Poligami dalam Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

54 pada kriteria zakelijk yaitu a Umum b Agama dan c Militer yang kemudian ditambah dengan saran MPRS tentang diadakannya peradilan administrasi dan pokok fikiran yang disusun oleh para praktisi hukum. Penyusuan perundang-undangan semasa orde lama itu ternyata dapat bertahan sampai orde baru, sehingga lahirnya UU No. 14 tahun 1970 yang menegaskan adanya empat lingkungan peradilan. Proses penyusuan undang-undang perkawinan 1974 merupakan sebuah uji coba bagi pemerintah orde baru dan Golkar tentang pandangan dan penilaian mereka terhadap Islam. maka setelah presiden Soeharto mene gaskan pendiriannya Isra Mi‟raj di Masjid Istiqlal 26 agustus 1973 bahwa tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau pemerintah mengajukan yang bertentangan dengan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat yang ada di Indonesian dan bahwa tidak benar RUU perkawinan yang diajukan oleh pemerintah itu bertentangan dnegan agama Islam. Maka tidak ada lagi perbedaan pandangan diantara anggota yang beragama Islam baik ia Golkar, PPP, PDI, atau ABRI. Menjelang akhir tahun 1987 telah terbentuk instansi Peradilan Agama di seluruh Indonesia kecuali Timor Timur. Sesuai dengan pemekaran daerah tingkat II, dan hampir di semua ibukota propinsi sudah dibentuk Pengadilan Tinggi Agama yang secara fisik sekitar 92 telah menempati gedungnya sendiri. Adapun penyusunan RUU Peradilan 55 Agama sampai pada pengesahan di Forum DPR merupakan hasil kerja sama yang kompak sekali antara Departemen Agama, Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman suatu suasana yang tidak mungkin terbayangkan dapat tejadi pada masa orde lama. c. Periode 1985 sampai sekarang Periode ini dimulai sejak ditandatangani surat keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang penunjukan pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam melalui Yurisprudensi No. 07KMA1985 DAN No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta. Di dalam bukunya Bustanul Arifin mengatakan bahwa ide KHI timbul setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung membina bidang teknis yustisial peradilan agama. Berdasarkan keterangan tersebut telah tampak bahwa ide untuk mengadakan KHI ini memang baru muncul sekitar tahun 1985 dan kemunculannya ini merupakan hasil kompromi antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Tugas pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 11 ayat 1 yang mengatakan bahwa orgnaisasi administrasi dan keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing. Sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh MA. Selama pembinaan teknis yustisial Peradilan Agama 56 oleh Mahkamah Agung terasa adanya beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama yang cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir setiap persoalan. Melalui keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07KMA1985 No. 25 tahun 1985 tentang penunjukkan pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang berlangsung untuk jangka waktu dan tahun. Menurut lampiran surat keputusan bersama tanggal 21 maret 1985 ditentukan bahwa tugas-tugas proyek tersebut adalah untuk melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasarannya mengkaji kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional. seperti yang sudah diketahui Kompilasi Hukum Islam KHI, terdiri atas tiga buku. Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang kewarisan, Buku III tentang perwakafan. Keberanian KHI mengambil alih aturan tersebut merupakan langkah maju secara dinamis, aktualisasi hukum Islam di bidang poligami, keberanian untuk mengaktualkan dan membatasi kebebasan poligami 57 didasarkan atas alasan ketertiban umum. 41 Hukum poligami adalah boleh, dan kebolehan itupun harus ditelusuri sejarah digantungkan, pada situasi dan kondisi masa permulaan Islam. 42

B. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Tunisia

Latar belakang terjadinya reformasi dan kodifikasi hukum Islam di Tunisia, tidak banyak berbeda dengan proses yang terjadi di Mesir dan negara- negara Timur Tengah lain. Sebelum dominasi Turki Usmani di Tunisia, sebagian besar umat Islam Tunisia mengikuti ketentuan-ketentuan hukum Islam menurut mazhab Maliki. Akan tetapi setelah secara resmi pemerintah Turki mengadopsi mazhab Hanafi untuk wilayah Tunisia, akhirnya mazab Hanafi pun berpengaruh juga di Tunisia. Konsekuensinya kasus-kasus tertentu harus diputuskan menurut sistem hukum yang dianut oleh para pihak yang mengajukan perkara ke pengadilan. Karena itu, dalam lembaga peradilan terdapat dua majlis hakim, yaitu dari mazhab Hanafi dan dari mazhab Maliki yang berwenang terhadap yurisdiksi masing-masing. Sejak tahun 1883, Tunisia berada dalam dominasi politik Prancis, yang ternyata berpengaruh pula dalam bidang hukum. Selama periode ini, budaya hukum di Tunisia mengalami pem-Barat-an secara luas. Hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang dan hukum Acara yang berlaku sampai tahun 1956 41 Dadan Muttaqien, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2000, hal.101. 42 Ibid.,hal. 101. 58 menggambarkan secara jelas prinsip-prinsip yurisprudensi dan Hukum Perdata Prancis. Alam kemerdekaan membawa Tunisia mempunyai kesempatan memodifikasi beberapa ketentuan hukum pra kemerdekaan di samping membuat hukum-hukum baru, baik hukum perdata maupun hukum pidana. 43 Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu: 1 Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki; 2 Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri; 3 Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim; 4 Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik; 5 Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas; Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957.dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang awalnya mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan. 43 M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikih, hal. 85. 59 Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18 menyatakan: 1 Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya. 2 Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama. 3 Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama. UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat lain dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya Q.S. an-Nisa [4] : 3. Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan wahyu Q.S. an-Nisa [4]: 129, keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha ’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat 60 begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin cintanya. 44 Pelarangan poligami ini terkait dengan prinsip pernikahan yang diperdebatkan kalangan ulama Tunisia dan para pembaharu di negeri itu. Menurut para pembaharu Tunisia, prinsip pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami. Praktik poligami di Tunisia, menurut para pembaharu Tunisia, selalu menyuguhkan fenomena kehidupan yang tidak menyenangkan. Banyak kaum perempuan dan anak-anak yang terlantar. Karena itu, beberapa negara Islam seperti Maroko, Aljazair, dan Mesir memperketat praktik poligami. Tunisia bahkan secara tegas melarangnyadan menghukum pelakunya dengan hukuman penjara dan atau denda dengan sejumlah uang. 45 Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat 3. Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan nafkah topangan finansial, namun juga dengan cinta dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada 44 Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”. 45 Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009, hal. 110.