Asas Legalitas Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia

58 Karena itu sepatutnya pembuat kebijakan legislasi juga mempertimbangkan kekerasan psikis juga menjadi salah satu dampak yang dapat menyebabkan pelaku, dalam hal ini suami dijatuhkan hukuman karena pemaksaan persetubuhan.

B. Asas Hukum dalam Perumusan Kebijakan Pidana

Dalam melakukan perumusan kebijakan pidana penal policy, ada rambu- rambu yang harus diperhatikan yaitu :

1. Asas Legalitas

Pasal 1 ayat 1 KUHP berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali berdasarkan suatu ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu” Asas dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut dikenal dengan asas Nulla Poena atau yang secara lengkap disebut “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang dikembangkan ole Phaul Johann Anselm Von Feuerbach. Asas tersebut dikemukakan dalam hubungan dengan teorinya “Vom Psychologischen zwang” Ajaran tentang Pemaksaan secara Psikologis yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian, maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukannya. Dengan demikian, dalam batinnya psychen-nya lalu diadakan tekanan untuk tidak berbuat. Kalau kemudian Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 59 perbuatan tersebut tetap dilakukan, maka penjatuhan pidana kepada dirinya dapat dinyatakan sebagai persetujuan dari pelakunya. Pada dasarnya ajaran Anselm von Feuerbach mengandung 3 ketentuan yaitu: a. Nulla poena sine lege: yang bermakna bahwa setiap penjatuhan hukuman harus didasarkan pada suatu undang-undang tidak ada hukuman kalau tidak ada undang-undang b. Nulla poena sine crimine: yang bermakna bahwa penghukuman hanya dapat dilakukan jika perbuatan tersebut telah diancam dalam suatu undang-undang Tidak ada hukuman kalau tidak ada kejahatan c. Nullum Crimen sine poena legali: yang bermakna bahwa perbuatan tersebut telah diancam oleh suatu undang-undang yang berakibat dijatuhkannya hukuman berdasarkan ketentuan dalam undang-undang yang dimaksud. tidak ada hukuman kalau tidak ada kejahatan yang berdasarkan undang-undang Dengan demikian tidak ada seorang pun yang dapat dihukum karena suatu perbuatan kecuali atas suatu undang-undang yang telah berlaku sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Ketentuan ini bersumber dari Hak Asasi Manusia agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 tersebut ada jaminan bagi setiap orang yakni kepastian hukum Legal Certainty. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 60 Menurut Groenhuijsen ada empat makna yang terkandung dalam asas legalitas. Dua dari yang pertama ditujukan untuk pembuat undang-undang de wetgevende macht dan dua lainnya merupakan pedoman bagi hakim, yaitu : 1 Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuang pidana berlaku surut. 2 Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. 3 Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. 4 Terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. Sementara itu sebagian besar sarjana menjelaskan makna asas legalitas ke dalam 3 bagian yaitu: 1 Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Ketentuan ini secara jelas dapat kita temui dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, dimana dalam teks Belanda disebutkan “wettlijke strafbepaliing” yaitu aturan pidana dalam perundangan. Konsekwensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab hukum pidana adat tidak dirumuskan secara tertulis. Di satu sisi secara materiil hukum pidana adat tersebut masih berlaku, walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan bersifat sementara. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 61 Untuk menutup ruang tersebut, UUDS Pasal 14 ayat 2 menentukan: tidak seorang jugapun dapat dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat mengikat aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian juga untuk berlakunya hukum pidana adat diberikan dasar yang kuat. Meskipun sekarang UUDS sudah tidak berlaku lagi, pasal 5 ayat 3b UU Darurat No. 1 tahun 1951 masih tetap dapat dijadikan dasar hukum yang kuat. 2 Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi kiyas Ketentuan bahwa untuk menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi kiyas pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan Negara, meskipun ada beberapa sarjana yang tidak menyetujuinya. Prof. Scolter menolak adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstentif yang nyata-nyata dibolehkan. Menurutnya, baik dalam hal tafsiran ekstensif maupun dalam analogi, dasarnya adalah sama yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi lebih umum atau lebih abstrak dari norma yang ada. Dari itu kemudian didedusir menjadi aturan yang baru yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada. Antara analogi dan penafsiran ekstensif itu hanya ada perbedaan gradualtingkatan saja. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 62 3 Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut Hal yang sama dimuat dalam pasal 2 AB Algemene Bepalingen van Wetgeving yang berbunyi: “undang-undang itu hanyalah yang berkenaan dengan hal- hal yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku secara surut”. Apabila suatu undang-undang telah diundangkan dalam lembaran Negara, setiap orang dianggap telah mengetahui undang-undang tersebut. Namun undang- undang tersebut baru mengikat sesuai dengan rumusan dalam undang-undang itu sendiri. Adakalanya undang-undang tersebut diberlakukan sejak hari diundangkan dalam lembaran Negara, tetapi adakalanya pula sebelum diberlakukan diberi tenggang waktu untuk memasyarakatkannya, beberapa bulan atau satu tahun tergantung urgensinya. Menurut Leden Marpaung, ketentuan pasal 1 ayat 1 KUHP ini ditujukan kepada aparat penegak hukum terutama hakim, bukan kepada pembuat undang- undang. Hal ini bermakna bahwa walaupun pembuat undang-undang merumuskan suatu norma pidana dapat berlaku surut, hakim tidak dapat menjadikannya “berlaku surut” sebelum undang-undang tersebut dibuat. Akan tetapi adakalanya undang-undang berlaku surut sebagaimana dimuat dalam pasal 1 ayat 2 KUHP yang berbunyi : “Jika suatu perbuatan itu dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 63 Maksud dari pasal 1 ayat 2 KUHP tersebut adalah, akan bertentangan dengan rasa keadilan jika undang-undang pidana yang lama masih diberlakukan sedangkan telah terjadi perubahan hukum yang lebih lunak. Dalam prospek pembaharuan hukum pidana, asas legalitas masih tetap penting untuk dipertahankan. Namun dalam pelaksanaannya tidaklah harus dilakukan secara kaku dalam artian hanya membatasinya pada ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang secara tertulis. Sebaiknya pemahamannya haruslah dipahami berdasarkan ketentuan hukum sehingga ketentuan yang tidak tertulis namun hidup di dalam masyarakat, masih dapat diserap. Jika kita perhatikan maka asas legalitas bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada rakyat dan menghindarkan penguasa dari sikap sewenang-wenang. Pengertian the rule of law dan supremasi hukum menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang- undang dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat. Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of the law dan supremasi hukum, jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan bertindak di luar ketentuan hukum undue to law maupun undue process bertindak sewenang-wenang abuse of power. Berkaitan dengan asas Legalitas ini, Roeslan Saleh mengatakan bahwa asas ini mempuyai 3 dimensi yaitu : Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 64 1 Dimensi Politik Hukum Arti politik hukum dari syarat ini adalah perlindungan terhadap anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah. Pandangan ini menunjukkan bahwa para ahli hukum pidana sangat dipengaruhi oleh pandangan ilmu yang rasionalistis. Undang-undang yang jelas diharapkan mampu menciptakan ketertiban serta keseimbangan dan menghindarkan kemungkinan terjadinya ketidaktertiban. Sebenarnya dari asas legalitas ini tidak lahir suatu perlindungan hukum apapun, jika realisasi dari asas ini akibatnya hanyalah bahwa pelaksanaan kekuasaan yang kejam itu beralih dari tangan hakim kepada tangan pembentuk undang-undang. Dilihat dari politik hukum, asas legalitas karenanya juga harus dikaitkan dengan pengertian undang-undang yang dikembangkan oleh para ahli hukum sarjana pada waktu itu. Pengertian undang-undang pada waktu itu dijelaskan dengan menggunakan pikiran kontrak sosial, yaitu suatu tema pusat dari aliran hukum, kodrat yang rasional. Paradigma dari kontrak sosial atau perjanjian masyarakat, masuk ke dalam hampir semua teori hukum pidana pada waktu itu. Servan misalnya; membatasi diri dengan menegaskan bahwa undang-undang hukum pidana itu merupakan suatu kunci dari suatu perjanjian sosial. Janji-janji kolektif mengenai norma dari kelakuan yang harus ditaati dalam masyarakat ditetapkan dengan itu, demikian juga sanksi-sanksinya jika norma tersebut tidak ditaati. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 65 2 Dimensi Politik Kriminil Para ahli sepakat bahwa suatu rumusan undang-undang yang jelas dan tidak menimbulkan keragu-raguan tentang kejahatan-kejahatan dan pidana-pidananya akan dapat melakukan fungsi politik kriminal yang baik. Suatu penerapan yang tegas dari asas legalitas akan memungkinkan warga masyarakat untuk menilai semua akibat merugikan yang ditimbulkan oleh dilakukannya suatu perbuatan pidana, dan hal ini dapat dipertimbangkan sendiri dengan tepat. Menurut Beccaria, jika kita tidak mengetahui bahwa suatu perbuatan tertentu dapat dipidana, maka dorongan untuk melakukan perbuatan tersebut jauh lebih besar. Para ahli berpendapat bahwa keyakinan yang ada pada warga masyarakat yang ditimbulkan oleh perumusan undang-undang yang pasti dan jelas tentang kejahatan- kajahatan dan pidana-pidana yang dilekatkan pada kejahatan-kejahatan itu mengakibatkan sesuatu yang bersifat preventif. 3 Dimensi Organisasi Letrosne berpendapat bahwa tidak jelasnya perundang-undangan pidana; rumusan yang samar-samar dan tidak adanya batasan yang tegas dari masing-masing wewenang dalam acara pidana mengakibatkan banyak sekali kejahatan yang tidak dipidana. Asas legalitas dikaitkan dengan peradilan pidana mengharapkan lebih banyak lagi dari pada hanya melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Asas legalitas ini diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih positif. Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 66

2. Asas Kesamaan