Pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan Atau Airlines Terhadap Kecelakaan

5. Persaingan yang tidak sehat antar maskapai penerbangan Operator baru menerapkan tarif murah meskipun belum mencapai status low cost airlines. Jadi ada kesenjangan antara penerimaan dan pengeluaran. Sejumlah operator baru berhasil bertahan karena ada injeksi modal atau lantaran subsidi silang. Operator lama maupun baru menghadapi problem yang tidak mudah. Mereka memperebutkan pangsa pasar yang terbatas. Mereka memperebutkan rupiah, padahal kebanyakan utang di denominasi dalam dolar AS.Terjadi pertarungan dan persaingan yang tidak sehat antar maskapai yang sebenarnya bisa dihindari jika regulator sejak awal bersikap selektif. Hal tersebut berakibat terjadinya perang tarif antar maskapai penerbangan dengan pemberlakuan tarif semurah-murahnya dengan menekan biaya operasional dengan cara mengurangi beberapa kenyamanan termasuk keselamatan penerbangan.

C. Pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan Atau Airlines Terhadap Kecelakaan

Penerbangan Masalah tanggung jawab senantiasa aktual, dan akan tetap aktual selama ada kemungkinan kecelakaan pesawat udara atau peristiwa-peristiwa lain yang menimbulkan kerugian-kerugian pada penumpang atau pihak-pihak lain dengan siapa pihak pengangkut mempunyai perjanjian angkutan, baik untuk angkutan udara internasional maupun dalam negeri, apapun sebab- sebabnya. 73 Secara teoritis, tidak ada nilai uang yang bisa menggantikan nyawa. Namun demikian, dalam suatu kecelakaan, nilai kemanusiaan untuk mengurangi derita keluarga korban dapat dirumuskan dalam santunan ataupun asuransi. Dalam musibah kecelakaan pesawat, biasanya 73 Suherman, E ; “Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal.74 ada kompensasi yang harus diberikan sebagai pengganti kerugian atas tiga hal, yaitu; badan dan mesin pesawat, jiwa penumpang, pihak ketiga barang ataupun jiwa. 74 Konvensi Warsawa sampai sekarang merupakan perjanjian multilateral dalam bidang Hukum Udara Perdata yang paling banyak pesertanya dan diperlakukan pula bagi penerbangan dalam negeri, antara lain Indonesia, meskipun dengan beberapa perubahan dan tambahan, yaitu sebagaimana diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara Staatsblad 1939 no.100. Salah satu aspek dalam rangka perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan udara dan pihak ketiga, yang mungkin menderita kerugian sebagai akibat dari kegiatan penerbangan dan angkutan udara adalah masalah tanggung jawab untuk kerugian-kerugian tersebut. Dalam hukum internasional masalah tanggung jawab telah lama menjadi perhatian karena dalam kenyataannya konvensi internasional kedua yang penting setelah Konvensi Paris tahun 1919 yang mengatur aspek pengaturan penerbangan internasional setelah Perang Dunia I adalah Konvensi Warsawa 1929 yang mengatur masalah tanggung jawab pengangkut dan dokumen, angkutan pada penerbangan internasional, dan disusul dalam tahun 1933 oleh Konvensi Roma tahun 1933 oleh Konvensi Roma yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga, di permukaan bumi, Perjanjian Roma tahun 1933 ini kemudian digantikan oleh Konvensi Roma tahun 1952. Konvensi Warsawa sendiri beberapa kali diubah dengan beberapa protokol yaitu protokol The Hague 1955 dan Protokol Guetemala 1971 dengan Protokol tambahan Montreal 1975 nomor 1 sampai 4. Disamping itu terdapat suatu konvensi tambahan, yaitu Konvensi Guandalajara 1961, yang mengatur tanggung jawab pada jenis charter tertentu. 75 74 Dikutip dari artikel “Penanganan Korban Kecelakaan Air AsiaQZ8501” oleh Rohani Budi Prihatin Vol. VII1IP3DIJanuari2015 75 Ibid hal. 75 1. Prinsip – prinsip tanggung jawab dalam hukum udara internasional. 76 Dalam Konvensi Warsawa 1929 dan konvensi-konvensi lain mengenai tanggung jawab, antara lain ; 1.1. Prinsip “Presumption of Liability” Berdasarkan prinsip ini maka pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugian-kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi tercatat yang diangkutnya. Dalam keadaan biasa pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab tanpa perlu diperhatikan apakah ada alasan hukum untuk tanggung jawab tersebut, misalnya apakah ada suatu tindakan melawan hukum atau ada suatu kesalahan dalam bentuk apapun. Prinsip “presumption of liability” oleh beberapa penulis disebut juga “presumption of fault” atau “presumption of negligence”. “presumption of liability” pengangkut dianggap bertanggung jawab, tanpa mempersoalkan apakah ada kesalahan atau tidak, tanggung jawabnya dibatasi. Dengan “presumption of fault” ada kemungkinan timbul masalah apakah suatu “kesalahan” dapat diduga ada dan apakah atas dugaan saja seseorang pengangkut dapat dipertanggungjawabkan, karena justru dengan prinsip “presumption of liability” ini, dasar tanggung jawab tidak usah dibuktikan. 1.2. Prinsip “presumption of non-liability” Prinsip ini hanya berlaku bagi bagasi tangan. Dengan prinsip ini maka pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada bagasi tangan, yaitu barang-barang yang dibawa sendiri oleh penumpang. Perbedaan – perbedaan yang prinsipal antara bagasi tangan tercatat dan bagasi tangan adalah bahwa bagasi tercatat dan bagasi tangan adalah bahwa bagasi tercatat diserahkan pada 76 Ibid hal.76 pengawasan pengangkut, sedangkan bagasi tangan tidak. Oleh karena itu prinsip tanggung jawabnya pun harus kebalikanny, yaitu bahwa untuk bagasi tangan pengangkut dianggap selalu tidak bertanggung jawab. 1.3. Prinsip “absolute liability” atau “strict liability” Secara umum kedua istilah tersebut berarti bahwa tanggung jawab ini berlaku mutlak, tanpa ada kemungkinan membebaskan diri, kecuali dalam hal kerugian disebabkan atau turut disebabkan oleh pihak yang menderita kerugian sendiri. 1.4. Prinsip “limitation of liability” Dalam Konvensi Warsawa 1929 dan konvensi – konvensi lainnya dalam bidang hukum udara, apapun prinsip yang dipergunakan, selalu disertai dengan prinsip “limitation of liability”, yaitu bahwa pada dasarnya tanggung jawab pengangkut atau operator pesawat udara dibatasi sampai jumlah tertentu. Adapun konsep tanggung jawab hukum legal liability concept jika dirangkum dalam sebuah tabel 77 No. : Konsep tanggung jawab Unsur – unsur tanggung jawab Keterangan 1. Based on fault liability Ada kesalahan, ada kerugian dan hubungannya dengan kesalahan, tanggung jawab tidak terbatas, penggugat membuktikan kesalahan tergugat, kedudukan para pihak sama tinggi Konsep ini berlaku dalam kehidupan sehari – hari 2. Praduga bersalah presumption of liability Perusahaan dianggap bersalah, demi hukum bertanggung jawab, tanggung jawab terbatas, Konsep ini dikenal dengan beban pembuktian terbalik, pada 77 H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Angkutan Udara, Rajawali Pers ; Jakarta, 2011. Hal. 231 tergugat membuktikan tidak bersalah, exoneration, willful misconduct, kedudukan para pihak tidak sama tinggi angkutan 3. Liability without fault strict liability tanggung jawab mutlak, tanpa pembuktian, batas tanggung jawab tidak dapat dilewati unbreakable limit Konsep ini mulai digunakan di Indonesia 2. Sistem – sistem tanggung jawab 78 2.1. Sistem Warsawa 79 Sistem tanggung jawab yang disebut dengan “Sistem Warsawa” dipergunakan dalam Konvensi Warsawa 1929, Protokol Hague 1955, yang berisikan amandemen pada Konvensi Warsawa dan juga dalam Ordonansi Pengangkutan Udara staatsblad 1939;100 yang dapat dikatakan merupakan Konvensi Warsawa diperlakukan bagi pengangkutan udara dalam negeri dengan beberapa tambahan dan perubahan. Konvensi Warsawa mengatur pengertian International Carriage, unifikasi dokumen yang terdiri atas tiket penumpang passanger ticket, tiket bagasi bagage claim tag, dan surat muatan udara airwaybill serta sanksi bilamana tidak diberikan dokumen angkutan, unifikasi tanggung jawab hukum praduga bersalah presumption of liability disertai dengan exoneration clause, willful misconduct, contributary negligence, jumlah ganti kerugian, tanggung jawab untuk penumpang danatau barang, unfikasi penggunaan mata uang, 80 pengadilan yang berhak mengadili dan angkutan campura. Ketentuan – ketentuan dalam Konvensi Warsawa 1929 bersifat memaksa yang mengakibatkan sanksi apabila terjadi pelanggaran. 81 2.1.1. Prinsip – prinsip 78 Suherman, E ; “Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal.78 79 Ibid 80 Penggunaan mata uang dengan “The Gold Standard” yang dapat dikonversi dengan dollars atau special drawing right SDR pada The free market price of gold atau the exchange value of french france, lihat Air Carrier Liability Report No. 551 – 564 Hal. 180. 81 H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Angkutan Udara, Rajawali Pers ; Jakarta, 2011. Hal. 234 Dalam sistem warsawa dipergunakan suatu kombinasi dari prinsip “presumption of liability” dan “limitation of liability” untuk tanggung jawab untuk penumpang, bagasi tercatat, dan barang muatan atau cargo dan suatu kombinasi dari prinsip “presumption of non-liability” dan “limitation of non-liability” untuk bagasi tangan bagasi tidak tercatat , unchecked bagage, hand bagage Pada pengangkutan penumpang, bagasi tercatat, barang, pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang atau pengirimpenerima barang. Akan tetapi dalam sistem warsawa praduga adanya tanggung jawab pengangkut dapat hapus, yaitu dalam hal pengangkut dapat membuktikan bahwa ia dan pegawai-pegawainya telah mengambil semua tindakan untuk menghindarkan terjadinya kerugian. Sebaliknya prinsip “limitation of liability” tidak berlaku apabila penumpang atau pengirim penerima barang dapat membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan dengan sengaja atau oleh wilful musconduct dari pengangkut, jadi ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pengangkut tidak dibatasi oleh jumlah tertentu. Pada umumnya dalam praktek penyelesaian ganti rugi didasarkan pada kemungkinan pertama, yaitu dimana baik prinsip “presumption of liability” maupun prinsip “limitation of liability” berlaku. Hal ini disebabkan karena biasanya sulit sekali atau bahkan tidak mungkin untuk membuktikan bahwa pengangkut atau pegawai pegawainya telah mengambil semua tindakan untuk menghindarkan timbulnya kerugian, dalam hal mana pengangkut tidak bertanggung jawab atau untuk membuktikan bahwa kerugian ditimbukan oleh tindakan sengaja atau wilful misconduct dari pengangkut, dalam hal mana prinsip pengangkut harus membayar sampai jumlah kerugian yang sebenarnya diderita. 2.1.2. Pihak yang bertanggung jawab Dalam sistem tanggung jawab dalam Konvensi Warsawa 1929, dan juga dalam Hague Protocol 1955 dan OPU yang ditetapkan sebagai pihak yang bertanggung jawab adalah pengangkut. Pengangkut adalah setiap pihak yang mengadakan perjanjian angkutan dengan pihak penumpang atau pengirim penerima barang, perjanjian mana dapat dibuktikan dengan dokumen angkutan yang diberikan pada penumpang atau pengirim barang. 2.1.3. Pihak yang berhak atas ganti rugi Pihak yang berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang diderita oleh seorang penumpang, dengan sendirinya adalah penumpang sendiri. Baru kalau penumpang meninggal, misalnya dalam suatu kecelakaan, timbul persoalan, siapakah yang berhak atas ganti rugi. Konvensi Warsawa tidak menetapkan siapa yang berhak atas ganti rugi kalau penumpang meninggal, akan tetapi persoalan ini diserahkan pada pengadilan, yang berwenang mengadili perkara tersebut. Ordonansi Pengangkutan Udara yang berlaku bagi penerbangan dalam negeri di Indonesia menentukan bahwa yang berhak atas ganti rugi apabila penumpang meninggal, adalah suami atau istri dan penumpang yang meninggal, anaknya atau orang tuanya yang menjadi tanggunga penumpang ketika ia masih hidup. Dalam hal kerugian pada bagasi ketentuan yang sama berlaku pula. Dalam hal kerugian pada barang maka yang berhak atas ganti rugi adalah pengirim barang consignor atau penerima consignee. 2.1.4. Besarnya ganti rugi Dalam Konvensi Warsawa 1929 limit tanggung jawab untuk penumpang ditetapkan sebesar 125.000 gold francs, untuk barang dan bagasi tercatat sebesar 250 gold franc per kilogram, dan untuk bagasi tangan sebesar 5000 gold francs per penumpang, dengan catatan bahwa mata uang franc yang dimaksud adalah mata uang emas Perancis, yang berisikan 65,5 Mg emas dengan kadar 9001000. Jumlah – jumlah tersebut di atas dapat dikonvensi ke dalam mata uang nasional. Dalam praktek timbul kesulitan, karena Konvensi Warsawa tidak menentukan harga emas pada saat mana yang harus diperhitungkan. Oleh karena itu, dalam Protokol Hague tahun 1955 ditetapkan bahwa harga emas yang harus diperhitungkan adalah harga emas pada hari keputusan pengadilan dijatuhkan. Dalam praktek pada perusahaan-perusahaan penerbangan atau airlines internasional terdapat kebiasaan untuk menghitung jumlah ganti rugi dalam mata uang US dollar, sehingga 125.000 gold francs dianggap mempunyai nilai lawan US 8.330,- atau sekarang sering kali dibulatkan menjadi US 10,000,-Perhitungan ini sebenarnya kurang tepat karena didasarkan pada harga emas yang berlaku sebelum perang dan sekarang telah meningkat lebih dari 10 kali. Suatu persoalan khusus kita jumpai di Indonesia, karena jumlah dalam Gulden yang kita jumpai dalam teks asli OPU harus dibaca sebagai rupiah, sehingga misalnya limit ganti rugi untuk penumpang hanya berjumlah sebesar Rp. 12.500,- suatu jumlah yang dengan sendirinya sama sekali tidak wajar. Adapun limit ganti rugi bahwa pengangkut hanya wajib mengganti kerugian sampai jumlah limit yang ditentukan, meskipun kerugian yang diderita oleh penumpang misalnya jauh melebihi limit itu, kecuali kalau penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan dengan sengaja atau karena suatu wilful misconduct dari pangangkut. 2.2. Sistem Roma 82 2.2.1. Prinsip – prinsip Dalam Konvensi Roma 1952 yang mengatur masalah tanggung jawab operator pesawat udara untuk kerugian yang ditimbulokan pada pihak ketiga di permukaan bumi, dipergunakan kombinasi prinsip “absolute of liability” dan “limitation of liability”. Berdasarkan prinsip “absolute of liability” operator pesawat udara bertanggung jawab secara mutlak untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi. Sehingga ia tidak dapat bebas dari tanggung jawab dengan dalih apapun juga kecuali kalau kerugian disebabkan oleh pihak yang menderita kerugian sendiri atau pegawai – pegawainya. Akan tetapi sebagaimana imbalannya prinsip itu dikombinasikan dengan prinsip limit ganti rugi yang cukup tinggi setelah limit tersebut dinaikkan dengan Protokol Montreal 1978. 2.2.2. Pihak yang bertanggung jawab Dalam Konvensi Roma 1952 ditetapkan bahwa yang bertanggungjawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi adalah operator pesawat udara, yaitu orang yang mempergunakan pesawat saat kerugian ditimbulkan. Orang yang terdaftar sebagai pemilik pesawat udara kecuali kalau ia dapat membuktikan bahwa seorang lain yang menjadi operator saat kerugian terjadi. Pengertian operator lebih luas dari pengertian pengangkut, karena operator adalah juga orang atau badan hukum yang tidak bergerak dalam bidang angkutan udara tetapi misalnya sekolah penerbang, perkumpulan olah raga atau perusahaan penyemprot hama. 2.2.3. Pihak yang berhak atas ganti rugi Yang berhak atas ganti rugi adalah setiap orang yang menderita kerugian di permukaan bumi, dan dapat membuktikan bahwa kerugian itu disebabkan oleh pesawat udara yang sedang terbang atau karena orang atau benda yang jatuh dari pesawat udara itu. 82 Ibid hal. 81 Kerugian itu harus merupakan suatu akibat langsung dari peristiwa yang terjadi dan tidak disebabkan semata – mata karena lewatnya pesawat di ruang udara, yang terbang mentaati peraturan – peraturan lalu lintas udara yang berlaku. 2.2.4. Besarnya ganti rugi Ganti rugi yang harus dibayarkan dibatasi oleh dua jenis limit, yaitu : a. Limit umum yang dihitung berdasarkan berat pesawat, yaitu berat yang tercantum dalam sertifikat kelaikan pesawat. Suatu pesawat yang beratnya 20.000 kg, limit umumnya adalah 6.000.000 gold franc 83 b. Limit khusus untuk tiap orang yang meninggal, yaitu 500.000 gold franc per orang. Kalau jumlah ganti rugi untuk orang yang meninggal melebihi limit umum maka untuk setiap orang diberikan ganti rugi prorata menurut besar ganti rugi yang ditentukan. . Suatu hitung yang dipergunakan tetap franc Perancis yang berisikan emas 65,5 Mg emas berkadar 9001000. Suatu ketentuan lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa kalau ada tuntutan ganti rugi untuk benda maupun orang yang berjumlah melebihi limit, maka jumlah limit dibagi dua, setengah untuk ganti rugi orang dan setengahnya untuk ganti rugi untuk benda. Kalau ada jumlah limit tidak mencukupi untuk masing – masing jenis, maka ganti rugi besarnya ditetapkan prorata, menurut besarnya tuntutan. 83 Mata uang franc yang dimaksud adalah mata uang franc perancis yang berisikan 65, 5 Mg emas dengan kadar 9001000, jumlah – jumlah tersebut dapat dikonversi ke dalam mata uang nasional. 2.3. Sistem Guadalajara 84 2.3.1. Prinsip – prinsip Sistem guadalajara, meskipun tercantum dalam suatu konvensi, yaitu Konvensi Guadalajara 1961, yaitu yang mengatur tanggung jawab pada angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak yang bukan pihak yang mengadakan perjanjian angkutan actual carrier dan contracting carter, sebenarnya hanya merupakan sub-sistem dari Konvensi Warsawa 1929. Konvensi Guadalajara 1961 merupakan suplemen pada Konvensi Warsawa 1929 dan memperlakukan Konvensi Warsawa bagi jenis-jenis charter tertentu atau hubungan tertentu antara perusahaan – perusahaan penerbangan, yang sebelum ini agak sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab. 2.3.2. Pihak yang bertanggung jawab Dalam konvensi – konvensi Guadalajara sebagai pihak yang bertanggung jawab ditetapkan ”contracting carrier” dan “actual carrier. “contracting carrier” adalah pengangkut yang mengadakan perjanjian angkutan dengan penumpang atau pengirim barang sedangkan “actual carrier” adalah pengangkut yang mengadakan perjanjian angkutan dengan penumpang atau pengirim barang dan pengangkut yang atas dasar kuasa dari pengangkut pertama melaksanakan perjanjian angkutan tersebut. Penumpang atau pengirim barang yang menderita kerugian dapat menuntut “actual carrier” atau “contractual carrier” tidak akan dipengaruhi oleh konvensi ini, kecuali bahwa dalam hal hanya salah satu yang digugat, pengangkut yang lain dapat dimintanya untuk turut digugat. 84 Ibid hal. 83 2.4. Sistem Guatemala 85 2.4.1. Prinsip – prinsip Protokol Guetemala yang diadakan dalam tahun 1975 merupakan protokol amandemen pada Konvensi Warsawa 1929, dan berisikan perubahan – perubahan yang prinsipil. Yang terpenting adalah bahwa ada perubahan dalam sistem tanggung jawab untuk penumpang, yaitu tidak dipergunakannya lagi prinsip “presumption of liability” akan tetapi prinsip “absolute liability” sistem tanggung jawab ini berlaku bukan saja untuk penumpang, tetapi juga untuk bagasinya, baik bagasi tercatat maupun bagasi tangan. Untuk barang atau cargo tetap berlaku prinsip “presumption of liability”, demikian pula keterlambatan, baik penumpang, bagasi maupun barang, diperlakukan dengan prinsip ini. Sebagaimana halnya dengan prinsip - prinsip lain, prinsip di atas dikombinasikan dengan prinsip “limitation of liability” dan berbeda dengan prinsip Warsawa, dalam hal keterlambatan, Protokol Guetemala menetapkan suatu limityang tegas. Suatu perbedaan yang prinsipal adalah juga bahwa pada pengangkutan penumpang pengangkut tidak bisa membebaskan diri dari tanggung jawabnya, kecuali kalau kerugian disebabkan, baik seluruhnya atau sebagian, oleh penumpang sendiri. Limit yang ditetapkan untuk penumpang cukup tinggi yaitu 12 kali limit Warsawa untuk penumpang jadi 1.500.000 franc. Limit ini merupakan suatu limit yang tidak dapat dilampaui unbreakable limit. 2.4.2. Besarnya ganti rugi Dalam Protokol Guetemala limit baru untuk penumpang ditetapkan sebesar 1.500.000 gold franc yang dianggap sebagai nilai lawan dari US 100.000. 85 Ibid hal. 84 Penyusunan teks akhir dari Protokol Guetemala dalam hal ini telah membuat suatu kekeliruan yang besar karena nilai 1.500.000 gold franc kalau berdasarkan nilai emas yang di dalamnya bukanlah US 100.000, bila didasarkan pada harga emas yang berlaku. Untuk keterlambatan penumpang ditetapkan suatu limit sebesar 62.600 gold franc atau kurang lebih US 4.150, suatu jumlah yang cukup besar kalau dari pengertian kerugian karena keterlambatan dikecualikan akibat – akibat tidak langsung dari keterlambatan. Untuk keterlambatan, kehilangan atau kerusakan bagasi ditetapkan jumlah sebesar 15.000 gold franc atau US 1.000 untuk tiap penumpang. Limit untuk muatan atau cargo tetap sebesar 250 franc per kg yaitu sama dengan Konvensi Warsawa. Dalam sistem Warsawa untuk tanggung jawab terhadap penumpang diisyaratkan adanya suatu “accident” 86 3. Prinsip tanggung jawab dalam hukum nasional UURI No. 1 Tahun 2009 atau kecelakaan pasal 17. Dalam praktek tidak setiap kerugian pada diri penumpang disebabkan oleh suatu kecelakaan dalam arti harfiah, sehingga menimbulkan permasalahan mengenai tafsiran dari kata accident. Dalam sistem Guetemala masalah ini tidak dijumpai karena dalam Protokol Guetemala 1971 kata accident telah diganti dengan kata event atau kejadian yang mempunyai arti yang lebih luas dari kecelakaan. Suatu contoh adalah persoalan apakah suatu pembajakan pesawat udara yang menimbulkan korban diantara penumpang dapat dianggap sebagai suatu kecelakaan. 86 Dalam dunia penerbangan dikenal 2 pengertian yakni 1 kecelakaan accident dan 2 kejadian incident . kecelakaan adalah suatu peristiwa yang terjadi luar dugaan manusia yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara yang berlangsung sejak penumpang naik pesawat udara boarding dengan maksud melakukan penerbangan ke tempat tujuan sampai semua penumpang turun debarkasi dari pesawat udara. Peristiwa tersebut mengakibatkan orang meninggal dunia atau luka parah akibat benturan dari pesawat udara atau kontak langsung dengan bagian pesawat udara atau terkena hempasan langsung mesin jet pesawat udara atau pesawat udara mengalami kerusakan struktural yang berat atau pesawat udara memerlukan perbaikan besar atau penggantian komponen atas pesawat udara atau pesawat udara sama sekali hilang, sedangkan kejadian incident adalah peristiwa yang terjadi selama penerbangan berlangsung yang berhubungan dengan operasi pesawat udara yang dapat membahayakan terhadap keselamatan penerbangan. Disebutkan bahwa UURI No. 1 Tahun 2009 menerapkan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah presumption of liability concept seperti halnya yang berlaku pada Konvensi Warsawa 1929 dan konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan based on fault liablity , khusunya mengenai bagasi kabin. Hal ini terbukti dari pasal 141 ayat 1 UURI No. 1 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap misalnya kehilangan dan menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata yang diakibatkan oleh kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara atau naik turun pesawat udara, kerugian yang diderita penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut sesuai dengan pasal 144 UURI No. Tahun 2009. 87 87 Ibid hal. 293. Demikian juga halnya dalam pasal 145 UURI No. 1 Tahun 2009 mengenai kerugian yang diderita oleh pengiriman kargo. Berdasarkan ketentuan diatas pengangkut otomatis bertanggung jawab tanpa dibuktikan terlebih dahulu, sehingga pengangkut berhak menikmati batas ganti kerugian yang ditetapkan UURI No. 1 Tahun 2009, namun demikian menurut pasal 141 ayat 2 UURI No. 1 Tahun 2009, batas ganti kerugian tersebut tidak dapat dinikmati oleh pengangkut bilamana kerugian tersebut timbul karena tindakan sengaja willful misconduct atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, sehingga ahli waris atau korban dapat melakukan tuntutan ke pengadilan untuk mendapat ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang ditetapkan unlimited liability principle sesuai dengan pasal 141 ayat 3 UURI. No. 1 Tahun 2009. 4. Besaran ganti rugi dan santunan Sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa konsep tanggung jawab hukum yang diterapkan dalam UURI No. 1 Tahun 2009 adalah tanggung jawab praduga tak bersalah presumption of liability, karena itu besaran ganti rugi atau santunan harus dibatasi kecuali perusahaan penerbangan atau pegawai atau karyawan atau agen atau perwakilannya melakukan kesalahan yang disengaja willful misconduct , namun demikian sebelum menguraikan besaran ganti rugi yang tercantum dalam UURI No. 1 Tahun 2009, perlu diuraikan terlebih dahulu besaran kerugian yang diatur dalam Konvensi Warsawa 1929, The Hague Protocol of 1955, Montreal Agreement of 1966, Guetemala City Protocol of 1971. Protokol Tambahan Montreal tahun 1975 Nomor 1, 2, 3 dan 4 Tahun 1995, praktik pemberian ganti rugi dan diakhiri dalam UURI No. 1 Tahun 2009. Besaran ganti rugi untuk penumpang yang meninggal dunia, bagasi tercatat dan kargo, bagasi kabin diatur dalam pasal 22 Konvensi Warsawa 1929. Menurut pasal tersebut setiap penumpang yang meninggal dunia memperoleh ganti rugi 125.000 francs, namun demikian penumpang dan perusahaan penerbangan dapat membuat perjanjian sendiri untuk memperoleh ganti rugi yang lebih besar. Dalam hal penumpang menghendaki ganti rugi yang lebih besar, maka harus mengasuransikan diri, sedangkan ganti rugi bagasi tercatat dan kargo 250 franc setiap kilogram, kecuali pengirim barang menyatakan bahwa barang yang dikirim sangat berharga. Dalam hal demikian pengirim diwajibkan membayar lebih besar untuk membayar asuransi pengirim barang tersebut. Ganti rugi untuk bagasi kabin yang dibawa sendiri oleh penumpang terbatas 5.000 franc untuk setiap orang. Konvensi Warsawa 1929 tentang Unifikasi Peraturan – peraturan Tertentu Mengenai Angkutan Udara Internasional yang ditandatangani tanggal 12 Oktober 1929 tersebut semula bercita – cita untuk keseragaman dokumen angkutan udara internasional serta tanggung jawab hukum legal liability perusahaan penerbangan internasional tersebut pada kenyataannya justru terjadi disunifikasi dengan lahirnya protokol The Hague 1955, Konvensi Guandalajara 1961, Protokol Guetemala 1971, Protokol Tambahan Montreal 1975 No 1, 2, 3 dan 4 disusul dengan lahirnya Konvensi Montreal 1999, disamping Montreal Agreement of 1966, khususnya berkenaan dengan jumlah ganti rugi dan dokumentasi angkutan udara internasional. 88 Besaran ganti rugi dalam Guetemala City Protocol of 1971 diatur dalam Article VIII. Menurut article VIII tersebut besaran ganti rugi terhadap penumpang yang meninggal 1.500.000 francs dalam meninggal dunia atau luka, dalam hal keterlambatan penumpang sebesar 62.500 francs sedangkan untuk bagasi tercatat yang hilang atau rusak atau keterlambatan sebesar 15.000 francs setiap orang dan 2.500 francs setiap kilogram barang. Besaran ganti rugi berdasarkan Protokol tambahan Montreal tahun 1975 masing – masing No. 1 sebesar 10.000 SDR untuk penumpang yang meninggal dunia, 20 SDR Special Drawing Rights per kilogram bagasi tercatat atau kargo. 40 SDR untuk bagasi kabin, Besaran ganti kerugian menurut Protokol The Hague 1955 diatur dalam Article XI. Menurut Article XI Protocol The Hague 1955 besaran ganti kerugian untuk penumpang yang meninggal dunia sebesar 250.000 franc, besaran ganti kerugian untuk bagasi tercatat atau kargo 250 franc per kilogram, kecuali penumpang atau pengirim barang, pada saat menyerahkan barang kepada pengangkut, membuat pernyataan khusus dan telah membayar biaya tambahan. Dalam hal demikian, besaran ganti kerugian kepada penumpang atau pengiriman barang tidak akan lebih dari jumlah yang disepakati. Dalam hal terjadi kerugian akibat kehilangan, rusak atau keterlambatan bagian dari bagasi tercatat atau kargo atau isi lainnya, tanggung jawab pengangkut mempertimbangkan seluruh berat barang. Besaran ganti kerugian menurut Montreal Agreement of 1966 terhadap seorang yang meninggal dunia sebesar US 58.000 tudak termasuk biaya pengacara atau US 75.000 termasuk biaya pengacara, sedangkan besaran ganti kerugian dalam Konvensi Guandalajara 1961 bagi negara negara yang belum meratifikasi The Hague Protocol OF 1955 adalah 125.000 francs untuk yang meninggal dunia, 250 francs setiap kilogram bagasi tercatat dan kargo yang dikirim, 5.000 franc untuk bagasi kabin. Besaran ganti rugi menurut Konvensi Guandalajara 1961 bagi negara yang telah meratifikasi ThE Hague Protocol of 1955 adalah 250.000 francs untuk seorang penumpang yang meninggal dunia dan 250 francs. 88 H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Angkutan Udara, Rajawali Pers ; Jakarta, 2011. Hal. 240 sedangkan Protokol Tambahan Montreal 1975 sebesar 100.000 SDR. Besaran ganti rugi berdasarkan Konvensi Montreal 1999 adalah sama dengan Protocol Guetemala City 1971. 89 Penentuan besarnya ganti rugi oleh Menteri Perhubungan tersebut dimaksud untuk mempermudah perubahan jumlah ganti rugi tanpa harus mengubah norma UURI No. 1 Tahun 2009 supaya lebih elastis sesuai dengan kondisi pada saat kecelakaan terjadi. Dalam praktik lapangan, disamping santunan korban kecelakaan yang diberikan oleh perusahaan berdasarkan tanggung jawab hukum legal liability, para penumpang juga memperoleh pembayaran asuransi penerbangan berdasarkan UURI No. 33 Tahun 1964 dan UURI No. 17 Tahun 1965 beserta peraturan pelaksanaannya. Besaran pembayaran asuransi tersebut juga berubah sesuai dengan saat kecelakaan terjadi, terakhir berdasarkan keputusan Menteri Keuangan besaran pembayaran asuransi penerbangan tersebut Rp. 50.000.000, bahkan sesuai dengan kebijakan direktur utama berdasarkan keputusan bersama antara Direktur Utama PT Jasa Raharja dengan Direktur Jendral Perhubungan Udara siapapun, apakah penumpang atau awak pesawat udara atau personel lainnya memperoleh pembayaran asuransi wajib dana kecelakaan pesawat udara. Besaran pembayaran asuransi dana wajib kecelakaan pesawat udara tersebut selalu berubah sesuai dengan kondisi saat terjadi kecelakaan sesuai dengan keputusan Kementerian Keuangan, sehingga besaran tidak terlaku ketinggalan denan kebutuhan masyarakat, karena itu dalam UURI No. 1 Tahun 2009 tidak ditetapkan suatu besaran tertentu melainkan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan Menteri Perhubungan sebagaimana diatur dalam Pasal 165 sampai dengan pasal 172 UURI No. 1 Tahun 2009. 90 • Tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia Perubahan ganti kerugian tersebut dilakukan dengan mengevaluasi berdasarkan kriteria : • Kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga • Tingkat inflasi kumulatif • Pendapatan per kapita • Perkiraan usia harapan hidup 89 H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Angkutan Udara, Rajawali Pers ; Jakarta, 2011. Hal. 275 90 hal semacam ini juga dilakukan dalam UURI No. 33 TAHUN 1964 jo. PP No.17 Tahun 1965. Mengingat bahwa tingkat hidup, kelangsungan hidup perusahaan, inflasi dan pendapatan per kapita serta umur rata – rata manusia, selalu mengalami perubahan, maka terhadap besaran nilai ganti kerugian hendaknya selalu di evaluasi sehingga dapat memenuhi keinginan, baik dari pengguna jasa maupun pemberi jasa. Berdasarkan evaluasi tersebut dapat dilakukan perubahan besar ganti kerugian, setelah mempertimbangkan saran dan masukan dari menteri yang membidangi urusan keuangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti rugi ditetapkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan. 91 Mengingat jumlah ganti kerugian yang diatur dalam UURI No. 1 Tahun 2009 dibatasi, maka dalam UURI No. 1 Tahun 2009 memberi kesempatan penumpang dengan perusahaan penerbangan membuat perjanjian yang menentukan jumlah ganti kerugian ganti rugi lebih besar dibandingkan dengan yang ditetapkan dalam UURI No. 1 Tahun 2009, sebaliknya UURI No. 1 Tahun 2009 Melarang penumpang dan perusahaan penerbangan membuat perjanjian yang ganti ruginya lebih kecil dibandingkan dengan yang diatur dalam UURI No. 1 Tahun 2009, apalagi membebaskan tanggung jawab perusahaan penerbangan. Perusahaan Sementara besaran ganti rugi tersebut belum diatur oleh Menteri Perhubungan secara kuantitatif maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 beserta perubahan dan peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut besaran jumlah ganti rugi sebesar Rp. 40.000.000.000 empat puluh juta rupiah, namun demikian sebagaimana yang disebutkan di atas dalam praktik di lapangan jumlah ganti rugi yang diberikan oleh Mandala Airlines Rp. 300 juta, Lion Air pernah memberi Rp 400 juta, Garuda Indonesia lebih dari Rp. 500 juta, disamping Jasa Raharja. Bilamana penumpang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara, mereka memperoleh santunan kompensasi berdasarkan UURI No. 1 Tahun 2009 disamping santunan dari Jasa Raharja berdasarkan UU No. 33 Tahun 1964 beserta peraturan pelaksanaannya. 91 H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Angkutan Udara, Rajawali Pers ; Jakarta, 2011. Hal.302. penerbangan juga bertanggung jawab terhadap bagasu tercatat yang rusak sebagian maupun seluruhnya atau hilang atau musnah selama penerbangan berlangsung. Dalam UURI No.1 Tahun 2009 juga diatur kewajiban perusahaan – perusahaan untuk mengasuransikan tanggung jawabnya, karena bilamana perusahaan penerbangan memenuhi UURI No. 1 Tahun 2009, apabila terjadi kecelakaan yang menelan korban, asuransi membayar kepada penumpang tersebut. Pembayaran asuransi pada penumpang tersebut sebenarnya untuk dan atas nama perusahaan penerbangan, bukan atas nama asuransi. Penumpang rupanya tak hanya mendapatkan santunan wajib Jasa Raharja. UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur bahwa ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara juga berhak mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan. Hanya saja, hak itu baru bisa didapatkan melalui putusan pengadilan. Peraturan Menteri Perhubungan Permenhub Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 dan kemudian diubah menjadi Permenhub Nomor 92 Tahun 2011 92 5. Pihak yang berhak atas ganti rugi tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dalam Pasal 3 huruf a secara lebih detail mengatur soal penggantian dana tambahan itu. Menurut Permenhub ini, jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami kecelakaan pesawat sehingga mengakibatkan penumpang meninggal dunia, adalah sebesar Rp1.250.000.000 per orang. Pihak yang berhak atas ganti rugi diatur dalam pasal 173 UURI No. 1 Tahun 2009 yang tertulis penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, danatau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian akibat kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara danatau naik pesawat udara, yang berhak menerima ganti kerugian adalah ahli 92 Perubahan tersebut meliputi redaksi kata pada pasal 16, 20 dan pada pasal 29 mengenai berlakunya peraturan menteri no 92 tahun 2011. waris penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan, dalam hal tidak ada ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian, badan usaha angkutan udara niaga menyerahkan ganti kerugian kepada negara setelah dikutrangi biaya pengurusan jenazah sesuai dengan ketentuan perundang – undangan. 93 Sementara itu kemungkinan meninggal dunia bagi penumpang pesawat udara yang hilang diatur dalam pasal 178 UURI No. 1 Tahun 2009, menurut pasal tersebut penumpang yang berada dalam pesawat udara yang hilang. Dianggap telah meninggal dunia, apabila dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pesawat udara seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak diperoleh kabar mengenai hal ihwal penumpang tersebut, tanpa dibutuhkan keputusan pengadilan. Hak penerimaan ganti kerugian dapat diajukan setelah jangka waktu 3 bulan. Berdasarkan pernyataan tersebut warisan dapat dibagikan kepada yang berhak, namun demikian bilamana ternyata orang yang bersangkutan masih hidup, maka harta benda yang telah dibagikan dapat dikembalikan lagi. 94 6. Asuransi untuk tanggung jawab Persoalan asuransi, sesuai dengan kasus dalam penelitian ini sangat bersinggungan erat dengan asuransi penerbangan dan dengan tanggung jawab pengangkut. Oleh sebab itu pihak pengangkut biasanya mengasuransikan dirinya untuk menampung berbagai macam resiko – resiko yang dihadapinya dalam menjalankan usahanya. Dan dapat kita katakan bahwa asuransi penerbangan berkembang sejalan dengan perkembangan penerbangan dan angkutan udara. Asuransi mempunyai peran yang sangat strategis di dalam dunia penerbangan, setiap penumpang pesawat udara diwajibkan membayar iuran melalui perusahaan penerbangan yang mengalami kecelakaan untuk menutup kerugian yang diderita karena kematian dan 93 Ibid hal.312 94 Ibid hal.312 cacat tetap akibat kecelakaan pesawat udara. 95 oleh karena itu asuransi diatur di dalam hukum nasional mapun hukum udara internasional, asuransi diatur di dalam UURI No.33 Tahun 1964 beserta peraturan pelaksananya yang sudah mengenal sistem jaminan sosial social security, UURI No. 15 Tahun 1992 beserta peraturan pelaksananya, dan UURI No. 1 Tahun 2009, sedangkan di dalam hukum udara internasional diatur dalam Konvensi Roma 1952 96 , Protokol Montreal 1978 97 Disamping itu dalam dunia general aviation dikenal suatu istilah admitted liability, biasanya untuk pimpinan – pimpinan perusahaan yang diangkutnya atau ada tamu – tamu penting perusahaan yang dalam hal ini menunjukkan bahwa dalam hal terjadi apa – apa untuk mereka secara otomatis dibayarkan perusahaan asuransi suatu jumlah yang pasti, yang . Dalam hubungannya dengan tanggung jawab, perusahaan penerbangan umumnya mengasuransikan diri untuk apa yang disebut “legal liability”, yaitu tanggung jawab menurut hukum untuk penumpang, bagasi, barang muatan, dan pihak ketiga. Dalam praktek jumlah – jumlah yang diasuransikan bermacam – macam, mungkin pengangkut mengasuransikan diri sampai ke limit – limit The Hague yang bisa bertambah dalam hal pengangkut dinyatakan harus membayar ganti rugi lebih dari limit oleh pengadilan. Suatu cara lain untuk mengasuransikan diri untuk jumlah tertentu, misalnya “per penumpang sampai US 100.000, bagasi sampai US 500 per penumpang, barang muatan sampai US 10.000 per loss”.untuk tanggung jawab terhadap pihak ketiga tidak dinyatakan untuk maksimum jumlah yang ditanggung tetapi ditetapkan suatu overall limit misalnya untuk pesawat terbang pribadi passenger, baggage, cargo dan public liability pihak ketiga sebesar US 20.000.000 setiap kecelakaan pesawat udara. 95 UURI No. 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 137 Tahun 1964, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720. 96 Convention On Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on The Surface, signed at Rome, on 7 October 1952. 97 Protocol to Amend the Convention on Damaged Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on the Surface, signed at Rome 7 October 1952, signed at Montreal , on 23 September 197, lihat Michele Milde, ieds.Annals of Air and Space Law, Vol. XVII9-1993 PART II, Toronto ; The Carswell Company Limited, 1993. dengan sendirinya cukup tinggi. Dengan demikian maka dalam hubungan dengan persoalan tanggung jawab, pada akhirnya perusahaan asuransilah yang harus menanggung ganti rugi yang harus di bayar oleh pengangkut. 98 Mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap pemakai jasa angkutan dapat kita bandingkan dengan tiga ketentuan undang – undang, yaitu pasal 24 Ordonansi Pengangkutan Udara, Pasal 522 KUHD dan Pasal 28 UU No. 7 Tahun 1951 mengenai lalu lintas jalan yang merupakan suatu undang – undang tentang perubahan dan tambahan dari Wegverkeer- Ordonantie, S 1936-201 jo. S 38-657 dan S 40 – 72. Dalam prakteknya di Indonesia agaknya terdapat perbedaan pengertian, bahkan seringkali salah pengertian, mengenai masalah tanggung jawab pengangkut dan asuransi. Seringkali masalah tanggung jawab diidentikkan dengan masalah asuransi, suatu hal yang dapat merugikan bagi pemakai jasa angkutan udara. Oleh karena itu suatu kalimat yang tercantum pada tiket Garuda yang berbunyi “penumpang yang namanya tercantum dalam tiket ini dipertanggung pada PN asuransi kerugian Jasa Raharja berdasarkan UU No.33 tahun 1964 Juncto peraturan pelaksanaanya” dapat menyesatkan pemakai jasa angkutan jika tidak disertai dengan kalimat yang tegas – tegas menyatakan bahwa penerimaan santunan dari asuransi Jasa Raharja tidak menghilangkan hak pemakai jasa angkutan atau ahli warisnya untuk mendapat ganti rugi dari pihak pengangkut berdasarkan Ordonansi Pengangkutan Udara. 99 1. 1 pengangkut bertanggung-jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau jejas – jejas lain pada tubuh , yang diderita oleh seorang penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi Teks pasal- pasal tersebut adalah sebagai berikut : 98 Ibid, Hal.89. 99 Ibid, hal.173. di atas pesawat udara atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang. 2 apabila luka tersebut mengakibatkan kematian, maka suami atau istri dari penumpang yang meninggal, anak – anaknya atau orang tuanya, yang menjadi tanggungannya, dapat menuntut ganti rugi, yang dinilai sesuai dengan keadaan pasal 24 ordonansi Pasal ini harus dihubungkan dengan pasal 29 yang antara lain menentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian kalau ia dapat membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian tersebut atau tidak mungkin baginya untuk mengambil tindakan – tindakan tersebut. 2. Perjanjian angkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan penumpang mulai dari embarkasi sampai saat debarkasi. Pengangkut wajib membayar ganti rugi untuk kerugian yang disebabkan karena penumpang luka yang disebabkan pengangkutan, kecuali apabila ia dapat membuktikan bahwa luka tersebut disebabkan oleh suatu kejadian, yang sewajarnya tak dapat dihindarkan atau disebabkan karena kesalahan penumpang sendiri. pasal 522 KUHD 3. 1 Pemilik atau pemegang suatu kendaraan umum bertanggungjawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang atau barang yang diangkutnya, kecuali apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian itu timbul bukan karena kesalahan kelalaian pemilik atau pemegang kendaraan atau pegawai – pegawainya. 2 Setiap syarat perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan dalam ayat tersebut di atas adalah batal. pasal 28 UU No.71951. Dari analisa ketiga ketentuan tersebut di atas dapat ditarik dua kesimpulan, yaitu ada prinsip praduga adanya tanggung jawab atau “presumption of liability” dan adanya pembalikan beban pembuktian atau “omkering van de bewijslast” shifting of the burden of proof”. 100 Sebagaimana disebutkan bahwa disamping hukum nasional, konvensi internasional juga mengatur asuransi tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Roma 1952. Menurut pasal 15 Konvensi Roma 1952 setiap negara yang turut serta dalam konvensi berhak meminta kepada perusahaan penerbangan yang melakukan penerbangan di wilayahnya untuk mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga di permukaan bumi sebesar tanggung jawabnya. Perusahaan asuransi harus dilakukan oleh perusahaan asuransi resmi yang diakui oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Dalam hal perusahaan asuransi insurer tidak dapat diterima oleh negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan, maka negara tersebut dapat menolak perusahaan penerbangan terbang di wilayahnya. 101 Dalam perkembangannya, asuransi penerbangan juga diatur dalam UU No.15 tahun 1992, Disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995, yang Diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 beserta peraturan pelaksana lainnya. Dalam UURI No. 5 Tahun 1992 asuransi penerbangan diatur dalam pasal 30, 47 dan 48. Menurut pasal 30 penyelenggara bandar udara bertanggung jawab atas keamanan, keselamatan, dan kelancaran pelayanan penumpang dan tanggung jawab tersebut harus diasuransikan. Dalam pasal 43 UURI No. 15 Tahun 1992 dikatakan bahwa perusahaan penerbangan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan atau pengirim barang. Menurut pasal 47, tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan tersebut harus diasuransikan, sedangkan dalam pasal 44 disebutkan setiap operator yang mengoperasikan pesawat udara harus bertanggung jawab kepada pihak ketiga yang tidak tahu menahu penggunaan pesawat udara 100 Ibid, Hal. 175. 101 H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Angkutan Udara, Rajawali Pers ; Jakarta, 2011. Hal. 200 tetapi mengalami kerugian akibat penggunaan pesawat udara. Pasal 48 mengatur kewajiban operator untuk mengasuransikan awak pesawat udara yang dipekerjakan. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa UURI No. 15 Tahun 1992 mengatur asuransi tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang yang meninggal dunia, luka, cacat, tanggung jawab hukum orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara terhadap pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda – benda dari pesawat udara dan asuransi terhadap awak pesawat udara yang dipekerjakan. 102 Mengingat keadaan ekonomi dan keuangan negara belum mengizinkan, maka jaminan sosial atau asuransi perlu diusahakan secara gotong royong melalui dana yang dihimpun dari iuran wajib yang dikenakan kepada penumpang pesawat udara. Dengan prinsip tanggung jawab itu makanya pengangkut dianggap selalu bertanggungjawab untuk kerugian yang diderita penumpang kalau ia luka – luka atau meninggal dunia, tanpa ada kewajiban bagi penumpang tersebut atau ahli warisnya untuk membuktikan haknya atas ganti rugi. Praduga itu baru lenyap kalau pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian itu terjadi bukan karena kesalahannya atau tidak dapat dihindarkan atau terjadi karena kesalahan penumpang sendiri. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa prinsip tanggung jawab yang tersimpul dalam ketentuan – ketentuan tersebut di atas belum merupakan salah satu perlindungan hukum bagi pemakai jasa angkutan. 103 Sebagai pelaksananya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1965 tentang ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Penumpang. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut setiap penumpang pesawat udara nasional wajib membayar iuran wajib 102 Ibid, hal. 202. 103 H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Angkutan Udara, Rajawali Pers ; Jakarta, 2011. Hal. 210 dana kecelakaan penumpang. Dimana tidak ada penjualan tiket pesawat udara tanpa adanya pembayaran iuran wajib dana kecelakaan pesawat udara, dengan otomatis setiap orang yang sudah membeli tiket sudah mengasuransikan dirinya kepada asuransi wajib dana kecelakaan pesawat udara. 104 Masalah tanggung jawab pada angkutan udara tidak dapat dipisahkan dari masalah asuransi penerbangan, yang merupakan suatu bidang asuransi yang tumbuh dan berkembang bersama sama dengan penerbangan. Bahkan dapat kita katakan bahwa tanpa adanya asuransi penerbangan yang menampung berbagai risiko penerbangan, industri angkutan udara tidak akan mungkin berkembang sampai taraf dewasa ini. dan berdasarkan ketentuan yang mengenai jumlah kerugian sewaktu – waktu dapat disempurnakan tanpa harus mengubah ketentuan peraturan pemerintah maupun undang – undang yang bersangkutan. pada penelitian ini jumlah Asuransi Jasa Raharja sebesar 50 juta bagi setiap orang yang meninggal dunia dalam kecelakaan penerbangan 105

D. Peran Pemerintah Dalam Menanggulangi Kecelakaan Penerbangan Internasional