B. Kendala Yang Terjadi Dalam Kegiatan Penerbangan Di Indonesia
Menurut E. Syaifullah 2006 ada beberapa persoalan mendasar dalam kegiatan transportasi udara, yaitu: pertama, dari sisi regulasi masih belum tertata dengan baik.
Persoalan ini berjajar mulai dari sistematika materi peraturan perundang-undangan nasional sampai pada tahap implementasinya di lapangan yang masih membutuhkan penanganan
serius. Kedua, semakin banyaknya jumlah maskapai penerbangan nasional.
70
1. Rendahnya pengawasan terhadap maskapai penerbangan di Indonesia
Di Indonesia terdapat beberapa permasalahan yang terkait erat dengan kegiatan penerbangan khususnya penerbangan sipil. Beberapa permasalahan tersebut antara lain :
Pemerintah ketika itu sepakat dengan visi pengusaha dan memberi Air Operation Certificate serta Aircraft Obligation Certificate. Pengusaha yang baru memiliki satu-dua
pesawat pun diberi izin. Belakangan terbukti, pemberian izin ini menimbulkan dilema yang sangat serius. Terjadi kongesti di bandar udara dan kepadatan di rute-rute tertentu, juga
kemungkinan pengurangan toleransi atas keamanan pesawat. Perusahaan-perusahaan penerbangan baru ternyata terjebak dalam pertarungan harga
karena mereka mempunyai visi yang sama, yaitu membangkitkan potensi pasar yang terpendam. Mereka sama-sama menerapkan tarif murah low fares padahal bisnis
transportasi udara merupakan bisnis yang bermodal besar serta berisiko tinggi. Walaupun Departemen Perhubungan sudah mengeluarkan aturan pembatasan usia
pesawat udara yang boleh dioperasionalkan maskapai nasional, yakni maksimum 35 tahun atau maksimum 70.000 kali mendarat. Namun hal tersebut tampaknya belum cukup
mengingat daerah beriklim tropis dan kepulauan, faktor korosi dan kelelahan fisik pesawat lebih besar kemungkinannya terjadi sehingga meningkatkan risiko kecelakaan.
70
Dikutip dari artikel “Penanganan Korban Kecelakaan Air AsiaQZ8501” oleh Rohani Budi Prihatin Vol. VII1IP3DIJanuari2015
Pengawasan pemerintah terhadap setiap pembelian pesawat yang dilakukan maskapai penerbangan dirasa kurang mengingat dari mana pesawat tersebut, kondisi, dan kelaikan
pesawat kurang diperhatikan
2. Kondisi pesawat yang sudah tua dan kurang layak
Hampir semua maskapai penerbangan yang menyandang label LCC low cost carrier bercirikan tarif yang murah dan umumnya memakai pesawat terbang bekas yang sudah
berumur. Beberapa data tentang umur rata-rata armada pesawat terbang yang digunakan oleh
beberapa maskapai penerbangan di Indonesia tercatat sebagai berikut
71
3. Tingginya angka kecelakaan penerbangan di Indonesia
; Garuda Indonesia 11,3 tahun, Citilink 16,6 tahun, Lion Air 17,7 tahun, AdamAir 19,4 tahun,
AwairIndonesia AirAsia 19,5 tahun, Batavia Air 22,3 tahun, tidak termasuk Airbus A- 319, Merpati Nusantara Airlines 22,8 tahun, Sriwijaya Air 24,5 tahun, Mandala Airlines
24,5 tahun.
Jika dipetakan berdasarkan regional, Indonesia masuk 10 besar kecelakaan pesawat terbanyak. Berdasarkan data Aviation Safety Network yang merangkum kecelakaan pesawat
sejak 1945 sebanyak 129 kali.
72
Sekedar mengambil contoh kasus besar, musibah tergelincirnya pesawat MD-82 Lion Air di Solo pada tahun 2004, jatuhnya pesawat Boeing 737-200 Mandala Airlines di Medan
tahun 2005, jatuhnya pesawat Adam Air KI-574 di Laut Majene tahun 2007, dan tergelincirnya pesawat Boeing 737-400 Garuda Indonesia di Yogyakarta tahun 2007,
mewarnai titik hitam dalam sejarah penerbangan Indonesia. Situs Aviation Safety Network
71
sumber data : Aero Transport Data Bank per januari 2007
72
http:aviation-safety.netstatistics pada tanggal 2 Juni 2015
sempat mencatat tingginya tingkat kecelakaan pesawat Indonesia terjadi sekitar tahun 2005 hingga 2010.
Akibat kejadian-kejadian ini, kategori peringkat keselamatan Indonesia di dunia juga turun. Jika sebelumnya Indonesia berada dalam peringkat I kategori keselamatan
penerbangan versi Federal Aviation Administration FAA, mulai 16 April 2007 Indonesia diturunkan menempati peringkat II. Bahkan, pada tanggal 4 Juli 2007 seluruh maskapai
penerbangan Indonesia dilarang untuk melakukan penerbangan ke Uni Eropa.
4. Keselamatan penerbangan
Tiga pihak yang sangat berpengaruh dalam keselamatan penerbangan yakni, regulator, operator dan penumpang itu sendiri. Namun dalam hal ini faktor keselamatan lebih
disebabkan oleh maskapai sebagai operator penerbangan. Konsep Low Cost Carrier LCC yang dilakukan dengan menekan biaya operasional ternyata mengabaikan faktor keselamatan.
Untuk menekan harga tiket, strategi yang diterapkan LCC pada umumnya adalah dengan hanya memakai satu tipe pesawat, utilisasi sebuah pesawat semaksimal mungkin, turn around
time di darat seminimum mungkin. Penggunaan pesawat secara terus menerus tersebut tidak diikuti dengan perawatan maintenance pesawat baik dari maskapai sehingga potensi
pesawat mengalami kerusakan cukup tinggi. Maskapai penerbangan swasta kian banyak dan marak dengan praktik perang tarif yang
seolah tak terhindarkan. Di satu pihak, bisnis jasa penerbangan yang kian kompetitif ini membuat ketatnya jadwal para pilot yang menyebabkan mereka kurang cukup istirahat.
5. Persaingan yang tidak sehat antar maskapai penerbangan
Operator baru menerapkan tarif murah meskipun belum mencapai status low cost airlines. Jadi ada kesenjangan antara penerimaan dan pengeluaran. Sejumlah operator baru berhasil bertahan karena
ada injeksi modal atau lantaran subsidi silang. Operator lama maupun baru menghadapi problem yang tidak mudah. Mereka memperebutkan
pangsa pasar yang terbatas. Mereka memperebutkan rupiah, padahal kebanyakan utang di denominasi dalam dolar AS.Terjadi pertarungan dan persaingan yang tidak sehat antar maskapai yang sebenarnya
bisa dihindari jika regulator sejak awal bersikap selektif. Hal tersebut berakibat terjadinya perang tarif antar maskapai penerbangan dengan pemberlakuan
tarif semurah-murahnya dengan menekan biaya operasional dengan cara mengurangi beberapa kenyamanan termasuk keselamatan penerbangan.
C. Pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan Atau Airlines Terhadap Kecelakaan