b. Motivasi berbuat baik dan menghindari yang jahat akan selalu muncul setiap waktu dan tempat, tanpa harus diawasi guru atau dibujuk dengan
hadiah dan ancaman. c. Membangkitkan dan mendidik perasaan rabbaniyah yakni perasaan takut
melanggar aturan-Nya.
18
B. Santri Dan Pesanten
1. Pengertian
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awal pe- dan akhiran -an yang berarti menunjukkan tempat,
maka artinya adalah tempat para santri. Dalam arti yang lebih umum pesantren dapat diartikan sebagai lembaga pengajaran dan pelajaran ke-Islaman atau
sedangkan kata santri, kata ini mempunyai dua pengertian, yaitu; 1 orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang shaleh dan 2 orang yang mendalami
pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya.
Adapun pengertian santri yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah santri dalam arti yang kedua. orang yang mendalami pengajiannya dalam agama
Islam dengan berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya.
19
2. Sejarah Perkembangan Pesantren
Terus terang, tak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok pesantren pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman
permulaan. Bahkan istilah pondok pesantren, santri, dan kyai masih diperselisihkan.
Terlepas dari itu, karena yang dimaksudkan dengan istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama
Islam, dan pengembangan Islam di tanah air khususnya di Jawa dimulai dan dibawa oleh Wali Songo, maka model pesantren di pulau Jawa juga mulai berdiri
dan berkembang bersamaan dengan zaman Wali Songo. Karena itu, tidak
18
Hasyim Asy’ari, Akhlak Pesantren, Ittaqa Press, Cet. I, Yogyakarta: 2001, h. 54-60
19
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, CV. Kartika, Surabaya: 1997, h. 169
berlebihan bila dikatakan bahwa pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim yang wafat
pada 12 Rabiul Aval 822 H, bertepatan dengan 8 April 1419 M dan dikenal juga sebagai Sunan Gresik, orang yang pertama dari sembilan wall yang tcrkenal
dalam penyebaran Islam di .lawa. Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan
mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat sunan Ampel. la mendirikan pesantren di Kembang Kuning yang pada
waktu didirikannya hanya memiliki tiga orarig santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairoh dan Kyai Bang K.uning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta,
Surabaya, dan mendirikan Pondok Pesantren di sana. Akhirnya beliau dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.
Misi keagamaan dan pendidikan Sunan Ampel mencapai sukses sehingga beliau dikenal cleh masyarakat Majapahit. Kemudian bermunculan pesantren-
pesantren baru yang didirikan oleh para santri dan putera beliau. Misalnya pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Fatah dan Pesantren
Tuban oleh Sunan Bonang. Dari sekian banyak santri Sunan apel hanya Raden Fatah dan Sunan Giri yang
secara khusus mempergiat usaha-usaha pendidikan dan pengajaran Islam secara berencana dan teratur.
Pada sekitar tahun 1476. Raden Fatah membentuk organisasi pendidikan dakwah Bhayangkari Ishlah angkatan pelopor kebaikan yang merupakan
organisasi pendidikan dan pengajaran Islam yang pertama di Indonesia. Setelah kerajaan Islam Demak berdiri pada tahun 1500 M, program kerja
Bhayangkari Islah lebih disempurnakan dengan mengadakan tcmpat-lcmpat slratcgis yang mcmiliki scbuah masjid di bawah pimpinan seorang badal
pembantu. Tempat-tempat ini menjadi sumber ilmu dan pusat pendidikan Islam seperti pondok pesantren.
Bhayangkari ishlah disebarkan melalui jalan kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat, asal tidak menyalahi aturan dan dikendalikan oleh nilai-nilai Islam
yang ketat oleh Wali Songo. Sehingga semua cabang kebudayaan nasional kala itu
seperti filsafat hidup, kesenian, kesusilaan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan sebagainya diajarkan di masjid dengan anasir-anasir pengajaran dan pendidikan
Islam. Kitab-kitab yang diajarkan saat itu hanyalah Usul Nembis, karangan ulama Samarkand, yang berisi tentang ilmu agama Islam paling awal. Kitab lain
misalnya Tafsir Jalalain karangan Syekh Jalaludin al-Mahalli dan Jalaludin as- Suyuthi, serta suluk-suluk, misalnya: Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga,
Wasito Jati Sunan Gunung Jati yang berisi ajaran -ajaran tasawuf. Pada tahun 1568, kerajaan Demak dan pemerintahan Islam pindah ke Pajang
di bawah kekuasaan Sultan Adiwijoyo Joko Tingkir. Walaupun demikian, usaha memajukan masjid dan pondok pesantren tidak berkurang. Akan tetapi setelah
pusat kerajaan Islam berpindah dari Pajang ke Mataram pada tahun 1588, mulai terjadi perubahan dalam pengajaran Islam, terutama pada masa pemerintahan
Sultan Agung 1613. Perubahan tersebut bersifat persuasif-adaptif clibidang kebudayaan yang disesuaikan dengan agama dan kultur Islam, misalnya; Grebeg
Poso, Grebeg Maulud, Ruwahan, Sekaten, Peralihan dari kalender Jawa ke kalender Arab Hijriah, sistem numerology petungan dan primbon.
Walau demikian, perubahan tersebut tidak membawa akibat buruk bagi pesantren, bahkan semakin baik. Pesantren malah dijadikan lembaga pendidikan
formal. Anak-anak muslim di wilayah kckuasaan Mataram diwajibkan mengikuti pengajian al-Quran setiap hari di surau-surau untuk tingkat dasar dan pesantren-
pesantren untuk tingkat lanjut. Para santri yang telah mengkhatam al-Quran di surat, melaniutkan studinya
pada tempat Pengajian kitab yang di asuh oleh modin desa yang terpandai di wilayah itu atau modin lain yang memenuhi syarat. Guru-guru agama tersebut
digelari kyai Anom dan tempat pengajarannya tersebut pesantren. Para santri harus tinggal di asrama yang dinamai pondok dekat pesantren tersebut.
Biasanya, mereka menelauh kitab di serambi jerambah masjid. Untuk melanjutkan pendidikan dari pesantren desa ke pesantren besar, seorang
santri harus memondok di pesantren besar tingkat kebupaten kadipaten. Guru di pesantren besar ini bergelar kyai sepuh atau kanjeng kyai. Mereka adalah ulama
kerajaan. Para kyai Anom menyebut mereka room kyai, sedangkan masyarakat menyebutnya kanjeng kyai.
Kitab-kitab yang dinjarkan adalah usul nembis, matan taqrib, bidayatvl hidayah, dan kitab-kitab besar lain berbahasa Arab, yang kemudian diterjemahkan
ke clalam bahasa jawa secara prakata. Metode pengajarannya melaui sorogan bagi santri pemula dan halaqah bagi santri senior.
Dengan sistem pengajaran dan pendidikan seperti itu, Islam mengakar kuat di hati masyarakat Muslim di Jawa. Pada sisi lain, perkembangan Islam dan lembaga
pesantren yang begitu pesat justru membuat pemerintahan Belanda yang saat itu mulia menguasai Mataram merasa khawatir dan takut, perkembangan dan
kedudukan pesantren akan menggoyahkan kekuasaan Belanda di Nusantara. Karena itu, sejak terjadinya perjanjian Gianti yang membelah Mataram menjadi
dua pada tahun 1755, pemerintah kolonial Belanda selalu berusaha menghasut dan mengadu domba dua kerajaan Islam tersebut. Dalam proses itu, Belanda secara
terencana berusaha melumpuhkan kekuatan Islam. Sejak itu, pciulidikan dun perkembangan pesantren mulai dihalangi dan
dihambat oleh Belanda. Bahkan tidak hanya pesantren, aktivitas masyarakat Muslim untuk menjalankan kewajiban agamanya juga dibatasi. Selain
mengekang, perkembangan Islam dan pesantren, Belanda juga menyokong dan menyebarkan agama Kristen.
Sekitar tahun 1900-an, untuk menyempurnakan misinya dalam menekankan dan menghancurkan Islam di Indonesia umumnya dan Jawa Khususnya, Belanda
menghilangkan pengajaran sistcm pesantren dan melaksanakan pendidikan kelas atau sekolah.
Karena batasan-batasan dan larangan-larangan tersebut, perkembangan Islam dan pesantren sangat terhambat. Akibatnya, pemahaman masyarakat tentang
ajaran Islam sangat minim dan memprihatinkan. Sedemikian parahnya, sehingga menurut pengamatan Poensen, pengetahuan keislaman masyarakat Muslim hanya
sebatas khitan, puasa dan larangan mengkonsumsi daging babi. Dalam hal akidah, nielanggar prinsip tauhid.
Meskipun begitu. tidak berarti lembaga pesantren mati sama sekali. Pesantren masih tetap bertahan, walau dalam kondisi yang sangat terjepit dan tertekan.
Bahkan kondisi tersebut menyadarkan orang-orang pesantren akan jati dirinya. Pada akhir abad 19, lahir kegairahan dan semangat baik dari kalangan muslim,
terutama kyai dan santri, dalam kehidupan keagamaan. Pesantren berusaha keluar dari ketertinggalannya. Para kyai muda yang baru menyelesaikan pendidikannya
di Mekkah mempelopori membuka pendidikan sistem baru yang diposisikan sebagai tandingan sistem sekolah yakni pendidikan sistern madrasah. Dengan
sistem baru ini pesantren dapat berkembang kembali dengan baik dan cepat. Bahkan para kyai pun mampu mengkonsolidasikan kedudukan pesantrennya
dalam menghadapi perkembangan sekolah-sekolah Belanda. Bila sebelumnya sebuah pesantren besar hanya memiliki sekitar dua ratus santri, maka dengan
sistem baru tcrsebut, ada pesantren yang mempunyai santri lebih dari 1500 orang, misalnya pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Di sisi lain, penindasan dan pcngekangan Belanda terhadap masyarakat dan perkembangan Islam telah membuat kalangan pesantren bcnci dan menentang.
Kebencian dan
pertentangan kalangan
pesantren terhadap
Belanda dimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi.
Pertama, uziah atau pengasingan diri. Mereka menyingkir ke desa-desa atau tempat terpencil yang jauh dari jangkauan suasana kolonial. Kedua, bersikap non
kooperatif dan mengadakan perlawanan secara diam-diam. Selain menelaah kitab dan memperdalam pengetahuan keagamaan, para kyai menumbuhkan semangat
jihad para santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang perjanjian. Para kyai berfatwa bahwa membela negara dari ancaman negara asing termasuk bagian
dari iman. Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan fisik terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, pondok pesantren sering mengadakan
perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia.
Menurut Clifford Geerts, antara 1820-1880 telah terjadi empat kali, pemberontakan besar kaum santri di Indonesia, yaitu:
1. Pemberontakan kaum
Paderi di
Sumatera Barat
1821-1828, pemberontakan ini dipelopori kaum santri di bawah pimpinan Tuanku
Imam Bonjol yang terkenal Julukan Harimau Nan Salafan. 2. Pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah 1828-1830.
Pemberontakan ini timbul akibat tumbuhnya gerakan Mahdi yang melancarkan perang salib terhadap imperialis Belanda dan para
pembantunya. 3. Pemberontakan di Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah
itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakukan tanam paksa. Peristiwa ini dikenal sebagai Pemberontakan Petani yang
meletus pada tahun 1934, 1836 dan 1849. kemudian pecah kembali padatahun 1880 dan 1888.
4. Pemberontakan di Aceh 1873-1903 yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar, Panglima Polim dan Teuku Cik Di Tiro.
20
Berbagai perlawanan yang dilakukan kalangan pesantren untuk mengusir penjajah memberikan aspirasi dan pengaruh besar bagi pergerakan kaum santri di
kemudian hari. Memberikan dasar kontemplasi agar setiap perjuangan menegakkan kebenaran terorganisasi dengan baik. Ali bin Abi Tholib r.a. pernah
mengatakan bahwa Perjuangan untuk menegakkan kebenaran yang tidak terorganisasi dapat dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisasi
. Dan benar, semua yang dilakukan para santri tersebut kemudian mengilhami berdirinya
perkumpulan Syarikat Islam SI yang bertujuan memajukan dan menumbuhkan rasa nasionalisme dalam dada setiap Muslim.
Setelah pesantren berkembang pesat lagi pada awal abad ke-20 dengan dibukanya sistem madrasah yang didukung para ulama yang baru kembali dari
tanah suci, maka untuk mengekang dan membatasi perkembangan tersebut, Belanda mengeluarkan Ordonansi Guru Baru pada tahun 1925 sebagai ganti
ordonanasi guru tahun 1905. Bila ordonansi guru 1905 hanya diperuntukkan bagi Jawa-Madura, maka ordonansi guru 1925 ini diperuntukkan bagi semua wilayah
Hindia -Belanda. Isi ordonansi guru yang tertuang dalam staatsblaad 1925 no. 219 adalah
sebagai bcrikut: 1. Setiap guru agama harus menunjukkan bukti tanda terima pemberitahuan.
20
Moch. Qosim Mathat, Sejarah, Teologi dan Etika, Dian Interfidei, Cet. I, Yogyakarta: 2003, h. 98.
2. Setiap guru harus mengisi daftar murid dan pelajaran yang sewaktu-waktu bisa diperiksa pejabat yang berwenang.
3. Pengawasan dinilai perlu untuk menjaga ketertiban dan keamanan umum. 4. Bukti kelayakan bisa dicabut bila guru yang bersangkutan aktif
memperbanyak murid dengan maksud yang dapat dinilai sebagai mencari uang.
5. Guru agama Islam bisa dihukum maksimal enam hari kurungan atau denda maksimal f. 25 bila mengajar tanpa surat tanda terima laporan, tidak benar
keterangannya, atau lupa mengisi daftar. 6. Juga bisa dihukum maksimal sebulan kurungan atau denda f. 200 bila
masih tetap mengajar setelah dicabut haknya. 7. Ordonansi guru 1925 berlaku sejak 1 Juli 1925, dan ordonansi guru 1905
dicabut.
21
Kebijaksanaan pemerintah Belanda tersebut jelas merupakan pukulan bagi pertumbuhan pesantren. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan sebelumnya,
pesantren ternyata mampu bertahan. Bahkan pada sekitar tahun 1930-an, perkcmbangan pesantren justru amat pesat. Bila pada sekitar tahun 1920-an
pesantren besar hanya memiliki sekitar 200 santri, maka pada 1930-an pesantren besar memiliki lebih dari 1500 santri.
Kemerosotan pesantren justru terjadi setelah Indonesia merdeka, ketika pemerintah membuka dan mengembangkan sekolah-sekolah umum dan
memberikan fasilitas utama bagi para lulusan pendidikan umum untuk menduduki jabatan dalam struktur pemerintahan.
Sejak itu, asumsi masyarakat tentang pendidikan dan sekolah mulai dikaitkan dengan penyediaan lapangan kerja. Bahkan .sampai sekarang masih terdapat
kecenderungan pemahaman bahwa sekolah umum adalah satu-satunya lembaga pendidikan tempat anak didik di sekolah dianggap tidak berpendidikan. Dan
mulailah pesantren diasumsikan sebagai simbol keterbelakangan dengan para santrinya yang kolot dan pemikiran yang hanya berkisar pada soal halal-haram
saja. Akan tetapi, belakangan telah terjadi perubahan, apresiasi lerhadap pesantren terus meningkat.22
21
Moch. Qosim Mathat, Sejarah, Teologi dan Etika…, h. 99
22
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Laternatif Masa Depan, Gema Insani Press, Cet. I, Jakarta: 1997, h. 70-82
3. Jenis-jenis Pesantren