organisasi sosial yang Adanya sistem kekerabatan, yang berkembang di Desa Pupuan, baik itu pada etnis Bali maupun etnis Tionghoa, lama kelamaan akan menjadi pondasi dasar dari adanya organisasi-organisasi sosial yang berkembang di Desa Pupuan. Secara garis besar, organisasi sosial dalam masyarakat Desa Pupuan terdiri dari lembaga pemerintahan yang bersifat resmi (pemerintah) dan lembaga adat. Lembaga pemerintahan yang besifat resmi disebut dengan desa dinas bernaung secara struktural di bawah pemerintah Republik Indonesia, sedangkan lembaga adat yang merupakan sebuah lembaga kesatuan masyarakat lokal disebut dengan desa adat. Selain lembaga-lembaga ini, ada juga beberapa organisasi sosial yang

  Desa dinas yang memiliki keterikatan langsung dengan pemerintahan pusat, di mana desa dinas juga menjadi sebuah representasi langsung dari negara. Segala urusan administratif kenegaraan seperti pembuatan KTP, KK, Jamkesmas, berhubungan dengan desa dinas. Desa dinas dikepalai oleh kepala desa atau disebut dengan perbekel, yang mana dipilih langsung oleh warga Desa Pupuan. Berbeda halnya dengan lurah yang ditunjuk langsung oleh Bupati. Desa Pupuan terdiri dari 5 banjar dinas yaitu Banjar Dinas yang dikepalai oleh kelian banjar dinas.

  Dalam pemerintahannya, perbekel dibantu oleh sebuah lembaga legislatif yang disebut dengan Badan Permusyawaratan Desa(BPD). Keanggotaan BPD Desa Pupuan terdiri dari 9 orang yang merupakan perwakilan dari banjar dinas. Untuk lebih jelasnya, struktur pemerintahan Desa Dinas Pupuan, dapat dilihat pada bagan berikut:

  Bagan 4.1 Struktur Pemerintahan Desa Pupuan

  Kasi Pembangunan

  Kaur

  Kaur Keuangan Kaur Umum

  Administrasi

  Kasi

  Kasi Kesejahteraan

  Klian Dinas

  Sumber: Data Desa Pupuantahun 2012 Keterangan: ------------------- : Garis Koordinasi

  : Garis Komando

  Desa adat merupakan sebuah lembaga yang berkedudukan di desa yang memiliki wewenang dalam permasalahan adat di Desa Adat Pupuan. Ada beberapa istilah yang memiliki keterkaitan dengan desa adat. Yaitu sima, dresta, lekita, paswara, awig-awig,dan karama atau krama. Sima pada mulanya berarti patok atau batas suatu wilayah desa yang kemudian berubah arti menjadi patokan- patokan atau ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku dalam suatu Desa adat merupakan sebuah lembaga yang berkedudukan di desa yang memiliki wewenang dalam permasalahan adat di Desa Adat Pupuan. Ada beberapa istilah yang memiliki keterkaitan dengan desa adat. Yaitu sima, dresta, lekita, paswara, awig-awig,dan karama atau krama. Sima pada mulanya berarti patok atau batas suatu wilayah desa yang kemudian berubah arti menjadi patokan- patokan atau ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku dalam suatu

  Awig-awig yang berarti suatu ketentuan yang mengatur tatakrama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewudjudkan tata kehidupan yang ajeg diimasyarakat. Karama yang kemudian berubah menjadi krama pada mulanya berarti kumpulan orang-orang yang sudah berumah tangga kemudian berubah menjadi berarti masyarakat. Istilah-istilah tersebut sampai sekarang masih dipergunakan dalam desa adat, yang mana istilah-istilah tersebut berasal dari jaman bali kuno (Inventarisasi Nilai-nilai Budaya Bali, 1983:8).

  Desa adat di Bali dibagi menjadi dua jenis, yakni desa adat yang terdiri dari satu banjar adat, dan desa adat yang terdiri dari beberapa banjar adat. Desa Adat Pupuan sendiri terdiri dari 5 banjar adat, yaitu Banjar Adat Pupuan, Banjar Adat Kubu, Banjar Adat Kayupuring, Banjar Adat Kayupadi, dan Banjar Adat Semoja.

  Banjar merupakan suatu kesatuan komunitas yang lebih kecil dari pada desa. Secara etimologis, banjar berarti baris atau lingkungan. Keanggotaan sebuah banjar adat dibagi menjadi 2 yaitu sistem karang ayahan dan sistem mepekuren. Sistem karang ayahan mendasarkan keanggotaan krama banjar adat pada penggunaan tanah milik desa adat di mana krama banjar itu tinggal. Seseorang yang menenpati tanah desa atau karang ayahan desa tersebut dikenai ayahan desa yaitu wajib kerja untuk desa dan juga dikenai papeson (wajib materi Banjar merupakan suatu kesatuan komunitas yang lebih kecil dari pada desa. Secara etimologis, banjar berarti baris atau lingkungan. Keanggotaan sebuah banjar adat dibagi menjadi 2 yaitu sistem karang ayahan dan sistem mepekuren. Sistem karang ayahan mendasarkan keanggotaan krama banjar adat pada penggunaan tanah milik desa adat di mana krama banjar itu tinggal. Seseorang yang menenpati tanah desa atau karang ayahan desa tersebut dikenai ayahan desa yaitu wajib kerja untuk desa dan juga dikenai papeson (wajib materi

  Sedangkan sistem mepekuren mendasarkan keanggotaan pada pernikahan. Ketika ada seorang purusa yang menikah, secara otomatis dia akan menjadi anggota banjar adat. Untuk keanggotaan banjar adat di Desa Adat Pupuan mempergunakan gabungan antara sistem mepekuren dan karang ayahan. Secara singkat bisa dinyatakan bahwa ada dua cara menjadi warga desa adat di Desa Pupuan, yakni dengan menempati tanah desa yang kemudian berimplikasi pada tanggung jawab pada desa (karang ayahan) dan juga dengan melangsungkan pernikahan.

  Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut klian banjar. Klian banjar dipilih untuk suatu masa jabatan tertentu oleh warga banjar, dimana di Desa Pupuan, klian banjar dipilih setiap tiga tahun sekali. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komunitas, tetapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Seorang klian banjar seringkali harus juga memecahkan soal-soal yang menyangkut hukum adat tanah dan dianggap ahli dalam adat banjar pada umumnya. Adapun hal-hal yang menyangkut irigasi dan pertanian biasanya berada di luar kewenangannya. Hal itu adalah wewenang organisasi irigasi subak.

  Untuk lebih jelasnya, struktur pemerintahan Desa Adat Pupuan, dapat dilihat pada bagan berikut:

  Bagan 4.2

  Struktur Pemerintahan Desa Adat Pupuan

  Bendesa Adat

  Kerta Desa

  Petajuh

  Penyarikan

  Petengen Kasinoman

  Klian Adat

  Penyarikan

  Petengen

  Juru Arah

  Sumber: Desa Adat Pupuan tahun 2012

  Keterangan:

  : jalur komando : jalur koordinasi

  Ada suatu ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku di Desa Pupuan, bahwa etnis Tionghoa juga mendapatkan perwakilan dalam struktur Desa Adat, yang mana pada saat ini, diwakili oleh Ketut Anto Wijaya, yang menjabat di Kerta Desa. Perwakilan ini hanya berlaku untuk etnis Tionghoa saja, tapi tidak untuk etnis-etnis lainnya di Desa Pupuan. Bahkan sampai tahun 1970-an, etnis Tionghoa di Desa Pupuan masuk cacakan banjar.

  Di luar banjar dan subak terdapat juga perkumpulan-perkumpulan yang disebut dengan sekaa, yang memiliki tujuan untuk memenuhi kepentingan- kepentingan tertentu. Berbeda dengan keanggotaan banjar, keanggotaan sekaa Di luar banjar dan subak terdapat juga perkumpulan-perkumpulan yang disebut dengan sekaa, yang memiliki tujuan untuk memenuhi kepentingan- kepentingan tertentu. Berbeda dengan keanggotaan banjar, keanggotaan sekaa

  Sebagaimana desa adat lainnnya di Bali, Desa Adat Pupuan juga mampergunakan konsepsi Tri Hita Karana. Secara etimologis, Tri Hita Karana tersusun dari tiga kata, yakni tri artinya tiga, hita artinya kemakmuran dan karana artinya sebab. Dengan demikian istilah tersebut berarti tiga sebab kemakmuran. Di mana jika konsep ini diletakkan dalam kerangka desa adat, maka akan diharapkan tercipta keharmonisan. Tri Hita Karana itu sendiri terdiri dari:

  1. Parahyangan, yang tercermin dengan adanya Pura Khayangan Tiga yang terdapat di Desa Adat Pupuan, yang merupakan tempat pemujaan warga desa, yakni Pura Puseh (tempat pemujaan Brahma yang menciptakan alam semesta beserta isinya), Pura Desa dan Bale Agung (tempat pemujaan Wisnu beserta isinya), dan Pura Dalem (tempat pemujaan Siwa, sebagai pemralina).

  2. Palemahan, tercermin dengan adanya tanah-tanah ulayat milik desa.

  3. Pawongan, merupakan seluruh warga desa adat yang bersangkutan , di mana yang menjadi inti adalah pasangan suami istri yang telah berkeluarga.

  Sedangkan etnis Tionghoa di Desa Pupuan terikat dengan satu organisasi suka duka yang dikenal dengan nama Karang Semadi. Keanggotaan Karang Semadi meliputi semua warga etnis Tionghoa yang berasal dari Desa Pupuan, Sedangkan etnis Tionghoa di Desa Pupuan terikat dengan satu organisasi suka duka yang dikenal dengan nama Karang Semadi. Keanggotaan Karang Semadi meliputi semua warga etnis Tionghoa yang berasal dari Desa Pupuan,

  Untuk lebih jelasnya, struktur Karang Semadi sebagai berikut:

  Bagan 4.3

  Struktur Organisasi Perkumpulan Suka Duka Karang Semadi di Desa Pupuan

  Ketua (Lotiah) Pupuan)

  Pembantu Umum

  Umum Bidang

  Umum Bidang

  sumber: Data Karang Semadi tahun 2012

  Dalam perkumpulan Suka Duka Karang Semadi, anggota wajib untuk datang pada saat ada warga yang meninggal dan membayar uang iuran kematian sebesar Rp 5.000 per anggota. Selain itu dalam persembahyangan Cengbeng dan

  Rebutan, Karang Semadi juga membentuk kepanitian yang pada nantinya akan menjadi pelaksana dalam acara sembahyang, pemilihan kepanitiaan ini berdasarkan pada lemparan Siopwe, yang mana akhirnya akan dipilih 1 ketua (Lauchu) dan 9 anggota (Tauke). Anggota Karang Semadi juga akan mendapatkan hak untuk dikuburkan dikompleks pekuburan etnis Tionghoa diDesa Pupuan.