Implikasi Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan.

7.1. Implikasi Perubahan Identitas Budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan.

  Perubahan identitas budaya Etnis Tionghoa di Desa Pupuan,tentunya membawa implikasi bagi Etnis Tionghoadi Desa Pupuan. Implikasi yang timbul pada etnis Tionghoa di Desa Pupuan, muncul secara sosial (kolektif) maupun secara individual, yang mana kedua implikasi ini ditanggapi secara berbeda oleh masing-masing individu.

  Implikasi ini juga dipengaruhi oleh hegemoni dari pemerintah terhadap etnis Tionghoa, di mana menurut Gramschi, implikasi hegemoni akan sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan pribadi yang dihegemoni (Simon, 2000).

  Kehidupan sosial yang dimaksud dalam hal ini adalah kehidupan sosial dan interaksi sosial etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Sedangkan yang dimaksud dengan kehidupan pribadi adalah menyangkut privasi etnis Tionghoa dalam menjalankan kehidupannnya sehari-hari di Desa Pupuan.

7.1.1 Implikasi Secara Sosial

  Perubahan identitas budaya tentunya membawa implikasi sosial bagi etnis Tionghoa dalam kehidupannya sehari-hari. Ketika etnis Tionghoa di Desa Pupuan melakukan proses mimikri (peniruan) budaya Bali dalam kehidupan sehari- harinya, maka berimplikasi langsung terhadap rasa solidaritas yang tinggi antara etnis Bali dengan etnis Tionghoa dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial keagamaan di Desa Pupuan. Nuansa nyama braya, patuh ngelah sanggah kemulan sangat terasa, karena Etnis Bali merasa bahwa Etnis Tionghoa yang ada di Desa Pupuan adalah saudaranya dan waib untuk diajak bersama.

  Akan tetapi sebaliknya, dalam perkembangan berikutnya, ketika sebagian etnis Tionghoa mulai meninggalkan identitas ke-Baliannya menuju kearah sebuah identitas yang berorientasi nasional dan internasional, maka mulai timbullah ruang-ruang, sekat-sekat antara etnis Tionghoa dengan etnis Bali. Ruang-ruang ini bisa timbul pada keengganan ‘metulungan’ ketika ada warga yang berlainan etnis meninggal, demikian juga pada kegiatan ngayah di desa, yang biasanya dilaksankan secara bersama-sama kemudian mulai digantikan dengan sumbangan yang berupa materi.

  Hal ini tampak dalam pandangan yang diungkapkan oleh I Nyoman Raka:

  Dahulu masyarakat etnis Tionghoa diDesa Pupuan ikut ngayah seperti biasa seperi orang Bali pada umumnya. Ikut metulungan, ikut nampah, tapi makin kebelakang makin jarang yang ikut ngayah. Bahkan bisa dihitung dengan jari. Mungkin ini implikasi dari perkembangan zaman, dan pemerintah punya pengaruh dalam hal ini. Saya inget dulu ketika saya masih muda, sangat erat hubungan menyama-braya kita, sekarang masih, cuman tidak seperti dulu lagi, dan seringkali ngayah digantikan dengan uang. Ya tapi itu adalah pilihan, susah untuk menuntut. Kita jalani saja apa adanya.

  Dari pandangan di atas bisa dianalisis bahwa perubahan identitas etnis Tionghoa di Desa Pupuan membawa implikasi sosial baik itu bagi etnis Tionghoa maupun etnis Bali di Desa Pupuan. Implikasi ini memiliki ambivalensi bagi kedua etnis yang ada di Desa Pupuan, karena pada masa lalu ketika proses mimikri dilakukan oleh etnis Tionghoa etnis Bali merasakan adanya kedekatan secara emosional, dikarenakan adanya hubungan saling tulungin dan menyama braya. Sedangkan pada perkembangan berikutnya ketika etnis Tionghoa di Desa Pupuan mulai menjauh, maka etnis Bali meresponnya dengan sikap jengah. Dalam artian, sadar diri dengan kondisi yang ada sekarang di lapangan.

  Hegemoni pemerintah melalui berbagai peraturan perundangan juga mendukung kondisi ini. Ketika berbagai peraturan perundangan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa ketat diberlakukan oleh pemerintah, maka etnis Tionghoa di Desa Pupuan mendekat dengan etnis Bali. Akan tetapi ketika berbagai peraturan itu mengendor bahkan kemudian dicabut pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sebagian etnis Tionghoa di Desa Pupuan, seakan menjauh dari hubungan sosial dengan masyarakat etnis Bali. Inilah kemudian yang memunculkan prasangka eksklusivisme dari sebagian besar Hegemoni pemerintah melalui berbagai peraturan perundangan juga mendukung kondisi ini. Ketika berbagai peraturan perundangan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa ketat diberlakukan oleh pemerintah, maka etnis Tionghoa di Desa Pupuan mendekat dengan etnis Bali. Akan tetapi ketika berbagai peraturan itu mengendor bahkan kemudian dicabut pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sebagian etnis Tionghoa di Desa Pupuan, seakan menjauh dari hubungan sosial dengan masyarakat etnis Bali. Inilah kemudian yang memunculkan prasangka eksklusivisme dari sebagian besar

  Seperti yang dituturkan oleh I Wayan Sugawa Dahulu, masyarakat etnis Tionghoa sangat dekat dengan kita dalam

  hubungan menyama braya, masyarakat Bali dengan etnis Tionghoa sangatlah dekat. Akan tetapi beberapa tahun terakhir hubungan ini seakan-akan renggang, mungkin ini dikarenakan berbagai hal termasuk juga kemajuan jaman. Sehingga mungkin sudah jarang bisa kumpul-kumpul seprti dahulu.

  Dari pandangan di atas, bisa dianalisis bahwa, telah terjadi adanya pergeseran stereotip etnis pada etnis Tionghoa, di mana dahulu, etnis Tionghoa dikatakan sangat dekat dengan etnis Bali, akan tetapi belakangan ini semakin menjauh. Cook dan Selltiz menyatakan bahwa kontak bisa mengubah stereotip etnis. Di mana dalam hal ini, ternyata semakin berkurangnya kontak membuat stereotip etnis Tionghoa yang dahulunya positif (dekat dengan etnis Bali) menjadi negatif (menjauh).

7.1.2 Implikasi Individu

  Selain membawa implikasi sosial, perubahan identitas budaya etnis Tionghoa juga membawa implikasi individu, personal etnis Tionghoa itu sendiri.

  Secara individu, perubahan identitas ini terlihat pada perubahan kepercayaan, penggunaan bahasa sehari-hari dan perubahan nama.

  Dalam kehidupan sehari-hari, etnis Tionghoa di Desa Pupuan berada ditengah lingkungan masyarakat etnis Bali. Interaksi yang intens menjadikan banyak ritual etnis Tionghoa mengalami perubahan, dari yang hanya berdasarkan pada ajaran leluhur, bertambah dan menjadikan ritual-ritual etnis Bali sebagai bagian dari ritual sehari-hari. Selain itu masing individu masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan juga membangun merajan, pelinggih Jero Gede maupun pelinggih Ratu Nyoman di pekarangan rumah masing-masing.

  Pada penggunaan bahasa sehari – hari etnis Tionghoa di Desa Pupuan mempergunakan bahasa hibrid yang merupakan campuran bahasa Bali, bahasa Indonesia dan kadangkala bahasa ko’i dalam kehidupan sehari –hari. Penggunaan bahasa ini oleh masyarakat etnis Tinghoa di Desa Pupuan merupakan bahasa yang mampu menghubungkan atau mengkomunikasikan antar-etnis antar-individu di Desa Pupuan.

  Perubahan identitas budaya etnis Tionghoa di Desa Pupuan, terlihat dari perubahan nama yang dipergunakan oleh masing-masing individu. Perubahan nama ini bisa dipolakan menjadi empat pola, yakni mengganti nama dengan nama yang sama dengan etnis Bali, mencari nama Bali yang memiliki makna, mendekatkan nama Tionghoanya dengan nama Indonesianya dan memakai nama- nama internasional.

  Hal ini mengakibatlkan, pada masa kini nama Tionghoa etnis Tionghoa menjadi hilang, dikarenakan hilangnya pengetahuan terhadap penamaan Tionghoa sehingga orang tuanya memilih untuk tidak mempergunakan nama Tionghoa.