D. Keaslian Penulisan
Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana, maka seyogyanya skripsi yang saya yang berjudul “Pertanggungjawaban Serta
Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap Kecelakaan Air Asia QZ8501 Ditinjau Dari Konvensi Internasional” ditulis berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan
tindakan peniruan plagiatbaik sebagian ataupun seluruhnya dari karya orang lain. Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data dari buku-buku, jurnal ilmiah,
media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan pendapat dan kutipan, hal itu semata- mata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis perlukan demi
penyempurnaan penulisan skripsi ini. Dengan Demikian judul yang penulis pilih telah diperiksa dalam arsip bagian Hukum Internasional dan penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, mirip bahkan persis, demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh
Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera UtaraPusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 20 Maret 2015 judul
tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum Internasional.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tanggung jawab
Penekanan dalam arti tangung jawab disini ialah kewajiban memperbaiki kembali kesalahan yang pernah terjadi.
5
5
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung ,Penerbit Alumni, 2003, hal. 4.
Liability dapat diartikan sebagai kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita, misalnya dalam perjanjian transportasi udara, perusahaan
penerbangan “bertanggung jawab” atas keselamatan penumpang.
Tanggung Jawab Pengangkut Udara di dalam pengangkutan udara diatur dalam beberapa peraturan antara lain ;
i. Ordonansi Pengangkutan Udara Staatblad 1939 No. 100
Salah satu peraturan terpenting bagi pengangkutan udara di Indonesia adalah Ordonansi Pengangkutan Udara Luchvervoer Ordonantie, seperti dimuat dalam
Staatsblad Tahun 1939 No. 100. Peraturan ini hingga kini masih berlaku. Persoalan utama yang diatur dalam peraturan ini adalah persoalan tanggung jawab pengangkut.
6
a. Pasal 24 ayat 1
Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam beberapa pasal, yaitu:
”Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau jejas-jejas lain pada tubuh, yang diderita oleh seorang penumpang, bila
kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan
suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang”. b.
Pasal 25 ayat 1 ”Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang terjadi sebagai akibat dari
kemusnahan, kehilangan atau kerusakan bagasi atau barang, bilamana kejadian yang menyebabkan kerugian itu terjadi selama pengangkutan udara”.
c. Pasal 28
”Jika tidak ada persetujuan lain, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian, yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang,
bagasi atau barang”.
6
Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal. 9
Selain tanggung jawab pengangkut, Ordonansi Pengangkutan Udara juga menyebutkan besarnya jumlah penggantian ganti rugi. Namun dalam hal jumlah
penggantian ini menjadi suatu kekurangan peraturan ini pada masa kini. Limit penggantian yang ditentukan dalam peraturan ini sudah sama sekali tidak sesuai lagi
dengan keadaan ekonomis sekarang, yaitu karena limit jumlah-jumlah ganti rugi sebagaimana ditentukan dalam peraturan ini adalah jumlah-jumlah yang sesuai untuk
waktu peraturan ini dibuat, yaitu dalam tahun-tahun sebelum tahun 1939.
7
1. Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan Dalam Undang-
Undang Penerbangan ini, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam Pasal 43 ayat 1, yaitu yang berbunyi : ”Perusahaan angkutan udara
yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga bertanggung jawab atas: •
kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; •
musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; •
keterlambatan angkutan penumpang danatau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.”
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 ini, Ordonansi Pengangkutan Udara dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini atau belum diganti dengan Undang-Undang yang baru. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 74 butir a Undang-Undang No. 15 Tahun 1992.
2. Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 1995, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam Pasal 42, yang menyebutkan:
7
Ibid., hal. 11
”Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal bertanggung jawab atas:
• kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
• musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;
• keterlambatan angkutan penumpang danatau barang yang diangkut apabila
terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.” Dalam peraturan ini ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut sama dengan
ketentuan yang ada dalam Undang- Undang No. 15 Tahun 1992. Namun dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut mengenai batas jumlah pemberian
ganti rugi, yang tidak disebutkan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1992. Dalam pemberian batas jumlah ganti rugi, peraturan ini telah sesuai dengan keadaan
ekonomis sekarang ini.
2. Ganti-rugi
Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan mem-bandingkan keadaan
kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi.
8
Pengertian kerugian yang hampir sama dikemukakan pula oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi.
9
8
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977, h. 17
9
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, h. 66.
Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur. Lebih lanjut dibahas oleh Harahap, kalau begitu dapat kita ambil suatu
rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi obyek perjanjian dibanding dengan keadaan yang
menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan timbulnya
kekurangan nilai keutungan yang akan diperolehnya. Lebih lanjut dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad, bahwa pasal 1243 KUHPerdata sampai
dengan pasal 1248 KUHPerdata merupakan pembatasan-pembatasan yang sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak
kreditur sebagai akibat wanprestasi.
10
Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis
sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan melakukan
atau membiarkan yang melanggar norma oleh pihak yang lain.
11
Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Kerugian adalah selisih yang
merugikan antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi yang seyogyanya akan timbul anadaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi. Lebih lanjut
Nieuwenhuis mengatakan bahwa kita harus hati-hati agar tidak melukiskan kerugian sebagai perbedaan antara situasi sebelum dan setelah wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum.
Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum.
12
10
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, h. 41.
11
Mr. J.H. Nieuwenhuis, terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Airlangga University Press, Surabaya, 1985, h. 54.
12
Ibid.
Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma dengan
situasi hipotesis situasi itu akan menjadi bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi. Sehingga dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi
berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang dikarenakan pelanggaran norma oleh
pihak lain. Sedangkan dalam hal pengangkutan udara maka perlu dipahami pihak-pihak yang berhak
atas ganti rugi. Untuk menetapkan siapa-siapa yang berhak atas ganti rugi maka terlebih dahulu dilihat siapa-siapa saja yang menderita kerugian kecuali tentunya pihak pengangkut
dan operator sendiri. Yang dapat menderita kerugian pada suatu pengangkutan udara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Mereka yang mempunyai perjanjian pengangkutan dengan dan ;
b. Mereka yang sama sekali tidak mempunyai hubungan hukum dengan pengangkut
operator. Dengan ketentuan dalam kelompok a termasuk ; penumpang, pengirim atau penerima
barang dan dalam kelompok b termasuk pihak ketiga didarat.
13
Dengan batasan bahwa penumpang adalah setiap orang yang mempunyai hubungan dengan pengangkutan udara berdasarkan suatu perjanjian pengangkutan, jadi tidak termasuk
orang-orang yang berdasarkan suatu perjanjian kerja berada dalam pesawat terbang . adanya perjanjian pengangkutan dapat dibuktikan dengan adanya tiket. Sedangkan pengirim barang
consignor atau seorang yang menerima barang consignee merupakan pihak-pihak dalam suatu perjanjian angkutan barang, hal mana dapat dibuktikan dengan surat muatan udara
airway bill. Pihak-pihak inilah yang dapat menderita kerugian dan karenanya pihak-pihak inilah yang berhak atas ganti-rugi.
14
13
Dalam hal tubrukan udara atau aerial collision termasuk yang dirugikan adalah operator pesawat terbang lainnya. Aerial collisin tidak diatur dalam Perjanjian Roma, yang hanya mengatur tentang tanggung jawab
kedua operator terhadap pihak ketiga di darat. pasal 7. Persoalan aerial collision pernah menjadi perhatian ICAO International Civil Aviation Organization dalam Legal Commitee, 11th. Session , Tokyo, 1957, ICAO
Doc.7921-CI43-2, Tahun 1958.
14
Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal. 75
Dalam hal penumpang tewas , maka Ordonansi Pengangkutan Udara menetapkan bahwa yang dapat menuntut ganti rugi adalah suami atau
isteri penumpang, anak atau anak-anaknya atau orang tuanya, yang biasa menjadi tanggungannya, sedangkan besarnya ganti rugi dinilai dengan kedudukan dan kekayaan
mereka yang bersangkutan serta sesuai dengan keadaan.
15
3. Pesawat Udara
Pengertian pesawat udara terdapat di dalam ketentuan umum UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang tertulis Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat
terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Pengertian ini dengan sengaja
mengecualikan kendaraan air seperti hover aircraf atau disebut juga Hoovercraft
16
dari defenisi pesawat udara. Pengecualian ini jelas tertera di dalam Penjelasan Undang-Undang
ini.
17
Dengan pasal di atas Negara-Negara pembuat Konvensi Jenewa 1948 bermaksud untuk, sesuai dengan tujuan konvensi tersebut, membatasi pengertian pesawat udara pada pesawat
Untuk keperluan mengenai batasan pesawat udara lebih jelas tertera dalam Annex 7 Konvensi Chicago 1944 yang dimodifikasi Tahun 1967 harus dilengkapi dengan dengan batasan yang
diterima dalam Konvensi Jenewa 1948 pasal XVI : . . . aircraft shall include the airframe, engines, propellers, radio aparatus, and all others
articles intended for use in the aircraft wheter installed therein or temporarily separated therefrom . . .
15
Ibid.
16
Suatu alat transpor yang bergerak diatas suatu bantal udara, pesawat ini tidak termasuk dalam batasan dalam Konvensi Chicago 1944 tahun 1967 dan tidak merupakan objek hukum dari hukum udara serta ketentuan-
ketentuan internasional lainnya yang berkaitan dengan pesawat udara.
17
Mieke Komar Kantaatmadja, pada ceramah “Implementasi Undang-Undang No.15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan” dalam Foreign Airline General Sales Agent Association FAGA, Jakarta, 18 November
1992.Penulis menetapkan pengertian pesawat udara dalam UU penerbangan yang baru yaitu UU No. 1 Tahun 2009 dikarenakan tidak adanya perubahan dalam hal pengertian pesawat udara dari UU No. 15 Tahun 1992
terhadap UU No.1 tahun 2009 tentang penerbangan
udara yang digunakan untuk angkutan udara sipil atau Civiele Luchtverkeer. Pengertian di atas, mengecualikan balon kabel, balon bebas, dan pesawat layang, kapal terbang,
18
Maksud daripada hal di atas di tertuang dalam Konvensi Jenewa 1948 adalah untuk mengatur hak-hak yang melekat maupun diletakkan pada pesawat udara yang dipergunakan untuk
angkutan udara sipil internasional. helikopter dan juga pesawat udara lain yang tujuan penggunaannya adalah untuk usaha yang
bersifat militer, bea cukai, dan polisi. Maka dari itu sudah jelaslah batasan mengenai pesawat udara dalam hal ini, dan dirinci
kembali di dalam ketentuan umum UU No. 1 Tahun 2009 Tentang penerbangan dalam ketentuan umum tertera mengenai Pesawat Udara Sipil yaitu pesawat udara yang digunakan
untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga dan ada juga Pesawat Udara Sipil Asing adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan
bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing.
19
4. Kecelakaan Pesawat Udara
Defenisi daripada kecelakaan pesawat udara adalah suatu kejadian yang berhubungan dengan operasi suatu pesawat udara yang terjadi setelah orang naik ke pesawat udara dengan
maksud untuk terbang sampai orang tersebut meninggalkan pesawat udara tersebut, dalam kejadian mana ;
1. Seorang tewas atau luka berat sebagai akibat dari beradanya di dalam atau di atas
pesawat udara atau karena kontak langsung dengan pesawat udara atau sesuatu yang melekat pada pesawat udara ;
18
Nederland dengan besluit 22 Mei 1981, menetapkan alat-alat penerbangan yang tidak termasuk ke dalam pengertian pesawat udara menurut Luchtvaart Wet 195.
19
Mieke Komar Kantaatmadja, “Lembaga Jaminan Kebendaan Pesawat Udara Indonesia Ditinjau Dari Hukum Udara” , Penerbit Alumni, Bandung, 1989, hal. 25
2. Pesawat udara yang menderita kerusakan berat ;
3. Suatu tabrakan antara dua atau lebih pesawat udara.
20
Defenisi daripada luka berat disini adalah suatu luka yang memerlukan perawatan dirumah sakit dan pengobatan selama lima hari atau lebih atau mengakibatkan patah
tulang kecuali patah jari tangan, jari kaki, atau hidung tanpa komplikasi, luka-luka yang menyebabkan pendarahan, atau mengenai otot, luka pada bagian dalam, atau
luka bakar taraf 2 dan 3 atau luka bakar pada lebih dari 5 dari kulit.
21
Defenisi ini hanya dapat diterapkan dalam ketentuan umum Konvensi Warsawa, tidak dalam
Ordonansi Pengangkutan Udara, yang mensyaratkan kecelakaan ada hubungannya dengan pengangkutan udara.
22
5. Konvensi Internasional
Menurut Mochtar Kusumaatmadja
23
20
CASR Civil Aviation Safety Regulation Indonesia, Section 39.O.2.a.
21
Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983. Hal.77.
22
Keputusan United States District Court , Southern District of New York, dalam perkara Joe del Pillar lawan Eastern Airlines, mengenai “Sakit punggung karena tempat duduk tidak dapat dimiringkan kebelakang”.
Gugatan ditolak.
23
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,Bandung: Alumni, 2003, hal. 4
Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:
1. negara dengan negara; 2. negara dengan subjek hukum lain bukan negara satu sama lain.
Pada hakekatnya sumber hukum udara internasional bersumber pada hukum internasional dan hukum nasional. Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional mengatakan
“International Custom, as evidence of a general practices accepted as law”. Sumber hukum udara internasional dapat berupa multilateral maupun bilateral diantaranya :
a. Multilateral Bilateral
Sumber hukum udara internasional yang bersifat multilateral adalah berupa konvensi- konvensi internasional yang bersifat multilateral juga bersifat bilateral. Pada saat ini
Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara timbal balik bilateral air transport agreement tidak kurang dari 67 negara yang dapat digunakan sebagai
sumber hukum internasional. b.
Hukum Kebiasaan Internasional Dalam pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional, hukum kebiasaan
internasional juga merupakan salah satu sumber hukum internasional. Di dalam hukum udara internasional juga dikenal adanya hukum udara kebiasaan internasional.
c. Ajaran Hukum Doktrin
Ajaran Hukum Doktrin dalam hukum internasional dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Dalam common law system, atau anglo saxon System
dikenal adanya ajaran hukum mengenai pemindahan resiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan
transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian negara yang diderita korban. Tanggung jawab tersebut berpindah dari korban injured people kepada pelaku
actor. d.
Yurisprudensi Ada beberapa yurisprudensi yang dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber
sumber hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 ayat 1. Banyak kasus sengketa yang berkenaan dengan hukum udara, terutama berkenaan dengan tanggung
jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga.
Dari hal di atas disebutkan bahwa konvensi internasional adalah sumber daripada hukum udara internasional. Konvensi adalah kumpulan norma yang diterima secara umum. konvensi
juga dapat dikatakan sebagai pertemuan sekelompok orang yang bersama-sama bertukar pikiran, pengalaman dan informasi melalui pembicaraan terbuka, saling siap untuk didengar
dan mendengar serta mempelajari, mendiskusikan kemudian menyimpulkan topik-topik yang dibahas dalam pertemuan tersebut.
Adapun konvensi-konvensi internasional yang erat kaitannya dengan hukum udara antara lain :
1. Konvensi Paris Tahun1919 tentang Penerbangan Internasional
2. Konvensi Warsawa Tahun 1929 tentang Hukum Udara.
3. Konvensi Chicago Tahun 1944 tentang penerbangan sipil Internasional.
4. Konvensi Roma tahun 1952 tentang Prinsip yang berlaku di ruang Udara dan ruang
angkasa. 5.
Space Treaty Tahun 1967. 6.
Deklarasi Bogota Tahun 1967. 7.
Conventoin on Internasional Liability cause by space objects tahun 1972 Maka dari itu konvensi-konvensi ini pula yang beberapa diantaranya menjadi rujukan
serta dasar hukum penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.
24
Adapun yang menjadi jenis penelitian dari karya ilmiah ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum.
25
2. Sumber Data
Dengan tujuan untuk mengetahui dasar hukum internasional terhadap peristiwa kecelakaan Air Asia QZ8501 dan
bagaimana penerapannya sesuai dengan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang
penerbangan sipil yakni dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu metode penulisan yang menggambarkan semua data yang kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang
berangsung dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya.
Sumber data yang diperoleh dalam penulisan karya tulis ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang telah jadi, dikumpulkan dan diolah
menjadi data yang siap pakai
26
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan
oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian, yakni berupa Undang-undang, Perjanjian Internasional seperti ; Konvensi Warsawa 1929,
Konvensi Chicago 1944, Undang Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan sebagainya.
. Data sekunder dalam penulisan ini terdiri dari :
24
Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum “, JakSarta: UI Press, 2005, hal. 43
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,” Penelitian Hukum Normatif”, Jakarta:UI Press, 2003, hal. 15.
26
Zainuddin Ali. “Metode Penelitian Hukum”. Jakarta, Sinar Grafika, 2010. Hal. 22
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau
karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, thesis, disertasi, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, artikel, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah
penelitian ini. c.
Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu semua dokumen yang berisi konsep- konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain baik di bidang hukum maupun di luar bidang hukum yang digunakan untuk melengkapi
data penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan di dalam pengumpulan data adalah library research atau studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisis data-data
yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, langsung maupun tidak langsung internet. Dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan yang lebih terarah dari pokok
bahasan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut : a.
Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun
elektronik, dan peraturan perundang-undangan. c.
Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan. d.
Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Analisis Data
Data pada skripsi ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan
data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukan pola, hubungan – hubungan, dan memaparkan temuan–temuan dalam bentuk deskripsi naratif yang bisa
dimengerti dan dipahami oleh orang lain. Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu data yang mengandung makna dan dilakukan
pada obyek yang alamiah
27
G. Sistematika Penulisan