Sejarah Pupuan

4.6 Sejarah Pupuan

  Lokasi Desa Pupuan saat ini merupakan salah salah satu daerah hunian kuna di Bali. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan-temuan arkeologis berupa sarkofagus-sarkofagus yang tersebar di Desa Pupuan, diantaranya sarkofagus yang ditemukan pada sekitar tahun 1950-an didaerah perkebunan Pupuan, yang sekarang sudah dikubur kembali dan menjadi bangunan suci yang disebut dengan

  Gambar 4.6.

  Sarkofagus di Pura Griya Sari di Desa Pupuan

  (Dok. : Yudha, 2012)

  Pada tahun 1996 diketemukan juga lengkap dengan tutup di lokasi yang disebut dengan Kayu Puring (Suantika, 2010:15-16). Dimana lokasi sarkofagus saat ini dikeramatkan oleh pemilik tanah walaupun kondisi sarkofagus sudah rusak. Adapun isi sarkofagus, menurut penuturan pemilik tanah, sudah dibawa ke museum. Selain itu di Pura Puseh Taman, juga terdapat tinggalan-tinggalan berupa Bajra, Tombak, Sangku dan beberapa lontar. Seperti yang terdapat pada gambar berikut:

  Gambar 4.7.

  Sarkofagus di Kayu Puring di Desa Pupuan

  (Dok. : Yudha, 2012)

  Temuan ini membuktikan bahwa ada kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di sana (Desa Pupuan saat ini) pada awal masehi, karena budaya penguburan mempergunakan sarkofagus merupakan budaya penguburan yang berkembang pada masa perundagian di Bali, dan masa perundagian ini berkembang pada awal-awal tahun masehi.

  Selain penemuan-penemuan arkelogis tidak ada catatan-catatan yang khusus memuat mengenai perkembangan Desa Pupuan, hanya dari penuturan masyarakat setempat diketahui bahwa, sebelum ada Desa Pupuan, masyarakat yang tinggal di wilayah Desa Pupuan saat ini, menginduk pada desa induk yakni desa Bantiran Kuna. Nama Bantiran sendiri termuat dalam prasasti Gobleg, di mana dalam peresmian sebuah bangunan suci di Desa Tamblingan, banyak pejabat yang hadir termasuk Nayakan Bantiran. Mengingat lokasi Desa Bantiran

  dengan Desa Tamblingan berdekatan, maka diduga Nayakan Bantiran sendiri adalah tetua Desa Bantiran. Batas Desa Bantiran sendiri pada masa itu, meliputi, Barat Yeh Kepah dan Yeh Byu Metatu (kemungkinan Sungai Titab sekarang), sebelah utara ara terus naik ke tangkup (kemungkinan Sungai Saba, naik hingga di pertemuan dua sungai). Naik sampai patalyan batu(naik ke tempat yang tinggi tempat batu-batu berserakan, kemungkinan Desa Batungsel sekarang), sebelah timur Punduk Ibu (Gunung Batukaru), sebelah selatan sampai Kayu Puring (sebelah barat daya Desa Pupuan sekarang), Punduk Sumpilah Hanjuling(Sungai Jeling) terus di Leklek (Desa Seleksek sekarang). Jika diperkirakan, luas wilayah Desa Bantiran kuna sebagai desa induk (Banua I Bantiran) meliputi hampir keseluruhan wilayah Kecamatan Pupuan saat ini (Suantika, 2010:30-32).

  Pada masa berikutnya, keberadaan Desa Pupuan, juga belum disinggung. Hanya nama bantiran sebagai desa induk saat itu mulai disinggung dalam prasasti. Ini terlihat pada Prasasti Bantiran yang terbuat dari tembaga wasa. Dalam prasasti tersebut, disebutkan:

  Ing Caka 1072 Cetramasa, Tithi Dwadeca Cuklapaksa, Ta, Wa, Wr Waraning Julung Pujut irika dewasarine Paduka Cri Maharaja Jaya Sakti umajari para senapati mekadi rakyan Apatih Umingsor I Tanda Rakyan Ri Parkiran I Jro Mekabehan Kerusan Mpengku Cewasegata masabrahmana I Pingsor nyajna Paduka Cri Maharaja Ajaren sire kabeh Ri Gatinikang keramani Bantiran Apasapara pawongannya magil mare Tha Ni Salen kari Masesa sakuren atunggu karaman makanimitta kabyatan hutang lumud tan Kawasedenia ngisya drwya haji mwang pinta panumbas ri nayakanya ya tika sampun inusadan denier kabeh sumrahaken pandaksayanye kangenangen pawa lara prih sakitnya de Ibu ni Paduka Cri Maharaja apan purih kadhi sire Prabu saksat Hari Murti Jagadhita karuna ummmitisakaparipurnakna nikang rat rinaksaderina matangnyadawuh anugra paduka Cri Maharaja (Kecamatan Pupuan dalam Angka, 2010)

  Artinya:

  Pada tahun 1072 saka, bulan cetra, tanggal 12 bulan paro terang, hari tinggleh wager kemis wuku julung pujut, pada hari itulah Sri Maharaja Jayasakti memerintahkan para senapati terutama rakyan apatih kemudian para tanda rakyan didalam paseban terutama pendeta Siwa dan Buddha, Maha Brahmana, berikut amanat Sri Paduka Maharaja menerangkan kepada sekalian yang isinya tentang peristiwa penduduk desa Bantiran keadaannya pecah belah antara penduduk itu ada yang pergi kemudian tinggal didesa lain, hingga kini sisa dari penduduk tersebut masih satu keluarga saja yang tinggal menetap didesanya. Oleh karena itu mereka sngat berat menanggungnya, serta mereka tidak sanggup membayar pajak Drewyahaji dan iuran-iuran yang dipungut oleh para nayakanya. Hal ini sudah dibebaskan oleh sri baginda karena baginda terasa belas kasihan kepada kesusahan dan kesedihan masyarakat yang kecil itu. Lebih-lebih karena baginda merupakan penjelmaan Dewa Wisnu yang selalu mengamankan negara dan berbelas kasihan serta selalu menyempurnakan keadaan negara yang dikuasainya. Dan itulah baginda memerintahkan penduduk Desa Pupuan itu sekalian taklukannya diberikan sebuah piagam keputusan yang isinya antara lain: membebaskan hutang Prihawak, iuran-iuran dan hutang naik turun selama 5 tahun, di mana selama 5 tahun mereka tidak dipersalahkan dan tidak boleh ditahan serta disiksa dengan duri belatung dan juga tidak boleh dilaporkan kedalam pura. Setelah 5 tahun lamanya, barulah mereka kena iuranpermulaan sebagai biasa, sebanyak 4 masaka setiap hutangnya, yang satu Tabil dan tidak boleh dilipat dan tidak boleh dikenai iuran-iuran setiap hari, tidak kena Pancagina, hutang- hutangnya itu tidak kena Panusurtulis, dan iuran pembeli Sayub. Apabila ada seorang penduduk Desa Bantiran mempunyai hutang Prihawak, hal itu tiada dibenarkan oleh isi piagam keputusan ini.

  Berdasarkan isi dari prasati Bantiran dan Gobleg, maka dapat diperkirakan, usia Desa Bantiran sebagai desa induk adalah sekitar 10 abad (1000 tahun). Akan tetapi tidak ada satupun dari prasasti tersebut yang menyinggung nama Pupuan secara khusus, hanya, wilayah-wilayah yang menjadi wilayah Desa Pupuan saat ini telah disebutkan, seperti Kayu Puring dan Sungai Saba.

  Hingga saat ini, tidaklah dapat diketahui secara khusus, kapan pertama kalinya kata Pupuan muncul dan Desa Pupuan terlepas menjadi satu desa tersendiri yang mandiri, lepas dari Desa Bantiran Kuna. Akan tetapi, kata Pupuan diperkirakan berasal dari kata pupu yang artinya paha, kemudian diberi imbuhan Hingga saat ini, tidaklah dapat diketahui secara khusus, kapan pertama kalinya kata Pupuan muncul dan Desa Pupuan terlepas menjadi satu desa tersendiri yang mandiri, lepas dari Desa Bantiran Kuna. Akan tetapi, kata Pupuan diperkirakan berasal dari kata pupu yang artinya paha, kemudian diberi imbuhan

  

  Kemudian ada juga versi lain yang menyebutkan, nama Desa Pupuan berasal dari kata plupuhan yang berarti kubangan. Dilihat dari topografinya, yang cekung dan berlembah tepatlah dikatakan bahwa Desa Pupuan berasal dari kata plupuhan, dikarenakan Desa Pupuan dikelilingi oleh dataran tinggi di bagian utara, timur, dan barat.

  Mengenai kata Plupuhan ini, berdasarkan wawancara dengan Bendesa Adat Pupuan I Nyoman Raka, dikatakan bahwa sebelumnya, penduduk Desa Pupuan yang beretnis Bali, tinggal di daerah yang disebut dengan Desa Sega. Pada suatu ketika, makanan yang ada di sana semua direbut oleh semut sampai habis sehingga masyarakat Desa Sega mengalami kelaparan. Timbullah keresahan dimasyarakat akibat kelaparan yang menyerang. Di tengah keresahan itulah muncul pawisik yang mengatakan agar penduduk Desa Sega berpindah kearah barat ke Plupuhan Kebo (kubangan kebo). Pawisik ini kemudian diikuti oleh masyarakat, dan berpindahlah masyarakat dari wilayah Desa Sega ke Desa Pupuan sekarang. Inilah kemudian yang membuat Desa Pupuan juga sering disebut dengan Pupuan Sega. Untuk lebih jelasnya mengenai Desa Sega, dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

  Gambar 4.8. Foto Pelinggih Tegal Penangsarsaat ini di sekitar wilayah yang diperkirakan sebagai setra Desa Sega pada masa lalu (Dok. : Yudha, 2012)

  Setelah berpindah ternyata sudah ada penduduk yang menetap termasuk juga dari golongan etnis Tionghoa yang bertempat tinggal di sana. Akhirnya tetua- tetua di sana memutuskan, dikarenakan karena tempat yang lebih tinggi tidak terendam air (tidak basah), maka diputuskan penduduk yang beretnis Bali tinggal ditempat yang lebih tinggi, sedangkan penduduk etnis Tionghoa tinggal di tempat yang lebih rendah, hal ini juga dikarenakan tempat yang lebih rendah yang juga lebih dekat dengan jalan merupakan tempat yang lebih srategis untuk kegiatan berdagang.

  Ada versi lain yang mengatakan, bahwa ketika masyarakat Desa Sega pindah ke Plupuhan Kebo, masyarakat Desa Sega yang berjumlah 6 keluarga masih tinggal secara berpencar diwilayah Plupuhan, kemudian datanglah 1 Ada versi lain yang mengatakan, bahwa ketika masyarakat Desa Sega pindah ke Plupuhan Kebo, masyarakat Desa Sega yang berjumlah 6 keluarga masih tinggal secara berpencar diwilayah Plupuhan, kemudian datanglah 1