144
kasus perkosaan adalah sekitar 4 – 19 yang disebabkan karena kelalaian dari pihak korban. Selain itu digambarkan pula bahwa korban perkosaan pada
umumnya adalah perempuan, baik dewasa maupun anak di bawah umur. -
Kasus perkosaan secara yuridis memiliki karakteristik sebagai kasus yang mudah untuk dilakukan penuntutan, namun sulit untuk dapat dibuktikan.
Dari berbagai analisis yang berkembang, perdebatan yang paling mendasar adalah mengenai :
1. Perkosaan dalam perkawinan
Banyak pihak yang masih belum mau mengakui adanya pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan. Kasus sejenis ini memang tidak banyak terangkat ke
permukaan karena korban lebih sering menyembunyikan penderitaan yang dialaminya. Malu karena menganggap apa yang dialaminya adalah hal yang tabu
untuk diketahui orang lain dan ketidaktahuan bahwa pemaksaan hubungan seksual adalah merupakan kekerasan yang dapat dipidana, adalah beberapa alasan yang
sering ditemukan. Sebagian masyarakat masih berpendapat bahwa tidak ada perkosaan di dalam
perkawinan. Dalam pandangan ini, setiap hubungan seksual yang berlangsung antara suami-istri dalam ikatan perkawinan yang sah secara hukum dan agama adalah suatu
kewajaran dan rutinitas yang memang sudah seharusnya dilakukan. Anggapan lain di dalam masyarakat yang tidak tepat adalah istri tidak boleh
menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual. Kuatnya anggapan tersebut
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
145
menyebabkan ketika suami melakukan pemaksaan dan kekerasan seksual terhadap istrinya, kecenderungan masyarakat adalah justru menyalahkan si istri. Istri yang
menolak permintaan suaminya untuk berhubungan seksual akan dipandang sebagai istri yang melawan suami. Menurut pandangan ini istri harus selalu siap kapan pun
suami menginginkan hubungan seksual. Padahal adakalanya istri sedang tidak bergairah, sedang menstruasi atau tertidur karena kelelahan setelah beraktivitas
seharian baik di luar rumah maupun di dalam rumah. Tidak jarang pula ada suami yang memaksa melakukan variasi hubungan seksual dengan gaya atau cara yang
tidak ingin dilakukan oleh si istri karena istri menganggapnya di luar kewajaran. Sebagai perempuan yang memiliki tubuhnya sendiri, istri tentu memiliki hak untuk
mengatakan tidak dan menolak setiap bentuk hubungan seksual yang tidak diinginkannya.
Berikut ini adalah beberapa variasi kasus pemaksaan hubungan seksual yang seringkali terjadi menurut hasil penelitian maupun kasus-kasus yang pernah ditangani
oleh LBH APIK Jakarta:
120
1 Pemaksaan hubungan seksual sesuai keinginan seksual suami. Istri dipaksa
melakukan anal seks memasukkan penis ke dalam anus, Oral Seks memasukkan penis ke dalam mulut, dipaksa menonton vidio porno dan
diminta meniru segala adegan dalam vidio tersebut dan bentuk-bentuk hubungan seksual lainnya yang tidak diinginkan oleh istri.
120
Lihat, Pemaksaan Hubungan Seksual Dalam Perkawinan Adalah Kejahatan Perkosaan, Lembar Info Seri 602005, LBH APIK Jakarta,
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
146
2 Pemaksaan hubungan seksual saat istri teridur.
3 Pemaksaan hubungan seksual berkali-kali dalam satu waktu yang sama
sementara istri tidak menyanggupinya. 4
Pemaksaan hubungan seksual oleh suami yang sedang mabuk atau menggunakan obat perangsang untuk memperpanjang hubungan seksual tanpa
persetujuan bersama dan istri tidak menginginkannya. 5
Memaksa istri mengeluarkan suara rintihan untuk menambah gairah seksual dan istri tidak menghendakinya.
6 Pemaksaan hubungan seksual saat istri sedang haid, nifas, hamil tua ataupun
sakit. 7
Pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan kekerasan psikis seperti mengeluarkan ancaman serta caci maki.
8 Melakukan kekerasan fisik atau hal-hal yang menyakiti fisik istri seperti
memasukkan benda-benda ke dalam vagina istri, mengikat kaki dan tangan istri, mengoleskan balsem ke vagina istri dan bentuk-bentuk kekerasan
lainnya. Pemaksaan hubungan seksual terjadi karena rentannya posisi perempuan
dalam keluarga dan masyarakat yang antara lain di dukung oleh: 1
Masih dominannya nilai patriarkhi dalam masyarakat nilai-nilai yang lebih mengutamakan kepentingan laki-laki. Nilai-nilai yang berpihak pada laki-laki
tersebutlah yang kemudian membentuk aturan tidak tertulis bahwa ”istri
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
147
adalah milik suami”. Dengan kata lain perkawinan dipandang sebagai penyerahan diri sepenuhnya oleh istri terhadap suaminya dan sudah menjadi
tugas seorang istri untuk melayani suami dalam segala hal. Hal ini jugalah yang kemudian membuat suami merasa ”berhak” untuk menggunakan
kekerasan seperti pemukulan, melukai tubuh, hati atau jiwa istri melalui hardikan, hinaan dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya jika istri menolak
keinginan suami untuk melakukan hubungan seksual. Di lain sisi, istri yang cara pandangnya telah dibentuk oleh masyarakat yang mengutamakan
kepentingan laki-laki, merasa sudah menjadi kewajibannya perempuan untuk tetap siap sedia melayani suami, sehingga istri tidak mampu menolak
hubungan seksual meskipun pada saat itu dirinya sedang tidak ingin atau tidak bisa. Akibatnya hubungan seksual seringkali berlangsung dengan dingin dan
tidak dinikmati bahkan menyakiti istri, walaupun tanpa perlawanan atau penolakan langsung dari istri.
2 Pemahaman keliru mengenai penafsiran agama. Seringkali ajaran-ajaran
agama disalah tafsirkan yang berdampak pada pembedaan posisi perempuan dengan laki-laki atau menghadirkan perlakuan yang diskriminatif terhadap
perempuan. 3
Sebagai contoh, di dalam ajaran agama Islam terdapat hadist: ”Jika seorang laki-laki mengajak istrinya untuk melayaninya di tempat tidur, lantas si istri
enggan untuk mendatanginya, sehingga suami tidur dengan memendam
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
148
kemarahan, maka malaikat melaknatnya hingga tiba waktu pagi”
121
Hadist ini tentu saja menimbulkan ketakutan istri untuk menolak keinginan suami.
Padahal menurut Forum Kajian Kitab Kuning FK3 yang menelaah kitab U’qud al Lujjayn mengatur relasi antara suami – istri dalam hadist di atas
terdapat kata ”al-la’nah” yang seringkali dipahami secara kurang tepat dengan pengertian laknat. Sebaiknya kata ”al-la’nah” diartikan sesuai dengan konteks
sosial kemanusiaan dengan pengertian hilangnya kasih sayang dan kedamaian dalam kehidupan. Jika diartikan secara kontekstual dalam
kehidupan nyata suami – istri, hadis ini tidak hanya ditujukan kepada istri tetapi juga ditujukan kepada suami. Lebih jauh hal yang penting untuk diingat
adalah agama pada dasarnya tidak pernah menyetujui adanya pemaksaan dan kekerasan dalam bentuk apapun. Ajaran agama Islam misalnya menekankan
konsep kesetaraan dan saling menyempurnakan sebagai landasan hubungan suami istri, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat
187: ”Mereka kaum perempuan adalah pakaian bagimu laki-laki dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”. Selain itu suami juga dianjurkan untuk
memperlakukan perempuan dengan baik sesuai dengan Al-Qur’an Surat An- Nisaa’ ayat 19 yang menyatakan: ”...dan hendaklah kalian memperlakukan
mereka perempuan istri-istrimu dengan cara yang ma’ruuf baik....” Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dibangun suatu pemahaman bahwa
perkawinan tidak menyebabkan salah satu pihak berhak untuk melakukan
121
Riwayat Bukhari IX293 dengan Fathul Bari dalam Pemaksaan Hubungan ... Ibid
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
149
kesewenangan terhadap pasangannya dalam hal ini perkosaan. Peluang untuk mengangkat tindak pidana perkosaan terhadap pasangan yang terikat dalam
perkawinan telah dicantumkan dalam UU No. 23 tahun 2004 dengan menggunakan istilah kekerasan seksual. Karena itu tentunya penyusun kebijakan legislasi
Rancangan KUHP Nasional harusnya tidak lagi menutup diri dengan membatasi bahwa istri tidak dapat menjadi korban perkosaan dengan tidak lagi menggunakan
rumusan ”Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan...”
Bahwa adanya pengaturan tentang hal tersebut di dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT tidak dengan serta merta menyebabkan perkosaan terhadap istri
tidak perlu dirumuskan lagi di dalam Rancangan KUHP Nasional. Hanya saja agar tidak terdapat pertentangan dengan UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, maka
perkosaan terhadap istri hendaknya juga dinyatakan sebagai tindak pidana aduan. Hal ini secara logika tentunya akan dapat dirumuskan oleh pembuat kebijakan legislasi
bahwa budaya disetiap rumah tangga adalah berbeda dan tindak pidana ini baru dapat terjadi jika salah satu pihak dalam hal ini istri tidak menghendakinya.
Dengan demikian, penting untuk dirumuskan bahwa perkosaan dalam perkawinan adalah setiap hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang
berlangsung tanpa persetujuan bersama, dilakukan dengan paksaan, di bawah ancaman atau dengan kekerasan.
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
150
2. Perkosaan tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan