• Daerah perbatasan adalah daerah yang terletak pada lokasi yang terluar atau terdepan
berbatasan dengan negara tetangga negara lain. Sebagian besar pulau-pulau terluar masih terisolasi dan pembangunan disana sangat terbatas.
Contoh : Kepulauan Natuna yang berbatasan dengan Myanmar, Pulau Mianggas dan pulau Matrore diujung utara sulawesi utara berbatasan dengan Filipina.
C. Klasifikasi Penerbangan
Setelah Konvensi Chicago, perkembangan masalah lalu-lintas penerbangan makin mendapat perhatian yang cukup besar. Hal ini disebabkan adanya beberapa pendapat baru
mengenai beberapa alat penerbangan yang mempunyai kesanggupan terbang tinggi melebihi kemampuan terdahulu. Hal ini tidak dapat disangkal para ahli, berbagai pengalaman masa
lampau, senantiasa mencari cara teknologi, bagaimana dapat mempertinggi ceiling langit- langit dan kecepatan pesawat udara. Oleh karena itu dalam pertemuan anggota ICAO
International Civil Aviation Organization untuk merumuskan dan mengadakan pembagian wilayah daerah yanng menjadi tanggung jawabnya, dengan sengaja membedakan antara FIR
Flight Information Region dan UIR Upper Flight Information Region, maksudnya ialah dalam pembagian daerah tanggung jawab itu, dirasa perlu menentukan bahwa FIR
memberikan pelayanan terhadap pesawat udara dengan daya terbang sampai jarak ketinggian 20.000 kaki, sedangkan UIR untuk penerbangan di atas jarak ketinggian 20.000 kaki ke atas.
Dengan menentukan hal terakhir maka para ahli sudah dapat meramalkan terlebih dahulu bahwa diwaktu mendatang, akan ada penerbangan yang berada di atas jarak ketinggian
20.000 kaki sampai pada batas yang belum ditentukan. Pesawat udara tipe U-2 kepunyaan Amerika Serikat mempunyai kesanggupan terbang tinggi, hal mana telah menimbulkan
persolan penting sehubungan dengan kedaulatan negara di ruang udara.
Saling tuduh-menuduh terjadi antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet tentang adanya pelanggaran kedaultan sekitar tahun1955 dan tahun 1960.
Peluncuran sputnik oleh Uni Soviet dalam tahun 1957 telah pula menggemparkan dunia, hal ini menunjukkan bahwa dayakesanggupan terbang alat-alat penerbangan makin lama
makin dapat mencapai suatu jarak ketinggian yang tidak terpikirkan sebelumnya. Jadi, walaupun dalam penetapan UIR dikatakan bahwa daerah tanggung jawab tersebut ialah pada
jarak ketinggian 20.000 kaki sampai pada batas yang tidak ditentukan, mungkin belum sampai dipikirkan bahwa pada suatu waktu betul-betul akan ada penerbangan yang
mempunyai kesanggupan terbang sampai mencapai suatu jarak ketinggian yang luar biasa. Dengan perkembangan ini maka persoalan lain yang timbul sehubungan dengan masalah
lalu-lintas ruang udara ini ialah tentang klasifikasi pesawat udara yang dimaksudkan baik dalam Konvensi Paris 1919 maupun Konvensi Chicago 1944.
Klasifikasi pesawat udara diatur dalam Bab VII tercantum dalam pasal 30, 31,32 dan 33 Konvensi Paris 1919, masing-masing mengatur jenis pesawat udara, pesawat udara militer.
Menurut pasal 30 Konvensi Paris 1919 pesawat udara terdiri dari tiga jenis pesawat udara, masing – masing pesawat udara militer yang sepenuhnya digunakan dinas pemerintahan,
seperti bea cukai, polisi dan pesawat udara lainnya. Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas pemerintahan, bea cukai dan polisi termasuk pesawat udara sipil.
35
a. Military aircraft.
Usaha para ahli dalam mengadakan klasifikasi pesawat udara seperti yang dapat dilihat pada pasal 30 Konvensi Paris 1919 mengatakan demikian :
“The following shall be deemed to be state aircraft.
b. Aircraft exclusively employed in State service , such as post, Custom, Police.
Every other aircraft shall be deemed to be private aircraft.
35
Ibid, H. K Martono dan Amad Sudiro, Hal. 37.
All State Aircraft other than military, custom, and police aircraft shall be treated as private aircraft and such as shall be subject to all the provisions of the present
convention.” Yang dimaksud dengan ketentuan yang tertera di atas adalah merujuk kepada ketentuan
mengenai pesawat udara negara yang di dalamnnya termasuk : a.
Pesawat udara militer b.
Pesawat yang secara khusus dipergunakan untuk keperluan negara seperti kegiatan pos, kebiasaan negara dan pelayanan kepolisian.
Diluar daripada ketentuan di atas maka disebut sebagai pesawat udara pribadi, segalanya akan diperlakukan sebagai pesawat pribadi dan dikatakan sebagai subjek
dari semua ketentuan yang ada dalam konvensi. Dalam Konvensi Chicago terdapat pula pasal yang mengadakan klasifikasi pesawat udara.
Pasal 3 Konvensi Chicago yang berbunyi : “Civil and state aircraft.
a. This convention shall be applicable only to civil aircraft, and shall not be
applicable to state aircraft. b.
Aircraft used ini military, custom and police service shall be deemed to be state aircraft.
c. No state aircraft of a contracting state shall fly over the territory of another state
land or land thereon without authorization by special agreement of otherwise, and in accordance with the terms of thereof.
d. The contracting state undertake, when issuing regulations of their state aircraft,
that they will have due regard for the safety of navigation of civil aircraft. Yang dimaksud dengan klasifikasi pesawat udara sebagaimana yang disebutkan diatas antara
lain membedakan yang mana pesawat udara sipil dam pesawat udara negara yaitu :
a. Konvensi ini hanya berlaku kepada pesawat udara sipil, dan tidak berlaku untuk
pesawat udara negara b.
Pesawat udara yang digunakan untuk keperluan militer, keperluan negara dan pelayanan polisi dianggap sebagai pesawat udara negara
c. Tidak ada pesawat udara yang oleh persetujuan negara dapat terbang melampaui
wilayah negara lain atau wilayah lain tanpa ada perjanjian khusus atau sebaliknya dan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud.
d. Persetujuan negara kolong didapat ketika ada penerbitan mengenai regulasi pesawat
negara dikarenakan mereka mendapat penghargaan untuk keamanan navigasi penerbangan sipil.
Lepas dari kekurangan klasifikasi pesawat udara tersebut
36
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, masalah aspek ekonomi angkutan udara diatur secara komprehensif. Hal ini dapat diamati dalam pasal 53 sampai
pasal 138. Dalam pasal –pasal tersebut diatur angkutan udara niaga, pelayanan angkutan udara niaga berjadwal , angkutan udara bukan niaga , angkutan perintis, perizinan angkutan
udara niaga, perizinan angkutan udara bukan niaga, kewajiban pemegang izin angkutan , yang penting dalam membahas
masalah lintas-lintas wilayah udara ini adalah tanggung jawab masing-masing negara terhadap setiap penerbangan yang terjadi dalam daerah tanggung jawabnya baik FIR dan UIR
yang kesemuanya ditunjuk kepada keselamatan pesawat itu sendiri. Suatu hal yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa Konvensi Chicago secara ekplisit mengatakan bahwa
konvensi ini hanya berlaku bagi pesawat udara sipil dan tidak berlaku bagi pesawat udara negara state aircraft. Klasifikasi tersebut tidak hanya terdapat dalam Konvensi Chicago
akan tetapi juga dalam undang-undang penerbangan nasional berbagai negara.
36
Ibid, Frans Likadja hal. 46
udara, jejaring dan rute penerbangan , tarif, kegiatan usaha penunjang angkutan udara sebagai berikut.
Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan secara berjadwal dalam rute penerbangan yang dilakukan secara tetap dan teratur, danatau pelayanan angkutan udara niaga yang tidak
terikat pada rute dan jadwal penerbangan yang tetap dan teratur oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional danatau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus
mengangkut kargo.
37
Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga.
38
1. Angkutan Udara Dalam Negeri
Adapun klasifikasi angkutan udara yang lebih lanjut diatur dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan lebih jelas dapat dilihat sebagai berikut :
Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga
berjadwal. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tersebut dalam hal adanya kebutuhan kapasitas angkutan udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi oelh
kapasitas angkutan udara niaga berjadwal yang dilaksanakan dengan ketentuan angkutan udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE Meeting,
Insentive Travel,Convention and Exhibition, angkutan haji bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan dan kegiatan yang bersifat nasional dan internasional dan
persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk satu kali pada rute yang sama, dapat melakukan
kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari menteri perhubungan. Kegiatan angkutan udara tidak berjadwal yang bersifat
sementara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif instansi pemerintah danatau atas
37
Pasal 83 UURI No.1 Tahun 2009
38
Pasal 84 UURI No.1 tahun 2009
permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional. Kegiatan angkutan udara tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal
tersebut tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang tidak menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan
udara berjadwal lainnya.
39
2. Angkutan Udara Luar Negeri
Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal luar negeri dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional danatau perusahaan angkutan udara
niaga berjadwal asing untuk mengangkut penumpang dan kargo berdasarkan perjanjian angkutan udara yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia
dengan satu negara asing yang menjadi mitra perikatan contracting party atau perjanjian angkutan udara yang bersifat khusus atau umum yang dilakukan oleh
pemerintah Republik Indonesia dengan beberapa negara asing yang menjadi mitra perikatan dan anggota dalam perjanjian ini bersifat tetap. Dalam hal angkutan niaga
berjadwal luar negeri tetap harus diatur dengan perjanjian bilateral. Perjanjian bilateral atau multilateral tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan mempertimbangankan kepentingan kedaulatan negara, keutuhan wilayah nasional, kepentingan ekonomi nasional dan kelangsungan badan
usaha angkutan udara nasional.berdasarkan prinsip keadilan fairness dan timbal balik reciprocity. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional untuk
mengangkut penumpang dan kargo tersebut harus merupakan badan usaha angkutan udara niaga yang ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia dan mendapat
persetujuan dari negara asing yang bersangkutan. Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing tersebut merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah
39
Pasal 85 UURI No.1 tahun 2009
ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.
40
Dalam hal ini indonesia melakukan perjanjian yang dilakukan antara satu negara dan organisasi komunitas negara atau antar organisasi komunitas negara, yang
keanggotaannya bersifat terbuka.mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara asing, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan perjanjian
bilateral dengan masing-masing negara anggota komunitas tersebut. Dalam hal Indonesia sebagai anggota dari suatu organisasi komunitas negara yang melakukan
perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara lain, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati
dalam perjanjain tersebut. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerjasama angkutan udara dengan badan usaha angkutan udara niaga
berjadwal nasional lainnya untuk melayani angkutan dalam negeri dan atau luar negeri. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan
kerjasama dengan perusahaan angkutan udara asing untuk melayani angkutan udara luar negeri.
41
Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing khusus mengangkut kargo dapat menurunkan dan menaikkan kargo di wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian
bilateral dan multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak. Perjanjian bilteral dan multilateral tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik. Perusahaan angkutan udara niaga
berjadwal asing khusus mengangkut kargo tersebut harus merupakan perusahaan
40
Pasal 86 UURI No.1 tahun 2009
41
Pasal 87 UURI No.1 tahun 2009
angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.
42
Pembukaan pasar angkutan udara dengan memberikan peluang kesempatan kepada perusahaan angkutan udara asing untuk melayani penerbangan dari wilayah
Republik Indonesia dengan pembatasan hak angkut udara, menuju ruang udara pelaksanaanhaka angkut udara tidak membatasi, antara lain, tempat tujuan, frekuensi
penerbangan, kapasitas angkut, penerapan tarif, dan kebebasan di udara freedom of the air dari dan ke Indonesia untuk angkutan udara niaga asing dilaksanakan antara
lain, sesuai dengan kesiapan daya saing perusahaan angkutan udara nasional berdasarkan perjanjian bilateral dan multilateral dan pelaksanaannya melalui
mekanisme yang mengikat para pihak. Perjanjian bilateral dan multilateral tersebut dibuat sesuai denga ketentuan peraturan perundang-undangan dan
mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik.
43
3. Angkutan Udara Tidak Berjadwal
Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan
udara niaga tidak berjadwal. Angkutan udara tidak berjadwal dalam negeri tersebut dilaksanakan berdasarkan persetujuan terbang flight approval. Badan usaha tersebut
dalam keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute tertentu dan bersifat
sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Menteri perhubungan. Kegiatan angkutan udara niaga
bersifat berjadwal yang bersifat sementara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif
42
Pasal 88 UURI No.1 tahun 2009
43
Pasal 89 UURI No.1 tahun 2009
instansi pemerintah, pemerintah daerah dan atau badan usaha angkutan udara niaga nasional. Kegiatan angkutan udara berjadwal tersebut tidak menyebabkan
terganggungnya pelayanan angkutan udara pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha udara niaga berjadwal lainnya.
44
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama bukan untuk tujuan wisata affinity
group ; kolompok penumpang yang membeli seluruh atau kapasitas pesawat udara untuk melakukan paket perjalanan termasuk pengaturan akomodasi dan transportasi
lokal inclusive tour charter antara lain untuk keperluan haji, umroh, paket wisata, dan MICE ; seorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk
kepentingan sendiri own use charter; taksi udara air taxi ; atau kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya antara lain dalam satu pesawat terdiri dari
berbagai kelompok dan dengan tujuan yang berbeda-beda split charter, untuk orang sakit, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan terjun payung.
45
Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional wajib mendapat persetujuan terbang dari
Menteri Perhubungan. Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga asingwajib mendapat
persetujuan terbang dari menteri setelah mendapat persetujuan terbang dari menteri yang membidanig urusan luar negeri berupa diplomatic clearance dan meneteri yang
membidangi urusan pertahanan berupa security clearance.
46
Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali
penumpangnya sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya in-bound
44
Pasal 91 UURI No.1 tahun 2009
45
Pasal 92 UURI No.1 tahun 2009
46
Pasal 93 UURI No.1 tahun 2009
traffic. Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asingyang melanggar ketentuan mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia dikenakan sanksi berupa
denda administratif tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak.
47
Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus mengangkut kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut dari wilayah Indonesia, kecuali
dengan izin Menteri Perhubungan. Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkutan kargo dari wilayah Indonesia, dikenakan sanksi berupa
administratif. Besaran denda administratif karena mengangkut kargo dari wilayah Indonesia tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara
bukan pajak. Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan
Menteri Perhubungan
48
4. Angkutan Udara Bukan Niaga
.
Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga keagamaan, lembaga sosial, dan perkumpulan olah raga,
orang perseorangan danatau badan usaha Indonesia lainnya. Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa angkutan udara untuk kegiatan keudaraan aerial work, misalnya
kegiatan penyemprotan pertanian, pemadam kebakaran, hujan buatan, pemotretan udara, survei dan pemetaan, pencarian pertolongan , kalibrasi, serta patroli ; angkutan
udara untuk kegiatan pendidikan dan atau pelatihan personel pesawat udara atau angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan
udara niaga.
49
47
Pasal 94 UURI No.1 tahun 2009
48
Pasal 95 UURI No.1 tahun 2009
49
Pasal 101 UURI No.1 tahun 2009
Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga dilarang melakukan kegiatan angkutan udara niaga, kecuali atas izin Menteri Perhubungan. Izin menteri
perhubungan tersebut dapat diberikan kepada pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga untuk melakukan kegiatan angkutan penumpang dan barang pada daerah
atau wilayah yang tidak dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga, dengan memenuhi antara lain, asuransi, menerbitkan tiket, melaporkan atau menyerahkan
manifes kepada penyelengara bandara udara, dan persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama enam bulan dan hanya dpat diperpanjang
untuk satu kali pada rute yang sama. Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tanpa izin Menteri Perhubungan
tersebut dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin; dan atau pencabutan izin.
50
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan
Menteri Perhubungan.
51
5. Angkutan Udara Perintis
Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional
berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan badan usaha angkutan udara nasional setelah dilakukannya proses pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dengan pemerintah. Dalam penyelenggaraan angkutan udara perintis tersebut pemerintah wajib menjamin ketersediaan laham, prasarana angkutan udara,
keselamatan dan keamanan penerbangan, seta kompensasi antara lain, memberikan subsidi tambahan. Angkutan udara perintis dilaksanakan secara terpadu dengan sektor
lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah. Angkutan udara perintis
50
Pasal 102 UURI No.1 tahun 2009
51
Pasal 103 UURI No.1 tahun 2009
dievaluasi oleh pemerintah setiap tahun. Hasil evaluasi tersebut dapat mengubah suatu rute angkutan udara perintis menjadi rute komersial.
52
Dalam hal tidak tersedianya badan usaha angkutan udara niaga untuk melayani kegiatan angkutan udara perintis oada suatu lokasi, angkutan udara perintis
diselenggarakan oeleh pemerintah dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.
53
Badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan udara perintis yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemegang izin
kegiatan angkutan udara bukan niaga tersebut diberi kompensasi untuk menjamin kelangsungan pelayanan angkutan udara perintis sesuai dengan rute dan jadwal yang
telah ditetapkan. Kompensasi tersebut dapat berupa pemberian rute lain diluar rute perintis bagi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal untuk mendukung kegiatan
angkutan udara perintis; bantuan baiay operasi angkutan udara; danatau bantuan biaya angkutan bahan bakar minyak.
54
D. Pengaturan Hukum Tentang Angkutan Udara Atau Penerbangan