Sejarah Etnis Tionghoa diDesa Pupuan
4.7 Sejarah Etnis Tionghoa diDesa Pupuan
Tidak ada yang tahu secara pasti kapan migrasi etnis Tionghoa pertama kali ke Indonesia. Akan tetapi terdapat beberapa catatan-catatan tua yang menyebutkan hubungan Tiongkok dengan Nusantara. Berdasarkan catatan kronik “Han Awal” bab “Catatan Geografi” pada masa pemerintahan Kaisar Sundi tahun pemerintahan Yongjian ke-6 ( 131 M) dituliskan bahwa ada utusan dari kerajaan Yetiao. Ini menandakan sudah ada hubungan diplomasi antara dinasti Han (202 BCE – 220 CE) dengan kerajaan Yetiao atau yang dikenal dengan sebutan lain Java Dvipa. Dalam catatan yang sama, selain dengan Pulau Jawa, juga dicatat Kalimantan 婆羅洲 sebagai salah satu alternatif pelayaran menuju
India Selatan. Selain itu adalah “Kronik Han Berikut” bab "Catatan Yi Timur" 後漢書東夷列傳 dituliskan bahwa orang Provinsi Fujian sudah bermigrasi hingga
ke Sumatra. Catatan Yang Fu 楊孚 yang terbit pada masa pemerintahan Kaisar Jingdi 景帝 (76-88) menuliskan adanya kata Funan 扶南 dan pada peridode Tiga Negara (220-280), kerajaan Dong Wu 東吳 sudah menjalin hubungan perdagangan resmi dengan Funan 扶南 yang mengontrol wilayah Semenanjung Malaya dan Malaka. Pada masa dinasti Jin Timur 東晉 (317-420 CE) seorang bhiksu Buddhist bernama Fa Xian 法顯 yang dalam perjalanannya dari Srilanka kembali ke Tiongkok terhadang badai dan terdampar sampai kerajaan Ye Po Ti
耶婆提 (Sumatera tapi ada yang beranggapan Pulau Jawa). Beliau tinggal kurang lebih 100 hari lamanya kemudian kembali ke Guang Zhou Tiongkok dengan
menaiki kapal niaga yang berisi kurang lebih 200 orang. Tulisan Fa Xian ini menunjukkan bahwa sudah ada pelayaran dan interaksi antar warga Tiongkok dengan warga Nusantara (Cangianto, 2013: http:web.budaya- Tionghoa.netindex.phpitem3660-kronologis-hubungan-tiongkok-dan-indonesia- serta-arus-migrasi).
Agamawan Tiongkok yang melakukan kunjungan ke nusantara juga memiliki catatan-catatan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan adanya suatu kerajaan di To lo mo (sebutan untuk pulau Jawa) dan kedatangan I Ching singgah di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta. I Ching berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra. Pada prasasti- prasasti yang berasal dari Pulau Jawa orang China disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera China.
Sedangkan hubungan antara Bali dengan Tiongkok (China) juga diperkirakan dimulai pada awal-awal abad masehi. Temuan cermin perunggu dari zaman dinasti Han dalam sarkopagus di desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt Buleleng dapat dikatakan sebagai awal hubungan Bali dengan Tiongkok. Cermin perunggu dari zaman dinasti Han diduga berasal dari abad awal masehi. Lebih lanjut, hubungan Bali dengan Tiongkok, juga dapat diketahui dari temuan-temuan Sedangkan hubungan antara Bali dengan Tiongkok (China) juga diperkirakan dimulai pada awal-awal abad masehi. Temuan cermin perunggu dari zaman dinasti Han dalam sarkopagus di desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt Buleleng dapat dikatakan sebagai awal hubungan Bali dengan Tiongkok. Cermin perunggu dari zaman dinasti Han diduga berasal dari abad awal masehi. Lebih lanjut, hubungan Bali dengan Tiongkok, juga dapat diketahui dari temuan-temuan
Pupuan merupakan salah satu daerah di mana terdapat komunitas etnis Tionghoa. Awal etnis Tionghoa mendiami Desa Pupuan tidaklah diketahui secara pasti, akan tetapi berdasarkan wawancara dan hasil temuan di lapangan, diperkirakan etnis Tionghoa pertama kali menjejakkan kakinya di Desa Pupuan pada tahun 1820-an, yang dimulai dari kedatangan Kang Ik Khim. Kang Ik Khim sendiri, sebenarnya berasal dari kampung Ko Puei, kecamatan Lamuan, kabupaten Chuanciu (Nan An), provinsi HokkianFukkian. Adapun catatan mengenai sislsilah keluarga dapat dilihat pada gambar dibawah ini yang memuktikan bahwa Kang Ik Khim berasal dari Hokkian.
Gambar 4.9. Catatan Mengenai Kedatangan SheeKang yang Pertama ke Pupuan (Dok.: Wayan Sudarsana, 2012)
Alasan kedatangannya ke Bali belumlah diketahui secara pasti akan tetapi pada saat itu di di daerah Hokkian sendiri ada beberapa permasalahan yang menyebabkan banyak penduduk dari Hokkian melakukan migrasi ke daerah lain. Permasalahan itu, diantaranya ledakan populasi penduduk, pemberontakan- pemberontakan dan juga adanya kemunduran dari dinasti yang berkuasa.
Pada awal kedatangannya ke Bali, Kang Ik Khim berlabuh di sekitaran Kuta dan diangkat oleh seseorang, yang mengabdi pada Raja Badung. Pada suatu ketika, di Puri Denpasar ada pertemuan, yang diikuti oleh Kang Ik Khim, yang mana pada saat itu, Kang Ik Khim diberikan jodoh Ni Cengkeg, putri dari Jero Bendesa Tonja.
Kemudian, karena sesuatu dan lain hal, Kang Ik Khim lalu memohon diri dari Kerajaan Badung untuk pindah ke tempat lain. Pada awalnya berpindah ke daerah Dharmasabha sekarang (sekitar tahun 1800-an), tapi tidak menemukan kecocokan, kemudian menghadap lagi pada Raja Badung untuk berpindah lokasi, pada awalnya tidak diijinkan akan tetapi kemudian diijinkan, dengan 1 syarat, yakni pindah ke wilayah yang masih ada hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Badung.
Akhirnya Kang Ik Khim menghadap ke Kerajaan Tabanan, dan diberikan ijin untuk menempati tempat di sebelah barat kerajaan, beserta dengan itu, Raja Tabanan pada saat itu menganugerahkan 3 buah senjata kepada Kang Ik Khim, yakni sebuah pedang, tombak dan pisau pendek. Pada awalnya, Kang Ik Khim menempati sekitar daerah Sanda Pupuan saat ini, kemudian pindah lagi ke Padangan Pupuan, dan pada akhirnya menetapDesa Pupuan yang sampai saat ini ditempati.
Gambar 4.10. Salah Satu Anugerah dari Raja yang Berupa Pedang (Dok.: Yudha, 2012)
Pada awal abad ke 20, sekitar tahun 1900-an dan tahun 1920-an, mulai banyak etnis Tionghoa yang datang ke Desa Pupuan secara bergelombang, yang didominasi oleh shee Kang, hal ini mungkin dikarenkan karena yang pertama membuka wilayah tersebut adalah dari shee Kang dan, dalam sistem kekerabatan etnis Tionghoa, dalam satu marga (shee) wajib saling membantu satu sama lain. Kedatangan etnis Tionghoa pada masa ini sebagian besar merupakan kaum pedagang yang berdagang kulakan dari pelabuhan di Buleleng.
Kemudian pada perkembangan berikutnya, etnis Tionghoa dan etnis Bali bahu membahu membangun Desa Pupuan, akan tetapi etnis Tionghoa memiliki keistimewaan yakni mereka memiliki Lotiah (kepala kampung) yang langusng berhubungan dengan Raja Tabanan, untuk mengurusi perdagangan, khususnya pembelian barang dagangan terutama candu dari pelabuhan di Kerajaan Buleleng. Lotiah pertama, bernama Kang Hok Ciu, yang juga membangun Sekolah Rakyat (S.R) dijaman Belanda sekitar tahun 1906.
Lotiah kedua, bernama Kang Bing Ciang, adalah lotiah yang membangun Sekolah Tionghoa di Pupuan dan juga membentuk perkumpulan suka duka Tionghoa yang bernama Perkumpulan Karang Semadi. Perkumpulan Karang Semadi Sendiri diperkirakan dibentuk oleh lotiah kedua pada akhir zaman penjajahan Belanda-awal zaman penjajahan Jepang.
Pada perkembangan berikutnya, peranan Lotiah di Pupuan semakin besar dalam kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan, sehingga menjadikan masyarakat Tionghoa menjadi masyarakat yang disegani di Desa Pupuan karena pengaruh sosial ekonominya. Bahkan pada masa tahun 1950-an, Pada perkembangan berikutnya, peranan Lotiah di Pupuan semakin besar dalam kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan, sehingga menjadikan masyarakat Tionghoa menjadi masyarakat yang disegani di Desa Pupuan karena pengaruh sosial ekonominya. Bahkan pada masa tahun 1950-an,
Akan tetapi perkembangan ini seakan terhenti pada pasca G 30 S PKI, peranan etnis Tionghoa di Desa Pupuan menurun drastis, dikarenakan adanya ketakutan-ketakutan akan adanya cap komunis atau antek PKI dan tekanan pemerintah terhadap etnis Tionghoa. Menjadikan masyarakat etnis Tionghoa seakan terkurung dalam penjara masyarakat. Kehidupan sosial ekonomi dan budaya menjadi sangat-sangat terbatas, walaupun secara sembunyi-sembunyi masih bisa melakukan ritual-ritual pemujaan leluhur.
Pada era reformasi, peranan etnis Tionghoa di Desa Pupuan masih tetap eksis, walaupun terbatas khususnya pada bidang ekonomi. Pada bidang sosial budaya, peranan etnis Tionghoa dalam pelestarian budaya sangatlah sedikit dan terbatas pada kalangan-kalangan tertentu saja. Peranan Lotiah atau yang secara familiar sekarang disebut dengan ketua, hanyalah sebatas ketua perkumpulan etnis Tionghoa di Desa Pupuan dan juga sebagai penghubung komunikasi antara etnis Tionghoa dengan pihak Desa Adat (etnis Bali).