Pelaku Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia

100 b. Gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 empat minggu terus-menerus atau 1 satu tahun tidak berturut-turut. c. Gugur atau matinya janin dalam kandungan. d. Tidak berfungsinya alat reproduksi. Dari beberapa akibat yang dirumuskan dalam UU PKDRT tersebut dapat dijumpai beberapa bentuk kekerasan sebagaimana yang dinyatakan dalam Konvensi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yaitu akibat dari aspek fisik luka permanen, akibat dari aspek psikis gangguan kejiwaan dan akibat dari aspek seksual rusaknya fungsi reproduksi dan gugurnya janin dalam kandungan.

4. Pelaku

Perumusan dalam KUHP yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan menggunakan istilah ”barang siapa” untuk menggambarkan pelaku. Istilah ”barang siapa” sesungguhnya dapat berarti siapa saja, laki-laki atau pun perempuan. Hanya saja dalam penjelasan pasal-pasal KUHP, khususnya yang dikemukakan oleh R. Soesilo, maka yang dapat dinyatakan sebagai pelaku untuk menggantikan istilah ”barang siapa” tersebut hanyalah laki-laki. Menurut R. Soesilo, hal ini dilandasi pemikiran bahwa pembuat undang- undang ternyata menganggap tidak perlu menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukan semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi karena justru bagi laki-laki persetubuhan tersebut tidak akan mengakibatkan sesuatu Nursiti : Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia. USU e-Repository © 2008. 101 yang buruk atau yang merugikan. Sedangkan pada diri perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak akibat perkosaan tersebut. 96 Dalam UU PKDRT walaupun secara tegas dinyatakan undang-undang ini ditujukan terutama untuk melindungi perempuan di dalam rumah tangganya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga dapat menjadi pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut secara jelas dapat dilihat dalam bunyi pasal Pasal 53 yaitu “Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya ....” Pasal tersebut jelas menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual di dalam rumah tangga dapat dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan kepada pasangannya atau anggota keluarganya yang lain dalam lingkup rumah tangganya. Penempatan perempuan dan laki-laki sebagai pelaku juga bisa terjadi dalam kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu lainnya. Analisis dari kondisi ini tentunya akan dapat dikaitkan dengan teori kekuasaan yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaan cenderung untuk melakukan tindak kekerasan.

5. Korban