Adanya Perubahan Politik di Indonesia

6.3. Adanya Perubahan Politik di Indonesia

  Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka pasca Perang Dunia ke II pada awal kelahirannya memiliki tentunya pandangan politik nasionalisme seperti yang menjadi trend pada masa itu, seperti yang dijalankan oleh Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno. Demikian juga dengan pemilihan asas kewarganegaraan ius soli yang kemudian menjadi sangat penting untuk memastikan berapa sumber daya manusia yang dimiliki oleh Indonesia demi tercapainya tujuan pembangunan Indonesia pasca kemerdekaan. Akan tetapi, hal ini kemudian menimbulkkan permasalahan khusus untuk etnis Tionghoa yang ada di Indonesia, karena China memiliki paham kewarganegaraan ius sanguinis, berbeda paham dengan yang dipergunakan di Indonesia. Karena itu untuk masalah kewarganegaraan muncullah istilah dwi kewarganegaraan untuk etnis Tionghoa yang diatur dalam PP 20 Tahun 1959.

  Demikian juga dengan politik luar negeri, sebagai sebuah negara yang baru merdeka dan dihadapkan pada kondisi perang dingin antara dua blok ideologi, politik luar negeri yang dijalankan oleh Indonesia bersifat bebas aktif. Bebas, berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara tertentu atau oleh blok negara-negara tertentu. Aktif artinya dengan giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain demi tercapainya perdamaian dunia.

  Akan tetapi hal ini kemudian berubah pasca peristiwa G 30 S PKI, dimana Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto, kembali mempertanyakan status kewarganegaraan etnis Tionghoa dengan keharusan melampirkan SBKRI dalam Akan tetapi hal ini kemudian berubah pasca peristiwa G 30 S PKI, dimana Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto, kembali mempertanyakan status kewarganegaraan etnis Tionghoa dengan keharusan melampirkan SBKRI dalam

  

  Setelah kejatuhan Orde Baru, politik luar negeri Indonesia, kembali mengarah ke politik bebas aktif dan normalisasi hubungan dengan pihak-pihak yang dianggap pro komunis termasuk juga dengan China. Permasalahan kewarganegaraan etnis Tionghoa dan peraturan diskriminasi lainnya akhirnya dicabut pada masa ini.

  Pandangan politik ini tentunya memiliki korelasi dengan peraturan perundangan yang akhirnya dimunculkan dan mempengaruhi hubungan luar negeri khususnya dengan China. Kemudian hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa. Karena itulah kemudian perubahan politik pemerintah sangat mempengaruhi perubahan identitas budaya etnis Tionghoa. Perubahan itu termaktub dalam dua hal yakni adanya tekanan politik oleh pemerintah dan perubahan hubungan luar negeri Indonesia-China.

6.3.1 Adanya Tekanan Politik oleh Pemerintah

  Sejak era kolonial Belanda, identitas Tionghoa masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah dipaksa untuk diubah. Dalam pasal 109 Regeerings Reglement tahun 1920 dan kemudian diperkuat dengan Indische Stattsregerling yang mulai berlaku 1 Januari 1926, Volksraad membagi masyarakat koloni Kerajaan Belanda menjadi tiga bagian, yaitu Eropa, Timur Asing termasuk etnis

  Tionghoa dan Pribumi. Pembagian ini disusun berdasarkan tingkatan pertama kawula Eropa berada pada posisi pertama, nomor kedua ditempati oleh kelompok timur asing termasuk etnis China, India, Arab. Dengan demikian, seolah-olah, etnis Tionghoa mendapatkan kedudukan di atas pribumi, sementara kenyataannya tidak demikian. Hal ini terbukti dengan adanya pembatasan tempat tinggal, surat ijin, peluang pendidikan, aktivitas ekonomi, aktivitas budaya dan lain sebagainya. (Liem, dalam Erniwati, 2012:116). Selain itu dibangunnya sekolah-sekolah China- Belanda bertujuan untuk mengalihkan sebagian sebagian etnis Tionghoa khususnya peranakan untuk kembali berorientasi kepada pemerintah kolonial dan bukan lagi kepada tanah leluhur yang tidak lagi memiliki ikatan dengan mereka.

  Perubahan terjadi ketika rezim kolonial digantikan oleh pemerintah RI. Sebagai negara yang merdeka, pemerintah Indonesia melakukan penghilangan identitas terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang ketika masa penjajahan dinilai memperoleh hak – hak istimewa yang tidak diperoleh oleh masyarakat Indonesia secara umumnya. Perbedaan status kewarganegaraan yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda sangat mempengaruhi psikologis etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Pembatasan ruang gerak etnis Tionghoa mulai diterapkan di bidang sosial, politik, ekonomi, agama, budaya, pendidikan, dan bidang lainnya. Keterbatasan hubungan dengan masyarakat pribumi, kewajiban sebagai pembayar pajak terbesar, keharusan melayani pemerintah kolonial Belanda, dengan pembatasan hak – hak adalah bentuk diskriminasi dan tekanan yang diterima etnis Tionghoa. Posisi terpisah dari masyarakat pribumi dengan Perubahan terjadi ketika rezim kolonial digantikan oleh pemerintah RI. Sebagai negara yang merdeka, pemerintah Indonesia melakukan penghilangan identitas terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang ketika masa penjajahan dinilai memperoleh hak – hak istimewa yang tidak diperoleh oleh masyarakat Indonesia secara umumnya. Perbedaan status kewarganegaraan yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda sangat mempengaruhi psikologis etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Pembatasan ruang gerak etnis Tionghoa mulai diterapkan di bidang sosial, politik, ekonomi, agama, budaya, pendidikan, dan bidang lainnya. Keterbatasan hubungan dengan masyarakat pribumi, kewajiban sebagai pembayar pajak terbesar, keharusan melayani pemerintah kolonial Belanda, dengan pembatasan hak – hak adalah bentuk diskriminasi dan tekanan yang diterima etnis Tionghoa. Posisi terpisah dari masyarakat pribumi dengan

  Hegemoni dari pemerintah ini membuat, etnis Tionghoa secara tiba – tiba dihadapkan pada suatu kondisi baru yang menuntut penyesuaian status dan posisi mereka. Kebanyakan etnis Tionghoa merasa tidak siap menghadapi perubahan yang terjadi sebagai akibat kemerdekaan RI. Ketika Indonesia merdeka, fenomena ini mempengaruhi hubungan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pada satu sisi etnis Tionghoa merasa berbeda dengan masyarakat indonesia karena berbagai keistimewaan yang dinikmati oleh sekelompok kecil etnis Tionghoa lewat hubungan langsung dengan pemerintah kolonial Belanda, terutama melalui perdagangan. Sementara disisi lain, masyarakat Indonesia memandang etnis Tionghoa merupakan antek-antek kolonial Belanda, yang hanya mengambil keuntungan semata di Indonesia.

  Pada masa Orde Lama muncullah PP 10 tahun 1959 yang mengatur mengenai larangan untuk orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten kebawah dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangannya sampai batas

  1 Januari1960. PP No.10 ini dimaksudkan untuk menyehatkan perekonomian nasional yang pada masa itu didominasi oleh orang asing. PP No.10 tahun 1959 memerintahkan agar usaha-usaha pedagang eceran bangsa asing di luar ibukota kabupaten harus ditutup dan pedagang itu hanya boleh berdomisili di tempat tinggalnya. Sedangkan tempatnya berjualan selama ini tidak dibenarkan digunakan untuk usaha dan semua barang-barangnya yang berada di dalam 1 Januari1960. PP No.10 ini dimaksudkan untuk menyehatkan perekonomian nasional yang pada masa itu didominasi oleh orang asing. PP No.10 tahun 1959 memerintahkan agar usaha-usaha pedagang eceran bangsa asing di luar ibukota kabupaten harus ditutup dan pedagang itu hanya boleh berdomisili di tempat tinggalnya. Sedangkan tempatnya berjualan selama ini tidak dibenarkan digunakan untuk usaha dan semua barang-barangnya yang berada di dalam

  

  yang terkena PP No. 10 (harian Waspada 1960) (http:id.wikipedia.orgwikiPeraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959. diakses 18 september 2012) .

  Di Desa Pupuan sendiri berdasarkan wawancara dengan narasumber Ketut Anto, Wayan Sudarsana dan Ketut Aryawan, diketahui bahwa setelah beberapa minggu penerapan PP 10 di Jakarta, puluhan warga etnis Tionghoa yang menetap di Desa Pupuan pergi meninggalkan Desa Pupuan menuju ke Surabaya maupun pulang ke China. Mereka ketakutan dengan keberlangsungan kehidupan mereka setelah berlakunya PP 10 dikarenakan kehidupan mereka hanya bersandar pada bidang perdagangan. Hal ini menimbulkan gonjang-ganjing pada masyarakat Pupuan ketika itu karena etnis Tionghoa memegang peranan secara ekonomi yang sangat besar di Desa Pupuan. Akan tetapi ternyata itu hanyalah isapan jempol semata, dikarenakan tidak ada pengusiran ataupun pemaksaan-pemaksaan dari aparat pemerintahan untuk pindah dari Desa Pupuan. Akan tetapi hal ini menimbulkan ketidakstabilan hubungan antara etnis Tionghoa dengan masyarakat Desa Pupuan.

  Selain PP 10, kemudian keluar juga PP 20 tahun 1959 yang mengatur tentang Persetujuan antara Indonesia-China mengenai dwikewarganegaraan. Diwajibkan kepada setiap orang yang mempunyai dwi-kewarganegaraan untuk menentukan pilihan, apakah memilih kewarganegaraan China dan menjadi warganegara Indonesia, atau tetap menjadi warganegara China dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Kewajiban memilih itu dibebankan kepada orang dewasa yang telah berumur 18 tahun atau pernah kawin. Pemilihan kewarganegaraan itu dilakukan dengan menyatakan kepada petugas-petugas negara, kewarganegaraan mana yang hendak dipilihnya, secara tertulis atau secara lisan, dengan disertai surat-surat keteranagan diri serta keluarganya. Anak-anak yang belum dewasa menyatakan pilihannya dalam waktu satu tahunsetelah mereka dewasa.

  Adanya peraturan pemerintah ini, kemudian menjadi salah satu penyebab masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia terbagi menjadi dua kubu yang bertentangan. Satu pihak yang memilih kewarganegaraan Indonesia, dan pihak lainnya yang memilih kewarganegaraan China. Di Desa Pupuan sendiri, etnis Tionghoa yang memilih kewarganegaraan China, kemudian memilih keluar dari Desa Pupuan. Sedangkan yang memilih warganegara Indonesia, tetap tinggal di Desa Pupuan, karena sudah menganggap Desa Pupuan sebagai kampung keduanya, karena lahir hidup mati di Desa Pupuan.

  Kondisi kemudian semakin setelah peristiwa G 30S PKI, pemerintah orde baru dengan kebijakan anti komunisnya menunjukkan anti terhadap unsur-unsur pendukungnya. Kecurigaan terhadap keterlibatan China dalam peristiwa G 30S

  PKI menyulitkan posisi etnis Tionghoa yang tinggal dan memilih menjadi warga Negara Indonesia. Kondisi semakin tidak menentu setelah Indonesia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Chinapada Oktober 1967.

  Pada awal pemerintahanan Orde Baru, trauma terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial di masa Orde Lama masih menyelimuti masyarakat dan pemerintah Indonesia. Trauma ini khususnya, dengan kejadian G 30 S PKI, akhirnya mendorong pemerintah melakukan perbaikan pada segala aspek kehidupan. Sebagai langkah pertama, pemerintah Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik, ekonomi dan sosial di bawah dukungan militer. Kekuatan militer menjadi tombak dalam menyusun dan menjalankan program- programnya. Akan tetapi, hal ini terus berlanjut hingga berimplikasi pada pemaksaan kepada setiap individu dan institusi yang tidak mau bergabung dengan arah politik yang diinginkan. Kekuatan militer dijadikan senjata rezim baru ini melakukan penindasan dan menyingkirkan lawannya atas nama komitmen pada stabilitas ekonomi dan politik negara.

  Secara perlahan Orde Baru menyusun kekuatan pendukung untuk mempertahankan kekuasaanya dengan membentuk negara patrimonial, yakni sebuah negara yang terdiri dari pola hubungan atas bawah atau pimpinan anak- buah, mewarnai hubungan sosial politik. Hasil dari hubungan tersebut terwujud suatu sistem politik dalam bentuk hierarki yang terdiri dari hierarki-hierarki kecil yang saling berhimpitan satu sama lain. Bagi yang setara dan bagi yang tidak setara terjadi tunggangan antara yang satu dengan yang lainnya secara vertikal sehingga membangun hierarki besar. Dalam hierarki tercipta suatu hubungan Secara perlahan Orde Baru menyusun kekuatan pendukung untuk mempertahankan kekuasaanya dengan membentuk negara patrimonial, yakni sebuah negara yang terdiri dari pola hubungan atas bawah atau pimpinan anak- buah, mewarnai hubungan sosial politik. Hasil dari hubungan tersebut terwujud suatu sistem politik dalam bentuk hierarki yang terdiri dari hierarki-hierarki kecil yang saling berhimpitan satu sama lain. Bagi yang setara dan bagi yang tidak setara terjadi tunggangan antara yang satu dengan yang lainnya secara vertikal sehingga membangun hierarki besar. Dalam hierarki tercipta suatu hubungan

  Hegemoni paternalistik Orde Baru mempertahankan Soeharto sebagai bapaknya dan melibatkan militer dalam setiap institusi yang menunjang dan menjalankan kekuasaannya. Peranan utama militer terlihat jelas dalam Orde Baru terutama dalam bidang politik, sosial, ekonomi hingga Presiden Soeharto lengser.

  Orde Baru menyingkirkan sisa-sisa kekuatan politik Orde Lama dengan tujuan utama mengantisipasi bangkitnya pengaruh Soekarnois dan komunis dalam pemerintahan. Untuk memberantas komunisme dan meyakinkan diri bersih dari komunis, pemerintah Orde Baru menjalankan kebijakan dengan melakukan pembatasan terhadap kehidupan berbudaya, agama, sosial, politik maupun ekonomi masyarakat Indonesia termasuk terhadap etnis Tionghoa yang disinyalir terkait dengan komunis. Untuk mencapai tujuannya, pemerintah Orde Baru mengeluarkan lebih dari 64 aturan-aturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di bidang politik, sosial, ekonomi, agama, budaya, pendidikan di mana empat yang paling menonjol adalah:

  1. Ketetapan MPRS nomor XXVIIMPRS1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan yang melarang kelompok etnis China pemeluk agama Tao beribadah di depan umum, serta melarang adanya pendidikan dan huruf yang mencirikan budaya ina

  2. Keputusan Presidium Kabinet nomor 127UKep121966 tentang prosedur ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama China

  3. Instruksi presiden nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat China

  4. Instruksi presidium kabinet nomor 49U81967 tentang pendayagunaan mass media berbahasa China.

  Dari keempat peraturan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa politik pemeriontah Orde Baru terhadap etnis Tionghoa terfokus pada politik penghilangan identitas etnis Tionghoa. Berbagai unsur yang terkait dengan budaya leluhur dihilangkan dengan memperkenalkan politik akulturasi total yang bertujuan menghapuskan tiga pilar budaya Tionghoa yakni sekolah, organisasi dan media China sebagai sarana pengembangan budaya dan adat istiadat leluhur.

  Dengan melaksanakan akulturasi inkorporasi, pemerintah meminta etnis Tionghoa untuk mengilangkan identitas ke-Chinaannya menjadi Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya program akulturasi ini mengalami kegagalan dikarenakan tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan masyarakat begitu saja. Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Tionghoa juga bukan persoalan yang mudah, dikarenakan ke-Chinaanya melekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan dimata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Banyak tuduhan miring yang dialamatkan pada etnis Tionghoa.

  Larangan pemerintah Orde Baru terhadap agama tradisional Tionghoa dan kewajiban menganut salah satu agama resmi negara menyebabkan agama tradisional Tionghoa mulai ditinggalkan, meskipun hanya untuk alasan politis. Agama tradisional Tionghoa dikenal dengan tiga ajaran, yaitu Budha, Tao, dan

  Konfusius (Kong Hu Cu) yang kemudian dikenal dengan Tri Dharma atau Sam Kauw Hwee. Sejak Tao dan Kong Hu Cu menjadi ajaran yang dilarang di Indonesia, banyak etnis China yang pindah ke agama Budha, Hindu, Kristen, Katolik, dan beberapa orang masuk Islam. Proses perpindahan agama ini dilakukan karena setiap warga negara Indonesia diwajibkan menganut salah satu agama resmi yang diakui negara. Jika tidak beragama, berarti tidak mematuhi Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Akibatnya, hubungan dengan Tuhan menjadi urusan negara, bukan “your personal matter”. Meskipun masih ada di antara etnis China yang berusaha mempertahankan ajaran Tao dan Kong Hu Cu, jumlahnya sangat sedikit dan tidak menonjol.

  Melalui Instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967, pemerintah Orde Baru juga melarang adat dan istiadat etnis Tionghoa dilaksanakan didepan umum. Budaya menjadi private live, yaitu hanya untuk kalangan sendiri. Peraturan ini berlaku secara resmi di seluruh Indonesia.

  Seperti yang diungkapkan Ketut Aryawan: Jaman orde baru susah, semua diatur oleh pemerintah. Mau sembahyang

  susah, mau Imlekan susah, semua diperiksa, bahkan kadang, kalau mau hari raya kadang kita sengaja dipanggil ke kantor, tanpa alasan yang jelas. Walaupun tidak seperti dijawa, tetapi kami tetap harus sembahyang secara sembunyi-sembunyi, dan itu juga tetap terlaksana karena dukungan masyarakat sekitar.

  Begitu kuatnya hegemoni dari pemerintah terhadap etnis Tionghoa membuat etnis Tionghoa harus sembahyang dengan jalan sembunyi-sembunyi, dan karena adanya dukungan dari warga sekitar maka pada saat itu tidak ada warga etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang ditangkap karena melanggar peraturan perundangan. Hegemoni disini menjadi sebuah rantai kemenangan sebuah Begitu kuatnya hegemoni dari pemerintah terhadap etnis Tionghoa membuat etnis Tionghoa harus sembahyang dengan jalan sembunyi-sembunyi, dan karena adanya dukungan dari warga sekitar maka pada saat itu tidak ada warga etnis Tionghoa di Desa Pupuan yang ditangkap karena melanggar peraturan perundangan. Hegemoni disini menjadi sebuah rantai kemenangan sebuah

  Hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah terhadap etnis Tionghoa, sebagaimana yang disebutkan oleh Gramsci di dalamnya terdapat dua kata kunci pendorong munculnya hegemoni, yakni politik dan ideologi. Ideologi merupakan sebuah gagasan, cara pandang, doktrin serta visi yang komprehensif sebagai suatu cara untuk memandang sesuatu yang diterapkan, sehingga akan melahirkan kepatuhan yakni sebuah sikap yang menerima keadaan tanpa menanyakan lebih lanjut secara lebih kritis. Dalam hal pergantian nama misalnya, ketika etnis Tionghoa mempergunakan nama Bali sebagai identitas legal mereka kartu identitas, sebenarnya adalah mengerjakan hal yang sama 2 kali karena secara lahiriah, mereka sudah diberikan nama oleh kedua orang tuanya. Hal ini dikarenakan adanya ketaatan yang sudah tertanam dalam benak etnis Tionghoa di Desa Pupuan bahwa aturan pemerintah haruslah dihormati.

  Sedangkan kata kunci yang kedua dari hegemoni adalah politik. Politik mempunyai arti adanya muatan-muatan yang bernilai politis yang didasari oleh aturan-aturan politis yang dikeluarkan oleh pemerintahan politik. Hal ini kemudian dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan diskriminasi- diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, melalui pemberangusan-pemberangusan kebudayaan etnis Tionghoa yang ada di Indonesia.

  Fenomena yang berbeda ditemukan dalam penerapannya. Meskipun berada dalam kontrol negara, etnis Tionghoa di Desa Pupuan masih bisa Fenomena yang berbeda ditemukan dalam penerapannya. Meskipun berada dalam kontrol negara, etnis Tionghoa di Desa Pupuan masih bisa

  Pada dasarnya tidak ada peraturan tertulis yang mengatur khusus tentang aturan atau kebijakan yang memberikan batasan-batasan khusus terhadap etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Kesepakatan informal antar pemuka masyarakat etnis Tionghoa, etnis Bali dan pemerintah melahirkan norma dan aturan lisan yang dipatuhi sebagai kearifan lokal. Melalui konsolidasi kepentingan etnis Tionghoa turut serta diperjuangkan dalam bidang sosial, budaya, ekonomi.

  Sikap pemerintah Orde Baru yang mengidentikkan budaya Tionghoa dengan komunis juga memberikan implikasi besar bagi keturunan etnis Tionghoa di masa berikutnya. Perubahan pergantian nama yang dimulai tahun 1966 mengakibatkan banyak generasi baru mengganti nama etnis Tionghoanya dengan nama daerah atau nama-nama yang mengandung unsur nasionalisme. Proses pergantian nama ini menjadikan identitas etnis Tionghoa semakin lama menjadi semakin kabur.

  Selanjutnya, pemerintah Orde Baru juga menerapkan program pembauran antara etnis Tionghoa dengan etnis pribumi. Di Desa Pupuan program ini berjalan dengan sukses dikarenakan banyak akulturasi budaya yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali di Bali.

  Akan tetapi setelah era reformasi, setelah semua peraturan yang mendiskriminasi dicabut, maka etnis Tionghoa bisa dengan bebas untuk mengekspresikan budayanya, akan tetapi di Desa Pupuan masyarakat etnis Tionghoa sudah mengambil pilihan untuk tetap menjalankan budaya yang telah Akan tetapi setelah era reformasi, setelah semua peraturan yang mendiskriminasi dicabut, maka etnis Tionghoa bisa dengan bebas untuk mengekspresikan budayanya, akan tetapi di Desa Pupuan masyarakat etnis Tionghoa sudah mengambil pilihan untuk tetap menjalankan budaya yang telah

6.3.2. Perubahan Hubungan Luar Negeri Indonesia dengan China

  Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, juga dipengaruhi oleh adanya dinamika hubungan antara negara China dengan Indonesia. Hubungan antar kedua negara mengalami pasang surut, dimana mengalami masa yang paling suram pada awal pemerintahan Orde Baru dengan adanya pemutusan hubungan diplomatik dan juga keluarnya berbagai peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Hal ini merupakan dampak dari ditengarainya China sebagai pendukung Gerakan 30 September pada masa itu.

  Walaupun hubungan ini bersifat antar negara, tetapi dampak dari dinamika hubungan ini juga mempengaruhi etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Secara garis besar dinamika hubungan antar kedua negara terbagi dalam beberapa masa yang saling terikat satu sama lain, diantaranya

  1. Dinamika Hubungan Indonesia-China pada masa Orde Lama

  Hubungan resmi antara Negara China atau Republik Rakjat Tiongkok atau Republik Rakyat China dengan Indonesia, dimulai pada tanggal 15 Januari 1950, dengan adanya pengakuan kedaulatan China yang kemudian dibalas oleh China dengan mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 28 Maret 1950, setelah ada kepastian ditutupnya semua Konsulat Republik China (Taiwan) di Indonesia. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan pengiriman Duta Besar China, Wang Renshu Hubungan resmi antara Negara China atau Republik Rakjat Tiongkok atau Republik Rakyat China dengan Indonesia, dimulai pada tanggal 15 Januari 1950, dengan adanya pengakuan kedaulatan China yang kemudian dibalas oleh China dengan mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 28 Maret 1950, setelah ada kepastian ditutupnya semua Konsulat Republik China (Taiwan) di Indonesia. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan pengiriman Duta Besar China, Wang Renshu

  

  Hubungan ini kemudian semakin membaik dengan ditandatanganinya hubungan perjanjian dwikewarganegaraan pada tahun 1954, yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP 20 tahun 1959. Perjanjian ini mengijinkan masyarakat etnis Tionghoa untuk memilih menjadi warganegara Indonesia atau China dalam jangka waktu dua tahun. Inilah pertama kalinya etnis Tionghoa memiliki hak untuk memilih kewarganegaraan non China karena semenjak zaman Dinasti Qing (1644-1911) semua orang yang berdarah China oleh pemerintahnya dianggap sebagai warga negaranya (asas ius sanguinis). Pola perjanjian ini dianggap sebagai salah satu solusi yang sangat tepat dalam menyelesaikan ketegangan akibat kewarganegaraan ganda yang tidak diakui Indonesia.

  Akan tetapi keluarnya PP 10 Tahun 1959 oleh pemerintah Indonesia yang melarang warga asing untuk berniaga eceran dalam rangka melindungi pengusaha lokal, sempat mengganggu hubungan baik antar kedua Negara. Ketika PP tersebut diterapkan, China pada saat itu mengajukan protes dan ratusan ribu etnis Tionghoa di Indonesia bermigrasi kembali ke daratan Tiongkok. Sedangkan di Desa Pupuan sendiri, banyak etnis Tionghoa kemudian memilih untuk meninggalkan Desa Pupuan menuju ke Surabaya ataupun bermigrasi kembali ke China.

  Pada awal tahun 1960-an, terciptalah poros Jakarta-Peking, yang dimaksudkan untuk mematahkan dominasi-dominasi negara-negara imperialis, untuk membentuk suatu kekuatan baru yang kuat di dunia (make a new emerging forces). China juga kemudian mendukung langkah-langkah Indonesia untuk mengadakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) untuk menandingi olimpiade, membentuk CONEFO (Confrence of New Emerging Forces) sebagai tandingan PBB, bahkan memuji sikap Indonesia keluar dari PBB sebagai protes terpilihnya Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB. Sebaliknya Indonesia membalas sikap China dengan mendukung penuh langkah-langkah China di dunia termasuk merebut kedudukan perwakilan China di PBB yang saat itu masih dikuasai oleh Republik China (Taiwan).

  Hubungan mesra ini tidaklah berlangsung lama, karena pada tahun 1965 di Indonesia terjadi kudeta yang diberi nama “Gerakan 30 September”, yang ditengarai pada masa itu merupakan gerakan makar dari PKI untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.

  Ketika diumumkan oleh rezim Soeharto bahwa PKI berada dibelakang kudeta itu dan China ditengarai member dukungannya kepada PKI, gelombang protes tak terhindarkan diseluruh Indonesia, dan etnis Tionghoa menjadi sasaran pelampiasan kemarahan. Kudeta ini mengakibatkan pembekuan kedua negara pada bulan Oktober 1967.

  Adanya kudeta ini berdampak sangat buruk bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Walaupu tidak ada catatan resmi yang bisa dikonfirmasi, akan tetapi banyak etnis Tionghoa di Indonesia yang tewas terbunuh sebagai dampak

  peristiwa ini. Selain itu untuk mengekang kebebasan perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia, pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Diantaranya yang paling dikenal adalah Inpres No. 14 Tahun 1967 mengenai pelarangan pelaksanaan tradisibudayaadat istiadat China. Dampak dari adanya kudeta ini juga terasa sampai ke Desa Pupuan. Tameng, sebutan untuk kelompok pemburu komunis, berkeliling di Desa Pupuan dan menangkap masyarakat yang dicurigai sebagai partisipan komunis termasuk juga etnis Tionghoa. Ada yang ditahan akan tetapi ada juga yang dibunuh tanpa adanya peradilan. Tidak ada data yang valid yang bisa dikonfrontir mengenai berapa jumlah etnis Tionghoa yang menjadi korban tewas di Desa Pupuan, akan tetapi berdasarkan penuturan warga Desa Pupuan, kemungkinan 7-10 orang etnis Tionghoa tewas dalam peristiwa ini.

  Dampak lain dari adanya kudeta ini khususnya keluarnya berbagai peraturan pemerintah yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dimana, etnis Tionghoa di Desa Pupuan dipaksa untuk meninggalkan adat istiadatnya, walau secara sembunyi-sembuyi mereka masih melaksanakannya.

  2. Dinamika Hubungan Indonesia-China pada masa Orde Baru

  Setelah lama tidak ada kontak antar kedua negara secara resmi, pada bulan November 1977, Indonesia mulai mengadakan kontak dengan China, dimana kontak langsung ini terjadi dengan kehadiran KADIN pada Pameran Dagang Guangzhou. Semenjak saat itu, mulailah terjadi kontak-kontak secara intensif yang dilakukan antara Indonesia dan China walaupun masih sebatas hubungan Setelah lama tidak ada kontak antar kedua negara secara resmi, pada bulan November 1977, Indonesia mulai mengadakan kontak dengan China, dimana kontak langsung ini terjadi dengan kehadiran KADIN pada Pameran Dagang Guangzhou. Semenjak saat itu, mulailah terjadi kontak-kontak secara intensif yang dilakukan antara Indonesia dan China walaupun masih sebatas hubungan

  Perkembangan kearah normalisasi hubungan kemudian muncul lagi pada sekitaran tahun 1988-1989, dimana China melalui peranan Menteri Luar Negerinya, Qian Qichen berhasil meyakinkan Presiden Soeharto bahwa hubungan kedua negara akan dilandasi pada “ Lima Prinsip Koeksistensi Damai” dan Qian menyatakan bahwa China sama sekali tidak berhubungan dengan PKI. Hasilnya baru terlihat pada kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1990, untuk menandatangani nota perbaikan hubungan diplomatik.

  Walaupun pada dekade 90-an sudah terjadi perbaikan hubungan diplomatik dengan China, akan tetapi pada strata masyarakat tingkat bawah, tidak terjadi perbaikan kondisi etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan. Pemerintah masih tetap berpegang teguh dengan aturan-aturan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa.

  3. Dinamika Hubungan Indonesia-China Pasca Orde Baru

  Pasca kejatuhan pemerintahan Soeharto, hubungan Indonesia dengan China semakin berjalan ke arah yang semakin baik. Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan Beijing sebagai kunjungan di tahun pertama menjabat membuktikan pentingnya peran China bagi Indonesia. Kunjungan Abdurrahman Wahid menjadi tanda membaiknya hubungan Pasca kejatuhan pemerintahan Soeharto, hubungan Indonesia dengan China semakin berjalan ke arah yang semakin baik. Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan Beijing sebagai kunjungan di tahun pertama menjabat membuktikan pentingnya peran China bagi Indonesia. Kunjungan Abdurrahman Wahid menjadi tanda membaiknya hubungan

  Era pemerintahan Presiden Megawati, hubungan Indonesia-China meningkat kearah yang lebih baik. Pada kesempatan kunjungannnya ke Beijing bulan Maret 2012, Presiden Megawati berdansa dengan Presiden Jiang Zemin, sebuah peristiwa yang sangat langka yang menandai meningkatnya hubungan diplomatik kedua negara. Presiden Megawati jualah yang akhirnya menetapkan Imlek sebagai salah satu hari libur nasional. Peristiwa ini disambut dengan gegap gempita, karena ini merupakan pertanda bahwa pemerintah mengakui eksistensi etnis Tionghoa termasuk juga budayanya sebagai bagian dari budaya Indonesia.

  Klimaks dari hubungan baik ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dimana ditandatangani Nota Kemitraan Strategis Indonesia China pada tahun 2005, yang mencakup perdagangan internasional, pembangunan infrastruktur, keamanan, militer dan kebudayaan termasuk juga pengajaran bahasa Mandarin. Selain itu, pada perayaan Imlek Nasional ke 2557,

  4 Februari 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memberikan sambutan sekaligus menyatakan bahwa Agama Khonghucu kembali diakui oleh pemerintah

  Indonesia sebagai salah satu agama resmi yang berkembang di Indonesia(Hadi, 2009:51-71).