Perubahan Nama
5.3 Perubahan Nama
Pada hakekatnya nama adalah identitas seseorang agar bisa dikenal memudahkan untuk membedakan dengan orang lainnya. Dalam pemberiannya, nama juga terkandung makna-makna pengharapan yang diharapkan oleh si pemberi nama kepada si pemilik nama. Selain untuk memudahkan panggilan, dalam nama juga terkandung simbol-simbol kultural seseorang. Seringkali dalam nama dapat diketahui dari suku mana dia berasal. Misalnya nama Kadek, Nyoman, Ketut menandakan bahwa dia berasal dari etnis Bali, nama Mooy menandakan dia adalah keturunan Rote Ndao. Demikian juga pada etnis Tionghoa di mana dalam setiap nama etnis Tionghoa terkandung beberapa informasi- informasi yang menjelaskan siapa si pemilik nama.
Umumnya, nama seseorang etnis Tionghoa terdiri paling banyak dari 3 suku kata. Nama yang pertama menjelaskan marganya (shee), dan 2 nama Umumnya, nama seseorang etnis Tionghoa terdiri paling banyak dari 3 suku kata. Nama yang pertama menjelaskan marganya (shee), dan 2 nama
Pada umumnya nama Tionghoa laki-laki didasarkan pada kesusilaan, kepandaian, kegagahan, kejantanan. Misalnya nama Kho Kim Djin, Kho=nama keluarga, Kim=mas, Djin=kemanusiaan, jadi, Kho Kim Djin artinya kemanuisaan emas. Nama Thio Lam Hok; Thio=nama keluarga, Lam=selatan, Hok=rezeki jadi Thio Lam Hok artinya rezeki selatan. Sedangkan untuk nama wanita seringkali dipergunakan nama bunga, misalnya bunga teratai (Lian), bungga angrek (Lan) dan sebagainya. Misalnya Ong Kim Lian=ong teratai emas, Tji Giok Lan=tji anggrek pualam selain bunga, seringkali, nama permepuan juga diidentikkan dengan harum (hiang) dan indah (eng).
Selain itu dalam sistematika penamaan orang-orang Tionghoa, seringkali para orang tua juga menamakan anaknya berdasarkan pada lima kata yang menjadi konsepsi dari konfusius yakni Djin Gi Le Ti Sin (kemanusiaan, kebajikan, upacara, pengetahuan dan kepercayaan). Misalkan anak petama dari keluargka King bernama King Djin Han, anak kedua bernama King Djin Ho dan anak ketiga bernama King Djin Ciang, maka anak-anak mereka akan memiliki nama King Gi Han, King Gi Ho dan King Djin Ciang, demikian pula dengan keturunan berikutnya. Ucapan Konfusius Su Hai Tji Lue Kai Heng Te (disebelah dalam lingkungan keempat laut semua saudara ) juga dipergunakan sebagai sistem penamaan sama seperti konsepsi Konfusius.
Ada juga yang berdasarkan pada Phe Dji (delapan huruf) yang mengenai tahun bulan tanggal dan jam kelahiran. Atas dasar-dasar keterangan kelahiran, ditetapkanlah sebuah nama yang sesuai dengan anak yang baru lahir. Dan biasanya penamaan ini dibantu oleh seorang Sinshe Phe Dji yang memberikan nama sesuai dengan memeriksa keterangan kelahirannya (Joe Lan,1961:1-9).
Pada awal kedatangannya sampai dengan zaman kemerdekaan etnis Tionghoa di Indonesia mempergunakan nama Tionghoanya sebagai namanya pada setiap identitas yang dimilikinya, demikian juga dengan yang terjadi di Desa Pupuan. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, masyarakat etnis Tionghoa mempergunakan nama Tionghoanya sebagai nama resmi dalam identitas, termasuk identitas kependudukan sampai dengan 27 Desember 1966. Memang sebelumnya pada tahun 1960-an pada masa Orde Lama, Menteri Sosial Moeljadi sempat menyarankan agar warganegara keturunan Tionghoa mengganti nama mereka menjadi nama yang lebih berbau Indonesia, akan tetapi ini hanya berupa anjuran, dan tidak ada sanksi yang dikenakan bagi yang melanggar.
Hal yang berbeda terjadi pada tahun 1966, semua keturunan Tionghoa di Indonesia ‘diminta’ untuk berganti nama dengan nama yang berbau Indonesia. Peraturan ganti nama tersebut tertuang dalam Keputusan Presidium Kabinet Ampera No 127UKep—121966 tentang ‘Peraturan Ganti Nama Bagi Warga Negara Indonesia Jang Memakai Nama Tjina,’ yang ditanda tangani oleh Djenderal T.N.I Soeharto, sebagai Ketua Presidium.
Implikasi dari adanya aturan ini, hampir seluruh etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan, berganti nama menjadi nama yang Implikasi dari adanya aturan ini, hampir seluruh etnis Tionghoa di Indonesia termasuk juga di Desa Pupuan, berganti nama menjadi nama yang
Perubahan nama ini menambah beban sebelumnya di mana etnis Tionghoa yang memilih kewarganegaraan Indonesia harus memiliki tanda bukti yang disebut dengan Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia yang kemudian disingkat SBKRI yang berdasar hukum Undang-Undang no. 62 tahun 1958 tentang "Kewarganegaraan Republik Indonesia”. Untuk lebih jelasnya mengenai contoh SBKRI yang secara resmi diberlakukan di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru, dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 5.5. Contoh SBKRI (Dok.: googlesearch.SBKRI, 2012)
Akan tetapi di Desa Pupuan berdasarkan hasil wawancara tidak ada satupun yang memiliki SBKRI, bahkan mereka sebagian besar tidak mengetahui fungsi dari SBKRI. Ketika masyarakat etnis Tionghoa di Desa Pupuan melakukan pergantian nama, mereka mendaftarkannya secara resmi di Kajari, dan menunggu sidang untuk agar pergantian nama tersebut diakui oleh negara. Secara langsung dapat terlihat adanya hegemoni negara dalam permasalahan pergantian nama ini, di mana negara akan memberikan sanksi kepada etnis Tionghoa yang menolak untuk mengikuti peraturan pemerintah. Adapun contoh penggantian nama yang didaftarkan di Kajari sebagai berikut :
Gambar 5.6. Penggantian Nama yang didaftarkan di Kajari (Dok. : dokumentasi pribadi wayan sudarsana, 2012)
Ada beberapa cara Etnis Tionghoa untuk mengganti namanya. Proses perubahan nama ini, juga merupakan sebuah mimikri (peniruan), di mana etnis Tionghoa diDesa Pupuan melakukan peniruan-peniruan nama etnis Bali, yang pada akhirnya menjadikan nama etnis Tionghoa di Desa Pupuan menjadi sebuah hibrid. Adapun pola perubahan nama di Desa Pupuan berdasarkan hasil penelitian dilapangan:
1. Mengganti Nama dengan Nama yang Sama dengan Etnis Bali
Sebagian besar, etnis Tionghoa di Desa Pupuan kelahiran kelahiran sebelum 1980-an dapat dipastikam memiliki nama-nama yang menjadi identitas khusus etnis Bali. Misalnya nama putu untuk anak pertama, made kedua, nyoman ketiga Sebagian besar, etnis Tionghoa di Desa Pupuan kelahiran kelahiran sebelum 1980-an dapat dipastikam memiliki nama-nama yang menjadi identitas khusus etnis Bali. Misalnya nama putu untuk anak pertama, made kedua, nyoman ketiga
2. Mencari nama Bali yang Memiliki Makna yang Baik
Selain mengganti nama dengan nama yang sama dengan etnis Bali, pola lain penggantian nama etnis Tionghoa di Desa Pupuan adalah berganti nama dengan cara mendekatkan nama Tionghoanya dengan nama Bali. Kebanyakan orang Tionghoa berganti nama dengan memilih nama yang berbau Bali dan yang mempunyai makna tertentu, dan saat itu umum dipakai. Kang Kheng Djin-I Wayan Sudarsana, sama sekali tidak dipilih karena dekat nama Tionghoanya. Pilihan nama ini murni memperhatikan makna dari namanya. Sudarsana sendiri berarti dasar laksana yang baik.
3. Mendekatkan Nama Tionghoanya dengan Nama Indonesianya
Rata-rata orang Tionghoa di Desa Pupuan biasanya memakai nama dengan tiga suku kata. Suku kata pertama adalah nama marganya, suku kata kedua adalah nama keluarganya, dan suku kata terakhir adalah namanya yang sebenarnya. Misalnya King Ming Han. King adalah nama marga, Ming adalah nama keluarga (biasanya semua anak laki-laki dalam keluarga ini akan mempunyai nama tengah yang sama, yaitu Ming) dan Han adalah nama dia yang sebenarnya.
Ada juga ditemui nama-nama yang meng-Indonesia-kan nama marganya, seperti: Lee menjadi Herleeyana. Penggantian dengan cara mendekatkan dengan nama Indonesia juga terjadi pada nama sesungguhnya, atau nama belakang. Misalnya pada nama Kang Bok Lan menjadi Made Lany Arwati, nama Lan yang merupakan nama sebenarnya, juga dikaitkan pada saat perubahan nama menjadi nama “lokal” (Lan menjadi Lany).
4. Memakai Nama-Nama Internasional
Meski tidak terlalu lazim digunakan oleh mereka yang lahir sebelum tahun 1980, nama-nama yang berbau barat banyak dipakai oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Nama seperti Johan, Anton, Susan, dan lain-lain mendominasi nama- nama keturunan Tionghoa yang lahir tahun 1980 sampai saat ini, di mana nama- nama barat tersebut sudah dipilihkan oleh orangtuanya sejak lahir.
Perubahan penamaan sejak awal 1980 menunjukkan bahwa tekanan politik saat Orde Baru membuat mereka berpaling kepada Barat. Sebab nama barat bisa diterima oleh orang Indonesia, meski berbeda sama sekali dengan nama-nama yang lazim dipakai oleh orang Indonesia.
Pada era setelah 1980-an etnis Tionghoa diDesa Pupuan mulai meninggalkan nama Tionghoanya sebagai identitasnya, seperti narasumber I Ketut Anto Wijaya dan I Ketut Angga Wijaya yang sudah tidak memiliki lagi nama Tionghoa. Adapun alasannya ialah adanya kehilangan pengetahuan terhadappenamaan Tionghoa sehingga orang tuanya memilih untuk tidak mempergunakan nama Tionghoa.
Seperti yang dituturkan oleh I Ketut Anto Wijaya:
“saya tidak memiliki nama Tionghoa lagi karena orang tua saya kurang memiliki pengetahuan terhadap penamaan, karena sistem pemberian nama Tionghoa itu tidaklah sederhana. Lagian saya tinggal di Bali, dan saya juga orang bali, agama saya Hindu. Etnis saya memang Tionghoa tetapi saya juga orang bali”.
Demikian juga dengan penuturan I Ketut Angga Wijaya;
“saya tidak masih memiliki nama Tionghoa, tetapi saya tahu marga saya apa, pengetahuan mengenai siapa saudara tidak hanya lewat marga saja kan, bisa juga tahu pas piodalan atau sembahyangan. Orang tua saya tidak memberikan saya nama Tionghoa karena saya lahir dibali, hidup di bali dan menjadi orang bali”
Dari penuturan di atas, dapat dianalisis bahwa pada masa kini bukanlah suatu masalah besar apabila seorang etnis Tionghoa tidaklah memiliki nama Tionghoa, karena adanya perkawinan campuran dan keluarga sudah saling mengenal. Selain itu hal ini juga dikarenakan karena sudah lama terjadi akulturasi dengan penduduk lokal, maka etnis Tionghoa di Desa Pupuan lebih merasa dekat dengan etnis Bali, bahkan sudah merasa bagian dari etnis Bali itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa pada masa kini identitas “penamaan” etnis Tionghoa di Desa Pupuan bersifat hibrid, karena melakukan proses mimikri terhadap unsur-unsur nama baik Bali maupun barat, sehingga memunculkan sebuah identitas “nama” yang bersifat campuran.
Dari ketiga pemaparan di atas, terlihat dengan jelas bahwa perubahan identitas budaya etnis Tionghoa, terjadi karena adanya perubahan pada unsur- unsur pokok, hubungan antarunsur, berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem, pemeliharaan batas, subsistem, dan lingkungan. Di mana proses mimikri yang
dijalankan oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan memiliki ambivalensi karena di satu sisi etnis Tionghoa ingin membangun identitas persamaan dengan etnis Bali yang terdapat di Desa Pupuan, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya (Bhaba l994: 86). Adanya ambivalensi ini, juga menegaskan pandangan dari Wang Gungwu bahwa etnis Tionghoa mampu untuk menopang identitas Tionghoa mereka sambil mengadopsi banyak nilai-nilai bukan Tionghoa, tetapi juga bagaimana sebagian mereka dapat melakukan akulturasi total dan menerima suatu identitas bukan Tionghoa yang sepenuhnya baru. Di mana etnis Tionghoa mampu dan mau menerima identitas nasional, lokal, dan menelaah sejauhmana mereka mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa, ketika berhubungan dengan orang Tionghoa lainnya yang juga tinggal di lokalitas yang sama atau dengan orang Tionghoa yang tingal di luar lokalitas tersebut.
Proses mimikri ini, kemudian menjadi sebuah identitas budaya baru yang hibrid,di mana, menurut Bhabha identitas budaya yang baru merupakan sebuah metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi hibriditas, dapat diterima sebagai suatu alat untuk memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabiliasi temporer kategori budaya (Barker, 2005:210). Harapannya, dalam jangka waktu yang lama identitas budaya yang hibrid bisa menjadi sebuah negoisasi mencakup perjumpaan Proses mimikri ini, kemudian menjadi sebuah identitas budaya baru yang hibrid,di mana, menurut Bhabha identitas budaya yang baru merupakan sebuah metafora untuk menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi hibriditas, dapat diterima sebagai suatu alat untuk memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategis atau stabiliasi temporer kategori budaya (Barker, 2005:210). Harapannya, dalam jangka waktu yang lama identitas budaya yang hibrid bisa menjadi sebuah negoisasi mencakup perjumpaan