Latar Belakang PENUTUP A.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angan-angan manusia untuk dapat terbang agaknya telah dipunyai manusia sejak ia dapat berfikir. Pada mulanya, selama manusia belum mempunyai kemampuan sendiri untuk terbang, kemampuan ini dikhayalkan kepada makhluk-makhluk gaib, cerita-cerita tentang dewa-dewa dan makhluk lain yang dapat terbang, kita jumpai sejak waktu berabad-abad yang lalu, baik di Eropa, Asia maupun benua-benua lain. Misalnya kita kenal dongeng tentang Icarus, yang membuat sayap-sayap dari bulu-bulu yang direkatkannya dengan lilin, tapi kemudian terbang terlalu dekat dengan matahari. Sehingga lilin mencair dan ia terjatuh ke dalam laut yang hingga saat ini masih dinamakan dengan Laut Icaria. Suatu dongeng untuk pertama kali mengisahkan manusia yang dapat terbang dengan pertolongan alat mekanis, yang disatu pihak menunjukkan pengetahuan tentang ilmu alam yang masih primitif, akan tetapi dilain pihak seolah-olah merupakan suatu ramalan kemampuan manusia. 1 1 Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal. 2-3. Umat manusia dalam perkembangannya merealisasikan imajinasinya tersebut untuk terbang dengan alat mekanis yang seiring perjalanan waktu dijadikan salah satu kebutuhan hidup sebagai alat transportasi untuk menjangkau dari satu tempat ke tempat yang lain. Indonesia sebagai negara kepulauan yang bercirikan nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh undang-undang maka guna mendukung pertumbuhan ekonomi, diperlukan sarana transportasi nasional dalam hal penerbangan yang memiliki standar pelayanan yang optimal dengan mengedepankan keselamatan dan keamanan yang optimal. Suda\h menjadi suatu kenyataan bahwa Indonesia memiliki pengangkutan udara sipil komersial baik domestik maupun internasional. Namun di dalam prakteknya, dunia penerbangan tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan sebagai alat untuk mempermudah mobilisasi manusia, acapkali berbagai kendala terjadi dalam dunia penerbangan bahkan dengan resiko paling buruk seperti jatuhnya korban jiwa. Bersandar dari hal di atas bangsa ini terus menerus melakukan inovasi-inovasi untuk mencegah dan menanggulangi resiko-resiko yang bermunculan dalam dunia penerbangan, salah satunya dengan perangkat hukum untuk pesawat udara. Dari sekian banyak objek kajian daripada hukum udara, yang menjadi fokus penulis disini ialah pengaturan hukum mengenai ganti rugi bagi korban kecelakaan angkutan penerbangan sipil sebagai kepastian hukum yang menjadi hak bagi setiap orang terkait hubungan langsung dengan layanan penerbangan di Indonesia. Penelitian ini membahas aspek ganti-rugi yang diatur dalam Konvensi Internasional seperti halnya di dalam Konvensi Warsawa 1929 atau konvensi untuk unifikasi ketentuan- ketentuan tertentu sehubungan dengan pengangkutan udara internasional Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air ditandatangani di Warsawa pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933. Konvensi ini merupakan perjanjian pertama dibidang hukum udara perdata dan merupakan salah satu perjanjian yang paling tua dan paling berhasil dalam menyeragamkan suatu bidang tertentu dalam hukum perdata. Sampai saat ini Konvensi Warsawa telah diratifikasi lebih kurang 130 Negara termasuk Indonesia melalui Staatsblaad 1933 No.347 yang dengan ketentuan peralihan dalam UUD 1945 tetap berlaku 2 2 . Dalam konteks penerbangan sipil dan juga membahas aspek teknis dalam pelaksanaan ganti rugi bagi korban terkait kasus kecelakaan yang terjadi pada pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan www.hukumonline.comberitabacahol16507menggugat-Garuda-dengan-Konvensi-Warasawa , diakses pada tanggal 1 April 2015 QZ8501AWQ8501 yang dinyatakan menghilang pada saat terbang dari Surabaya, Indonesia menuju Singapura pada tanggal 28 Desember 2014. Dengan membawa 155 penumpang dan 7 orang kru di dalam pesawat. 3

B. Rumusan Masalah