135
belakangi dan beorientasi pada ide-ide dasar Pancasila yang didalamnya mengandung keseimbangan nilai, ide dan paradigma ketuhanan moral religius, kemanusiaan
humanistik, kebangsaan, demokrasi dan keadilan sosial.
B. Pengertian, Unsur-Unsur dan Sistematisasi Tindak Pidana Perkosaan
Dalam Rancangan KUHP Nasional
Pasal yang mengatur mengenai tindak pidana perkosaan di dalam rancangan KUHP Nasional ini adalah perluasan dari pasal yang mengatur tentang tindak pidana
perkosaan dalam KUHP. Hanya saja di dalam Rancangan KUHP Nasional tersebut ditegaskan bahwa tindak pidana perkosaan merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia khususnya hak asasi perempuan. Rancangan KUHP Nasional tahun 19992000 yang direvisi pada tahun
20042005 mengatur tindak pidana perkosaan dalam BAB XIV tentang Tindak Pidana Kesusilaan, pada bagian kelima dengan sub bagian tentang Perkosaan dan
Perbuatan Cabul, pada paragraf 1 tentang Perkosaan, Pasal 489 yang berbunyi sebagai berikut:
1 Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara
paling sedikit 3 tiga tahun dan paling lama 12 dua belas tahun: a.
Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut.
b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar
perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut. c.
Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan itu dicapai melalui
ancaman untuk dibunuh atau dilukai.
d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan
persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
136
e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di
bawah 14 empat belas tahun, dengan persetujuannya, atau f.
Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya
2. Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1:
a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan
b. Laki-laki yang memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian
tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
115
Di dalam penjelasannya dinyatakan bahwa persetubuhan yang dilakukan bertentangan dengan kehendak perempuan dapat dilihat dari adanya perlawanan dari
pihak perempuan. Namun karena secara psikis maupun fisik keadaan perempuan terlalu lemah untuk melawan, maka persetubuhan yang dilakukan tanpa persetujuan
perempuan tersebut juga dapat dipidana berdasarkan ketentuan ini. Penjelasan pasal ini juga menegaskan bahwa ketentuan dalam ayat 1 ini tidak berlaku bagi laki-laki
dan perempuan yang terikat dalam perkawinan. Karena pada dasarnya dalam perkawinan tidak dapat terjadi perkosaan suami terhadap istri
116
Sesungguhnya bagian yang secara tegas menyatakan bahwa persetubuhan tersebut dilakukan terhadap perempuan diluar ikatan perkawinan pada dasarnya
hanya ada pada huruf a dan b. Dengan demikian dapat dinafsirkan bahwa pada huruf- huruf yang tidak dinyatakan secara eksplisit dan tegas didalam rumusan perundang-
undangan, maka dimungkinkan bahwa perkosaan tersebut terjadi dalam suatu ikatan perkawinan.
115
Adami Chazawi, op.cit., hlm. 216-217.
116
Lihat HR Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat, Jakarta: Restu Agung, 2006, hlm. 481.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
137
Berkaitan dengan ayat 1 huruf e dalam penjelasannya dinyatakan bahwa huruf ini mengatur mengenai tindak pidana perkosaan yang dikenal dengan statutory
rape, yaitu bahwa meskipun pihak perempuan memberikan persetujuan, namun karena perempuan tersebut belum mencapai umur 14 empat belas tahun, maka
perbuatan tersebut tetap dikategorikan sebagai perkosaan menurut peraturan perundang-undangan.
Rumusan hukum mengenai tindak pidana perkosaan di dalam Rancangan KUHP Nasional, memperlihatkan adanya upaya untuk melindungi hak asasi
perempuan dengan seluas mungkin dapat menjerat pelaku tindak pidana perkosaan sehingga sulit untuk dapat luput dari penuntutan dan pemidanaannya.
Jika diamati secara teliti dan mendalam, rumusan ketentuan tersebut di atas mengandung makna dan dampak yang luas di dalam sistem pembuktian yang akan
diterapkan untuk mengungkapkan kasus tindak pidana perkosaan di depan sidang pengadilan. Bahkan sistem pembuktian yang akan diterapkan memiliki perbedaaan
fundamental dengan sistem pembuktian yang selama ini selalu dipergunakan di dalam menerapkan ketentuan Pasal 285 KUHP.
Perbedaan fundamental tersebut adalah, pertama terletak pada rumusan kalimat yang dipergunakan pada pasal-pasal dalam KUHP dan Pasal dalam
Rancangan KUHP Nasional yang secara mendasar memang berbeda. Perbedaan kedua terletak pada sistem pembuktian dan alat-alat bukti yang menentukan di dalam
persidangan atas kasus tindak pidana perkosaan yang akan terjadi di kemudian hari.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
138
Selama ini dalam praktek pembuktian vide pasal 285 KUHP, alat bukti yang paling menentukan dalam kasus tindak pidana perkosaan adalah keterangan ahli
dalam bentuk visum et repertum dari seorang dokter ahli yang ditunjuk menurut undang-undang. Selain itu juga harus ada keyakinan hakim bahwa benar telah terjadi
tindak pidana perkosaan. Merujuk pada rumusan pasal 489 dalam Rancangan KUHP Nasional, maka
yang akan menjadi alat bukti yang sangat menentukan adalah keterangan saksi korban mengenai segala hal yang mendukung bahwa selama terjadinya tindak pidana
perkosaan tersebut, korban tidak menghendakinya, atau korban tidak menyetujuinya, atau korban menyetujuinya karena adanya ancaman, atau korban menyetujuinya
karena pelaku adalah orang yang dianggap sebagai suaminya atau orang yang dipercayainya, atau korban ternyata belum mencapai usia 14 empat belas tahun.
Keterangan saksi korban ini harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum di depan sidang pengadilan.
Persoalan yang relevan dan amat penting dalam konteks kasus tindak pidana perkosaan di kemudian hari yang diatur di dalam pasal 489 Rancangan KUHP
Nasional adalah bagaimana apabila korban adalah seorang perempuan yang memiliki latar belakang dan reputasi buruk di masyarakat. Bagaimana jika tertuduh atau kuasa
hukumnya meminta ”cross-examination” atas saksi korban. Apakah faktor latar belakang kehidupan dapat dimasukkan sebagai bahan pertimbangan dalam
pembuktian? Dalam pasal 185 ayat 6 huruf d KUHAP, apabila faktor latar belakang
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
139
kehidupan ini tidak dapat merupakan bukti yang mendukung bagi kepentingan pelaku, apakah proses penuntutan dan pembuktian atas pelaku tindak pidana
perkosaan dapat dianggap merupakan proses peradilan yang jujur dan adil baik bagi kepentingan saksi korban maupun pelakunya?
Permasalahan ini harus dipertimbangkan sejak awal karena dalam pelaksanaannya nanti akan dapat menjadi kendala yang serius khususnya dalam
pembuktian kasus tindak pidana perkosaan. Hal ini akan menjadi semakin sulit jika berdasarkan budaya masyarakat yang berkembang bahwa persoalan yang berkaitan
dengan kesusilaan masih amat tabu untuk dibicarakan dimuka umum, apalagi masalah tindak pidana perkosaan.
Sekalipun masyarakat kita sangat mencela perbuatan tersebut, akan tetapi kultur masyarakat yang demikian akan membentuk sikap korban tindak pidana
perkosaan untuk enggan melapor kepada polisi, apalagi untuk diajukan menjadi saksi korban dimuka sidang pengadilan. Dari sudut pandang kriminologi dan viktimologi,
kultur masyarakat demikian ini, dalam konteks kasus tindak pidana perkosaan, akan menumbuhkan dan memperkuat akar bagi terjadinya stigmatisasi dan viktimisasi
struktural bagi terutama pihak korban tindak pidana perkosaan, jika dibandingkan dengan pihak pelakunya. Proses stigmatisasi yang terjadi adalah sebagai akibat
adanya cap atau label masyarakat dan lingkungan terdekat korban. Sedangkan viktimisasi struktural terjadi karena ketentuan pasal tersebut justru di dalam
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
140
penerapannya nanti semakin jauh dari tercapainya tujuan atas harkat dan martabat seorang perempuan yang menjadi korban perkosaan.
C. Rekomendasi Tentang Pembaharuan Rumusan dan Sistematika Legislasi