80
kesempatan bagi aktor untuk mentaati peraturan? Atau sebaliknya, malah memberikan kesempatan untuk melakuka prilaku bermasalah?
Berkaitan dengan kategori peluang ini, paraturan yang pengertiannya terlalu terbatas akan membuat beberapa prilaku bermasalah menjadi suatu prilaku yang tidak
dapat diategorikan sebagai tindak pidana perkosaan, walaupun mengakibatkan dampak yang sama buruknya bagi korban.
Peluang lain yang sangat terbuka bagi terus meningkatnya tindak pidana perkosaan adalah rendahnya tingkat penanganan kasus tindak pidana perkosaan oleh
pihak kepolisian dan kejaksaan serta rendahnya sanksi yang dijatuhkan dalam putusan pengadilan.
3. Capability Kemampuan
Analisis mengenai “capacity“ menekankan bahwa peraturan tidak dapat memerintahkan aktor melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Kemampuan sering berkaitan dengan kekuasaan. Perbedaan dengan kategori peluang yang dipengaruhi oleh faktor eksternal si aktor, maka pada kategori kemampuan,
sangat dipengaruhi oleh faktor internal si aktor. Dalam menganalisis prilaku bermasalah dalam kategori ini maka penting untuk dipertanyakan adalah kondisi apa
di dalam diri si aktor yang membuatnya mampu berprilaku sesuai aturan atau kondisi apa yang menyulitkannya sehingga tidak mampu berprilaku sesuai aturan.
Kemampuan aktor khususnya aparat penegak hukum sangat dipengaruhi oleh besarnya kekuasaan yang mereka miliki untuk menentukan dan memutuskan apakah
Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008.
81
suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku merupakan tindak pidana perkosaan atau tidak. Dalam upaya untuk pembuktian tersebut aparat penegak hukum juga memiliki
kekuasaan sehingga kemampuan untuk melakukan prilaku bermasalah khususnya dalam reviktimisasi korban perkosaan.
4. Communications Komunikasi
Dalam kategori komunikasi, prilaku bermasalah mungkin timbul karena ketidaktahuan aktor akan adanya larangan terhadap suatu prilaku tertentu atau yang
memerintahkan bagaimana seharusnya berprilaku. Yang seringkali disadari sebagai penyebab terjadinya kekacauan dalam analisis informasi ini adalah teori fiksi hukum
yang menganggap bahwa setiap orang secara serta merta dianggap mengetahui suatu peraturan yang telah diundangkan di dalam lembaran negara. Seharusnya teori ini
diikuti oleh upaya negara untuk mengkomunikasikan peraturan dengan berbagai cara yang mungkin, terutama pada pihak yang dituju.
Kategori komunikasi ini seringkali mempengaruhi aktor khususnya perempuan korban yang tidak mengetahui bahwa pemaksaan hubungan seksual
merupakan tindak pidana perkosaan yang telah diatur di dalam KUHP dan ada sanksi hukumnya. Ketidakberanian korban untuk mengungkapkan tindak pidana yang
dialaminya juga seringkali disebabkan karena kurangnya informasi yang dimiliki oleh korban tentang proses hukum yang harus dilaluinya dan perlindungan yang berhak
didapatkannya sebagai korban tindak pidana perkosaan.
5. Interest Kepentingan