Pengaturan Hukum Tentang Angkutan Udara Atau Penerbangan

dievaluasi oleh pemerintah setiap tahun. Hasil evaluasi tersebut dapat mengubah suatu rute angkutan udara perintis menjadi rute komersial. 52 Dalam hal tidak tersedianya badan usaha angkutan udara niaga untuk melayani kegiatan angkutan udara perintis oada suatu lokasi, angkutan udara perintis diselenggarakan oeleh pemerintah dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga. 53 Badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan udara perintis yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga tersebut diberi kompensasi untuk menjamin kelangsungan pelayanan angkutan udara perintis sesuai dengan rute dan jadwal yang telah ditetapkan. Kompensasi tersebut dapat berupa pemberian rute lain diluar rute perintis bagi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal untuk mendukung kegiatan angkutan udara perintis; bantuan baiay operasi angkutan udara; danatau bantuan biaya angkutan bahan bakar minyak. 54

D. Pengaturan Hukum Tentang Angkutan Udara Atau Penerbangan

Pelaksanaan kegiatan angkutan udara perintis dikenakan sanksi administratif berupa tindak diperkenankan mengikuti pelelangan tahun berikutnya dalam hal tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan kontrak pekerjaan tahun berjalan. 1. Pengertian dan istilah hukum udara atau Hukum Penerbangan Hukum Penerbangan merupakan suatu lapangan hukum yang baru, juga di negara-negara lain, akan tetapi khususnya di Indonesia, sebab Hukum Penerbangan baru timbul ketika manusia mulai mengarungi udara dan erat berhubungan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam lapangan teknik penerbangan, terutama dalam beberapa tahun sebelum dan 52 Pasal 104 UURI No.1 tahun 2009 53 Pasal 105 UURI No.1 tahun 2009 54 Pasal 106 UURI No.1 tahun 2009 sesudah Perang Dunia II. 55 Menurut E. Suherman bahwa Hukum Udara atau Hukum Penerbangan merupakan lapangan hukum tersendiri, oleh karena itu hukum udara ini mengatur suatu objek yang mempunyai sifat yang khusus, disamping anggapan-anggapan yang memandang hukum udara merupakan lapangan hukum tersendiri, adapula beliau menganggap bahwa Hukum Udara atau Hukum Penerbangan tidaklah lebih daripada kumpulan norma-norma yang diambil dari lapangan hukum yang lain, misalnya Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, atau Hukum Antar Negara yang diperlukan terhadap penerbangan. 56 Mengenai penggunaan istilah daripada Hukum Udara ataupun hukum penerbangan belum menemukan kesepakatan baku secara internasional. Adapun istilah-istilah Hukum Udara air law, Hukum Penerbangan aviation law, Hukum Navigasi Udara air navigation law atau Hukum Transportasi Udara air transportation law, Hukum Penerbangan aeronautical law, atau Udara-Aeronautikda penerbangan air-aeronautical law saling bergantian tanpa membedakan satu sama lain. Sedangkan istilah-istilah aviation law atau air navigation law atau air transportation law atau aerial law atau aeronautical law atau air- aeronautical law pengertiannya lebih sempit dibandingkan dengan pengertian air law. 57 Kadang-kadang menggunakan istilah aeronautical law terutama dari bahasa Romawi. Dalam bukunya, Nicolas Matteesco Matte menggunakan istilah Air-Aeronautical law 58 55 Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal.1. 56 Ibid. hal .3. 57 H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik Public International and National Air Law, Rajawali Pers ; Jakarta, 2012. Hal. 3 58 Matte N.M., Treaties On Aeronautical Law Toronto; The Carswell Company Limited sedangkan dalam praktik pada umumnya menggunakan istilah air law, tetapi dalam hal-hal tertentu menggunakan aviation law. Pengertian air law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek hukum konstitusi, administrasi, perdata, dagang, komersial, pidana, publik, pengangkutan, manajemen, dan lain-lain. Verschoor memberi defenisi hukum udara adalah hukum dan regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi penerbangan, kepentingan, umum dan bangsa-bangsa di dunia. 59 2. Sumber Hukum Udara Internasional Sumber hukum udara dapat bersumber pada hukum internasional maupun hukum nasional. Sesuai dengan pasal 38 1 Piagam Mahkamah Internasional PMI mengatakan sumber hukum internasional adalah “international treaty, international custom, as evidence of a general practice, accepted as law”. Sumber hukum udara internasional dapat berupa multilateral maupun bilateral sebagai berikut. • Multirateral Sumber hukum udara internasional publik yang bersifat multirateral misalanya treaty for the extradition of criminals and for the protection against anarchism, convention relating to international aerial navigation 1919, convention on commercial aviation 1928 dan lain lain sebagainya • Bilateral air transport agreement perjanjian angkutan udara internasional timbal balik • Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara internasional timbal balik tidak kurang dari 67 negara 60 • Prinsip-prinsip Umum Hukum yang dapat digunakan sebagai sumber hukum udara internasional dan internasional. 59 “Air law is a body of rules governing the use of airspace ajd its benefit for aviatio, the general public and the nations of the world” Verschoor ; An Introduction to Air law ; The Netherland ; Kluwer Law. 60 Negara-negara yang mempunyai perjanjian transportasi dengan Indonesia antara lain Austria, Amerika Serikat, Arab Saudi, Australia, Belanda, Bahrain, Iran, Belgia, Brunei Darussalam, Bulgaria, Korea Selatan, Lebanon, Malaysia, Thailand, Myanmar, Norwegia, Selandia Baru, Prancis, Pakistan, Papua nugini, Filipina, Polandia, RRC, Rumania, Swiss, Singapura, Spanyol, Swedia, Sri lanka, Taiwan, Yordania, Bangladesh, Turki, UEA, Slovakia, Rusia, Vietnam, Mauritius, Kyrghysztan, Kuwait, Madagaskar, Uzbekistan, Hongkong, Oman, Qatar, Canada, Ukraina. Salah satu ketentuan umum yang dirumuskan dalam pasal 38 1 Piagam Mahkamah Internasional adalah “general principles or law recognized by civilized nations” sebagai asas –asas yang telah diterima oleh masyarakat internasional publik. • Ajaran Hukum doctrine Ajaran hukum juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara internasional publik. • Yurisprudensi Menurut pasal 38 1 Piagam Mahkamah Internasional, Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum udara internasional publik. Adapun yang menjadi dasar yang paling relevan dengan penelitian ini dan juga berkompeten di dalam dunia penerbangan internasional ialah konvensi internasional antara lain sebagai berikut. • Konvensi Paris Tahun1919 tentang Penerbangan Internasional Konvensi yang berjudul Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation yang ditandatangi di pada 13 Oktober 1919 tersebut terdiri dari dua bagian, masing- masing naskah utama dan naskah tambahan. Naskah utama masing-masing mengatur kedaulatan atas wilayah udara, lintas damai innocent passage, zona larangan terbang prohibited area, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara nationality and registration mark, setifikat pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara dan radio penerbangan, kedatangan dan keberangkatan pesawat udara, larangan pengangkutan bahan berbahaya, klasifikasi pesawat udara aircraft classification, komisi navigasi penerbangan dan ketentuan penutup , dan naskah tambahan yang terdiri dari 8 annexes. • Konvensi Warsawa 1929 tentang Pengangkutan Udara Internasional Konvensi Warsawa 1929 atau konvensi untuk unifikasi ketentuan-ketentuan tertentu sehubungan dengan pengangkutan udara internasional Convention for the Unification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air ditandatangani di Warsawa pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933. Konvensi ini merupakan perjanjian pertama dibidang hukum udara perdata dan merupakan salah satu perjanjian yang paling tua dan paling berhasil dalam menyeragamkan suatu bidang tertentu dalam hukum perdata. • Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional Kandungan yang diuraikan dalam konvensi ini terbatas dari aspek-aspek ekonomi, kadaulatan atas wilayah udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, SAR, dokumen penerbangan, dam organisasi penerbangan sipil internasional. • Konvensi Roma 1952 Konvensi Roma 1952 yang berjudul Convention on Damaged Caused by Fireign Aircraft to The Third Parties on the Surface mengatur prinsip tanggung jawab hukum legal liability principle, lingkup tanggung jawab hukum, pengamanan tanggung jawab, prosedur dan tata cara pengajuan gugatan, ketentuan umum dan penutup. Konvensi ini hanya berlaku terhadap pesawat udara asing yang mengalami kecelakaan di negara anggota dan kerugian tersebut terjadi di permukaan bumi.. • Konvensi Guandalajara 1961 Konvensi ini merupakan suplemen dari Konvensi Warsawa 1929. Konvensi tersebut mengatur pengertian, berlakunya konvensi, pegawai actual air carrier, gugatan, batas tanggung jawab, pembagian tanggung jawab, alamat gugatan pengadilan, pembebasan tanggung jawab, dan ketentuan – ketentuan penutup. • Konvensi Montreal 1999 Konvensi ini berjudul Convention for the Unification of Certain Rules for the Internasional Carriage bu Air yang pada prinsipnya mengatur secara integral ketentuan – ketentuan yang termuat dalam Konvensi Warsawa 1929, The Hague Protocol of 1955, Guandalajara Convention of 1961, Guetemala City Protocol of 1971, dan Additional Protocol Montreal of 1975 No. 1, 2, 3, dan 4. Konvensi ini mewadahi pengaturan yang meliputi ketentuan umum, dokumen transportasi udara yang terdiri dari tiket penumpang passenger ticket’s, tiket bagasi bagage claim tag dan surat muatan udara airwaybill, tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan, jumlah ganti kerugian, perhitungan ganti kerugian, batas tanggung jawab, jangka waktu pengajuan gugatan dan ditutup oleh yurisdiksi pengadilan. 3. Hukum Udara dan Kaitannya dengan Tanggung Jawab. Dalam Hukum Udara terdapat beberapa sistem dan prinsip mengenai tanggung jawab, yaitu apa yang dapat disebut sistem warsawa, system roma dan system Guatemala. Sistem Warsawa mempergunakan prinsip “presumption of liability” dan prinsip “limitation of liability” untuk kerugian pada penumpang, barang dan bagasi tercatat, sedangkan untuk kerugian pada bagasi tangan di pergunakan prinsip “presumption of non- liability” dan prinsip “limitation of liability”. Prinsip – prinsip ini dipergunakan pula dalam ordonansi pengangkutan udara. Sistem Roma mempergunakan prinsip “absolute liability” dan prinsip “limitation of liability”, sedangkan dalam system Guatemala dipergunakan prinsip ‘Absolute liability” dan prinsip “limitation of liability” untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang dan bagasinya, tanpa membedakan antara bagasi tercatat dan bagasi tangan, bagi barang dipergunakan prinsip “presumption of liability” dan prinsip ”Limitation of liability”, sedangkan untuk kerugian karena keterlambatan dipergunakan prinsip prinsip – prinsip yang sama dengan untuk barang. Pada “liability Convention tahun 1972 dipergunakan prinsip “absolute liability” apabila kerugian ditimbulkan di permukaan bumi dan prinsip “Liability based on fault” apabila kerugian di timbulkan pada benda angkasa atau orang didalamnya, yang diluncurkan oleh suatu Negara lain. Prinsip – prinsip tanggung jawab yang dipergunakan dalam hukum udara dan hukum angkasa adalah: 1. Prinsip “presumption of liability” 61 2. Prinsip “Presumption of non-liability” yang dipergunakan dalam konvensi Warsawa tahun 1929, protocol the hague tahun 1955 dan Ordonansi pengangkutan udara untuk penumpang, bagasi tercatat dan barang, dan protocol Guatemala tahun 1971 untuk barang dan kelambatan. 62 3. Prinsip “Absolute liability” yang dipergunakan dalam Konvensi Warsawa tahun 1929, protocol The Hague tahun 1955 dan Ordonansi Pengangkut Udara untuk bagasi tangan. 63 4. Prinsip “Absolute liability” yang dipergunakan dalam protocol Guatemala tahun 1971 untuk tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasinya. yang dipergunakan dalam Konvensi Roma tahun 1952 untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi. 61 Prinsip presumption of liability adalah prinsip dimana pengangkut bertanggung jawab tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu. 62 Prinsip presumption of liability adalah prinsip dimana pengangkut tidak selalu bertanggung jawab dan harus dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip ini hanya berlaku kepada bagasi tangan. 63 Prinsip absolute of liability adalah prinsip yang bermaksud bahwa tanggung jawab adalah mutlak oleh pengangkut airlines tanpa ada kemungkinan membebaskan diri. 5. Prinsip “Absolute liability” yang dipergunakan dalam Liability Convention tahun 1972 untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda – benda dipermukaan bumi dan pesawat udara yang sedang terbang. 6. Prinsip “Liability based on fault 64 7. Prinsip “limitation of liability” ” yang dipergunakan dalam Liability Convention tahun 1972 untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda angkasa lain dan orang didalamnya. 65 8. Prinsip “Limitation of liability” yang dipergunakan dalam protocol Guatemala tahun1971 untuk penumpang dan bagasinya. yang dipergunakan dalam Konvensi Warsawa tahun 1929, protocol the Hague dan Ordonansi pengangkutan untuk penumpang bagasi tercatat dan barang dan dalam protocol Guatemala tahun 2971 untuk barang dan kelambatan. 9. Prinsip “Limitation of liability” yang dipergunakan dalam Konvensi Roma tahun 1952. Terdapat beberapa prinsip yang pada dasarnya sama, namun ada beberapa perbedaan yang prinsipil yang perlu dikemukakan. Prinsip “Absolute liability” dalam konvensi Roma tidak benar – benar mutlak karena masih ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya bagi operator pesawat udara, yaitu dalam hal kejadian adalah akibat dari suatu konflik bersenjata atau huru hara atau disebabkan oleh kesalahan pihak yang menderita kerugian sendiri sedangkan prinsip “Absolute liability” dalam protocol Guatemala masih memberi kesempatan untuk 64 Prinsip liability of fault adalah prinsip dimana tanggung jawab yang dilaksanakan akibat suatu benda atau kejadian dari luar angkasa. 65 Prinsip limitation of liability adalah prinsip yang tanggung jawabnya dibatasi oleh suatu nominal tertentu. membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal kerugian yang disebabkan oleh penumpang sendiri. Prinsip “Limitation of liability” dalam Konvensi Warsawa dan Ordonansi pengangkutan udara, bersifat tidak mutlak, karena batas tanggung jawab itu masih dapat dilampaui, yaitu apabila kerugian ditimbulkan dengan sengaja oleh pengangkut atau karena kelalaian berat gross negligensi, berbeda dengan prinsip “Limitation of liability” dalam Konvensi Roma dan protocol Guatemala yang tidak dapat dilampaui karena sebab apapun juga. Masalah tanggung jawab senantiasa aktual, dan akan selalu aktual selama ada kemungkinan kecelakaan pesawat udara atau peristiwa – peristiwa lain yang menimbulkan kerugian – kerugian pada penumpang atau pihak – pihak lain dengan siapa pihak pengangkut mempunyai perjanjian angkutan, baik untuk angkutan udara internasional maupun dalam negeri, apapun sebab – sebabnya. Dalam Hukum Udara Internasional masalah tanggung jawab telah lama menjadi perhatian, karena dalam kenyataan Konvensi internasional ke duayang penting setelah konvensi Paris tahun 1919 yang mengatur aspek pengaturan penerbangan Internasional setelah Perang Dunia ke-I adalah Konvensi Warsawa tahun 1929 yang mengatur masalah tanggung jawab pengangkut dan dokumen, angkutan pada penerbangan Internasional,dan di susul tahun 1933 oleh Konvensi Roma yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga dipermukaan bumi. Perjanjian Roma tahun 1933 ini kemudian diganti oleh Konvensi Roma tahun 1952. Konvensi Warsawa sendiri beberapa kali di ubah dengan beberapa protocol, yaitu protocol The Hague tahun 1955 dan protocol Guatemala tahun 1971 dengan protocol tambahan Montreal tahun 1975 nomor 1 sampai 4. Di samping itu terdapat suatu konvensi tambahan yaitu Konvensi Guadalajara tahun 1961 yang mengatur tanggung jawab pada jenis charter tertentu. Konvensi Warsawa sampai sekarang menjadi merupakan perjanjian multilateral dalam bidang hukum Udara perdata yang paling banyak pesertanya dan di perlakukan pula bagi penerbangan dalam negeri antara lain di Indonesia, meskipun dengan beberapa perubahan dan tambahan, yaitu sebagaimana diatur dalam Ordonansi pengangkutan Udara staatsblad 1939 no.100. 4. Dasar Hukum Udara atau Hukum Penerbangan di Indonesia Dasar hukum penerbangan di Indonesia terdapat dalam Undang-undang No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Selain itu juga terdapat dalam Ordonansi Pengangkutan Udara OPU S.100 tahun 1939 yang sebagian besar aturan-aturan tersebut mengacu pada Konvensi Warsawa tahun 1929. Indonesia telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak tanggl 27 April 1950 telah menyempurnakan Undang - Undang Nomor 15 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Undang-Undang disusun dengan mengacu kepada Konvensi Chicago 1944 dan memerhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur kedaulatan atas wilayah udara di Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan, produkasi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan di dalam pesawat udara, pengadaan pesawat udara, asuransi pesawat udara, independensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum, berbagai jenis angkutan udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun bukan niaga dalam negeri ataupun luar negeri, modal harus single majority shares tetap berada pada warga Indonesia atau badan hukum Indonesia, persyaratan minimum mendirikan perusahaan penerbangan baru harus mempunyai 10 pesawat udara, 5 dimiliki dan 5 dikuasai, perhitungan tarif transportasi pesawat udara berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, orang lanjut usia, anak dibawah umur, pengangkutan nahan danatau barang berbahaya dangerous goods, ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga third parties liability, tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratan, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi, sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbangan single air provider, penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum, dan berbagai ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur, guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional. 66 Jiwa dari undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga fungsi, tugas, tanggung jawab masing-masing jelas. Di samping itu, Undang-Undang No.1 Tahun 2009 juga bermaksud memberi kesempatan kepada swasta dan pemerintah daerah untuk ikut serta berperan dalam pembangunan penerbangan di Indonesia. Undang- undang ini mengalami perubahan yang signifikan, sebab semula hanya 103 pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal. 67 66 H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik Public International and National Air Law, Rajawali Pers ; Jakarta, 2012. Hal.233 67 Ibid.

BAB III PERTANGGUNG JAWABAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP KECELAKAAN