Asas Publisitas Asas Subsideritas

67 pelanggaran. Kejahatan atau pelanggaran menggambarkan berat ringannya sanksi secara proporsional.

4. Asas Personalitas

Asas personalitas bertujuan untuk melokalisir sejauh mungkin agar pihak lain tidak menjadi korban apabila satu orang dijatuhi hukuman tertentu. Apabila terjadi perampasan hak si terhukum, maka yang menjadi korban bukan saja si terhukum tapi seluruh anggota keluarganya karena kehidupan keluarga terganggu dengan adanya harta benda yang disita. Asas ini sulit untuk diterapkan, harus ada aturan khusus untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

5. Asas Publisitas

Putusan pengadilan terbuka untuk umum adalah merupakan hak publik untuk mengetahui seorang tersangka diproses dengan benar sebelum dijatuhi hukuman. Asas inilah yang mendorong timbulnya lembaga pembelaanpengacara. Pada awal abad 20 tidak ada orang yang membela pelaku, perlakuan terhadap pelaku sewenang- wenang. Saat ini sejak proses penyidikan, pelaku sudah dapat didampingi oleh pengacara.

6. Asas Subsideritas

Hukum yang terlalu berat pada awalnya disangka akan dapat memperbaiki penjahat, sesuai dengan prinsip penjeraan. Ternyata tidak bisa memperbaiki penjahat. Karena itu dalam pembuatan undang-undang hendaknya hukuman yang dirumuskan Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 68 tidak semata-mata ditujukan untuk menbuat penjeraan bagi pelaku tetapi juga memikirkan upaya preventif yang dapat diterapkan sebagai sanksi tindakan untuk membuat pelaku dan masyarakat tidak lagi melakukan kejahatan yang dilarang.

C. Penempatan Tindak Pidana Perkosaan dalam Sistematika Legislasi

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan, merupakan bagian dari Bab tentang tindak Pidana Terhadap Kesopanan. Tindak pidana kesopanan di bentuk untuk melindungi kepentingan hukum rechtsbelang terhadap rasa kesopanan masyarakat rasa kesusilaan termasuk didalamnya. Kehidupan sosial manusia dalam pergaulan sesamanya selain dilandasi oleh norma-norma hukum yang mengikat secara hukum, juga dilandasi oleh norma- norma pergaulan yaitu norma-norma kesopanan. 89 Norma-norma kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat. Patokan patut dan atau tidak patutnya suatu tingkah laku yang dianggap menyerang kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan itu tidaklah semata-mata bersifat individual, tetapi lebih kearah sifat universal walaupun mungkin mengenai hal tertentu lebih terbatas pada lingkungan suatu masyarakat. Nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang mencerminkan sifat dan 89 Adami Chazawi, op.cit., hlm. 1. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 69 karakter suatu lingkungan masyarakat bahkan suatu bangsa bersifat nasional, telah diadopsi dalam norma-norma hukum mengenai tindak pidana terhadap kesopanan ini. Dalam usaha negara menjamin terjaganya nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh warga masyarakat inilah dibentuk tindak pidana dalam Bab XIV Buku II KUHP mengenai Kejahatan Terhadap Kesopanan Misdrijven tegen de zeden dan Bab VI buku III KUHP mengenai Pelanggaran Terhadap Kesopanan Overtredingen betreffende de zeden. Pembagian dan penempatan tersebut membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yang menitik beratkan pada pertimbangan pembentuk undang-undang mengenai objek rasa kesopanan masyarakat tersebut. Penyerangan terhadap rasa kesopanan yang bercorak kejahatan, sifat penyerangan pada kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan lebih berat jika dibandingkan dengan penyerangan rasa kesopanan yang dikategorikan dalam pelanggaran terhadap kesopanan. Kata “zeden” oleh para penulis hukum diartikan sebagai kesusilaan dan kesopanan. Kata kesusilaan dipahami sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi. Kesusilaan adalah suatu pengertian adat-istiadat mengenai tingkah laku dalam pergaulan hidup yang baik dalam hal yang berhubungan dengan masalah seksual. Kata kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: 90 1 Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib 2 Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban 90 Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3 Jakarta, Balai Pustaka, 2005 Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 70 3 Pengetahuan tentang adat Kata susila dalam bahasa Inggris adalah moral, ethics, decent. Kata-kata tersebut biasanya diartikan secara berbeda. Kata moral diterjemahkan menjadi moril atau kesopanan. Kata ethics diartikan dengan kesusilaan dan kata decent diterjemahkan dengan kepatutan. Kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam BAB XIV KUHP yang terdiri dari pasal 281 sampai dengan pasal 303, sejumlah 25 pasal. Tiga pasal diantaranya memuat hukuman tambahan pemberatan yakni Pasal 283 bis, Pasal 291 dan Pasal 298. Tujuh pasal di dalam bab tersebut tidak berkenaan dengan ”behaviour in relation to sexual matter” yaitu: - Pasal 297: tentang memperniagakan perempuan laki-laki yang belum dewasa. - Pasal 299: tentang dapat gugurnya kandungan karena pengobatan. - Pasal 300: tentang menjual memaksa meminum minuman yang memabukkan. - Pasal 301: tentang perlindungan anak yang belum berumur 12 tahun dari pekerjaan sebagai pengemis. - Pasal 302: tentang penganiayaan ringan pada binatang. - Pasal 303 dam 303 bis: tentang judi. Beberapa ahli hukum di Indonesia menginterpretasikan tindak pidana kesusilaan yang ternyata membuat pengertiannya bertambah bias dan merugikan perempuan korban. Hal ini bisa dilihat dalam pengertian kesusilaan yang ditulis dan Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 71 dianalisis oleh R. Soesilo yang mendefinisikan kesusilaan sebagai ”...suatu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan atau laki-laki, mencium dan sebagainya yang semuanya dilakukan dengan perbuatan...” 91 selanjutnya R. Soesilo menyatakan bahwa ”...sifat merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadang- kadang amat tergantung pada pendapat umum, pada waktu dan di tempat itu...”. 92 Dalam definisi tersebut yang juga merupakan pemahaman umum di masyarakat, kesusilaan dipahami dalam lingkup budaya sopan santun yang berkaitan dengan nafsu kelamin, yang berhubungan dengan nilai budaya dan adat istiadat setempat. Dapat dibayangkan apa yang terjadi kemudian ketika definisi kesusilaan ini digunakan dalam tindak pidana perkosaan, perbuatan cabul, pelacuran serta perdagangan anak dan perempuan. Akibatnya, yang sesungguhnya merupakan kejahatan seksual akan dipahami sekedar sebagai kejahatan terhadap kesusilaan dan lebih memberikan perhatian dengan cara menyalahkan korbannya. 93 Penempatan tindak pidana perkosaan yang merupakan salah satu kekerasan seksual, dalam KUHP hanya dikategorikan sebagai “kejahatan terhadap kesusilaan kesopanan” dan bukan kejahatan terhadap tubuh dalam hal ini korban sebagai pemiliknya. Lebih lanjut lagi batasan atau pengertian kesusilaan dalam KUHP lebih 91

R. Soesilo, KUHP, Op. Cit, hlm

92 Ibid 93 Kertas posisi LBH APIK tentang Kejahatan Seksual dan Perlunya RUU Perkosaan, 3-4 Februari, Cimanggis Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 72 mengacu kepada moralitas masyarakat dan bukan bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual perkosaan. Penempatan kejahatan seksual dalam bab kejahatan terhadap kesusilaan telah mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual yaitu pelanggaran terhadap integritas dan eksistensi manusia. Hal ini kemudian sangat menyulitkan pemahaman konseptual yang utuh mengenai apa yang sesungguhnya menjadi inti dan terjadi berkenaan dengan berbagai diskriminasi, perendahan dan kekerasan yang dialami perempuan dalam masyarakat yang bertitik tolak pada pengalaman dan kepentingan laki-laki. Dengan sendirinya derajat keseriusan masalah tidak terungkap, diselubungi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan yang sangat merugikan korban dan menguntungkan pelaku. Dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kesusilaan, korban justru bertugas menjaga dan sekaligus menjadi ukuran moralitas publik. Dengan kata lain, dasar pandangannya adalah apabila perempuannya baik, maka moralitas masyarakat akan terjaga. Dalam penerapannya, pasal-pasal dalam KUHP dipahami dan diterapkan dengan sangat bias sehingga merugikan perempuan sebagai korbannya. Memprihatinkan bahwa perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang sangat berat implikasinya, seringkali malah digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban. 94 94 Lihat Kunarto Penyunting, Merenungi Kritik Terhadap Polri, Buku Ke 6 Kejahatan Tanpa Korban, Jakarta: Citra Manunggal, 1999, hal-hal berkenaan dengan kekerasan terhadap Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 73 Dengan konsep ”kejahatan terhadap kesusilaan” dengan mudah akan terperangkap dalam situasi melihat kekerasan terhadap perempuan hanya sebagai suatu masalah susila atau moral, yang tidak ditujukan langsung pada individu- individu yang menjadi korbannya. Mengakibatkan ketidakmampuan berempati pada perempuan yang langsung menjadi korban, karena perempuan korbanlah yang sesungguhnya tubuh dan kehidupan psiko-sosialnya dianiaya. Perempuan korban seringkali justru berada dalam posisi yang rentan, karena pelaku dapat mengajukan tuntutan balik tentang mencemarkan nama baik pelaku, atau sanksi moral karena dianggap merusak ”kondisi moral” masyarakat. Kepada perempuan korban perkosaan langsung terlekatkan ”stigma sosial” yang melihatnya sebagai perempuan yang kotor, tidak suci lagi, tidak pantas disebut perempuan baik-baik. Perempuan korban akan menjadi semakin rentan dan mengalami ketidakadilan yang berlanjut. Pemahaman kejahatan terhadap kesusilaan seringkali berpadu dengan mitos- mitos yang menyatakan kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini perkosaan, terjadi karena ”undangan” dari si korban, dan korban seringkali dipersepsikan sebagai penanggung jawab terjadinya kejahatan susila. Dalam situasi demikian, masyarakat dan aparat justru dapat berpihak pada pelaku. Sehingga kemudian yang diintrogasi dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan adalah perempuan korban yang dianggap seperti tertuduh. perempuan, pembantu rumah tangga dan TKW, anak jalanan, prostitusi dan aborsi dianggap sebagai kejahatan tanpa korban, dijadikan satu dengan masalah-masalah narkotika dan judi. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 74

D. Analisis Kebijakan Legislasi Tindak Pidana Perkosaan dengan Metode

Pemecahan Masalah MPM Sesuai dengan tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan analisis dengan menggunakan MPM, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami masalah sosial yang terkait dengan kasus perkosaan. Salah satu masalah sosial yang akan dianalisis dalam tesis ini adalah buruknya penanganan kasus-kasus perkosaan. Berdasarkan kebijakan legislasi yang mengatur mengenai perkosaan KUHP dapat dibedakan beberapa aktor dan pelaksana peraturan yang terkait dengan kebijakan tersebut. Yang dapat dikategorikan sebagai aktor atau pihak yang prilakunya ingin di atur di dalam KUHP khususnya pasal-pasal tentang tindak pidana perkosaan adalah pelaku yang dalam hal ini ditegaskan sebagai laki-laki. Sementara yang menjadi badan pelaksana peraturannya adalah aparat penegak hukum dalam hal ini polisi, jaksa dan hakim. Hanya saja dalam kenyataannya, badan pelaksana peraturan tersebut juga melakukan prilaku-prilaku yang bermasalah, karena itu dalam analisis ini para penegak hukum tersebut juga ditempatkan sebagai aktor. Penempatan tindak pidana perkosaan dalam sistematika legislasi dalam bab tentang delik susila, menyebabkan nilai-nilai moral yang ada di dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap tindak pidana perkosaan ini, karena itu adalah tepat jika masyarakat termasuk kelompok-kelompok didalamnya dan anggota keluarga korban dijadikan sebagai salah satu aktor yang memiliki prilaku bermasalah. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 75 Sebagai orang yang menjadi korban perkosaan, perempuan korban seringkali dijadikan pihak yang dianggap ikut bertanggungjawab dalam terjadinya tindak pidana perkosaan. Pemikiran seperti ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Penempatan korban perkosaan sebagai aktor semata-mata karena adanya prilaku bermasalah yang dilakukannya yaitu tidak melaporkan atau mengadukan tindak pidana perkosaan yang dialaminya. Untuk memudahkan memahami prilaku bermasalah yang dilakukan para aktor berkaitan dengan masalah sosial buruknya penanganan terhadap kasus-kasus tindak pidana perkosaan, maka dapat dilihat dalam matrik berikut ini dengan para aktor yang diidentifikasi yaitu pelaku, aparat penegak hukum polisi, jaksa dan hakim, korban serta masyarakat termasuk di dalamnya keluarga korban: Tabel 1. Aktor dan Prilaku Bermasalah Dalam Tindak Pidana Perkosaan No Aktor Badan Pelaksana Prilaku bermasalah 1 Pelaku - Menganggap perempuan dan anak sebagai makhluk lemah dan rendah sehingga mudah untuk dikuasai - Menghancurkan harkat dan martabat korban 2 Korban - Tidak punya keberanian untuk mengadu melaporkan perkosaan yang dialaminya 3 Aparat penegak hukum Polisi, Jaksa, Hakim - Melakukan reviktimisasi terhadap korban - Terlalu berpegang pada pemahaman yang Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 76 sempit tentang perkosaan dan hukum acara pembuktian. - Mengujukan tuntutan yang terlalu rendah - Memberikan putusan yang terlalu rendah 4 Masyarakat - Merendahkan dan menyalahkan korban perkosaan Berbagai prilaku bermasalah tersebut menunjukkan adanya hubungan yang nyata dengan masalah sosial yang sedang dianalisis yaitu buruknya penanganan kasus-kasus tindak pidana perkosaan. Prilaku bermasalah dari pelaku menyebabkan jumlah tindak pidana perkosaan dari waktu ke waktu semakin meningkat karena anggapan bahwa perempuan lemah dan mudah dikuasai baik secara fisik maupun seksual. Fakta yang terjadi bahwa perkosaan yang terjadi tidak hanya kepada perempuan diluar perkawinan tetapi juga terhadap perempuan yang terikat di dalam perkawinan dengan pelaku adalah pasangan hidupnya. Dari sisi korban, prilaku bermasalah berupa ketidakberanian untuk mengungkapkan perkosaan yang dialami menjadi salah satu faktor sedikitnya tindak pidana perkosaan yang berhasil diungkapkan. Ketidakberanian korban untuk mengungkapkan permasalahannya juga saling terkait dengan prilaku bermasalah dari aktor-aktor lainnya seperti aparat penegak hukum dan anggota masyarakat yang Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 77 cenderung lebih menyalahkan korban dari pada memberikan dukungan dan membantu korban mendapatkan keadilan. Dalam prilaku bermasalah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, seringkali dipengaruhi oleh pandangan bahwa perkosaan terjadi karena adanya partisipasi dari korban. Aparat penegak hukum juga sangat kaku dalam menerapkan hukum khususnya yang berkaitan dnegan hukum acara pembuktian, dimana tuntutan untuk dapat menghadirkan saksi dalam tindak pidana perkosaan yang sesungguhnya sangat tidak mungkin diharapkan tetapi tetap dituntut oleh penyidik. Prilaku bermasalah yang dianggap sebagai reviktimisasi dapat dilihat dengan jelas pada saat aparat penegak hukum melakukan intograsi pada saat mengumpulkan keterangan dari saksi korban. Bentuk-bentuk pertanyaan yang menyudutkan dan melecehkan korban seringkali dilontarkan sehingga korban yang secara psikis masih sangat terganggu dengan tindak pidana yang dialaminya semakin merasa tertekan dengan prilaku aparat penegak hukum. Bahwa sebagaimana dikemukakan di atas bahwa tindak pidana perkosaan akan membawa dampak yang sangat dalam dan panjang bagi korbannya. Namun hal itu seringkali tidak dipahami oleh aparat penegak hukum, karena itu dalam proses penuntutan dan penjatuhan hukuman pun, sanksi yang dijatuhkan sangat rendah dan jauh dari rasa keadilan yang diinginkan oleh korban dan keluarganya. Prilaku bermasalah yang dilakukan oleh masyarakat merupakan prilaku yang berpengaruh langsung pada korban. Tidak adanya dukungan dan membebankan label Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 78 kepada korban sebagai perempuan yang sudah ternoda merupakan sanksi sosial yang sangat berat dan akan membuat korban dan keluarganya berusaha untuk menyembunyikan tindak pidana perkosaan yang dialaminya. Kondisi seperti ini sangat sering dialami pada kasus perkosaan atau kekerasan seksual di dalam rumah tangga. Berdasarkan analisis tentang aktor dan prilaku bermasalah, maka langkah analisis yang selanjutnya dilakukan adalah menggunakan alat ROCCIPI untuk menentukan sebab-sebab terjadinya prilaku bermasalah dari masing-masing aktor.

1. Rule Peraturan