153
menggunakan ancaman kekerasan, penipuan, atau sedang berada dalam keadaan pingsan, bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur 14 tahun atau
melakukan oral dan anal seks. Dengan pengertian yang diperluas tersebut, maka penyusun kebijakan
tentunya juga tidak lagi harus selalu mengkaitkan antara tindak pidana perkosaan dengan persetubuhan. Karena selain persetubuhan yang menghendaki adanya
penetrasi antara kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan, tindakan anal seks dan oral seks juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan.
4. Perkosaan sebagai kejahatan terhadap tubuh Penempatan dalam
sistematika legislasi
Tindak pidana perkosaan di dalam KUHP dituangkan dalam Bab XIV Buku II KUHP mengenai Kejahatan Terhadap Kesopanan Misdrijven tegen de zeden dan
Bab VI buku III KUHP mengenai Pelanggaran Terhadap Kesopanan Overtredingen betreffende de zeden.
Sebagaimana telah dikemukanan dalam pembahasan pada BAB II, maka penempatan tindak pidana perkosaan dalam sistematika legislasi KUHP ini tidaklah
tepat karena akan menjadikan tindak pidana perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang menggunakan rasa moral dan susila masyarakat yang dianggap telah dirusak.
Para pembuat kebijakan Rancangan KUHP Nasional tahun 19992000 yang direvisi pada tahun 20042005 ternyata masih memiliki pandangan yang sama
dengan pemerintahan kolonial Belanda, karena dalam Rancangan KUHP Nasional,
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
154
tindak pidana perkosaan diatur dalam BAB XIV tentang Tindak Pidana Kesusilaan, pada bagian kelima dengan sub bagian tentang Perkosaan dan Perbuatan Cabul.
Perkosaan pada dasarnya merupakan penyerangan terhadap tubuh dan martabat korbannya, karena itu sesungguhnya perkosaan dapat dikategorikan sebagai
kejahatan terhadap tubuh sebagaimana dengan penganiayaan dan pembunuhan. Dalam sistematika seperti ini diharapkan perhatian terhadap korban yang mengalami
perkosaan menjadi lebih baik karena sebagai orang yang tubuh dan harkat martabatnya diserang, korban berhak mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang
manusiawi dan pelaku dapat dijatuhkan sanksi yang lebih berat. Secara lebih spesifik penempatan tindak pidana perkosaan sebagai kejahatan
terhadap tubuh dapat dikelompokkan menjadi bagian Kekerasan Seksual, dimana di dalamnya para perancang kebijakan dapat merumuskan berbagai kebijakan legislasi
yang berkaitan dengan kekerasan seksual seperti perkosaan, perbuatan cabul, pelecehan seksual dan sebagainya.
5. Pembaharuan dalam Pembuktian dan perlindungan saksi