21
berlaku adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim. Apabila syarat- syarat ini sudah terpenuhi secara kumulatif, maka barulah Pengadilan Agama
memberi izin kepada pemohon untuk melaksanakan perkawinan lebih dari satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan
sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak berdasarkan hukum dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi
sebagaimana tersebut dalam pasal 44 dan 45 undang-undang perkawinan. Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal
yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya
secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan isteri muda
madunya istri tua menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan ibu itu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan
hidupnya, hal ini terjadi biasanya kalau ayah meninggal dunia. Agar hal-hal yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang
kawin lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan
mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-undang perkawinan
22
memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanankan itu betul- betul membawa manfaat kepada mereka yang melaksanakannya.
18
3. Poligami dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
a. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Kendatipun UUP perkawinan menganut asas monogami. Seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam
keadaan tertentu poligami dibenarkan. Klausul kebolehan poligami didalam UUP sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-
pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.
19
Dalam Pasal 4 UUP dinyatakan, seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
1 Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2 Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. 3
Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk
poligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas
18
Ibid., hal. 10.
19
Nuruddin, Amir dan Akma, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 11974 sampai KHI. Jakarta: Kencana, 2004, hal. 161.
23
yang dianut UU perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka atau meminjam bahasa Yahya Harahap,
monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan di status hukum yang darurat emergency law, atau dalam keadaan yang luar biasa
extra ordinary circumstance. Di samping itu lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim
pengadilan.
20
Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 di katakan bahwa: “Pengadilan dapat memberi izin kepada sorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Dengan ayat ini, jelas sekali UUP telah melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan
kebolehan poligami bagi seorang. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan bahwa:
“Pengadilan dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat
pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami”.
Berkenaan dengan pasal 4 di atas setidaknya menunjukan ada tiga alasan yang dijadikan dasar mengajukan permohonan poligami.
20
Ibid., hal. 162.
24
Ternyata UU Perkawinan juga memuat syarat-syarat untuk kebolehan poligami. Seperti yang termuat dalam pasal 5 ayat 1 UUP,
syarat-syarat yang dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami ialah:
1 Adanya persetujuan dari istri.
2 Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka. 3
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.
Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5 adalah, pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya satu harus
ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedanagkan pasal 5 adalah persyaratan komulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi
suami yang akan melakukan poligami. Pada pasal 5 ayat 2 kembali di tegaskan bahwa:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri-istrinya tidak mungkin
dimintai persetujuanya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 dua
tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hukum pengadilan.
25
b. PP No 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974
Menyangkut prosedur melaksanakan poligami aturannya dapat dilihat dalam PP No. 9 th 1975. Pada pasal 40 dinyatakan bahwa:
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis pada
pengadilan.Sedangkan tugas pengadilan diatur dalam pasal 41 PP No. 9 th 1975 sebagai berikut:
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai: 1
Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.
2 Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus di ucapkan di depan sidang pengadilan.
3 Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan: a
Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.
b Surat keterangan pajak penghasilan.
c Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.