Poligami dalam PP No. 9 Tahun 1975 Poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990

52 Belakangan aliran hukum adat yang dipelopori oleh Voller Hoven, Ferhar dan juga Snouck Hourgrounye, menentang teori Receptie In Complexu. Dengan teori resepsinya yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diberlakukan bagi pribumi apabila sudah diterima oleh hukum adat. Mereka berhasil memasukan prinsip teori itu kedalam UUD Hindia Belanda yang baru IS-Indisches Staatregeling 1919 dalam pasal 134 ayat 2 yang berbunyi: Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonansi. Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 membentuk sebuah komisi untuk meninjau kedudukan dan wewenang dari priesterrad. Diketuai oleh wakil penasehat urusan pribumi dan Islam, dua orang bupati, dua orang penghulu, seorang tokoh pergerakan Islam dan juri Belanda Terhater. Setelah bekerja selama empat tahun maka pada tahun 1926 komisi itu menyampaikan hasil kerjanya, berupa sebuah rancangan ordonansi tentang penghoeleogerecht pengadilan penghulu yang baru diumumkan dengan stb. 1931 No. 153. Kemudian pada saat yang bersamaan penguasa Hindia Belanda melakukan tindakan yang dapat diambil manfaatnya oleh Al-Tasyrifil 53 Munakahat yaitu mempertegas kebiasaan pencatatan nikah, talak, rujuk NTR dengan adanya berbagai ordonansi. b. Periode 1945 sampai dengan tahun 1985 Pemerintah Republik Indonesia menemukan kenyataan bahwa hukum Islam yang berlaku itu tidak tertulis dan terserak-serak di berbagai kitab yang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu dnegan yang lain. Pada tanggal 22 November 1946 di Linggarjati Cirebon oleh presiden RI ditetapkan UU No. 22 tahun 1946 tentang penyatuan pencatatan NTR Nikah, Talaq, Cerai menggantikan ordonansi-ordonansi perkawinan yang sebelumnya. Ini merupakan undang-undang pertama dalam sejarah kemerdekaan, yang jelas menyangkut pelaksanaan syariat Islam, sekalipun belum memasuki materi hukum perkawinannya sendiri. Pada saat itu dipisahlah fungsi penghulu selaku kepala pencatat nikah dengan hakim atau ketua pengadilan agama dengan penetapan menteri No. 6 tahun 1947 atas usul konferensi jawatan urusan agama se-Jawa dan Madura tanggal 12-16 Desember 1947 di Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan dengan terbentuknya RIS serta Negara kesatuan. Pelaksanaan UU No.22 tahun 1946 tentang pencatatan NTR ini. Diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954. Pada tahun 1970 dalam pola pembangunan nasional sementara berencana disebutkan adanya lingkungan peradilan yang harus didasarkan 54 pada kriteria zakelijk yaitu a Umum b Agama dan c Militer yang kemudian ditambah dengan saran MPRS tentang diadakannya peradilan administrasi dan pokok fikiran yang disusun oleh para praktisi hukum. Penyusuan perundang-undangan semasa orde lama itu ternyata dapat bertahan sampai orde baru, sehingga lahirnya UU No. 14 tahun 1970 yang menegaskan adanya empat lingkungan peradilan. Proses penyusuan undang-undang perkawinan 1974 merupakan sebuah uji coba bagi pemerintah orde baru dan Golkar tentang pandangan dan penilaian mereka terhadap Islam. maka setelah presiden Soeharto mene gaskan pendiriannya Isra Mi‟raj di Masjid Istiqlal 26 agustus 1973 bahwa tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau pemerintah mengajukan yang bertentangan dengan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat yang ada di Indonesian dan bahwa tidak benar RUU perkawinan yang diajukan oleh pemerintah itu bertentangan dnegan agama Islam. Maka tidak ada lagi perbedaan pandangan diantara anggota yang beragama Islam baik ia Golkar, PPP, PDI, atau ABRI. Menjelang akhir tahun 1987 telah terbentuk instansi Peradilan Agama di seluruh Indonesia kecuali Timor Timur. Sesuai dengan pemekaran daerah tingkat II, dan hampir di semua ibukota propinsi sudah dibentuk Pengadilan Tinggi Agama yang secara fisik sekitar 92 telah menempati gedungnya sendiri. Adapun penyusunan RUU Peradilan