42
kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia
pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al- Islam yaitu Muhammad Ju„ayad untuk memberlakukan undang-undang
secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-
hasil komite Lai‟hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki Utsmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum
keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.
31
2. Poligami di Tunisia
Pasal 18 Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan bahwa beristri lebih dari seorang adalah perbuatan yang dilarang. Demikian
pula, undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa seorang pria yang telah menikah, dan nikahnya belum putus secara hukum, menikah lagi, dapat
diancam hukuman penjara satu 1 tahun atau denda setinggi-tingginya 240.000 Malim.
Adapun dasar larangan poligami yang digunakan Pemerintah Tunisia, menurut John L. Esposito, adalah: 1 bahwa poligami, sebagaimana
perbudakan, merupakan instituti yang selamanya tidak dapat diterima
31
Ibid.,hal. 41.
43
mayoritas umat manusia di manapun; 2 Ideal al- Qur‟an tentang perkawinan
adalah monogami. Di sini, menurut Esposito, pandangan Muhammad Abduh tentang ayat poligami dirujuk oleh pemerintah Tunisia. Menurut Abduh, al-
Qur‟an IV:3 memberi izin utuk beristeri 4 orang secara serius telah dibatasi oleh al-
Qur‟an sendiri IV:129. Dengan demikian, ideal al-Qur‟an adalah monogami, lebih dari itu, syarat yang diajukan, supaya suami berlaku adil
terhadap istri-istrinya, adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealisasi dengan sepenuhnya.
32
Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi- kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada
umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam dan
lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi, sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi
peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden Bourguiba secara terang-
terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani
manusia —misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur
dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moder
n saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan
32
M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikh, hal. 84.
44
jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai
manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.
33
Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para
istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya
sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat
diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama egaliter dimana para istri diperlakukan dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan
ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara
singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.
34
3. Poligami dalam Regulasi Perundang-undangan di Tunisia
Hukum keluarga Tunisia telah direformasi dan dikodifikasi setelah negeri itu memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan,
beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia berfikir bahwa dengan melakukan
33
Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”.
34
Ibid., hal. 5.
45
fusi terhadap mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang disesuaikan
dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial Tunisia. Sekelompok ahli hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi
dan Maliki, dan dipublikasikan dibawah judul Laihat Majallat al Ahkam al Syar’iyyah Draft Undang-Undang Hukum Islam. Akhirnya, pemerintah
membentuk sebuah komite dibawah pengawasan Syekh Islam, Muhammad Ja‟it, guna merancang Undang-Undang secara resmi.
Bersumber dari Laihat dan Undang-Undang Hukum keluarga Mesir, Jordania, Syiria dan Turki Usmani, panitia tersebut mengajukan Rancangan
Undang-Undang Hukum Keluarga kepada Pemerintah. Rancangan tersebut akhirnya diundangkan di bawah judul Majallah al Ahwal al Syahsiyyah
Code of Personal Status 1956, berisi 170 pasal, 10 buku dan diundangkan keseluruh wilayah Tunisia pada tanggal 1 januari 1957.Undang-undang
tersebut berisi tentang perkawinan diantaranya mengenai usia untuk menikah, perjanjian perkawinan, poligami, pernikahan yang tidak sah
invalid, perceraian, talak tiga Tripel Divorce, nafkah bagi isteri, pemeliharaan anak, hukum waris, ketentuan wasiat Bequest.Namun, dalam
perjalannya, undang-undang ini mengalami modifikasi dan perubahan amandemen beberapa kali, yaitu melalui UU No. 701958, UU No. 411962,