Rekomendasi Tentang Pembaharuan Rumusan dan Sistematika Legislasi

140 penerapannya nanti semakin jauh dari tercapainya tujuan atas harkat dan martabat seorang perempuan yang menjadi korban perkosaan.

C. Rekomendasi Tentang Pembaharuan Rumusan dan Sistematika Legislasi

Tindak Pidana Perkosaan. Masalah sosial yang dikemukakan berkaitan dengan tindak pidana perkosaan pada dasarnya membutuhkan perubahan pandangan umum tentang apa sesungguhnya perkosaan tersebut dan siapa yang disebut sebagai korban perkosaan. Perlu terus menerus dibangun sensitivitas dari aparat penegak hukum dan masyarakat untuk menghindari reviktimisasi dan stigmatisasi terhadap korban perkosaan. Dengan demikian diharapkan korban tindak pidana perkosaan atau masyarakat akan lebih banyak membuat pelaporan yang diikuti dengan semakin meningkatnya penangkapan dan penuntutan atas pelaku perkosaan. Selama ini masalah yang seringkali menjadi penghambat adalah pelaku perkosaan tidak ditangkap dan dikenakan penahanan kerana kebanyakan korban enggan untuk melaporkan tindakan perkosaan tersebut. Sementara itu pelaku perkosaan yang ditangkap atau ditahan sebagai besar tidak dituntut atau hanya dituntut dengan sanksi hukum yang relatif ringan dan tidak sebanding dengan sanksi moral yang berlebihan dari masyarakat kepada korban perkosaan. Pelaku perkosaan yang dikenal baik oleh korban misalnya pacar atau tunangan, seringkali mengaburkan tindak pidana perkosaan sebagai hubungan seksual suka sama suka. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 141 Persepsi masyarakat sebelum dilakukannya studi intensif mengenai perkosaan adalah bahwa tindakan memperkosa terkandung di dalamnya motifasi kepuasan seksual sexually motivated. Apabila persepsi tersebut dibiarkan berkembang di masyarakat, maka di dalam tindak pidana perkosaan akan selalu digambarkan adanya kontak antara pelaku laki-laki dengan korban yang umumnya perempuan mengungkapkan bahwa perkosaan semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan non seksual. Dalam kondisi seperti ini maka pertanyaan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan perkosaan menjadi wajar jika dipertanyakan kembali. Pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui pendekatan hukum, sosiologis maupun psikologis. Ketiga pendekatan ini akan menghasilkan konsepsi tentang perkosaan yang berbeda-beda. Dari sisi hukum, konsepsi perkosaan justru telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi pihak korban perkosaan itu sendiri. Bahkan sering korban perkosaan menjadi ”tertuduh” dalam peradilan atas pelaku perkosaan ini. Karakteristik umum dari suatu tindak pidana perkosaan adalah bahwa perkosaan bukanlah semata-mata ekspresi agresivitas dalam bentuk kekerasan dari seksualitas. Akan tetapi perkosaan dapatlah dikatakan sebagai ekspresi seksual dari suatu kekerasan. 117 117 Lihat Romli Atmasasmita, Kapita Selekta, hlm. 108 Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 142 Berdasarkan karakteristik tersebut di atas maka dapat dikembangkan beberapa karakteristik umum tindak pidana perkosaan sebagai berikut: 118 - Agresivitas merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan. - Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksual semata-mata - Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu atau keinginan semata-mata. - Tindak pidana perkosaan merupakan pencerminan seksual dari kekerasan, maka tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk yaitu: a. anger rape dalam bentuk kemarahan dan kekerasan b. power rape dalam bentuk kontrol dan dominasi c. sadistic rape dalam bentuk pengalaman erotis - Kepribadian pelaku pemerkosaan memiliki 5 ciri karakteristik yaitu: 119 a. adanya mispersepsi pelaku atas sikap, cara bicara atau gerakan korban, sehingga pelaku seringkali merasa tidak bersalah dan tidak mengakui telah melakukan pemerkosaan self image 118 Ibid 119 Kadish, 1983, hlm. 1354 dalam Romli Atmasasmita, ibid. hlm. 108-109. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 143 b. pelaku sering mengalami pengalaman buruk dalam hubungan personal atau pribadi baik dalam pekerjaan, percintaan atau persahabatan dengan orang lain dan perkosaan yang dilakukan merupakan kompensasi dari pengalaman buruknya masculine identity c. pelaku pada umumnya merupakan orang yang terasing dalam pergaulan sosialnya dan kebanyakan merupakan pribadi yang rendah diri social relationship d. kegagalan dalam hubungan personal dan sosial telah mengakibatkan pelaku menjadi orang yang rendah diri dan penuh kekecewaan mood state e. Pelaku pada umumnya pribadi yang mengalami ketidakseimbangan emosional dan memiliki perasaan dikhianati oleh orang lain dan perkosaan merupakan penyaluran untuk mengisi kebutuhan akan keseimbangan perasaannya dan sekaligus merupakan tindakan balas dendam management of aggression. - kepribadian korban perkosaan seringkali digambarkan sebagai pribadi yang ”berpartisipasi” di dalam tindak pidana perkosaan itu sendiri. Sifat pribadi demikian dikenal dengan istilah ”victim precipitation”. Hasil penelitian atas kasus perkosaan menunjukkan bahwa tingkat ”victim precipitation” dalam Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 144 kasus perkosaan adalah sekitar 4 – 19 yang disebabkan karena kelalaian dari pihak korban. Selain itu digambarkan pula bahwa korban perkosaan pada umumnya adalah perempuan, baik dewasa maupun anak di bawah umur. - Kasus perkosaan secara yuridis memiliki karakteristik sebagai kasus yang mudah untuk dilakukan penuntutan, namun sulit untuk dapat dibuktikan. Dari berbagai analisis yang berkembang, perdebatan yang paling mendasar adalah mengenai :

1. Perkosaan dalam perkawinan