Adanya Faktor Sosial Ekonomi
6. 2. Adanya Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi juga mendukung adanya proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Faktor sosial ekonomi merupakan modal sosial dan modal simbolik yang memiliki peran dalam proses perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Modal sosial merupakan menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa sedangkan modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi.
Pada perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, hal ini terlihat pada pada:
6.2.1. Hakekat Kerja serta Usaha Manusia
Hakekat kerja etnis Tionghoa banyak dipengaruhi oleh ajaran Konfusius. Dalam ajaran Konfusius, terdapat ajaran yang disebut dengan hubungan segitiga, yakni hubungan antara konfusianisme, keluarga dan kerja. Penanaman moral pertama kalinya harus terjadi dalam keluarga. Apabila dalam setiap keluarga terjadi hubungan yang serasi, maka masyarakat dunia akan tertib dan damai. Sikap bakti anak kepada orang tua juga terjadi dalam keluarga, sikap pemujaan kepada leluhur yang digariskan secara tetap juga membicarakan tentang keluarga. Penggunaan nama keluarga secara cermat dan teratur oleh Konfusius juga memberikan jalinan yang terjadi dalam keluarga.
Sedemikian pentingnya perhatian pada keluarga, sehingga etos kerja pun dihubungkan dengan keluarga. Salah satu bentuk penghormatan kepada orang tua adalah apabila seseorang dapat menunjukkan hasil kerjanya dengan baik. Konfusius pun mengatakan “meskipun ayah dan ibumu telah meninggal, tetapi kalau kamu telah bekerja dengan baik maka hal ini akan menunjukkan bagaimana mengharumkan nama orang tuamu dan segala cita-citamu akan tercapai. Tetapi sebaliknya bila kamu bekerja dengan tidak baik, maka ini akan memberikan aib bagi nama orang tuamu dan kamu tidak akan mencapai cita-citamu ”. Orang yang dapat bekerja dengan baik telah dianggap berbakti kepada orang tua dan akan memperoleh pahala didunia akhirat kelak, dan sebaliknya orang yang tidak bekerja dengan baik, ia telah berlaku tidak bakti kepada orang tua dan mendapat hukuman di dunia akhirat kelak. Karena itulah etnis Tionghoa menjadi memiliki Sedemikian pentingnya perhatian pada keluarga, sehingga etos kerja pun dihubungkan dengan keluarga. Salah satu bentuk penghormatan kepada orang tua adalah apabila seseorang dapat menunjukkan hasil kerjanya dengan baik. Konfusius pun mengatakan “meskipun ayah dan ibumu telah meninggal, tetapi kalau kamu telah bekerja dengan baik maka hal ini akan menunjukkan bagaimana mengharumkan nama orang tuamu dan segala cita-citamu akan tercapai. Tetapi sebaliknya bila kamu bekerja dengan tidak baik, maka ini akan memberikan aib bagi nama orang tuamu dan kamu tidak akan mencapai cita-citamu ”. Orang yang dapat bekerja dengan baik telah dianggap berbakti kepada orang tua dan akan memperoleh pahala didunia akhirat kelak, dan sebaliknya orang yang tidak bekerja dengan baik, ia telah berlaku tidak bakti kepada orang tua dan mendapat hukuman di dunia akhirat kelak. Karena itulah etnis Tionghoa menjadi memiliki
Etos Kerja pada Masyarakat Tionghoa menurut Konfusius
Dengan melihat anak panah di atas, tampak bahwa keluarga merupakan fokus pembicaraan, etos kerja pada masyarakat Tionghoa terletak pada keinginan untuk bakti pada keluarga serta memperoleh pahala kelak di akhirat (Hariyono, 1994:37-39).
Hal ini kemudian menjadi pendorong etnis Tionghoa di Desa Pupuan memiliki kemampuan ekonomi lebih dibandingkan dengan etnis Bali. Menurut Boerdiue, hal ini merupakan modal simbolik yang dimiliki oleh etnis Tionghoa, yang mana tidak terlepas dari kekuasaan simbolik; kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan sesuatu yang setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus mobilisasi. Akan tetapi hal ini juga bisa berkonversi menjadi modal sosial, apabila hubungan- hubungan yang terjalin antar filosofi (konfusius), keluarga, dan kerja menjadi sebuah jaringan dan membetuk relasi dengan jaringan-jaringan yang lain semisal kekuasaan, di mana pada akhirnya memperkuat peluang etnis Tionghoa mendapatkan kemampuan ekonomi yang lebih.
Pada masa lampau, sebagian besar tanah di Desa Pupuan dan wilayah kecamatan Pupuan dimiliki oleh tuan-tuan tanah etnis Tionghoa, yang mana digarap oleh etnis Bali dan ini menjadikan etnis Tionghoa sangat dihormati di Pupuan dikarenakan kemampuan ekonominya. Hal ini menjadikan etnis Tionghoa di Desa Pupuan terkenal dengan simbol kekuatan ekonominya.
Sedangkan pada etnis Bali, hakekat kerja tidaklah bisa terlepas dari adanya konsepsi ngayah. Secara harfiah ngayah berarti: melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990). Istilah ini dari segi etimologis diadopsi dari konteks politik dan kultur feodal dari zaman raja-raja Bali, yakni dari akar kata “Ayah” yang terpancar dari budaya PatrilinealPatrirhat, terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya. Maka kemudian menjadi “ayahan” yang secara sangat spesifik ialah mengacu pada tanah ayahan desa (sebagai bagian integral tanah adat) dan konskuensinya.
Dalam hal ngayah, setiap orang Bali, khususnya yang masih memeluk agama Hindu, terikat dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhidijalani sebagai salah satu wujud tanggung jawab. Dalam kaitannya dengan kewajiban- kewajibannya ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Kewajiban religius, kepada Ida Sang Hyang Widhi, bisa berupa ngayah di pura, merajan, maupun ngayah yang berkaitan dengan upacara-upacara Dewa Yadnya.
2. Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan sosial masyarakat (metulungan), baik itu dengan keluarga, di banjar maupun di desa
3. Kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan lingkungan, baik itu yang ada hubungannya dengan upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya maupun Bhuta Yadnya. ( anonim. http:singaraja.wordpress.com20080713ngayahE2809D-sebuah-kajian- filosofis . Diakses tanggal 9 Agustus 2012 ).
Secara fenomenalogis, ngayah merupakan sebuah gejala sosio-religio- kultural masyarakat Hindu Bali. Dalam kaitan ini ngayah menjadi gejala religio- kultural yang dengan jelas dapat diamati dalam masyarakat bersangkutan.Refleksi ethos ngayah dalam kontek budaya global ini dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan.Bentuk pemahaman, penghayatan dan implementasi ngayah dalam arti luas ini, antara lain dapat direfleksikan melalui menulis cerita-cerita ke- Tuhanan, menulis buku-buku agama, Dharma wacana, menyekolahkan anak yatimpiatu, mengajarkan tentang agama dan sebagainya.
Aktivitas ngayah yang masih melekat dalam sikap batin dan budaya manusia Hindu pada hakekatnya berpegang pada suatu rumusan filosofis “kerja sebagai ibadah” dan “ibadah dalam kerja”. Dalam disiplin kerja relegius manusia modern (barat) pemahaman demikian tertuang dalam motto “ora et labora” (bekerjalah dan berdoalah). Pemahaman atas hakekat kerja tersebut secara praktis juga perlu didukung oleh suatu sikap batin yang terumus dalam kalimat “rame ing gawe sepi ing pamrih”. Ungkapan ini nampak sederhana tapi mengandung makna yang sangat dalam, di mana pada tatanan inilah kegiatan ngayah secara filosofis adalah upaya yang otomatis memiliki hakikat “kebebasan eksistensial” ini, seperti di sindir di dalam lontar Singhalanggyala Parwa, bahwa tidak jatuh dari langit Aktivitas ngayah yang masih melekat dalam sikap batin dan budaya manusia Hindu pada hakekatnya berpegang pada suatu rumusan filosofis “kerja sebagai ibadah” dan “ibadah dalam kerja”. Dalam disiplin kerja relegius manusia modern (barat) pemahaman demikian tertuang dalam motto “ora et labora” (bekerjalah dan berdoalah). Pemahaman atas hakekat kerja tersebut secara praktis juga perlu didukung oleh suatu sikap batin yang terumus dalam kalimat “rame ing gawe sepi ing pamrih”. Ungkapan ini nampak sederhana tapi mengandung makna yang sangat dalam, di mana pada tatanan inilah kegiatan ngayah secara filosofis adalah upaya yang otomatis memiliki hakikat “kebebasan eksistensial” ini, seperti di sindir di dalam lontar Singhalanggyala Parwa, bahwa tidak jatuh dari langit
Jadi secara garis besar hakekat kerja etnis Tionghoa dan etnis Bali memiliki kesamaan yakni sama-sama ingin menunjukkan baktinya baik itu kepada keluarga maupun kepada Tuhan, disinilah kemudian letak kesinambungan hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali, di mana konsepsi bakti etnis Tionghoa bertemu dengan konsepsi ngayah etnis Bali, dan kedua konsepsi disini akhirnya bertemu di Desa Pupuan. Kata ngayah sendiri kemudian ditiru oleh etnis Tionghoa diDesa Pupuan untuk menunjukkan baktinya ke hadapan leluhur, dewa bahkan ke pura.
6.2.2. Hubungan antara Manusia dengan Sesamanya.
Dalam ajaran Budha dikembangkan sifat suka menolong antara manusia dengan sesamanya. Manusia harus melakukan atau berbuat murah hati yang terwujud dalam sifat suka menolong karena murah hati merupakan difusi dari pengetahuan dan kebajikan.
Konfusius juga mengajarkan jen untuk menamakan hubungan ideal dari yang seharusnya terjadi antara sesama manusia. Jen juga berusaha untuk membuat orang lain menjadi besar, karena kebesaran hati tidaklah mengenal batas-batas bangsa. Jen mengetahui bahwa dalam empat samudra semua manusia bersaudara.
Akan tetapi dalam jen, juga dikemukakan bahwa hubungan sosial yang paling berarti adalah hubungan antara keluarga.
Pada etnis Bali terdapat filsafat Tat Twam Asi, yang memiliki arti aku adalah kamukita (manusia) seyogyanya sama, baik yang menciptakan maupun yang menjiwai kita (roh). Dengan filsafat Tat Twam Asi, kita tidak akan pernah berpikir untuk membedakan-bedakan individu manapun. Perbedaan seperti suku, agama, ras, warna kulit, bukanlah alasan untuk terpecah. Semua manusia memiliki hak yang sama untuk bisa hidup berdampingan satu sama lain.
Selain itu, teredapat juga filosofi Tri Kaya Parisudha, yang berarti tiga tahap perbuatan yang baik,terdiri dari Manah cika (berpikir yang baik dan positif), Wacika (berkataberucap yang baik), dan Kayika (berprilaku yang baik). Filsafat
ini mengarahkan seseorang untuk selalu memulai sesuatu dari pikiran yang positif, sehingga dari pikiran yang positif akan muncul perkataan serta perbuatan yang baik. Orang atau individu yang mengamalkan filsafat ini diarahkan untuk bagaimana menjadi pribadi yang baik. Namun makna “orang yang baik” disini dapat mengandung dua makna, pertama merupakan penyataan, kedua menunjukkan seseorang yang cara hidupnya dipakai sebuah teladan. Dalam konteks ini makna yang dimaksud adalah yang kedua-yang di mana terkandung suatu nilai yaitu nilai kesusilaan. Jadi makna “orang yang baik” dalam konteks ini adalah orang yang mempunyai perikehidupan yang bernilai ditinjau dari sudut pandang kesusilaan.
Rekatnya hubungan sesama antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan, juga dikarenakan adanya perkawinan saling silang yang terjadi Rekatnya hubungan sesama antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Desa Pupuan, juga dikarenakan adanya perkawinan saling silang yang terjadi
Modal sosial termasuk hubungan-hubungan dan jaringan hubungan- hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial. (Hardyatmoko, 2003:12). Inti dari modal sosial adalah hubungan sosial yang terjalin dalam kehidupan sehari-hari antar warga masyarakat. Dalam modal sosial selalu tidak terlepas pada tiga elemen pokok yang ada pada modal sosial yang mencakup:
1. KepercayaanTrust
Fukuyama, menyatakan bahwa kepercayaan adalah efek samping yang sangat penting dari norma-norma sosial yang kooperatif yang memunculkan modal sosial. Kepercayaan bukan merupakan kebajikan moral tetapi lebih merupakan efek samping dari kebajikan, ia muncul ketika masyarakat saling berbagi norma-norma kejujuran dan kesediaan untuk saling menolong dan oleh karenanya mampu bekerja sama (Fukuyama, 2002: 72-75).
2. Jaringan SosialSocial Networks
Jaringan adalah sekelompok agen-agen individual yang berbagi norma atau nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai atau norma-norma formal. Hubungan manusia sangat berarti baginya sebagai individu. Dapat
dikatakanbahwa kita, setidaknya sebagian, diartikan melalui siapa yang kita kenal. Secaralebih luas, ikatan-ikatan di antara manusia juga berperan sebagai dindingpembatas bagi struktur-struktur sosial yang lebih luas. Ide sentral dari modalsosial adalah bahwa jaringan-jaringan sosial merupakan suatu aset yang bernilai (Field dalam Syahputra, 2008:14). Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan antara individu dalam komunitas. Jaringan sosial tradisional biasanya atas dasar kesamaan garisketurunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeatedsocial experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan(religious belief) cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentangjaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompokyang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaanorganisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yanglebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. (Syahputra, 2008: 14-15).
3. Normanorms (nilai-nilai bersama, norma dan sanksi, aturan-aturan).
Norma merupakan unsur yang paling penting dalam pembentukan modal sosial, dikarenakan dalam norma terdapat nilai-nilai seperti kejujuran (trust), pemenuhan tugas, dan kesedian tolong menolong. Akan tetapi norma tidak sendiri menghasilkan modal sosial, dikarenakan nilai tersebut mungkin nilai yang salah. Misalkan saja dalam kasus mafia di Italia. Mafia dicirikan oleh aturan internal yang kuat, dan para mafiosa disebut sebagai orang-orang yang terhorat. Namun norma-norma yang berlaku pada mafia tidak bisa diberlakukan secara umum, Norma merupakan unsur yang paling penting dalam pembentukan modal sosial, dikarenakan dalam norma terdapat nilai-nilai seperti kejujuran (trust), pemenuhan tugas, dan kesedian tolong menolong. Akan tetapi norma tidak sendiri menghasilkan modal sosial, dikarenakan nilai tersebut mungkin nilai yang salah. Misalkan saja dalam kasus mafia di Italia. Mafia dicirikan oleh aturan internal yang kuat, dan para mafiosa disebut sebagai orang-orang yang terhorat. Namun norma-norma yang berlaku pada mafia tidak bisa diberlakukan secara umum,
Ketiga elemen modal sosial di atas berikut aspek-aspeknya pada adalah elemen yang ada atau seharusnya ada dalam kehidupan sebuah kelompok sosial, apakahkelompok itu bernama komunitas, masyarakat, suku bangsa, atau kategori lainnya atau dengan kata lain elemen-elemen modal sosial tersebut merupakan pelumas yang melicinkan berputarnya mesin struktur sosial.
Modal sosial ini kemudian membuat adanya relasi hubungan timbal balik, di mana etnis Bali mempelajari kebiasaan-kebiasaan etnis Tionghoa dan begitu juga sebaliknya, etnis Tionghoa juga mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh etnis Bali. Tidak sebatas kebiasaan, etnis Tionghoa bahkan mempelajari makna di dalamnya, yang kemudian mereka imitasikan karena dianggap sesuai atau memiliki kesamaan-kesamaan dengan budaya asli mereka. Selain itu modal sosial juga terdapat pada relasi-relasi yang terjadi dikarenakan sama-sama menjadi anggota subak, krama banjar dan hubungan-hubungan pertemanan yang terjadi antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa.
Adanya ketiga modal yang dimiliki oleh masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan, menjadikan praktik perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan menjadi suatu keniscayaan. Di mana, praktik dari Bourdieu yang dinyatakan dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. (Takwin, dalam Harker dkk.ed, 2009:xx).
Secara sederhana, habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, tetapi Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003:9) menyatakan bahwa habitus merupakan ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkannya menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian yang subjektif terhadap posisi itu (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 13-14). Konsepsi habitus menjadi penting karena merupakan skema kognitif pilihan individusebagai sesuatu yang terpola, yakni pola persepsi, pemikiran dan tindakan yangbertahan dalam jangka panjang. Bourdieu melihat habitus sebagai kunci reproduksi, karena ia membangkitkan praktik-praktik yang membentuk kehidupansosial.
Konsepsi habitus yang dilaksanakan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan merupakan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh etnis Bali di Desa Pupuan. Misalnya persembahyangan ke Pura, membuat banten, penjor pada saat hari Raya Galungan, ngelawar, bahkan mekekawin dan mempelajari aksara Bali. Selain itu dalam upacara-upacara yang dilaksanakan oleh etnis Tionghoa khususnya yang dilaksanakan di rumah pribadi, pastilah didahului dengan mebanten pada Jero Gde. Kebiasaan-kebiasaan ini dilakukan atau diimitasi oleh etnis Tionghoa baik secara sadar maupun tidak sadar dikarenakan ranah mereka tinggal sama-sama di Desa Pupuan. Hal ini juga menjadikan etnis Tionghoa di
Desa Pupuan sangat fasih untuk menulis dalam Aksara Bali. Salah satu contoh dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 6.1 Cerita Ramayana yang ditulis dalam Aksara Bali, Buah Karya salah satu Warga Etnis Tionghoa di Desa Pupuan (Dok.: Yudha, 2012)
Konsep habitus tidak bisa dilepaskan dengan konsep ranah. Dua konsep itu sangat terikat satu sama lain dikarenakan saling mengandaikan hubungan dua arah: struktur-struktur objektif (struktur-struktur bidang sosial) dan struktur- struktur habitus yang terintegrasi pada pelaku (Bourdieu dalam Hardyatmoko, 2003:11). Konsepsi ranah yang dipergunakan Bourdieu hendaknya tidak dipandang sebagai ranah yang berpagar disekelilingnya, melainkan sebagai ranah kekuatan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk melihat ranah tersebut sebagai dinamis, suatu ranah di mana beragam potensi eksis (Mahar, dalam Konsep habitus tidak bisa dilepaskan dengan konsep ranah. Dua konsep itu sangat terikat satu sama lain dikarenakan saling mengandaikan hubungan dua arah: struktur-struktur objektif (struktur-struktur bidang sosial) dan struktur- struktur habitus yang terintegrasi pada pelaku (Bourdieu dalam Hardyatmoko, 2003:11). Konsepsi ranah yang dipergunakan Bourdieu hendaknya tidak dipandang sebagai ranah yang berpagar disekelilingnya, melainkan sebagai ranah kekuatan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk melihat ranah tersebut sebagai dinamis, suatu ranah di mana beragam potensi eksis (Mahar, dalam
Konsep ranah ini menjadi sangat menentukan dikarenakan masyarakat sangat terdiferensiasi dalam lingkup-lingkup hubungan objektif, mempunyai kekhasan yang tidak bisa direduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Namun pada dasarnya dalam setiap masyarakat, ada yang menguasai dan dikuasai, di mana dalam pembedaan ini, terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial. Namun dominasi ini tergantung pada situasi modal dan strategi pelaku (Hardyatmoko, 2003:11).
Ketika modal budaya, modal sosial dan modal simbolik sudah ada, maka kemudian modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut dapat memiliki arti. Keterkaitan antara ranah, modal dan habitus bersifat langsung. Nilai yang diberikan oleh modal dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan cultural habitus. Ranah dikitari oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material. Jenis-jenis modal yang dikenali dalam ranah-ranah tertentu dan yang digabungkan kedalam habitus sebagian juga dihasilkan oleh basis material tersebut. Lazimnya, jumlah modal sebagaimana struktur modal tambahan juga merupakan dimensi penting dalam ranah (Mahar, dalam Harker dkk. Ed, 2009: 15).
Selain itu, proses imitasi budaya ini bisa berjalan tanpa adanya konflik dari etnis Bali yang dominan di Desa Pupuan, juga dikarenakan etnis Bali dianggap memiliki sifat-sifat:
1. Terbuka. Manusia Bali memiliki pengalaman sejarah yang panjang dalam interaksi antar-suku bangsa, dan bahkan antar bangsa sehingga lahirlah suatu sifat dan karakter terbuka; manusia Bali adalah ‘manusia herodianis’, dalam arti selalu siap membuka pintu untuk menyongsong kehadiran manusia asing dan kebudayaan luar.
2. Ramah dan luwes. Manusia bali memiliki pengalaman yang luas dan panjang tentang berbagai perbedaan kelompok, hierarki kelompok, jarak sosial, segregasi kelompok, serta kompetisi keras dalam kelompok. Oleh sebab itulah manusia Bali terlahir sebagai manusia yang ramah dalam menghadapi siapa saja. Karena manusia Bali telah lama menghadapi berbagai perbedaan, maka kemudian lahir sifat-sifat luwes atau fleksibel (lentur)
3. Jujur. Manusia Bali pada hakekatnya adalah manusia-manusia jujur, karena sangat yakin akan makna ontologisme dari hukum karma. Di masa yang lampau di dalam masyarakat Bali dijumpai fenomena penyimpangan dan penyakit sosial yang sangat rendah, dan bahkan pencuri saja hampir tidak ada. Namun kini situasi telah berubah.
4. Kreatif dan estetis. Manusia Bali memiliki sifat kreatif dalam penciptaan budaya dalam arti luas, dan dalam penciptaan seni. Seni tari klasik, seni lukis, seni ukir serta pahatan sudah sangat maju dan populer hingga ke mancanegara.
5. Kolektif. Manusia-manusia Bali memiliki sifat kolektif yang sangat kuat, karena manusia-manusia Bali dilahirkan, dibesarkan dan dikembangkan dalam sistem sosial yang menekankan kebersamaan dan sistem interaksi primer dalam adat, dalam kekerabatan yang integratif dan dalam sistem kelompok. Sistem sosial ini juga telah melahirkan sifat toleransi dan gotong royong. Namun sifat ini tampaknya mulai mencair.
6. Kosmologis. Manusia Bali memiliki sifat yang sangat menekankan keseimbangan, meliputi keseimbangan antara material dan spiritual antara manusia dengan Tuhan, alam dan masyarakat sebagaimana tercermin dalam Tri Hita Karana
7. Religius. Manusia-manusia Bali sebagai manusia yang berbudaya adalah manusia yang religius; manusia Bali selalu disibukkan dengan ritual agama (Panca Yadnya) yang kompleks. Kendatipun jauh lebih sibuk melaksanakan ritual dibandingkan dengan menjalankan ajaran agama, namun manusia Bali memiliki emosi religius internal yang kuat dan kokoh.
8. Moderat. Manusia Bali dianggap memiliki sifat yang moderat yaitu sifat yang tidak radikal maupun tidak lembek. Manusia Bali selalu memiliki sifat dan sikap untuk mengendalikan diri ditengah lingkungan fisik dan sosial sehingga tidak memiliki sifat radikal atau agresif manakala mereka berada dalam kondisi frustasi (Naya Sujana, Nyoman. Manusia Bali di Persimpangan Jalan dalam Dinamika masyarakat dan Kebudayaan Bali,1994: 49-50).